Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 24 Desember 2012

TSMJ #11 (By: Vanya)


Menemukan yang Sudah Tak Dicari

Sudah berpuluh-puluh menit aku melangkahkan kakiku ke sana ke mari dari satu toko kt toko lain yang ada di mall ini. Kalau saja Aka tidak menemaniku, ini akan menjadi jalan-jalan yang paling membosankan dan membingungkan. Bagaimana tidak? Mencari hadiah untuk ulang tahun pernikahan Akung dan Uti itu lebih membingungkan daripada memecahkan soal Logaritma dan semacamnya.
            “Udah kubilang, boneka Teddy Bear aja. Gampang kan?” usul Aka. Entah sudah berapa kali ia mengusulkan ide bodoh itu dan entah sudah berapa kali aku menolaknya.
            “Aka,” aku menatap Aka penuh rasa jengkel. “Masa iya ulang tahun pernikahan Akung dan Uti yang ke-40 mau dikasih boneka Teddy Bear?!”
            Tanpa kuduga, Aka justru membulatkan matanya. Aku tak tahu apakah ia benar-benar kaget atau hanya berpura-pura kaget. “40 tahun? Kalau gitu, jangan Teddy Bear. Itu lustrum. Harus dikasih hadiah special!” kata Aka dengan nada seorang presiden yang akan membangun perusahaan nuklir untuk negaranya. Dan sekarang aku tahu bahwa Aka hanya berpura-pura bersemangat—hanya untuk menggodaku.
            Aku memutar kedua bola mataku dan melengos pergi dan memilih untuk memasuki salah satu toko DVD yang sepi. Aku berkeliling dengan langkah pelan. membaca tulisan-tulisan yang ditempel di depan rak. Tulisan-tulisan itu menginformasikan tentang jenis music apa yang berderet di belakangnya. Ada rak yang semuanya adalah album band-band local yang beraliran pop, album boys band dan girls band yang begitu banyak seperti jamur yang tumbuh lebat di musim hujan, dan ada juga album-album milik musisi internasional yang taka sing lagi di telinga. Di rak yang terletak paling pojok bertuliskan ‘Musik Keroncong’ menarik perhatianku. Akung dan Uti sering mendengarkan music keroncong jika tak ada hal lain yang ingin mereka kerjakan. Sayangnya aku tak mengerti mana yang harus aku pilih, sedangkan tahu tentang music keroncong pun tidak. Lagi-lagi aku melengos kecewa. Lalu aku memutuskan untuk keluar.
            Saat aku berbalik, tiba-tiba saja Aka sudah berdiri di hadapanku. Membuatku sedikit terkejut. “Udah dapetin kadonya?” tanyanya.
            “Aku menghela napas pelan, “Belum,” jawabku, lalu beranjak dari toko yang penuh dengan rak berisikan DVD dan VCD itu.
            “Udahlah, kita makan dulu ya? Udah siang juga,”
            “Tapi aku belum dapetin kado buat Akung sama Uti, Ka!” kataku jengkel. Entahlah, akhir-akhir ini aku memang sensitif.
            “Iya, Vanya. Habis makan baru lanjut cari. Sampe mallnya tutup aku tetep nemenin. Tapi makan dulu, ya?” rayu Aka.
            Sejak dua minggu yang lalu, saat pensi sekolah malam itu, Aka memang lebih sabar menghadapi aku yang—harus kuakui—kadang-kadang memang kekanak-kanakkan. Entah apa yang terjadi pada Aka, yang jelas aku bersyukur kesalahpahaman malam itu dapat terselesaikan dan Aka menjadi lebih pengertian terhadapku. Sebenarnya aku merasa sedikit curiga dengan Janet yang malam itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku saat aku duduk di café sendirian untuk melepas kekesalanku pada Aka. Malam itu, aku berbicara panjang lebar bersama Janet yang ternyata datang ke Indonesia bersama HyungJun. Sampai pada akhirnya Aka datang menyusulku. Aku juga tak tahu bagaimana ia bisa tahu aku sedang di café itu. Yang jelas, malam itu, Aka juga ikut berbincang-bincang dengan Janet dan HyungJun setelah aku mengenalkan mereka padanya. Dan saat berada di tempat parkir café, sebelum kita berpisah, aku sempat mengobrol soal Nata bersama HyungJun dan Janet membicarakan sesuatu—yang entah apa itu, bersama Aka.
            “Jadi mau makan di mana?” tanyanya memudarkan lamunanku yang singkat.
            “Terserah kamu aja,” kataku pada akhirnya yang berarti menyetujui ajakan Aka untuk makan.
            Aka mengajakku di lantai paling atas dimana ada sebuah foodcourt yang selalu ramai memamerkan menunya. Aku memilih tempat duduk paling luar dan Aka memesan makanan untuknya dan untukku setelah aku tidak berhasil meyakinkan Aka bahwa aku hanya butuh segelas jus alpukat. Lalu Aka membiarkanku menunggu sejenak.
            “Kamu pesen apa?” tanyaku pada Aka yang baru saja meletakkan pantatnya di kursi.
            Spaghetti bolognaise,” jawab Aka. “dan harus habis,”tambah Aka sambil tersenyum.
            Baru saja aku hendak protes atas ucapan Aka barusan, dua piring spaghetti dan dua lemontea datang dan memenuhi meja kecil di hadapanku dan Aka. Aku menarik niatku untuk protes karena tiba-tiba saja sepiring spaghetti dengan porsi pas itu tampak sangat menggoda dimataku sekarang. Segera kuambil garpu yang disediakan dan melahap spaghetti itu dengan penuh semangat. Rasanya aku juga sudah membuang gengsiku jauh-jauh karena saat ini Aka tengah melihatku melahap spaghetti-ku dengan penuh antusias dengan ekspresi yang sepertinya-tadi-ada-yang-bilang-tidak-mau-makan. Aku tidak peduli.
            “Mau tambah spaghetti bolognaise­-nya, Nona?” goda Aka.
            “Nggak lah, Nat,”
            “Nat?” tanya Aka dengan kedua alis terangkat.
Astaga! Betapa bodohnya aku bisa mengucap nama orang itu lagi! Di depan Aka pula! Bodoh! Kata ‘Nona’ itu memang selalu berhasil memancing ingatanku tentang Nata.
“hmm… Nanti maksudku. Tadi aku belum kelar ngomong,”aku memaksakan untuk tertawa agar Aka tak curiga lagi. “Oh ya, Ka, malem itu, waktu ketemu Janet dan HyungJun kamu ngobrol apa aja sama Janet?” aku berusaha membelokkan obrolan.
“Kamu tahulah pasti. Waktu itu kan kamu duduk di sebelahku,”jawab Aka sebelum menenggak habis lemontea-nya.
“Bukan waktu di dalem café, tapi di parkiran,”
Aku sedikit menangkap ekspresi gusar di wajah Aka yang kemudian berhasil di buang oleh Aka. “Oh itu, soal Nata,”
Mataku tak bisa berkompromi dengan otakku karena saat ini kedua bola mataku seperti hendak meloncat dari lubangnya saking terkejutnya aku. “Na… Nata?” kataku masih tak percaya.
“Tapi itu nggak penting-penting amat kok, aku Cuma tanya soal Nata sedikit. Oh iya, ayo cari kado untuk Akung dan Utimu! Keburu sore, yuk!” Nata mulai berdiri dan aku pun mengikutinya. Aku tahu, Aka mengalihkan pembicaraan ini. Bahkan aku yakin Aka tahu bahwa aku berbohong soal ‘Nat’ tadi. Oh, lagi pula siapa yang percaya dengan alibi murahanku tadi?
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang Aka dan Janet omongkan malam itu. jika benar soal Nata, apa yang diinginkan Aka dari obrolan soal Nata itu? tetapi aku tidak mungkin bertanya secara langsung kepada Aka karena itu akan menjadi ide yang sangat buruk. Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan mulai berpikir lagi apa yang harus aku berikan kepada Akung dan Uti di ulangtahun pernikahan mereka.
“Gini aja,”lagi-lagi Aka membuyarkan lamunan singkatku. “Gimana kalau benda yang mau kamu kasih ke mereka itu adalah buatan tanganmu sendiri. Pasti lebih berkesan,” lanjut aka.
Oke, aku akui kali ini ide Aka tidak buruk. Bagus malah! Bukankan jika hadiah itu dibuat sendiri akan lebih puas dan lebih bangga ketika memberikannya kepada orang lain ketimbang membeli? Tentu saja. Tapi yang menjadi masalah kali ini adalah: apa yang harus aku buat sebagai hadiah ulangtahun pernikahan Akung dan Uti yang ke-40?
“Tapi bikin apa?” tanyaku lemas. Padahal beberapa detik yang lalu baru saja aku semangat.
“Apa aja. Mereka akan menghargai apapun pemberianmu, Vanya,” Aka tersenyum. Kalau sedang begitu dia terdengar seperti kakakku saja.
            Aku berpikir sejenak sambil memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di mall ini. Dan aku rasa satu ide telah berhenti sejenak di kepalaku dan memotivasiku untuk menggerakkan mulutku dan memberitahukan ide itu pada Aka, cowok yang penuh dengan kesabaran sekaligus pacarku ini.
            “Gimana kalau album foto?” kataku dengan cengiran lebar seolah-olah tidak ada ide yang lebih menarik dari itu.
            Aka tampak berpikir sejenak,”isinya foto apa?”
            “Isinya nanti aku kasih foto Akung sama Uti dulu waktu kakak pertamaku lahir sampe foto mereka yang sekarang. Terus nanti juga ada fotoku sama kakak-kakakku, gimana?”
            “Bagus! Nah sekarang kita cari bahannya aja dan cepet-cepet bikin. Ulangtahunnya lusa kan?”
            Aku mengangguk penuh semangat. Aku akan membuat suatu karya, sebentar lagi. Sebentar lagi.
###
“Ini ada kue bikinan Uti, dimakan lho ya,”kata Uti yang membawa sepiring kue brownis dan dua gelas sirup jeruk. Belum sampai masuk ke kamarku, aku sudah menghadang Uti di depan pintu kamarku agar tidak tahu tentang hadiah yang kubuat bersama Aka itu.
“Sini Vanya bantuin, Uti. Nah, uti bisa nyiramin tanaman lagi, hehe…”
            Uti melihat kamarku sebentar lalu tersenyum pada Aka. “Pintunya dibuka gini terus ya, ndak boleh ditutup lho. Kalian ndak ngapa-ngapain to?” tanya Uti penuh selidik.
            “Ya ampun, Uti. Vanya anak baik kok Uti, Vanya sama Aka nggak ngapa-ngapain,” kataku meyakinkan.
            “Ya sudah, Uti ke depan dulu ya. Dimakan itu kuenya,” Uti tersenyum pada Aka lagi dan berjalan menuju halaman depan untuk membantu Akung menyirami tanaman.
            Aku kembali duduk di sebelah Aka dan meletakkan makanan dan minuman di atas meja belajarku. Lalu aku kembali membantu membuat album foto dengan menempel foto-foto yang ada di album buatanku dan Aka.
            “Yaaah, selotipnya habis! Bentar ya aku cari dulu,” aku membuka semua laciku tetapi tidak ada selotip maupun lem di sana.
            “Nggak ada, Ka. Aku pergi dulu ya, mau beli selotip. Oh sama keju deh, brownisnya ga menarik banget kalo nggak ada kejunya. Hehe…”
            “Mau aku anterin?” tawar Aka penuh sayang.
            “Nggak usah,” aku tersenyum lalu pergi ke sebuah supermarket yang hanya beberapa ratus meter dari rumah, salah satu keuntunganku tinggal di sini.
            Aku memasuki supermarket itu dan langsung menuju rak tempat keju cedar biasanya ditata. Aku mengambil satu-satunya keju cedar yang ada di rak itu, dan ternyata tangan seseorang juga hendak mengambilnya. Aku segera melepaskan keju itu, “Oh silakan diambil,” kataku. Aku rasa orang itu sempat berterimakasih padaku. Aku pun langsung pergi ke rak tepung karena sebelum aku pergi Uti memintaku untuk membelikannya seplastik besar tepung terigu. Kuambil satu plastic tepung terigu lalu segera beralih. Ketika aku kesulitan menemukan selotip, aku bertanya kepada salah satu pegawai di supermarket itu dan pegawai itu membawaku ke tempat selotip ditata sedemikian rapi bersama beberapa alat tulis lainnya.
            Saat tanganku hendak meraih selotip bening itu, tanganku dihentikan oleh tangan seseorang yang rupanya adalah tangan yang sama dengan pemegang keju ceddar tadi.
“Ini, Nona. Untukmu saja,” orang itu menyodorkan kotak persegi panjang yang tidak terlalu besar yang ternyata adalah keju ceddar.
Aku mendongak ke pemilik tangan itu. sosok itu adalah seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi. Jauh lebih tinggi dariku. Sayangnya, mataku tidak membohongiku karena saat ini yang berdiri tepat di depanku dan tengah menyodorkan keju cedar itu adalah orang yang sangat kukenali. Orang yang kucari. Dulu…
“Hai, Nona Vanya?” sapa Kanata Anggara Wiguna.
Tubuhku seperti dibekukan saat itu juga, kerongkonganku terasa kering dan perih. Tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Rasanya seperti ada sesuatu yang memeras perutku dan membuat jantung yang ada di dadaku meloncat-loncat tak terkendali. Lidahku terasa kelu dan tak tahu harus bicara apa. Aku juga tak tahu harus bagaimana. Aku hanya seperti patung yang bermimik kaget. Tapi aku punya satu keinginan pasti: menghilang dari hadapan orang itu dan dari tempat ini.
Beberapa detik kemudian, aku tahu, tubuhku tak lagi lumpuh. Segera saja aku menuju kasir yang sepi dan membayar tepung serta selotip itu dan cepat-cepat keluar dari supermarket itu. Dan tentu saja, seharusnya aku tahu kalau Nata akan mengikutiku.
“Vanya, tunggu!”
Orang itu memintaku untuk berhenti tetapi aku justru terus berjalan. Orang itu berlari dan aku juga berlari. Aku berlari semakin cepat sampai aku tidak menyadari ada lubang di jalan itu yang membuatku terjatuh menghantam aspal. Aku meringis kesakitan dan mencoba bangun kembali dan berlari lagi. Aku tahu lututku terluka tapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin pergi meninggalkan orang itu. orang yang dulu menjadi alasanku untuk mengorbankan sekolahku di London. Orang yang seharusnya sekarang membuatku tertawa bahagia karena telah menemukannya dan bukannya berlari menjauh seolah-olah orang itu akan menerkamku sewaktu-waktu. Tetapi sepertinya memang begitulah kenyataannya. Orang itu bisa melukai hatiku sewaktu-waktu—bahkan sekarang sudah begitu.
            Aku baru sadar bahwa cairan bening yang hangat mulai menetes dari kedua mataku. Aku mencoba menyeka airmataku sendiri dengan punggung tanganku seraya kakiku terus berlari menuju rumah. Begitu sampai di rumah, aku segera masuk ke kamarku yang pintunya terbuka lebar. Saat aku masuk, aku menemukan Aka yang tengah mengeluarkan seisi kotak pink milikku yang beberapa bulan yang lalu kutaruh di bawah tempat tidurku. Astaga! Apa lagi sekarang? Mengapa semuanya semakin memburuk?
            “Aka, kamu ngapain?!” tanyaku masih dengan wajah yang sembab. Bahkan air mata itu kembali menetes.
            Aku merebut foto-foto dan benda-benda lain yang berhubungan dengan Nata dan melemparnya ke seluruh ruangan sehingga membuat seluruh kamarku berantakkan. Aka hanya bisa menatapku dengan tatapan kaget dan penuh penyesalan. Ia mencoba meminta maaf padaku, tetapi sepertinya moodku sedang sangat buruk dan justru mengusirnya. Kedua mata Aka tampak sangat terluka dan itu membuatku enggan untuk menatapnya dan semakin keras untuk mengusirnya. Sampai-sampai Uti dan Akung datang dan memelukku untuk menenangkanku. Aku menangis tersedu-sedu sampai aku tak bisa melihat pangkal dari tangisanku. Aku hanya merasa sangat kacau. Dan perasaan itu membuatku tak terkendali. Aku benci keadaanku yang seperti ini. Ini semua karena orang itu yang bisa-bisanya muncul kembali dan membuat aku kacau untuk sekali lagi.
            Nduk, kamu ini kenapa lha kok nangis kayak gitu?” tanya Akung sesaat setelah tangisku mereda.
            “Nggak apa-apa Akung, tadi Vanya Cuma kesel aja sama Aka,”
            “Udah, minum teh anget ini dulu terus istirahat ya nduk,”Uti datang membawakanku secangkir teh hangat.
            Aku meminumnya sedikit lalu meletakkannya di atas mejaku. “Terimakasih, Uti, Akung,” kataku tulus.
            “Oh iya, tadi Aka memberikan Uti kresek belanjaanmu sama ini keju cedar yang katanya tadi dibawain sama temen kamu yang satunya,” kata Uti lagi.
            Aku hanya melirik sekilas kresek putih berlogokan supermarket yang kukunjungi tadi dan sebuah keju cedar yang tadi dibawa Nata. Dan tentu saja, yang dimaksud Uti dengan temanku yang lain itu adalah Nata. Itu berarti Aka sudah bertemu dengan Nata. Pikiranku kembali melayang ke mana-mana. sampai akhirnya Uti dan Akung menyuruhku untuk tidur saja. Aku mengiyakan walaupun aku tahu aku tidak akan bisa tidur. bagaimana bisa aku tertidur sedangkan Nata membayangiku sangat kuat bahkan lebih kuat dari hantu dan Aka yang telah kulukai. Lagi-lagi cairan bening yang hangat itu turun mengikuti gravitasi. Barulah aku sadar betapa perihnya lututku yang ternyata mengeluarkan cukup banyak darah. Aku memutuskan untuk mengobatinya sejenak lalu kembali ke kamar. Aku yang tak mampu memejamkan mata memilih untuk menyelesaikan album foto itu semampuku. Setidaknya membuatku mengerjakan sesuatu dan tidak hanya berbaring di tempat tidur untuk membasahi bantal dengan air mata dan ingusku.
###
            Langit nampak indah dengan warna jingga keunguan di ufuk barat. Pertanda bahwa matahari sedang mengucapkan selamat tinggal sementara. Bahwa sang dewa cahaya itu akan pergi untuk menerangi belahan bumi bagian lain dan baru akan kembali menerangi tempat ini lagi, kurang lebih dua belas jam lagi.
Tiba-tiba saja ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu saat bertemu dengan Nata dan mendapati Aka tengah membuka kotak pink “harta karun” ku. Semuanya terasa sangat buruk hari ini. Bahkan bunga mawar yang baru saja mekar di halaman depan terasa sangat menyedihkan di mataku saat ini.
            Aku menghembuskan napas berat seraya kembali mengumpulkan foto-foto dan benda-benda yang berhubungan dengan Nata. Kupandangi sekali lagi foto-foto itu. Foto-foto itu membuatku sadar akan sesuatu: bahwa aku tak pernah benar-benar berhenti menginginkannya untuk kembali. Bahwa aku tak benar-benar telah melupakan orang itu beserta kenangan yang telah terukir indah dan mempunyai ruang tersendiri di hatiku. Selama ini Nata tak benar-benar telah menghilang dari otak dan hatiku, hanya saja perasaan itu terselip di antara tawaku bersama Aka. Itu saja.
            Nduk, itu ada temenmu yang datang,” kata Uti sambil mengusap rambutku yang sudah mulai memanjang.
            “Siapa, Uti?” tanyaku.
            “Uti ndak tahu namanya, Uti baru sekali lihat. Oh, itu nduk! Yang ada di fotomu itu, lha ya itu orangnya,”
            Hatiku mencelos.
            Nata. Mau apa dia kemari?

Minggu, 07 Oktober 2012

TSMJ #10 (By Kanata)


Kejujuran yang Sangat Mahal

Di sana, kulihat dirinya sedang memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat dia menyendokkan ice cream itu ke mulut, aku mendekatinya sambil tersenyum. Terbaca jika ekspresi yang dia lontarkan adalah sebuah kekagetan. Dia tak jadi makan dan malah menatapku dengan mata terbelalak.
Dia mengucek-ngucek matanya. Dia bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya sekilas imajinasi kosong? Aku tak bisa menyembunyikan senyum.
Dia sekilas menutup mata sebelum akhirnya membukanya lagi. Aku masih berdiri di hadapannya.  Sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku memang nyata adanya.
Sejujurnya, bukan hanya dia yang kaget akan pertemuan ini. sedari tadi jantungku juga berdenyut liar. Aku juga tak percaya bahwa pertemuan ini akan terjadi di tempat ini, di waktu yang sungguh tak terduga seperti ini. Meski kaget, sesungguhnya aku sangat senang dipertemukan seperti ini. Matanya berkaca-kaca, bahagia karena telah bertemu denganku.
Tanpa benar-benar bisa kuduga dia bangkit dari duduknya dan langsung menghambur ke pelukanku.
“Syukurlah kita bisa bertemu...” Ujarnya.
Kutangkap aura kelam menguar dari tubuh Diane yang berdiri di sebelahku. Mulutnya mengerucut tanda sebal dengan kejadian ini. Tak ingin membuat keributan, aku mendorong tubuh Jane dengan halus.
“Kami tersesat.” Ujar Hyungjun di belakangku.
“Kami benci Indonesia!” Air mata Jane berubah menjadi kemarahan.
Aku tersenyum menenangkan. “lets have a seat and tell me what happened.
Setelah kami berempat duduk Jane mulai menyerocos mengenai pengalamannya berkeliling Indonesia dua minggu ini. Dimulai dengan ditipu oleh para pedagang suvenir di Bali, betapa tidak nyamannya penginapan di Lombok, harus membayar sangat mahal untuk masuk candi Borobudur hanya karena mereka “turis asing”, penerjemah yang sangat sulit dicari, makanan yang sangat mahal (lagi-lagi karena mereka turis asing), berkali-kali salah naik angkutan, hingga akhirnya terdampar di Bandung saat memutuskan untuk pulang ke Inggris lewat Jakarta.
“Oke, pertanyaan pertamaku adalah kenapa kau bisa bersama Hyungjun?” tanyaku pada Jane.
Bukannya menjawab pertanyaanku, mereka malah saling melempar senyuman. “Kau bisa menebak sendiri lah, Sobat.” Hyungjun nyengir tidak jelas.
“Dari pada itu, sungguh jahat kau tak memperkenalkan nona manis disebelahmu pada kami.” Tambahnya iseng.
Hi, my name is Diane. Nice to meet you.” Ucap Diane terbata-bata saat aku jelaskan maksud kalimat Hyungjun.
“Pacar Kanata ya?” Desak Hyungjun.
Diane mengangguk dengan terlalu bersemangat. Langsung dirinya merangkul lenganku dengan manja. Aku berusaha memasang muka setidak nyaman mungkin.
“Tiga hari kemarin kami juga ketemu Vanya.” Ucap Jane sambil menyendokkan eskrim ke mulutnya. “Dia juga punya pacar baru.”
Deg. Informasi langsung yang sungguh tak terduga. Entah kenapa aku sangat merasa tak nyaman mendengar hal tersebut.
“Maksudnya cowok item, tinggi itu?” Balas Hyungjun sambil mengerutkan kening. “Kayaknya mereka gak pacaran deh!”
Selesai mengucapkan itu kulihat Hyungjun meringgis kesakitan sementara Jane terlihat geram.
“Tapi mereka sangat dekat kan!?” Ancam Jane. Hyungjun mengangguk sembari meringgis karena takut dicubit pahanya lagi.
Karena tak ingin membuat suasana tak nyaman dalam hatiku terus berlanjut aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong dalam rangka apa kalian ke Indonesia?”
Kembali mereka saling melempar pandangan penuh arti.
well, sejujurnya kami hanya menghabiskan liburan musim dingin.” Ucap Jane.
“Sekolah sepi tanpa kamu, Kawan!” Cetus Hyungjun.
Sebenarnya aku juga lumayan kehilangan teman-teman multi-bangsa yang ada disana. Namun tentu saja aku tak mungkin terus memaksakan diri sekolah disana setelah apa yang terjadi hampir dua tahun silam. Sekarang aku sudah mulai terbiasa menganggap bahwa apa yang terjadi di sama hanyalah sekelebatan masa lalu yang tak seharusnya disesali dan diharapkan untuk kembali. Seperti tentang seseorang...
“Apa kalian sudah ada rencana selama di Bandung?” Celetuk Diane menggunakan bahasa Indonesia.
“Kan mereka sudah bilang mau ke Jakarta. Mereka mau kembali lagi ke Inggris.”
“Tapi kan sayang sudah jauh-jauh ke sini kalau gak keliling-keliling dulu?!” Diane mendesak.
“Gak. Mereka harus pulang. Pasti liburannya mau berakhir.”
“Kayak yang tau aja!” sisi egoisnya muncul dengan kuat/
“Jangan lupa, aku kan pernah sekolah disana!” kali ini aku tak mau menyerah. “Mereka pasti gak mau ikut kita!”
“Oh, ya? Kenapa gak tanya langsung?”
Hyungjun dan Jane mengangkat alis sebagai tanda ketidakmengertian. Meski enggan aku akhirnya menanyakan pada mereka apakah mau ikut dengan kami menghadiri kegiatan peresmian pusat konservasi alam di kawasan Ciwidey. Mereka mengangguk dengan sangat antusias, merasa lega telah bertemu denganku. Aku juga lega bertemu dengan mereka. Itu artinya aku memiliki alasan untuk tak ditempeli Diane setiap detik.
Sepanjang perjalanan selama lebih dari satu jam kami bertiga habiskan dengan bernostalgia tentang masa-masa yang sudah lewat. Sungguh menyenangkan berbagi cerita dengan orang-orang seperti mereka. Untuk sesaat kekosongan hati yang kurasakan sejak pulang ke Bandung terobati.
Bukan berarti aku tak bisa menikmati momen-momen kampung halaman, bertemu dan menjalin pertemanan baru di SMA, berbagi pengalaman dengan putera-puteri terbaik bangsa, meraih pendidikan di negeri sendiri. Tapi sejujurnya selalu saja hal-hal tersebut terasa kurang. Seakan aku telah kehilangan sesuatu yang sangat penting.
Kawah Putih. Terletak kira-kira 70 kilometer dari pusat kota Bandung. Salah satu destinasi wisata yang sangat sayang untuk dilewatkan jika berkunjung ke Bandung. Kawah Putih merupakan salah satu kawah gunung berapi yang masih aktif. Tempat ini memiliki hamparan belerang putih yang tersebar diseantero kawasan. Menjadikannya bagaikan pantai dengan kabut-kabut uap yang menguar setiap waktu. Batang-batang pohon tegak berdiri walau hanya memiliki sedikit daun. Aku pikir Kawah Putih merupakan sebuah negeri dongeng.
Demi menjaga eksotisme Kawah Putih, Ayahnya Diane menanamkan modal yang sangat besar untuk membangun sebuah pusat konservasi hewan dan tumbuhan khas daerah tersebut. Kegiatan kali ini adalah peresmian semacam gedung peragaan. Di dalamnya terdapat sebuah bioskop tiga dimensi tempat para pengunjung bisa berkelana keliling Kawah Putih dari masa ke masa secara virtual.
Ide yang sangat menarik dan sangat mulia, pikirku.
“Semakin tinggi keadaan seseorang sudah selayaknya semakin menghargai tempat asal kita dan tempat terakhir kita dalam kehidupan fana ini. Bumi.” Ujar Pak Wahyu ketika aku bertanya alasannya membangun tempat tersebut.
 “Kudengar Angga suka sains? Sepertinya nanti Bapak mandatkan saja pada Angga soal pengelolaan kawasan ini.” Tambah beliau. “Itung-itung berbakti sama mertua.” Ujarnya ditambahi dengan kekehan jahil.
Perjodohan itu lagi. Aku sudah mulai terbiasa mendengarnya dari semua orang. Namun aku belum –takkan pernah- terbiasa untuk menyetujuinya. Andai saja mereka tahu bahwa yang kuinginkan hanyalah menikmati waktu untukku sendiri tanpa digerecoki oleh pikiran-pikiran lain yang sebenarnya tak kuinginkan.
Pidato-pidato panjang dari orang-orang yang merasa dirinya memiliki andil besar dalam pendirian pusat konservasi ini masih bergaung dari panggung di kejauhan. Aku memilih untuk menyendiri di sebuah bukit yang terpencil. Menjauhi Diane yang terpaksa harus selalu berada di sebelah ayah dan ibunya. Menjauhi Jane dan Hyungjun yang berfoto heboh di sekitaran Kawah Putih. Menjauhi diriku sendiri. Menjauhi kenangan yang tiba-tiba berkelebat.
“Apa kau percaya bahwa Tongkat Sihir itu benar-benar ada?” Tanya Vanya saat kami duduk di salah satu bangku King Cross. Kami sedang memandangi sebuah tembok berplakat tulisan “platform 9 ¾”
“Apa kamu percaya?” aku balas bertanya.
“Kenapa tidak?” Jawabnya mantap.
“Kalau memang ada, akan kau gunakan untuk apa?”
Vanya berpikir serius untuk beberapa lama. Keningnya berkerut. Matahari membiaskan wajahnya. Sosok gadis yang duduk di sebelahku ini entah kenapa terlihat sangat indah saat itu.
“Aku akan membuat kebahagiaan!” Ujarnya diiringi tawa manis.
Giliran aku yang mengerutkan kening. “Bahagia? Caranya?”
“Inti tongkatnya adalah ekor burung merak, bahannya adalah kayu Akasia, panjangnya harus tepat 32,23 cm.” Dia mulai berceloteh. Rona kebahagiaan tergurat di wajahnya. “Dan warnanya harus merah muda!”
Kami tertawa bersama di sebuah stasiun asing yang sangat jauh dari rumah. Namun kami tak merasa asing. Karena kami bersama.
Dulu...
“Minggu kemarin kami bertemu dengan Vanya.” Tanpa kusadari Hyungjun sudah duduk di sebelahku.
“Kalian kan tadi udah cerita.” Jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari kolam belerang yang menggelegak di kejauhan.
“Lalu?” Tambahnya.
“Lalu apa?”
“Kau tak ingin mendengar cerita lengkapnya?”
“Tidak.” Jawabku singkat. Sesungguhnya aku ingin sekali mendengar sepotong pengalaman mereka bertemu dengan Vanya.
“Ya sudah kalau kau memang tak ingin mendengarnya.”
Kami terdiam sama seperti tahun-tahun yang aku habiskan bersama Hyungjun di negeri yang teramat jauh. Selain sebagai teman sekamar, Hyungjun merupakan sahabat yang sangat nyaman untuk berbagi cerita dan kegelisahan hidup. Sudah terlampau banyak tema yang kami bahas mulai dari yang ringan seperti cuaca, hingga yang tak memilik ujung dan pangkal seperti asal dan tujuan manusia hidup di dunia.
Hyungjun selalu mengerti jika aku sedang ingin menikmati ketiadaan kata. Seringkali kami hanya duduk bersebelahan. Memandangi satu titik di kejauhan. Tanpa kata sama sekali. kadang hingga berjam-jam lamanya.
“Kabarmu sendiri bagaimana?” Tanyanya. “Kulihat kau sedang dibayang-bayangi oleh gadis manja itu.”
Aku terkekeh. Senang atas pengamatannya yang cepat dan tepat. “Seperti yang kau lihat sendiri, aku hanya mencoba menjalani kehidupan.” Kerikil terbang dari tanganku menuju kolam.
“Kehidupan memang harus terus berjalan.” Dia melakukan hal yang sama, namun dengan jarak lemparan yang lebih jauh. “Tapi yang kulihat kau sedang lari dari sesuatu.”
“Ini soal Vanya lagi?” Tanyaku defensif.
“Kau tahu ini tentang apa.” Jawabnya kalem.
Hyungjun mengeluarkan secarik kertas dari tas kecil yang menggantung di pinggangnya.
“Kau tentunya mengenalku jauh lebih baik dari ini.” Ujarnya sambil menyerahkan kertas biru yang terlipat. “Soal kami yang tersesat di Bandung ini setengahnya adalah sebuah kebohongan. Sejujurnya kami – aku lebih tepatnya – memang sengaja mencarimu.”
Kubuka kertas tersebut. Kubaca perlahan. Sebuah gambar dan rangkaian kata menyulam makna disana. Hatiku mencelos bagai terjatuh dari gedung dua belas lantai kubaca berulang-ulang, berharap isinya akan berubah. Namun ternyata tulisan ramping rapi itu takkan pernah berubah maknanya. Hyungjun menatapku lekat.
“Kutemukan kertas itu di tempat sampah depan kamar Vanya dua tahun silam. Sepertinya dia tak punya keberanian untuk mewujudkannya.”
Aku membaca huruf demi huruf hasil goresan tangan Vanya tersebut. Sukar memercayai bahwa Vanya benar-benar menulisnya. Untukku!
“Aku tahu kau tak pernah melakukan kontak lagi dengannnya. Tapi tak kusangka keadaannya akan serumit ini.”
“Bagian mananya yang rumit?” Ujarku berpura-pura ini bukan hal yang penting.
“Kau tahu maksudku. Vanya mencintaimu. Kau yang berpura-pura tak menyadarinya dan memilih untuk lari dari perasaan yang terlanjur tumbuh di hati Vanya. Namun aku tahu pasti bahwa sesungguhnya kau kehilangan Vanya bukan sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang lain.”
Aku diam tak menanggapi. Hyungjun melanjutkan. “Aku tahu pasti bahwa perasaan Vanya padamu masih ada. Namun aku juga berani berkata bahwa hal tersebut perlahan namun pasti sedang memudar. Vanya mulai bisa mengiklaskanmu.”
Dia diam kembali. Sengaja memberi waktu agar kata-katanya bisa meresap dalam sanubariku.
“Namun yang jadi pertanyaan adalah, “ lanjutnya. “Apa kau bisa merelakan Vanya bersam orang lain?”
Aku membaca kembali surat dari Vanya. Kertas yang kuduga sobekan sebuah buku harian memberi wadah bagi sebuah gambar loncong dengan dekorasi indah. Sebuah tongkat sihir impian Vanya. Dia menuliskans dengan detail tiap elemen-elemennya. Harus kuakui bahwa daya imajinasi dan kemampuannya mendeskripsikanny dalam narasi serta gambar sangatlah luar biasa.
“Bagaimana?” Desak Hyungjun.
“Sepertinya memang sudah saatnya aku menemui Vanya di Jogja dan mengatakan sebuah kejujuran.”
Hyungjun tersenyum. Aku tak tahu harus merasakan apa.
“Sihir pertama yang ingin aku daraskan menggunakan Tongkat Kebahagiaan ini adalah agar kita bisa selalu bersama hingga ajal memisahkan. Karena itulah kebahagiaan terbesarku. Semoga itu pula kebahagiaan terbesarmu.
Kulipat kembali kertas tersebut. Kusimpan baik-baik di saku kemeja.
Saatnya bagiku untuk membuat Tongkat Sihir Merah Jambu!

Senin, 24 September 2012

TSMJ #9 (By: Vanya)


BUKAN MIMPI

                “Jadi kamu datang ke pensi nggak, Nest?” tanyaku pada Arnest ketika kami melewati lapangan bola.     
“Ganteng banget, Nya! Sumpah ganteng banget!” seru Arnest seraya menatap langit mendung dengan tatapan tak focus. Mungkin kata “ganteng” itu sudah seribu kali keluar dari mulutnya dua minggu ini. Membuat telingaku memanas.
                “Aku tanya kamu datang ke pensi atau nggak, bukan minta pendapat soal Kak Revo  ganteng atau nggak,” kataku sedikit emosi.
                “Tapi asli! Ganteng!”
“Inget sama Romy!” balasku sedikit kesal.
                “Oh Gosh! Kamu bener, Nya! Lagi pula Kak Revo itu kan udah terlalu tua!” Arnest segera membuyarkan khayalannya itu dan menggeleng-gelengkan kepala cepat-cepat.
Ya. Alasan Arnest menjadi sedikit gila itu adalah Kak Revo yang dua minggu lalu kukenalkan padanya.
                “Lagian aku ga bakalan merestui kamu sama kakakku!” kataku bercanda.
                “Yeee! Apaan sih?!” Arnest menyikut lenganku pelan. “Tapi kok kamu nggak pernah cerita punya kakak cowok sih?”
                “Masa sih nggak pernah?” Arnest mengangguk penuh semangat. “Yah sori deh! Haha!”
                “Dia juga di Jakarta kayak Kak Vio ya?” Arnest memulai wawancaranya.
                “Nggak. Di Bandung.”
                “WHAT?!” Ekspresi yang sudah kutunggu. Kalau aku jadi Arnest aku akan bereaksi sama seperti itu. “Terus, kenapa kamu nggak—“
                “Mama nggak ngebolehin,”jawabku sebelum pertanyaan Arnest terselesaikan.
                “Terus seminggu kemarin ngobrol apa aja sama kakakmu yang guanteng itu?”
                Aku berpikir sejenak. Banyak yang telah aku ceritakan kepada Kak Revo. Bahkan lebih banyak daripada kepada Kak Vio. Bisa dibilang, Kak Revo tahu secara lengkap semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Ada beberapa pembicaraan yang menurutku bahkan sedikit gila. Aku tak yakin ingin menceritakan ini semua pada Arnest.
                “Nest, udah ditunggu di perpus. Yuk!” kata sebuah suara yang ternyata milik Romi yang tiba-tiba muncul di samping kami. Romi datang tepat pada waktunya. Dengan begitu, aku tak perlu menjawab pertanyaan Arnest itu.
***
2 minggu yang lalu…
                Hari ini, seperti hari Minggu yang lainnya, aku bangun agak siang. Jendela kamarku sengaja tak aku sibak karena aku sedang tak peduli dengan apapun termasuk cuaca hari ini. Segera saja kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mandi. Barulah setelah itu aku menuju dapur dan menemukan Uti sedang membuat  teh di sana.
                “Uti, Vanya mau sarapan,” ucapku sembari membantu Uti mengaduk secangkir teh.
                “Lha itu, sarapannya ada di meja. Uti sama Akung sudah sarapan tadi,” Uti tersenyum ramah dengan satu tangan yang sibuk mengaduk teh yang satu lagi. “Sarapan dulu sana, Uti mau nganterin teh ini buat Akungmu itu,” lanjut Uti. Lalu dibawanya dua cangkir teh itu keluar dari dapur.
                Aku segera mengambil piring kosong. Baru saja aku akan mengambil nasi di meja, aku mendengar bel rumah berdenting pertanda ada seseorang di luar sana. Entah mengapa aku terpanggil untuk membukakan pintu. Kuputuskan untuk bangkit dari tempat dudukku dan berlari-lari kecil untuk membukakan pintu itu.
                Ketika aku membuka pintu, kakak pertamaku sedang berdiri di depan pintu dengan sebuah tas ransel hitam di punggungnya. Hal pertama yang aku lakukan adalah memeluk orang itu. Kak Revo mengacak rambutku penuh sayang.
                “Kak Revo kok bisa ke sini?” tanyaku setelah puas memeluknya.
                “Pengen ketemu sama adik gua yang katanya lagi bermasalah ini,” Kak Revo sedikit terkekeh lalu melangkah masuk.
                “Siapa tamunya, Nduk?” Uti tiba-tiba muncul dari halaman belakang.
                Sebelum sempat aku menjawab, Uti sudah memekik kegirangan melihat cucu laki-lakinya sedang berdiri di depannya. “Ya ampuun! Revo! Walah, sudah lama nggak pernah ke sini. Uti sama Akung kangen ini,” Uti memeluk dan mencium Kak Revo dengan penuh rasa rindu.
                “Iya, maaf Uti. Revo jarang ke sini,” kata Kak Revo tulus.
                “Ya sudah, ayo ayo istirahat dulu. Uti mau kasih tau Akung dulu,” Uti kembali ke halaman belakang dengan langkah semangat.
                “Sarapan dulu aja Kak,”kataku setelah Uti pergi.
                “Udah sarapan. Gua mau tidur aja dulu,” Kak Revo langsung melangkah menuju kamarku. Setelah berbicara sebentar dengan Uti dan Akung, Kak Revo pun benar-benar tertidur pulas. Sementara aku melanjutkkan sarapanku dengan tenang.
                Begitu sore datang, aku menemukan Kak Revo sedang sibuk menelepon seseorang. Dari raut wajah Kak Revo, aku tahu, yang Kak revo sedang bicarakan itu adalah sesuatu yang sangat penting. Setelah telepon itu berakhir, aku mendekati Kak Revo yang bediri di bawah pohon kamboja.
                “Ngomongin apa sih Kak? Kok serius banget?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
                “Persiapan buat Olimpiade,” jawab Kak Revo singkat lalu kembali sibuk dengan Blackberry-nya. Entah olimpiade apa yang Kak Revo maksud, aku tak ingin tahu lagi.
                “Gimana, Nya?” tanya Kak Revo setelah berhenti mengutak-atik Blackberry-nya itu.
                Aku menatap Kak Revo. “Gimana apanya?”
                “Sekolah lo yang baru. Lo nggak nyesel kan?”
                “Nggak kok, Kak. Vanya udah mulai nyaman di sini,”
                “Kakak udah denger ceritanya. Tapi, kakak belum begitu percaya kalo nggak lo sendiri yang cerita,” kata Kak Revo sambil merangkul pundakku. “Tapi kakak nggak maksa kalo lo nggak mau cerita. Tujuan kakak ke sini cuma pengen tahu keadaan lo,” bibir Kak Revo melengkung tersenyum. Membuatku ikut menarik bibirku, juga tersenyum.
                Tanpa pikir panjang, aku menceritakan semuanya kepada Kak Revo. Kuceritakan semuanya dari nol. Mulai dari aku ke London dan akhirnya aku pulang dari London dengan perasaan yang campur aduk. Seperti biasanya ketika aku bercerita sesuatu pada Kak Revo, Kak Revo hanya mendengarkanku dan sesekali membenarkan ucapanku dan kadang mengerutkan keningnya. Setelah aku selesai bercerita, barulah Kak Revo angkat bicara.
                “Cerita versi Vio dan versimu sedikit berbeda,” katanya. “but it’s ok. Biarin apa yang harus terjadi itu terjadi. Tuhan punya rencana lain, Nya. Lupain masa lalu yang bakalan menghambat masa depan,” sekali lagi Kak Revo tersenyum hangat.
                “Tapi Vanya kangen, Kak. Vanya pengen ketemu Nata. Kakak mau kan cariin Nata buat Vanya? Toh Kak Revo kuliah di Bandung dan Nata juga di Bandung,”
                “Bandung itu nggak kecil, Vanya. Biarkan semuanya terjadi . Kalau memang cerita kalian belum selesai, pasti kalian bertemu lagi. Percaya sama kakak,”Kak Revo menguatkanku.
                Sekarang aku mengerti betapa berbedanya kedua kakakku ini.  Kak Revo yang lebih banyak mendengar dan Kak Vio yang lebih banyak untuk di dengar. Semua terlihat sangat jelas sekarang. Dan aku juga berusaha percaya dengan setiap kata-kata Kak Revo.  Dia benar, jika kisah ini belum menyentuh kata selesai, aku pasti bisa bertemu dengan Nata lagi.
***
                “Vanya?!” suara Aka membuyarkan pikiranku yang untuk beberapa saat melayang-layang tak menentu.
                “Oh, iya? Kenapa, Ka?” tanyaku setelah berhasil mengembalikkan pikiranku.
                Aka yang entah sejak kapan ada di sampingku itu mengerutkan kening, lalu bertanya. “Kamu yang kenapa?”
                “Aku nggak pa-pa lagi. Aku cuma—aaaaaaarrghhh!!!” sesuatu yang keras menampar wajahku, membuatku terhuyung jatuh. Segera saja kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Rasanya sesuatu yang panas mulai menyerubungi wajah sebelah kananku. Lalu aku mulai mendengar suara-suara khawatir yang terus menanyai keadaanku. Beberapa, aku mengenal suara dari orang-orang itu, dan sisanya sangat asing di telingaku.
                “Kamu nggak pa-pa Vanya?” aku berhasil menangkap suara Aka.
                Aku mulai menurunkan tanganku. “Iya, aku nggak pa-pa kok,” kataku dengan kepala yang berdenyut-denyut.
                “Kamu mimisan,” kata Aka lagi.
Dengan gerakkan yang singkat, ia memegang lenganku dan berniat untuk membantuku berdiri. Dengan gerakkan yang singkat pula, aku menghempaskan tangan Aka dari lenganku dan aku berusaha berdiri sendiri.
                “Aku baik-baik aja kok,” kataku pada semua orang yang mengerubungiku.
                “Sorry ya, Dek. Aku nggak sengaja,” kata seorang kakak kelas berbadan tinggi besar.
                Aku melirik sekilas ke arah bola yang ada di tangan kakak kelas itu. sekarang aku mengerti bahwa sesuatu yang membuat wajahku panas itu adalah bola yang melesat cepat. Aku mulai muak dengan bola.
                “Iya Mas nggak pa-pa,”kataku pelan.
                Setelah itu, kerumunan itu mulai membubarkan diri. Tinggallah aku dan Aka di tempat ini. Aka masih menatapku dengan penuh kekhawatiran. “Kamu mimisan,” Aka mengulang kata-katanya lagi.
                “Iya aku tahu. Cuma dikit kok,” aku mengelap sedikit darah yang keluar dari hidungku.
                “Aku antar kamu ke UKS,” Aka menggandeng tanganku. Tak selangkahpun aku bergerak. Justru yang kulakukan adalah berusaha melepas genggaman Aka. Entah kenapa, sentuhan Aka membuatku merasa tak nyaman. Aku merasa risih dengan keberadaan Aka. Aku merasa seharusnya dia tak ada di sini.
                Aka menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku pahami. Mata Aka seperti tertutup kabut tebal yang tak bisa ditembus. Aku sedikit terkejut melihat ekspresi Aka itu.
                “Oke, lebih baik aku antar kamu pulang,” kata Aka lagi. Dengan tak enak hati, aku mengiyakan kata-kata Aka yang satu ini. Aku tak mau Aka berpikir aku tak menghargai perhatian yang ia berikan untukku.
                Entahlah, aku merasa sesuatu yang buruk menghantuiku di belakang punggungku seperti bayangan yang selalu mengikuti. Aku tak menyukai perasaan seperti ini.
***
                “Vanyaaaaaaaaaaaaaa!!!” seru Arnest ketika kau baru saja memasuki halaman sekolah.
                “Vanya! Katanya kamu nggak dateng ke pensi? Kok sekarang ada di sini?” tanya Arnest penuh rasa heran sekaligus senang.
                “Nggak tahu, berubah pikiran. Jadi pengen dateng aja,” aku tersenyum lebar lalu mengajak Arnest mendekat ke stand minumam yang berada di paling pojok halaman sekolah.
                Pensi sekolah ini cukup ramai. Dengan panggung yang cukup besar berdiri di tengah-tengah halaman sekolah, dan orang-orang yang dengan penuh antusias ikut bernyanyi-nyanyi bersama di dekat panggung. Beberapa band yang mengisi acara pun tak kalah antusias untuk menghibur. Begitu ramai.
                “Oh, kamu ada di sini,” kata sebuah suara yang begitu aku kenal.
                “Aka?” aku tersenyum.
                “Pergi aaaah. Takut ganguuu,” tanpa menunggu aku bicara sepatah kata pun, Arnest segera melesat pergi meninggalkanku bersama Aka. Keadaan ini membuatku merasa sedikit canggung.
                “Mau beli minum apa?” tanya Aka.
                “Hah? Hmm… soda aja deh,” jawabku sekenanya.
                Setelah Aka berhasil membuatku tak mengeluarkan uang untuk membayar soda itu, Aka mengajakku mendekat ke panggung. Sayangnya aku tak menyukai hal-hal sepeti meloncat-loncat sambil bernyanyi seperti yang sedang orang-orang itu lakukakan. Lalu, Aka mengajakku duduk di kursi yang berdiri tak jauh dari tempat kami. Seperti kejadian di lapangan bola beberapa hari yang lalu, Aka kembali menggandeng tanganku dan kuhempaskan begitu saja. Aku merasa tak nyaman dengan sentuhan Aka itu. Lagi-lagi Aka menatapku dengan tatapan yang tak bisa kupahami.
                “Kamu nggak mau aku gandeng?” katanya to the point.
                Aku mematung. “Aku cuma…  nggak suka aja,” kataku jujur.
                “Apa kamu juga nggak suka dengan keberadaanku?”
                Kali ini aku benar-benar terkejut. Setengah mengiyakan kata-kata Aka setengah tak ingin mengakuinya. Akhirnya hanya diam yang kulakukan. Dan Aka pun berlalu begitu saja.
                Aku menatap punggung Aka yang menjauh perlahan lalu tertelan puluhan punggung yang lain. Untuk beberapa detik, aku tak bergerak sama sekali. Lalu aku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Kuhentikan sebuat taksi kosong di depan sekolah lalu meminta sopir itu untuk mengantarku ke sebuah café ice cream di dekat sekolah.
                Di sana, aku memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat aku menyendokkan ice cream itu ke mulutku, seseorang menyapaku sambil tersenyum. Orang itu membuatku hampir mati saking kagetnya. Ice cream yang baru saja akan kumakan itu, tiba-tiba saja ingin segera kubuang.
Aku memejamkan mataku sesaat. Ya Tuhan, apakah yang kulihat ini nyata adanya? Ataukah ini hanyalah sebuah khayalan?
Aku kembali membuka mataku dan masih mendapati orang itu di depan mataku. Lalu aku mulai percaya, bahwa ini nyata. Ini bukan khayalan, apalagi mimpi.
Jantungku yang semula berdenyut normal mulai menggila. Tak kusangka, hanya dengan melihat orang itu, jantungku melonjak liar seperti akan keluar dari rongganya. Aliran rasa senang pun mengaliri tubuhku. Mataku mulai memproduksi cairan hangat yang kemudian menetes membasahi kedua pipiku. Semua ini terjadi begitu saja, tanpa bisa kutahan. Tanpa bisa kucegah.