Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 16 Januari 2012

HELIOTROPISME

cerpen ini untuk temanku yang baru saja ulang tahun. teman yang bahkan tidak aku ketahui namanya. untuk salah satu pencipta vanya-kanata :D

          Ellysa Nareswari. Pemilik nama itu adalah seorang perempuan bertubuh kurus dengan rambut hitam yang lurus, dan kacamata yang bertengger di hidungnya. Perempuan itu akrab dipanggil Lisa. Ya, itulah aku. Lisa.
          Aku adalah manusia, tetapi aku merasa seperti robot. Mungkin aku adalah Terminator buatan orangtuaku yang dirancang khusus untuk melaksanakan semua perintah mereka, kemauan mereka. Tetapi aku yakin, yang ada di balik kulitku ini adalah tulang, bukan besi. Kalau begitu, aku adalah manusia yang memiliki jiwa Terminator. Bahkan aku tak yakin mempunyai jiwa.
          Apakah aku sudah bercerita bahwa aku ini seorang dokter? Ah, sepertinya belum. Ya aku memang seorang dokter. Itu menurut ijazah yang kumiliki. Orang-orang juga berkata bahwa aku ini dokter. Takdir juga berkata begitu. Lalu apa lagi? Entahlah... Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku soal ini.
          Bukannya aku tidak mau menjadi salah satu tangan Tuhan yang mempunyai tugas mulia menyelamatkan nyawa sesama makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja ini terasa begitu... Rumit untuk dijelaskan. Sangat rumit.
          Ketika aku masih kecil, menjadi dokter adalah mimpiku. Karena di mataku saat itu, menjadi dokter itu keren. Jika ada orang yang sakit, dokter memberikan benda kecil yang memang tidak enak rasanya. Tetapi setelah itu, orang yang sakit bisa sembuh kembali. Ajaib! Begitulah pikiran seorang gadis kecil berumur 5 tahun.
           Menjadi dokter itu seperti penyihir. Dan aku, si gadis kecil berumur 5 tahun itu, dengan lantang mengumumkan mimpiku untuk menjadi seorang dokter kepada semua orang. Termasuk kedua orangtuaku yang juga dokter. Dan ternyata, memang itulah yang diinginkan kedua orangtuaku. Hanya dokter. Bukan yang lain.
            Tapi, gadis kecil itu juga tumbuh dan ia mulai mengenal hal-hal baru. Lalu si gadis menemukan dirinya telah jatuh cinta pada hal yang lain. Tidak seajaib menjadi dokter, tetapi mampu mendebarkan jantungnya hingga berjuta kali lipat. Ia telah tenggelam dalam cantiknya warna dan eloknya rupa. Puluhan bahkan ratusan kanvas adalah saksinya. Gadis itu suka melukis. Gadis itu telah berubah haluan. Gadis itu tak lagi ingin menjadi seorang penyihir yang menyembuhkan ciptaan-Nya. Gadis itu ingin menjadi pencipta walaupun hanya rupa. walaupun hanya 2 dimensi. Gadis itu ingin menjadi pelukis hebat suatu hari nanti. Apakah perlu kujelaskan sekali lagi bahwa gadis kecil itu adalah aku?
             Menjadi seorang pelukis memanglah mimpiku. Tetapi pada kenyataanya, di sinilah aku. Duduk di ruangan pribadiku dengan jas putih dan berkutat dengan segala macam obat. Aku telah menjadi penyihir seperti dua orang yang sangat aku hormati dan aku sayangi, orangtuaku. Kelewat sayang sampai aku tak berani menolak permintaan mereka. Lebih tepatnya, perintah mereka.
             Bukannya aku tidak pernah memperjuangkan mimpiku. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah meminta kepada Ayah serta Ibu agar mereka mengerti keinginanku. Dan mereka tidak menyetujuinya dengan alasan yang cukup klise; Pelukis itu kaum buangan yang mengandalkan keberuntungan untuk mendapatkan rupiah. Kemudian, mereka memintaku untuk mengerti itu. Apa yang bisa aku lakukan selain menuruti apa kata mereka? Jika keinginanku dan mimpiku sudah terkubur oleh penolakan orangtuaku, apa lagi yang aku wujudkan selain keinginan mereka? Bukankah seorang anak dituntut untuk mendengarkan kata orangtuanya yang telah membesarkannya?
             Dulu ketika aku masih SMP, guru biologiku mengajariku tentang Iritabilitas. Guruku bercerita tentang Bunga Matahari, bunga favoritku. Guruku berkata, Bunga Matahari itu unik. Dia selalu mengikuti arah matahari. Di pagi hari Bunga Matahari menghadap ke timur, siang hari mendongak ke atas, dan ketika matahari hendak ke belahan bumi bagian lain, ia menghadap ke barat. Itulah yang disebut Heliotropisme.
             Aku merasa bahwa hidupku seperti bunga Matahari. Hanya menjadi pengikut. Membiarkan aku menjadi objek dalam kehidupanku sendiri dan bukannya menjadi subjek. Mengikuti setiap keinginan orangtuaku dan menomorseribukan egoku. Memang, itu hal yang baik, tetapi aku merasa... Bosan. Bukan! Lelah. Mungkin kata lelah itu yang tepat. Kadang aku heran dengan bunga yang bermahkotakan kuning terang itu. Tidakkah ia merasa lelah dengan Heliotropismenya?
             Kadang aku ingin kembali ke masa remajaku dan menjadi egois di hadapan kedua orangtuaku. Membangkang untuk menjadi pelukis seperti mimpi tertinggiku. Namun, bagaimanapun caranya, itu tetap tidak akan terjadi. Ah, seandainya aku mempunyai kalung waktu milik Hermione. Mungkin sekarang aku tidak akan berada di tempat ini. Mungkin aku akan duduk di depan sebuah kanvas dengan pallet dan kuas di tanganku. Untuk kesekian kalinya, kukatakan pada diriku sendiri bahwa itu hanya mimpi kosong. Mimpi yang akhir-akhir ini menghantuiku di saat mood-ku buruk. Dan itu terjadi setiap hari. Setiap waktu.
              Hidupku ini sangat membosankan. Bahkan tak layak disebut hidup. Melakukan sesuatu tanpa niat dan semangat itu memang berat. Tetapi hatiku selalu berkata, "Jalani saja, Lisa. Jalani saja." Hanya kalimat itu yang selalu menggerakkan hatiku untuk sabar menerima takdirku.
              Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka saat aku melepas kacamataku. Di ambang pintu berdiri seorang laki-laki yang memandangku dengan sedikit kaget.
              "Oh maaf. Tadi aku mengetuk pintu tapi tidak ada yang menyahut. Jadi aku masuk saja." ia berjalan mendekat.
              Rupanya lamunanku telah melumpuhkan fungsi kedua telingaku.
              "Maaf, aku tidak mendengarnya tadi." aku memaksakan tersenyum.
              Laki-laki itu duduk. "Ada apa lagi, Lisa?" tanyanya. Ia berhasil membaca raut wajahku.
              "Tidak apa." aku berbohong.
              "Hal itu lagi?" laki-laki itu belum menyerah.
           Aku mendongak ke arahnya. Ia menatapku lekat-lekat. Membuatku sedikit salah tingkah. "Iya," jawabku. Aku tidak pernah berhasil berbohong di depannya. Dia mengetahui semuanya tentangku. Percayalah, kadang itu menggangguku.
             "Mungkin kamu harus mengubah keadaanmu." katanya lagi.
             "Terlambat, Adit."
           "Bukan itu maksudku, Lisa. Jika kamu tidak bisa mengubah yang di luar, ubahlah yang ada di dalam." laki-laki di hadapanku ini masih menatapku.
               Aku mengernyitkan kening, tanda tak mengerti.
               "Ciptakanlah atmosfermu sendiri. Buatlah mood-mu sendiri. lakukanlah sesuatu yang membuatmu bisa merasakan hidup walaupun dengan keadaan yang sekarang. Jangan menunggu lingkungan yang menciptakan kenyamananmu. ciptakanlah sendiri. Kamu tidak bisa terus seperti ini."
           Aku merasakan gejolak yang aneh dalam tubuhku setelah mendengar ucapannya.Aku marah karenanya. Dia tidak tahu rasanya menjadi aku! Dia tidak mengerti!  Tapi apa yang ia katakan memang benar. Sedetik kemudian aku merasa malu dengan amarahku. Begitu kekanak-kanakan.
                "Bukannya aku ikut campur." katanya cepat-cepat. "Aku hanya memberi saran." Adit tersenyum.
             "Iya aku tahu." Aku mulai mencerna apa yang Adit katakan tadi. Tentang menciptakan suasana baru, agar aku bisa merasakan hidup yang sebenarnya. Tapi bagaimana?
               Hari-hariku hanya kuisi dengan berbagai macam keluhan dan penyesalan.
               Tunggu! Itu dia!
           Mengeluh dan menyesal. Mungkin kedua kata itu yang menggelapkan mataku tentang dokter. Tentang hidupku. Lalu apa yang harus aku lakukakan? Jawabannya, berhenti melakukan 2 hal itu. Ya! Berhenti!
             "Hanya kamu yang bisa mengubah, karena kamu yang merasakannya, Lisa." Adit kembali angkat bicara.
        Entah, hatiku seperti disinari cahaya matahari di pagi hari. Hangat rasanya. "Kamu benar." aku tersenyum. Senyum yang benar-benar dari hati. Sebagian bebanku terangkat hari ini berkat l;aki-laki yang duduk kurang dari 1 meter di depanku ini.
          Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Adit datang menemuiku pasti ada tujuannya. "Oh iya, kenapa kamu datang kemari?" sepertinya, kata-kataku membuat Adit terkejut.
             "Ah, ya. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam, bisakah?"
             "Ya, bisa. Mau di luar?" tanyaku sambil memakai kacamata berframe coklat tuaku.
             "I...iya. Sekarang bisa?"
             "Yuk!" aku melepas jas putihku lalu mengambil tas Gucci-ku. aku berdiri. Adit juga ikut berdiri.
             Aku mendahului Adit membuka pintu. Lalu aku berbalik. "Makasih ya, Dit" senyumku merekah.
             Adit hanya tersenyum. Kami pun menuju tempat parkir. Adit menggamit tanganku. Dalam hati, aku bersyukur telah mengenalnya.
             Aku ingat akan suatu cerita. Ada orang yang terapung di laut sendirian. Orang itu terus berdoa kepada Tuhan agar ia diselamatkan. Lalu datanglah seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Nelayan itu hendak menolongnya, tetapi ia menolak bantuan nelayan itu. "Aku akan ditolong oleh Tuhan!" katanya kepada si nelayan. si nelayan pun pulang. Beberapa hari kemudian, orang itu meninggal. Lalu ia bertemu dengan Tuhan dan ia bertanya, "Mengapa engkau tak selamatkan aku, Tuhan?" Tuhan menjawab, "Aku telah mengirim seorang nelayan untuk menolongmu."
             Mungkin Adit adalah kiriman Tuhan untuk mencerahkan pandanganku tentang hidupku ini. Dan aku tidak ingin seperti orang bodoh yang menolak bantuan si nelayan dalam cerita itu.