Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Rabu, 30 Mei 2012

TSMJ #2 (By Kanata)


 MASA LALU

Oke, aku nggak tau kenapa kamu marah sama aku hingga nggak mau bales satupun email dariku.
Alasan aku ngirim email ini cuman mau ngasih tau kalo tanggal 15 Mei nanti aku pulang ke Indonesia. Bisa kan kita ketemuan di bandara?

Isi pesan dari Vanya sudah kuhapal dengan baik dalam kepala. Butuh waktu dua minggu bagiku untuk mengambil keputusan. Apakah aku perlu datang memenuhi permintaanya atau tidak? Vanya Diartha Nirwana, sebuah nama dari masa yang sangat silam.
            “Hi, my name is Vanya, nice to meet you. I’m Indonesian. Just like you.
            “Aku masih ingat kok sama Bahasa Indonesia.” Jawabku pendek tanpa benar-benar memerhatikannya. Karena tak ingin ketinggalan upacara penyambutan siswa baru aku berjalan agak cepat, meninggalkan Vanya.
            Segera dia berjalan menjajariku, “is it your habbit?
            What habbit?” Aku melirik sekilas. Rambut sebahunya yang dihiasi jepit rambut kupu-kupu sedikit berkibar oleh angin yang berhembus di lorong menuju Gymnasium.
            “Dingin... like an iceberg.
            Aku menaikan sebelah alis seperti kebiasaanku jika menemukan hal yang kurasa menggelikan. Aku makin mempercepat langkah. Pasti dia salah satu dari tiga siswa pertukaran pelajar tahun ini.
            Seperti biasa upacara penyambutan ini didominasi oleh pidato panjang lebar kepala sekolah. Kali ini beliau mengangkat tema tentang inagurasi kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi kebudayaan internasional. Beliau berharap di sekolah ini setiap siswa dari seluruh penjuru dunia bisa saling mengenal, memahami, untuk kemudian menghargai teman-temannya dari negeri yang berbeda.
            Melawan keinginanku untuk sungguh-sungguh mengikuti seluruh rangkaian acara, beberapa kali kepalaku menoleh ke arah kanan tempat siswa kelas satu duduk. Entah hanya kebetulan atau tidak, setiap kali aku menoleh pasti saja Vanya sedang menatap diriku sambil tak lupa tersenyum manis. Memang, harus kuakui senyumannya manis.
            Cepat-cepat kutepis bayangan-bayangan imajiner tentang dirinya. Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan debaran jantung. “Kanata Anggara Wiguna! Tugas kamu belajar, belajar adalah tujuan kamu di sini. Lupakan hal lain. Teruslah belajar!” berkali-kali kalimat itu aku rapalkan hingga meresap.
            Ternyata mantera itu hanya tahan beberapa minggu karena tanpa kuduga bahwa Vanya merupakan tipe gadis yang sangat gigih. Semakin keras usahaku untuk menjauhinya. Semakin keras pula perjuangannya dalam mendekatiku.
            “Karena kita teman satu negara.” Ucapnya ketika kutanya alasannya ingin dekat denganku.
            Oh, ya? Kalau begitu kenapa kamu nggak milih untuk dekat dengan dua orang teman seangkatanmu yang sama-sama dari Indonesia? Aku hanya bisa mengungkan pertanyaan itu dalam hati.
            Bukannya aku keberatan menghabiskan waktuku bersamanya. Terus terang Vanya merupaka teman yang sangat menyenangkan. Dengan kepribadiannya yang ceria (meski kalau ngambek bisa mengerikan), mandiri (meski kadang manjannya melebihi anak umur 4 tahun), cerdas (soal itu harus aku akui). Dia bisa membuat kata homesick menjadi tak bermakna sama sekali.
            Kami memiliki satu tempat favorit. Hampir setiap akhir pekan kami naik bus menuju stasiun King Cross. Ada satu tembok yang ditempeli plakat bernomor aneh, Platform 9 ¾. Sebagai manusia biasa tentu saja aku dan Vanya tak bisa menembusnya. Sering kami berhayal bahwa di balik tembok tersebut benar-benar sedang berlangsung kegiatan-kegiatan seperti layaknya stasiun pada umumnya.
            Dua tahun sama-sama bersekolah di London. Puluhan bulan kebersamaan. Ratusan saat-saat menyenangkan. Ribuan memori tak terlupakan yang tercipta bersama Vanya Diartha Nirwana...
            Bus baru hendak memasuki tol menuju Bandung ketika  ponselku bergetar. Sederet nomor tertera di layar ponselku. Aku bisa menduga siapa pemiliknya. Terlalu lelah untuk menjawab, kubiarkan saja terus bergetar. Sudah cukup lama aku tak bicara dengannya. Sesungguhnya cukup konyol juga kemarin aku memutuskan untuk menemuinya di bandara.
            Namun hanya berbekal tanggal, tanpa waktu, tanpa nomor penerbangan, bahkan tanpa nomor ponsel yang bisa dihubungi, yang terjadi adalah serangkaian hal bodoh. Hampir dua hari aku berkeliaran di bandara Soekarno-Hatta. Membawa sebuah karton bertuliskan nama Vanya. Berdiri dekat pintu kedatangan penumpang setiap kali pesawat dari Inggris mendarat. Berharap bisa membuat kejutan pada Vanya.
            Pada akhirnya aku yang mendapat kejutan. Selepas pesawat tadi pagi mendarat tanpa Vanya di antara deretan penumpang kuputuskan untuk pulang. Tak ada artinya lagi aku menunggu. Memang sebaiknya aku tak bertemu lagi dengan dirinya.
            Tak berapa lama beselang, ponselku kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan masuk. Benar dugaanku, ini memang nomor miliknya.
            Hai, aku sudah pulang. Aku di Jakarta 
            Aku menghela napas. Mungkin takdir memang tak berpihak pada pertemuan. Kepalaku menyandar pada kaca jendela. Memandangi jalan tol tanpa benar-benar fokus. Aku menggenggam sebuah bungkusan kecil yang rencananya akan kuberikan pada Vanya. Biarlah Dewi, adikku, yang akan menjadi pengganti pemilik boneka sapi di dalam bungkusan ini.

            Rasanya yang sedang disampaikan oleh Teh Mia barusan hanya untuk mempermainkanku. Baru saja beberapa hari yang lalu aku bercakap-cakap dengan Apa- ayahku -,  beliau baik-baik saja. Dan kini kakakku satu-satunya itu mengabarkan bahwa Apa meninggal karena serangan jantung. Aku tak ingin memercayainya sebagai sebuah kenyataan.
            “Jadi maksudnya Aan harus pulang sekarang?” Ucapku.
            “Kayaknya nggak mungkin kamu pulang sekarang. Perjalanan Inggris-Indonesia kan nggak mungkin ditempuh dalam beberapa jam.” Jawab Teh Mia. “Lagian kan kamu masih bulan depan ujian sekolahnya.”
            “Nggak apa-apa! Kayaknya minta dispensasi juga bakalan diijinin buat ikut ujiannya nyusul ato gimana.” Aku bersikeras untuk pulang
            “Emang kamu punya duit buat tiketnya? Nggak kan? Jadi tunggu aja disana sementara Teteh mau ngobrol dulu sama Pak Wahyu soal nasib kamu.”
            Memang benar aku tak mungkin bisa seketika itu juga pulang ke Indonesia. Selama aku bersekolah di sini Pak Wahyu, bos Apa, yang menyokong segala kebutuhanku. Keluarnggaku hanya tergolong “berkecukupan.” Jelas menyekolahkan anaknya keluar negeri tidak termasuk dalam daftar. Namun atas kemurahan hati Pak Wahyu inilah aku bisa berada di sekolah hebat seperti tempatku sekarang. “Ini hanya sebagian kecil dari penghargaan saya terhadap karyawan teladan perusahaan yang saya miliki.” Ucapnya pada malam keberangkatanku ke London. Apa menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
            London School of Future Education memang memberi kesempatan pada siswa-siswi terbaik usia 12-18 tahun dari seluruh penjuru dunia untuk mengenyam pendidikan terbaik yang ditawarkan sekolah tersebut secara gratis. Namun beasiswa yang mereka tawarkan tidak termasuk biaya hidup sehari-hari. Jika bukan berkat Pak Wahyu tentunya tawaran sekolah tersebut padaku hanya akan menjadi angan-angan.
            Kini Apa sudah tak ada. Aku merasa ikatan aku dengan pak wahyu sudah tidak ada pula. Apakah aku masih sanggup untuk menerima uluran tangan pak wahyu? Aku cukup tahu diri untuk tak meminta melebihi apa yang seharusnya aku dapat.
            Tepat pada hari terakhir ujian aku mengepak barang. Aku sangat benci kata perpisahan. Maka dari itu hanya Hyungjun, teman sekamarku, yang kuberitahu perihal kepulanganku. Sebelumnya aku lama berdiri di depan pintu kamar Vanya. Bertanya apakah aku seharusnya memberi dia alasan tentang kepulanganku atau tidak.
            Namun akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan gadis yang kusebut sahabat itu tanpa kata. Entah dia menganggapku apa. Semua tak lagi penting.

            Bus yang aku tumpangi sudah memasuki wilayah Bandung saat kuputuskan untuk menjawab pesannya:  Baguslah.
            Hanya itu yang bisa kuungkapkan padanya. Beragam emosi masih berkecamuk. Belum sepuluh menit berselang SMS kedua darinya tiba. Dia hanya menanyakan kabar. Seakan aku ini memang tidak terlalu istimewa.
            Ya... bagaimanapun kami hanya “rekan senegara”, hanya sahabat, tak pernah lebih. Segera kujawab bahwa aku baik-baik saja.
            Pada saat ketiga kalinya Vanya mengirim SMS hatiku langsung tak karuan:
I hope I can meet you soon.
Keningku berkerut. Maksud dia apa? Apakah maksudnya dia hendak menyusulku ke Bandung?
Tapi untuk apa? bukankah kami hanya sahabat?










By: Tangguh Alamsyah

Rabu, 16 Mei 2012

TSMJ #1 (By Vanya)

             PULANG?

Pagi ini Jakarta begitu cerah tetapi juga panas. Kuhirup udara Jakarta dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Lega rasanya tiba di kota kelahiranku ini. Walaupun sebenarnya separuh jiwaku menolak keberadaanku di sini. Akan tetapi, ini sudah menjadi keputusanku sejak 6 bulan yang lalu. Tekadku sudah kuat untuk kembali ke tanah air Indonesiaku ini. Aku pulang untuk mencari sesuatu yang hilang 366 hari yang lalu. Sesuatu yang telah menghilang dari hidupku. Hilang dari penglihatanku.
            Bandara Soekarno-Hatta ini sangat ramai, seperti biasa. Aku rasa lebih ramai karena ini bulan Juni. Banyak turis asing yang datang untuk liburan musim panas. Mungkin bagi mereka, negara tropis seperti Indonesia adalah tempat yang paling cocok untuk membakar kulit mereka. Kadang aku heran mengapa orang-orang subtropis itu begitu tergila-gila dengan tan-skin. Bahkan sampai ke luar negeri hanya demi hal itu. Ah, bukan urusanku!
            Aku mulai menggerakkan leherku ke bawah lalu ke atas. Leher bagian belakangku rasanya mau patah dan pantatku rasanya seperti menghilang. Duduk di pesawat selama duabelas jam membuatku gila! Kalau saja ada alat yang lebih cepat dari pesawat, aku tidak perlu mengorbankan badanku seperti ini.
            Aku menoleh ke belakang untuk mencari sosok mamaku tetapi tidak ada tanda-tanda Mama di sana. Ketika aku akan menyusul Mama ke tempat pengambilan barang, aku sekilas menangkap sosok yang begitu kukenal. Orang itu berada di dekat kerumunan turis asing yang berseragam biru tua. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju kerumunan itu. Aku tak mau melewatkannya. Tetapi, apakah orang itu benar-benar dia!? Otakku berpikir cepat. Aku berlari semakin kencang dan mulai berhenti meminta maaf pada orang-orang yang kutabrak. Dan sampailah aku di antara kerumunan turis asing ini. Aku mencari orang yang kulihat tadi namun sia-sia. Orang itu menghilang.
            Aku mulai berpikir bahwa apa yang aku lihat tadi hanyalah bayangan. Ilusi mata yang tercipta karena begitu kuat hasratku ingin bertemu dengannya. Yang kulihat tadi hanya wujud yang fana. Tak nyata. Terpakasa kau menelan kekecewaanku bulat-bulat.
            Tiba-tiba saja aku ingin menertawakan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku berpikir orang itu datang ke Bandara ini untuk menemuiku? Orang itu tidak mungkin datang dan seharusnya aku tahu itu. betapa bodohnya aku mengejar hal yang tak nyata. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke tempatku yang tadi.
            “Vanya! I’m looking for you, Dear!” wanita yang kupanggil mama ini memanggilku. “Ayo, sayang. Barang-barangnya udah di taksi.”
            “Papa nggak jemput kita, Ma?” tanyaku pelan.
            “Nggak,” jawab mama dingin. “Ayo, Sayang!”
            Mama dan aku berjalan ke luar bandara. Membuka pintu taksi bercat silver lalu masuk. Taksi pun mulai meluncur.
            “Ini ke rumah Papa kan, Ma?” aku memastikan taksi ini menuju ke rumah Papa dan bukannya ke hotel. Kemarin aku dan Mama berdebat soal ini.
            “Everything you want, Dear,” Mama tersenyum paksa.
            “Vanya, apa kamu mau jalan-jalan dulu? Mama mau ke salon. Rasanya su—“
            “Mama,” aku memotong kata-kata mama. “I’m so weary.” Kataku dengan nada memohon.
            “Ok, Dear,”
            Rumah papa tidak terlalu jauh dari bandara. Cukup 25 menit untuk sampai ke sana. Itu kalau tidak macet. Oke, aku tahu ini Jakarta dan tentu saja aku akan terjebak dalam kemacetan seperti sekarang. Aku benci macet seperti ini. Klakson di mana-mana. Ah, lagipula orang waras macam mana yang tidak membenci kemacetan?!
            Aku berusaha agar tidak ikut larut dalam kepenatan Jakarta ini. Kulihat gedung-gedung tinggi yang berlomba-lomba menyentuh langit. Gedung-gedung itu berdiri dengan angkuh menatap kendaraan-kendaraan yang terjebak dalam kemacetan ini. Awan putih yang bergerak di langit seolah mengejek kami yang hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Awan putih itu menawarkan perjalanan yang lebih cepat. Tetapi aku tahu, itu hanya tawaran penuh kemustahilan. Sedetik kemudian aku berharap mempunyai sayap yang bisa membawaku terbang dan meninggalkan kemacetan ini. Aku akan terbang dan mencari milikku yang hilang. Sebenarnya aku tak tahu apakah itu benar-benar milikku.
            Hari semakin siang. Benda langit yang bercahaya yang disebut matahari itu mulai merangkak naik. Ia ingin menunjukkan pada gedung-gedung ini bahwa dialah yang paling tinggi. Matahari itu mulai mengeluarkan cambuknya yang lebih panas lagi untuk memanggang makhluk-makhluk di bumi ini. Sungguh, aku ingin cepat-cepat sampai di rumah dan tidak harus ikut dalam pesta panas ini.
            Kami sampai di rumah dua kali lebih lama dari waktu normal. Ini semua gara-gara macet sialan tadi! Tapi, sudahlah.
            “Mbak, tolong angkat kopor-kopor ini ke kamar ya,” Mama meminta tolong pada Mbok Atik dan Mbok Wati kemudian masuk ke taksi lagi.
            “Loh, Mama mau ke mana?” tanyaku.
            “Ke salon. Mama males cepet-cepet ketemu papa kamu. Bye sayang!” taksi itu meluncur pelan.
            Dan, di sinilah aku berada. Di rumah Papa yang mempunyai halaman luas dengan ayunan di antara bunga-bunga mawar. Aku menghembuskan napas berat lalu kembali meyakinkan diriku bahwa inilah yang harus aku lakukan. Bagiku, yang hilang itu penting dan harus kembali kepadaku.
            Rumah ini tak jauh berbeda seperti saat aku meninggalkannya. Bahkan kamarku tidak ada yang berubah sama sekali. Mbok Atik memang paling tahu kalau aku tak suka kamarku diubah-ubah. Warna ungu kesukaanku mendominasi kamar ini. Aku selalu suka dengan kamar ini. Dan hal pertama yang ingin aku lakukan setelah melihat kamar unguku ini adalah mandi. Mungkin setelah mandi, mood-ku bisa lebih baik dari sekarang.
            Air memang membuatku lebih segar. Lelahku sedikit terngkat. Tetapi hatiku tak kunjung membaik. Aku terus memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya di sini. Memikirkan hari-hariku ke depan membuatku merinding. Aku tahu, bulan Juni ini akan sangat membosankan. Bahkan aku tak bisa membayangkan hal paling buruk yang akan terjadi padaku. Aku hanya ingin cepat-cepat ke sekolah. Sekolah di Bandung tentunya. Dengan begitu, yang hilang akan lebih mudah dicari.
            Kubuka tirai jendelaku. Cahaya matahari merambat masuk ke kamarku. Menyulap kamarku menjadi lebih terang. Kulihat kopor dan tasku sudah ada di lantai. Sepertinya Mbok Atik atau Mbok Wati meletakkan barang-barangku ketika aku mandi.
            Kuambil handphone di dalam tasku. Aku berniat untuk menghubungi dia. Semoga saja kali ini ada respon darinya. Sudah setengah tahun ini dia tak menggubrisku sedikitpun. Kutekan tombol hijau di hp ku kemudian nada sambung terdengar. Seseorang di seberang telepon sana tidak mengangkat panggilanku.
            Aku memilih untuk mengiriminya pesan saja. Seandainya ia tidak membalas aku tidak peduli. Aku hanya ingin memberitahu dia bahwa aku berada di negara yang sama dengannya. Bahwa aku tak jauh lagi dengannya.
                        To: Nata
                        Hai, aku sudah pulang. Aku di Jakarta
            Lima menit, sepuluh menit, limabelas menit. Tidak ada balasan. Oke, aku menyerah. Kulempar hp-ku ke tempat tidurku dengan frustasi. Ini semua membuatku lelah dan bingung. Ada apa dengan orang itu? Apa dia marah padaku? Memangnya apa yang telah aku perbuat? Seharusnya aku yang marah. Seenaknya saja pulang ke Indonesia tanpa memberitahu aku. Tanpa berpamitan kepadaku.
            “Mbak Vanya, makan siang, Mbak!” Mbok Atik berteriak dari balik pintu kamarku.
            “Iya,” aku membukakan pintu.
            Mbok Atik meletakkan sepiring nasi dengan lauknya dan segelas air putih di meja. Sebenarnya aku tak biasa makan nasi sebanyak itu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus menghargainya.
            Mbok Atik tersenyum kepadaku. “Bagaimana kabarnya, Mbak Vanya?” tanyanya kepadaku dengan logat jawa yang kental. Maklum, Mbok Atik ini asli Magelang.
            “Baik kok, Mbok. Mbok Atik juga baik kan?”
            “Oh iya dong. Sehat dan bugar ini. Haha…” Mbok Atik tertawa. “Saya ke dapur dulu ya, Mbak Vanya,”
            “Sip,” Mbok Atik keluar.
            Makanan ini membuatku ingin mutah. Bukannya aku tidak suka atau tidak terbiasa makan nasi sebanyak ini, tapi karena aku tidak mempunyai nafsu makan. Tidak ada satu pun jenis makanan yang ingin kumasukkan dalam lambungku sekarang. Tetapi tubuhku menuntutku untuk memberinya nutrisi. Jadi, aku putuskan untuk makan. Setidaknya aku mempunyai sedikit tenaga untuk saat ini.
            Sesendok, dua sendok, tiga sendok, dan seterusnya. Ketika aku baru berhasil menghabiskan seperempat dari makanan ini, aku benar-benar ingin mutah. Lalu aku berhenti memasukkan makanan ini ke dalam perutku. Perutku sudah memberontak.
            Aku menghabiskan setengah gelas air putih di mejaku. Setelah itu aku memutuskan untuk turun dan menuju ke halaman depan. Ayunan adalah tempat yang kupilih untuk duduk. Mungkin di sini lebih baik, pikirku.
            Aku memejamkan mataku dan berusaha membuat hatiku lebih nyaman. Aku berusaha mengenyahkan bayangannya dari otakku. Berusaha berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Berusaha berpikir bahwa tidak ada yang terjadi padaku. Berusaha , berusaha, dan berusaha. Ini sia-sia, kataku dalam hati. Ini memang tak berguna.
            Aku membuka mataku perlahan. Tepat di depanku, duduklah seorang cewek memakai celana jeans panjang dengan baju biru tanpa lengan. Rambut panjangnya tergerai begitu saja. Poninya yang lurus hampir menutupi mata kirinya. Mata yang sama seperti mataku. wajahnya cantiknya mendekati wajahku. Memperhatikan aku dari bawah sampai atas. Kemudian ia memandangiku lekat-lekat. Pandangannya jatuh tepat di mataku. Membuatku sedikit risih. Seperti melihat orang asing aja!
            “Vanya!” katanya dengan suara serak-serak basah.
            “Iiih… apaan sih, Kak Vio! Adiknya dateng bukannya tanya kabar atau apa gitu. Ini malah ngliatin aku kaya alien!”
            “Lo kenapa? Gue dateng aja lo sampe nggak ngerasa?” katanya tanpa menggubris kata-kataku. “kecil-kecil banyak masalah sih.”
            “Tuh kan! Sok tahu lagi!” Aku berdiri.
            “Mau ke mana lo?” Kak Vio ikut berdiri dan langsung memelukku erat sampai rasanya tulang rusukku mau patah.
            “Kenapa lo baru dateng sekarang sih? Kak Vio kangen tahu! Nggak ada elo yang bawel di sini, Vanya,” aku tahu kakakku yang satu ini menangis. Aku jadi tak tega melepaskan pelukannya.
            “Kapan lo pulang? Kenapa nggak ngasih kabar dulu?” Tanyanya setelah melepaskan pelukannya dariku.
            “Dua hari yang lalu Mama ngasih tahu Papa kok. Apa Papa nggak bilang ke Kak Vio?”
            “Nggak sih, tapi nggak pa-pa. yang penting lo udah pulang. Ke kamar gue aja yuk!” kami pun masuk ke kamar Kak Vio.
        Kamar kak Vio 180 derajat berbeda dari tiga tahun yang lalu ketika aku meninggalkan rumah ini. Dulu kamarnya selalu berantakkan. Bantal dilempar ke mana-mana. Dindingnya dipenuhi dengan poster band-band rock luar negeri. Sampah-sampah plastik makanan-makanan ringan dan kaleng softdrink selalu ada di lantai. Sekarang, bahkan aku berani bertaruh tidak ada debu samasekali di lantainya. Dindingnya juga bersih dari poster-poster menakutkan itu. Foto dan lukisanlah yang menggantikan. Rak-rak buku yang rapi dan astaga! Ada meja rias yang penuh dengan parfum, lotion, serta alat-alat kecantikan lainnya. Ini semua membuatku pingsan. Bagaimana bisa ada meja rias di kamar kakakku yang seperti perempuan jadi-jadian ini?
            “Kak Vio apa ini?” aku menunjuk meja rias itu dengan mata membelalak karena masih syok.
            “Ya meja rias lah! Masa gerobak!” Jawabnya dengan sedikit jengkel. “emang kenapa? Kaget liat kamar gue berubah?” tebaknya dengan jitu.
            “Bukan Cuma kamarnya tapi juga Kak Vionya!” aku memandang kakakku yang menjadi wanita sesungguhnya ini. “Dulu, Kak Vio kan paling anti sama yang kaya gituan. Mau di semprot parfum aja udah kabur duluan. Tapi sekarang! Hahaha…” aku tertawa terbahak-bahak.
            Tunggu! Hari ini adalah hari pertama aku tertawa lepas selama setahun ini. Gara-gara orang itu, aku hampir saja lupa bagaimana cara tertawa.
            “Hey jangan kayak gitu!” tegurnya. “Setiap orang bisa berubah tergantung bagaimana keadaan membentuknya, tahu!” Kak Vio meletakkan tasnya di meja kemudian duduk di tepi tempat tidurnya, tepat di sebelahku.
            “Hahaha… iya deh aku nggak ketawa lagi,”
            “Mama mana, Nya? Mama ikut pulang juga kan?”
            “Tadi mama langsung ke salon,”jawabku. “oh iya, mana Kak Revo? Belum pulang?”
            “Kak Revo kuliah di Bandung. Lo nggak tahu?” katanya sambil mengikat rambut panjang miliknya.
            Nama kota itu membuatku sedikit terkejut. Mengingatkan aku alasan mengapa aku berada di sini. Tawaku benar-benar sudah menguap sekarang. Bahkan aku tak percaya beberapa detik yang lalu aku bisa tertawa.
            “Aduh, Vanya. Kenapa sih lo? Ababil banget! Tadi ketawa, sekarang masang muka kaya gitu,” Kak Vio memutar kedua bola matanya.
            “Siapa yang ababil? Sok tahu!” aku memukul kakakku dengan bantal. “Vanya mau ke kamar dulu ya Kak. Mau istirahat. Pegel nih!”
            “Iya deh,” Kak Vio merebahkan tubuhnya ke kasur.
            Kubuka pintu kamarku. Sepertinya Mbak Atik sudah membereskan kamarku. Piring dan gelas di meja sudah menghilang. Koporku sudah di lemari, hp-ku sudah di meja. Semuanya sudah rapi. Sebenarnya aku lebih suka membereskan kamarku sendiri.
            Hp-ku berdering ketika aku akan merebahkan badanku di kasur. Ada sebuah pesan masuk. Kemudian aku ingat beberapa jam yang lalu aku mengirim pesan pada seseorang yang membuatku jengkel setengah mati. Sepertinya ini pesan dari orang yang menyebalkan itu.
            Tebakanku tepat. Senyumku mengembang tanpa perintah dari otakku.
                        Sender: Nata
                        Baguslah.
            Itu saja?! Hanya satu kata?!  Hanya 8 huruf?! Baguslah! Apa-apaan orang itu! Rasanya ingin kumakan hp-ku ini.
                        To: Nata
                        Bagaimana kabarmu, Nat?
            Sepuluh menit kemudian, orang itu membalas.
                        Sender: Nata
                        Baik.
            Awas kamu, Nat! kalau kita bertemu akan kutelan mentah-mentah! Aku mulai memijat hp-ku untuk membalas pesannya. Awalnya aku ingin memakinya dengan sumpah serapah. Tetapi kuhapus.
                        To: Nata
                        I hope I can meet you soon.
            Tigapuluh menit setelah kukirim pesan itu, belum juga ada balasan. Sampai akhirnya aku jatuh dalam tidurku. Dalam tidurku aku bermimpi berlari-lari tanpa alasan dan tujuan. Aku tak tahu mengapa aku berlari. Aku hanya merasa aku harus berlari.
            Aku terbangun dari tidurku ketika jam kamarku menunjukkan pukul 5 sore tepat. Rambut lebatku berantakkan, mencuat ke mana-mana. Pelipis dan leherku berkeringat dingin. Kemudian aku ingat sesuatu.
            Dengan sedikit terkejut aku menyambar hp-ku. Ternyata memang tidak ada balasan dari orang itu. Dia mungkin memang tidak bermaksud untuk membalas pesanku. Oh tidak! Dia pasti tidak tahu ada pesan masuk atau hp-nya sedang mati. aku terus memikirkan alasan-alasan positif lainnya. Kemudian Kak Vio masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu.
            “Oh, udah bangun. Mandi gih! Keringetan gitu,” katanya sambil memencet hidungnya.
            “Iya iya. Aku mau mandi. Keluar deh, Kak!” usirku.
            “Lo kan mandi di kamar mandi bukan di kasur.” Tiba-tiba Kak Vio merebut hp dari tanganku. Sifat usilnya kambuh!
            “KAK VIO!!! KEMBALIIN HP-KU!!!” spontan aku berterian dan berusaha merebut hp-ku kembali. Tetapi terlambat. Kak Vio sudah membaca pesanku.
            “Nata? Siapa Nata??? Hayyooo…” Kak Vio menyentil hidungku. Aku benci Kak Vio yang selalu ingin tahu tentang orang lain.
            “Nata itu temenku, Kak! Lagian cewek kok,” aku berbohong.
            “Yaaah, gue kira bencong! Sana mandi!” Kak Vio melempar hp-ku ke tempat tidurku begitu saja lalu keluar dari kamarku sambil tertawa girang.
            “Dasar edan!” aku mulai memakinya. Lima menit kemudian aku berkutat dengan air, sabun, dan alat mandi lainnya.
        Aku turun ke bawah untuk makan malam. Papa memelukku erat setelah aku menuruni anak tangga yang terakhir. Papa menanyaiku kabar sampai menanyaiku tentang sekolahku di London. Kalau saja makan malam belum siap, aku yakin pasti Papa akan menanyaiku lebih banyak lagi. Dan mungkin Papa akan berpikir untuk menjadi wartawan saja.
          Makan malam yang sangat dingin. Papa dan Mama hanya diam sambil berkonsentrasi pada makan malamnya masing-masing. Kak Vio juga ikutan diam dan sesekali melempar pandangannya ke arahku. Aku yakin Kak Vio sama herannya denganku mengapa dua orang ini sama sekali tidak berbicara walau hanya untuk saling sapa. Hanya obrolan dari sendok-garpu dengan piring yang memenuhi ruangan ini. Terjebak dalam situasi seperti ini membuatku berpikir seribu kali sebelum bertindak. Salah sedikit, suasana akan menjadi jauh lebih dingin. Kulkasku bahkan kalah dingin. Sungguh menyebalkan.
            “we need to talk, Vanya,” kata Papa setelah menyelesaikan makan malamnya.
            “Besok saja, Pa. Vanya capek,” aku berdiri hendak ke kamarku.
            “oke,” Papa menyetujui.
            “Nggak,” kata Mama tegas. “I have to come back to London. Immediately,” lanjutnya dengan nada dingin.
            “she’s tired, Nia” Papa membelaku.
          “Terserah, tapi besok malam aku akan pulang ke London,” Mama melenggang ke dapur.
            “Pulang?! Memangnya rumahmu di mana?” Papa mulai meninggikan suara. Aku dan Kak Vio memutar bola mata lalu pergi ke kamar masing-masing.
            Papa dan mama rebut itu sudah biasa. Hanya karena masalah yang sepele mereka bisa perang. Di tangan mereka, masalah yang sekecil upil semut bisa jadi sebesar gajah bengkak. Papa dan mama memang ahli pembesar masalah. Walaupun begitu, kalimat cerai tidak pernah meluncur dari mulut mereka sebesar apa pun keributan, mereka tetap mengeluarkan satu kata itu. Bahkan mereka tetap tidur sekamar walaupun baru saja bertengkar.
            Papa dan Mama itu orang tua yang unik. Sejak aku kecil mereka sudah seperti itu. Lebih sering bertengkar daripada mesranya. Aku dan kakak-kakakku sudah memaklumi kedua orang tua kami yang sedikit kekanak-kanakan itu. Walaupun begitu, kami tetap menyayangi mereka berdua.
            Sesampainya aku di kamar, Papa dan Mama masih melanjutkan musyawarah-suara-tinggi mereka. Beberapa menit kemudian rumah ini kembali hening setelah kata terakhir dari Mama yang tak begitu jelas kudengar.
            Suara langkah kaki ditangkap oleh daun telingaku. Aku segera meloncat ke tempat tidurku dan berpura-pura tidur. Aku yakin itu Mama. Aku tahu pasti tujuan Mama datang menemuiku. Apalagi kalau bukan soal sekolah? Tentu saja aku sudah mempunyai jawaban untuk itu. Tetapi aku malas membicarakannya malam ini.
            Pintu kamarku mulai terbuka. “Oke, tomorrow,” gumam mama.
                                                                       ###
            “Aku mau sekolah di Bandung,” kataku keesokkan harinya ketika sarapan.
            Responnya? Semua berhenti mengunyah sarapan mereka lalu menatapku seolah-olah aku ini telah kehilangan separuh otakku.
            “Bandung?” Mama tak percaya.
            “Kita tidak mempunyai keluarga yang ada di Bandung, Sayang,” kata Papa sambil meneruskan sarapannya. Sedangkan Mama sudah menjauhkan piringnya jauh-jauh dan terus menatapku dengan tatapan aku-ingin-tahu-apa-isi-otak-anak-ini.
            Mama memang tidak tahu alasanku yang sebenarnya mengapa aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Indonesia. “Aku tidak semangat di sini, Ma.” alasanku waktu itu. Awalnya Mama tidak setuju. Tetapi, setelah melihatku merajuk selama dua hari, akhirnya Mama mau menurutiku.
            “Kak Revo ada di Bandung, kan?” kataku.
            “Oh, Vanya! Mama tidak bisa memercayai kakakmu yang satu itu. Dia orang yang suka kelayapan,”
            “Lagipula semester depan dia kan udah mau lulus. Dia pasti bakalan sibuk bikin skripsi,” Kak Vio yang tadinya aku pikir mendukungku, malah berkomplot dengan Mama dan Papa untuk menentangku.
           Aku tak menyangka mereka menolak keinginanku melanjutkan sekolah di Bandung. Kalau di pikir-pikir, apa salahnya sekolah di Bandung? Memangnya SMA di Bandung jelek? Nggak kan?! Toh ada Kak Revo. Dia kan cowok. Ya pasti bisa jagain aku.
            “Tapi apa salahnya? Kak Revo itu kakak yang baik. Dia pasti bisa jagain Vanya, Ma, Pa,” aku berusaha meyakinkan mereka.
          “Kalau dia kelayapan bagaimana dia bisa jagain kamu?” Papa kembali angkat bicara.
            Aku menatap mereka satu per satu dengan wajah memerah karena menahan marah. Tampaknya mereka bertiga benar-benar tak setuju dengan keputusanku.
            Aku mendorong kursiku mundur dengan kasar dan berjalan menuju halaman depan. Ayunan adalah tujuanku. Aku tak mau mendengar alasan-alasan mereka untuk menentangku.
            “Alasan lo apa?” Kak Vio menyusulku. Ia duduk tepat di depanku sambil mengayunkan ayunan kesayanganku ini.
            “Bukan urusan Kakak!” jawabku ketus.
            “Oh oke, padahal tadi gue mau nawarin lo curhat ke gue,” Kak Vio berdiri.
            “Aku mau ketemu seseorang,” kataku setelah berpikir bahwa menceritakan ini pada Kak Vio tidaklah buruk.
            Kak Vio berbalik dan kembali duduk. “Nata?” tebaknya dengan tepat. Membuatku ber-aah-eeh tak jelas. “Mau ketemu Nata, kan?”
            “Eeh, iya. Apa salahnya?”
            “Nggak ada yang salah. Tapi tinggal di Bandung bareng Kak Revo itu bukan ide yang bagus.”
            “Vanya kan juga udah gede, Ka!” aku protes.
            “Kalau elo udah gede, jangan childish kayak gini. Lo juga harus mikirin nantinya saat elo ada di sana.” Ia mulai memberiku nasihat. “Kak Revo emang kakak yang baik. Tapi dia juga harus fokus sama skripsinya juga kan?”
            Aku hanya diam sambil menatap kedua mata Kak Vio yang hitam. Kak Vio tersenyum kepadaku. “Lagipula lo bisa di Jakarta sama gue. Jakarta-Bandung nggak terlalu jauh kalau lo mau ketemu sama nata de coco itu,” Kak Vio mulai meledek nama Nata.
            Setelah mendengar saran Kak Vio, aku berpikir lagi. Kak Vio memang benar. Walaupun aku tidak satu kota dengannya setidaknya aku sudah berada di satu negara dengannya. Walaupun dengan begitu akan lebih susah membawanya kembali dalam hidupku lagi. Seandainya aku di Bandung pun, belum tentu juga aku akan bertemu dengannya dengan mudah. Setidaknya aku sudah berusaha bukan?
            “Udah selesai belum bengongnya? Lama amat,” Kak Vio membuyarkan lamunanku.”Papa sama Mama mau ngomongin ini nanti sore. Mandi gih! Lo ikut gue aja, oke? Mandi dulu tapi.
            “Loh, kakak nggak kuliah?” tanyaku heran.
            “Ini kan Sabtu, Vanyaaa…” pipiku yang tak berdosa ini di cubit sampai memerah.
            “Aaaah! Sakiiiiit!” ketika aku akan membalas Kak Vio, ia sedah lari begitu saja.
            Kak Vio mengajakku ke Senayan City. Katanya dia mau membeli high heels. Salah satu barang yang harus dicoret dari kamusnya  tiga tahun yang lalu. Sebenarnya ini surprise yang tak terduga. Kak Vio yang tomboy ini sudah berubah menjadi sangat chick! Penampilannya tidak menyisakan sisi tomboynya yang dulu pernah mampir menjadi identitasnya. Aku tak menyangka, waktu tiga tahun bisa membuat seseorang berubah sedrastis ini. Waktu yang cukup singkat.
            Tiba-tiba aku teringat sosoknya. Apakah orang itu juga sudah berubah? Dalam kurun waktu satu tahun ini apakah dia sudah menjadi orang yang berbeda? Kalau dia tidak berubah, mengapa ia dingin padaku? Padahal dulu dia begitu hangat. Dulu ia selalu baik kepadaku. Itu dulu.
            “Di sini dulu deh,” Kak Vio mengajakku masuk ke salah satu toko. Toko ini menjual berbagai macam sepatu. Sepatu wedges, stiletto, kets, flip-flop a.k.a sandal jepit, dan masih banyak lagi. Kak Vio melihat sepatu-sepatu ini dengan serius. Mencoba yang menurutnya bagus. Ketika sudah menempel di kakinya, ia akan menilai dengan serius. Sesekali ia meminta pendapat dariku. Tetapi aku selalu bilang bagus. Memangnya aku harus berkata apa lagi? Semua sepatu itu menurutku pas di kaki Kak Vio yang putih mulus tanpa bulu itu. Ah, seharusnya ia mengikuti jejak Mama menjadi model dan desighner saja.
            Sudah lebih dari satu jam tetapi kak vio belum juga menemukan sepatu yang tepat menurutnya. Sesama perempuan aku mengerti, shopping itu menyenangkan. Menyenangkan memang bagi yang shopping, yang nemeninnya? Capek banget! Kalau saja dia tidak memberiku janji untuk membelikanku sepatu, mungkin sudah kutinggal pulang.
            Ketika Kak Vio sedang sibuk berkutat dengan stiletto-stiletto berhak lebih dari 10 cm itu, sesekali aku mencoba wedges yang menurutku lucu. Aku lebih tertarik membeli wedges dari pada high heels lainnya. Lebih bersahabat dengan kakiku ini.
            “Gue mau beli ini aja deh,” kata Kak Vio sambil menunjukkan stiletto putih. “ini cocok sama baju gue. Lo mau yang mana? Mumpung gue lagi baik nih. Hehe…”
            “Aku mau yang ini deh kak,” wedges krem yang simple tapi lucu ini yang menjadi pilihanku.”bagus nggak kak?”
            Kak Vio mengerutkan dahi. Ia menilai sepatu pilihanku. Jika sedang seperti itu, Kak Vio sangat mirip dengan Mama. “Ok, it’s nice for you, Sist,” katanya dengan nada sok imut.
            Setelah mendapatkan sepatu yang diinginkan, kami makan siang. Setelah menghabiskan steak, kami memesan dua mangkuk ice cream. Aku selalu suka ice cream.
            “Sebenarnya Nata itu cowok, Kak,” kataku memulai pembicaraan.
            “I know,” katanya cuek. ”Menurut Gue dari cara lo ngomongin Nata nggak mungkin kalau dia itu cewek.”
            “so, is it the reason?” tanyanya.
            aku sedikit gelagapan. “ap-apanya?”aku balik bertanya.
            “Jangan pura-pura bego, ntar bego beneran loh!”
            “iya,” aku mengaku. ”dia temenku di London. Tapi dia ke Bandung satu tahun yang lalu. Aku kembali teringat malam itu. Janet temanku, memberitahuku bahwa Nata sudah pulang ke Indonesia. Aku begitu terkejut malam itu.
            “And you love him,” Dia mulai menebak. Kali ini wajahnya tampak serius.
            “Nggak,” jawabku cepat-cepat. ”I just… eh, dia sahabatku. Apa salahnya ingin ketemu sahabat sendiri?” aku mulai sedikit salah tingkah.
            “Nggak mungkin! Buat apa lo memutuskan buat balik ke sini kalau lo nggak suka Nata?”
            “Terserah Vanya dong!” Jawabku asal.
            “Oh oke, nona Vanya. Haha…” Kak Vio tertawa jahil.
            Aku mulai mencari bahan pembicaraan lain agar ia tidak menggodaku lagi. “oh iya! Kak vio punya pacar kaan?” tanyaku dengan niat menggodanya.”Siapa itu namanya? Ken… Ken, Kenzo! Iya Kenzo!”
            “Kenzi,” ralatnya dengan nada yang tiba-tiba dingin. ”passed away,” lanjutnya sambil menatap ice creamnya.
            Aku tak percaya ini! “I’m… I’m sorry. I didn’t mean to…” suaraku tiba-tiba menghilang. Aku jadi salah tingkah.
            “Nggak pa-pa. toh, hidupku masih panjang.” Astaga! Kalau saja ini drama, aku ingin memberinya tepuk tangan paling keras. Kakakku ini sungguh orang yang sabar.
            Kupandangi wajah dingin kakakku yang sengaja ditampilkannya untuk menutupi kesedihannya. Aku jadi menyesal telah membuatnya sedih.
            “Do not look at me like that!” dia memperingatkanku.
            Aku kembali memasukkan ice cream ke dalam mulutku.
            “Don’t worry Vanya. I’m fine” Kak Vio kembali tersenyum seolah tidak ada apa-apa. Oh god! Dia benar-benar tegar!
            “Pulang yuk, Kak.” Kak vio menyutujuinya.
            Di perjalanan, Kak Vio menggodaku lagi. Tentu saja soal cowok bernama Nata itu.
              
            Pintuku diketuk saat aku mencoba sepatu baruku. Aku melepas sepatuku lalu segera membukakan pintu. Papa dan Mamalah yang berdiri di balik pintu kamarku. Pasti mau membicarakan soal sekolah lagi. Aku mendengus kesal. Setelah mendengar nasihat Kak Vio tadi pagi, aku jadi malas berdebat soal ini. Aku tak akan berargumen lagi. Aku akan mengikuti semua kata Papa dan Mama.
            “Jadi kamu mau sekolah di mana, Sayang?” Tanya Mama setelah duduk di bibir tempat tidurku.
            “Terserah aja deh,” jawabku singkat.
        "Kalau begitu di Jakarta saja. Kamu bisa di sini sama papa, Vanya.” Papa membujukku.
            “Tidak!,” kata Mama spontan.”Membiarkan Vanya tinggal di sini bersama kamu yang sok sibuk? T-i-d-a-k!” Mama mulai menyulut kembang api tanda perang.
            “Aku nggak sok sibuk. Aku memang sibuk, Nia! Memangnya kamu!”
            “Aku ini designer sukses. Dan aku ini memang sibuk. Merancang baju, mengadakan fashion show di sana-sini. Tidak seperti kamu! Kerja di kantor pulang selalu malam! Memangnya apa yang kamu lakukan? Membantu satpan menjaga kantor?”
            Aku memutar bola mataku. Aku sudah tahu hal ini akan terjadi. Ada Papa dan Mama pasti ada keributan. Mereka selalu meninggikan suara jika bertengkar. Hal ini membuat gendang telingaku bergetar hebat. Kalau saja mereka ada di rumah ini sebulan saja, mungkin aku akan tuli.
            Aku mulai membuka majalah yang ku bawa dari London. Berharap dengan aku membaca majalah aku bisa menulikan telingaku sebentar agar aku tidak perlu mendengar keributan Papa dan Mama. Sepertinya ini sedikit berhasil. Sepuluh menit kemudian aku menyadari bahwa kamarku hening. Mereka sudah berhenti bertengkar.
            Tiba-tiba mama tersenyum seperti mawar yang baru mekar. “Ah ya! Jogja! Vanya kamu bisa tinggal sama nenek dan kakek di Jogja.” Katanya.
            Ah, ya. Jogja adalah kota yang menyimpan banyak kenangan waktu kecilku.
            “Ya terserah Mama deh,” aku pasrah.
            “Atau kamu mau di Semarang tinggal bareng sama Tante Fitri dan Oom Wisnu.” Mama memberiku pilihan lain.
            Sungguh, aku tidak pernah membayangkan akan tinggal bersama Tante Fitri dan Oom Wisnu. Tinggal bersama adik Mama yang pelit itu?! Mamaku benar-benar tega. Bagaimana kalau aku hanya diberi makan sekali sehari? Bagaimana kalau aku diberi kamar bawah tangga seperti Harry Potter? Oh tidak!
            “Oh my gosh! Bali!” tiba-tiba mamaku berteriak. Aku sampai menjatuhkan majalah saking kagetnya.
            Mama berdiri lalu memelukku. “I think Bali is the best place for you, Dear,” mamaku begitu bersemangat.
            Jika aku di Bali pasti aku akan tinggal bersama Oom Danu dan putrinya. Hanya merekalah keluargaku yang tinggal di Bali. Oom Danu adalah saudara Papa yang paling baik. Aku pasti senang di sana.
            “Jadi kamu mau pilih yang mana, Sayang?” Tanya Mama dengan wajah berseri-seri.
            “Jakarta,” kata papa spontan. Tatapan tajam dari Mama adalah hadiah yang diterima Papa.
            “Aku nggak tahu. Yang jelas aku nggak mau di Semarang.”
            “Kasih dia waktu, Nia,” kata Papa bijak.
            “Sejam,Vanya. I’ll come back to London tonight,” Papa dan Mama keluar dari kamarku setelah mencium keningku lembut.
            Lima menit setelah Papa dan Mama keluar dari kamarku, Kak Vio masuk tanpa mengetuk pintu. “Jadi lo mau ke mana?” tanyanya to the point.
            “Nggak tahu, Kak.”
            “Pilihlah tempat yang menurut lo bakalan nyaman di sana. Oke?” dia memelukku lembut.
            Aku memejamkan mata sambil merasakan kehangatan pelukan Kak Vio. Sepertinya, sekarang aku tahu harus ke mana.