Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Sabtu, 16 Juni 2012

TSMJ #3 (By: Vanya)


PENGORBANAN BODOH
“Ayolah Dessy! Temani aku jalan-jalan akhir pekan ini, ya?” aku memohon pada salah seorang temanku yang juga berasal dari Indonesia.
“Vanya, kamu nyadar nggak sih kalau kamu udah menanyaiku tujuh kali hari ini? Sudah kubilang aku nggak mau. Lagipula kita belum kenal jalan di London,”
“Aku punya peta London kok!”
“Oke aku temenin tapi minggu depan,”
“Yaah, minggu ini dong!”
“Nggak. Akhir pekan ini aku mau istirahat. Kita kan masih punya waktu banyak. Ini masih minggu pertama kita, Vanya. Dan ngiing nguung ngiing…”
Kata-kata Dessy seperti dengungan lebah di telingaku. Kedatangan Nata melumpuhkan fungsi anggota tubuhku yang bernama telinga. Mataku hanya tertuju pada satu titik: Nata. Cowok itu berjalan melewati aku dan Dessy begitu saja. Ia berjalan tegap tanpa menoleh sedikitpun. Seolah aku dan Dessy hanyalah patung yang menghiasi koridor ini. Sikap Nata yang dingin itu justru membuatku selalu penasaran pada cowok itu. Dan saat itulah, kedua kakiku melangkah membuntuti Nata tanpa persetujuan otakku.
“Hi Nata!” aku berlari-lari kecil untuk menyeimbangkan langkah Nata yang lebar. Ia selalu berjalan dengan cepat.
Nata terus berjalan tanpa membalas sapaanku. Bahkan sekedar menoleh dan tersenyum kepadaku pun tidak. Mata tajamnya terus menatap jalan di depannya. Seolah-olah ia akan mati jika menoleh ke arahku. Aku yang berada di sampingnya, hanya bisa menatap wajah Nata sambil tersenyum seperti orang bodoh.
Di ujung koridor ini, Nata berbelok ke kanan melewati koridor yang menuju perpustakaan. Barulah aku sadar Nata sedang memeluk buku yang sangat tebal yang entah apa isinya.  Melihat buku itu, senyumku bertambah lebar.
“Jadi kamu mau keperpustakaan?” tanyaku basa-basi.
“Bukan urusanmu,” akhirnya Nata angkat bicara.
“Kamu mau mengembalikan buku itu, ya?” Nata kembali membisu.”aku pernah melihat buku itu. Cuma aku belum pernah membacanya. Kayaknya ngebosenin banget. Tapi bukannya—“
Tiba-tiba saja Nata menoleh ke arahku dan menatapku tajam.  Membuatku tak mampu melanjutkan kalimatku.”Bisa nggak sih kamu berhenti mengikuti aku?!” tanyanya dengan wajah galak.
Aku mundur selangkah karena rasa kaget bercampur takut. “Aku… aku juga mau ke perpustakaan kok.” Kataku sedikit terbata.
Nata berbalik dan kembali berjalan. Aku juga kembali berjalan di sampingnya. Setidaknya, sekarang aku mempunyai alas an untuk berjalan di samping Nata. Kali ini aku memilih diam sampai langkah kaki kami berhenti di sebuah perpustakaan yang sangatlah besar.
            Perpustakaan sekolah ini menyimpan beribu buku di rak-rak yang ratusan jumlahnya. Semua buku tertata rapi di rak masing-masing. Di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa meja dan kursi sebagai tempat untuk menikmati buku-buku di sini. Perpustakaan ini sangat nyaman. Di setiap titik dan sudutnya begitu rapi dan terawat. Keadaan yang jauh berbeda seperti di Indonesia. Bahkan, perpustakaan kota tak sebagus ini.
            Perpustakaan ini tak pernah sepi. Seperti sekarang ini, banyak yang sedang tenggelam dalam bukunya masing-masing. Tak terkecuali Nata yang baru saja duduk. Dalam beberapa detik ia sudah memasuki pintu dunia buku yang tadi dibawanya itu. Aku yang masih berdiri, segera saja menarik sebuah buku yang entah tentang apa itu dan duduk di depan Nata. Memperhatikan cowok yang ada di hadapanku ini.
            Saat aku masih menikmati pemandangan yang di suguhkan di depan mataku ini, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dan ide brilian terlintas di otakku.
            “Nata!” bisikku.
            Cowok itu tidak merespon. Kupanggila lagi tetapi hasilnya tetap sama. Sampai kusebut namanya untuk ketiga kalinya, ia tetap tidak merespon. Aku yakin ia hanya berpura-pura tidak mendengar panggilanku.
            “Nataaa!” panggilku dengan suara tinggi.
             Aku tak menyangka suaraku barusan cukup mengganggu orang-orang yang ada di perpustakaan ini. Mereka menatapku dengan tatapan yang tak menyenangkan sambil memperingatkanku untuk memelankan suara. Aku hanya bisa meringis, tak enak hati. “Sorry,” kataku pelan.
            Saat aku akan memanggil Nata lagi, ia sudah menatapku dengan tatapan jengkel. Kemudian ia kembali membaca bukunya.
            “Nata!” aku memanggilnya dengan suara lirih.
            Kali ini Nata langsung menatapku.
            “Akhir pekan ini aku mau jalan-jalan. Kamu mau kan menemaniku?” tanyaku senang.
            Nata hanya terdiam.
“Mau kan?” tanyaku lagi.
Tanpa kuduga, Nata berdiri lalu menarik pergelangan tanganku. Aku pasrah di bawa Nata keluar dari perpustakaan. Ini pertamakalinya aku merasakan sentuhan Nata, walaupun sedikit kasar. Entah kenapa, jantungku berdenyut dengan cepat saat kulit Nata menyentuh kulitku.
“Kamu pikir perpustakaan tempat buat ngobrol?!” katanya setelah sampai di koridor.
            “Jadi kamu mau kan?” tanyaku tanpa menggubris kata-kata Nata barusan.
            “Nggak,”ia melangkah pergi.
            Ketika aku hendak mengikutinya lagi, Nata segera berbalik. Membuatku hampir menabraknya.
            “Jangan mengikutiku lagi!” ia memperingatkanku lalu berbalik dan melangkah pergi.
            Sebenarnya aku ingin sekali mengikutinya dan memintanya untuk menemaniku jalan-jalan besuk Sabtu. Tetapi aku terpaksa menuruti kata-katanya. Mungkin ia benar-benar sibuk hari ini.
            Keesokkan harinya, sebelum kelas pertama di mulai aku bertemu Nata dan Hyungjun. Hari ini aku menangkan senyum Nata untuk pertamakalinya. Walaupun senyum itu bukan untukku. Tetapi aku yakin, nanti atau entah kapan Nata akan tersenyum untukku. Bahkan tertawa bersamaku. Tinggal menunggu waktu saja.
            “Hi Nata! Hi Hyungjun!” sapaku pada mereka yang sedang asyik membicarakan sesuatu.
            “Hi vanya!” Hungjun membalas sapaanku. Sedangkan Nata hanya diam. “What a beautiful butterfly!” katan Hyungjun lagi.
            Awalnya aku tak mengerti apa yang ia katakan. Tetapi, setelah Hyungjun menyentuh jepit rambutku, aku baru mengerti. “Yeah, thanks. This is from my sister,” ungkapku senang.
            Kedua alis Hungjun tampak naik. “Is she pretty? I mean your sister?” tanyanya.
            “Oh ya! She’s so so pretty! I’ll show you her picture,” kataku antusias. Kemudian aku mengeluarkan dompetku untuk menunjukkan foto kak Vio kepada Hyungjun.
            “See you at class, Hyungjun,” kata Nata sambil melangkahkan kakinya.
            Hyungjun membuatku lupa tujuanku menemui Nata. “Nata! Wait. Wait. Nata!’ aku segera memanggil Nata.
            “No, see you at class, Nata!” kata Hyungjun sambil tergelak. “Bye” hyungjun melambaikan tangannya untukku.
            “Jadi kamu mau kan?”
            “Aku sudah menjawab pertanyaanmu,”
            “Kemarin, sudah. Tapi hari ini belum,”
            “Hari ini juga nggak,”
            “Ayolah Nata! Sebentar saja. Aku janji nggak sampe malem. Ok?”
            “Walaupun hanya lima menit, tetap nggak,”
            Nata segera pergi meninggalkanku. Lagi-lagi aku tak bisa menyusulnya. Jam tanganku sudah memberitahuku bahwa kelas akan di mulai lima menit lagi, aku segera berlari menuju kelas.
            Entah kenapa, pada hari Jumatnya, aku sama sekali tak melihat Nata di manapun. Ia tidak ada di halaman sekolah, koridor-koridor, cafeterian, dan perpustakaan. Ia tak ada di manapun. Sepertinya ia sedang menjauihiku.
            “Memangnya aku bervirus?!” gumamku jengkel.
            “Sorry?” Janet yang ada di sebelahku rupanya mendengar gumamanku.
            “Nothing, Janet,” kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju kelas.
            Hari Sabtu pun tiba. Padahal aku belum mengantungi persetujuan dari Nata untuk menemaniku jalan-jalan. Sebenarnya aku bisa meminta Janet atau mama untuk menemaniku. Tetapi aku justru lebih menginginkan seoarang cowok yang baru aku kenal lima hari yang lalu untuk menemaniku. Aku sendiri heran mengapa aku begitu menginginkan Nata untuk menemaniku.
            Pagi ini, aku sudah bertekad untuk datang ke kamar Nata untuk memintanya menemaniku jalan-jalan, lagi. Aku akan memaksanya. Aku yakin kali ini dia mau menemaniku. Mungkin aku akan menambah sedikit bumbu-bumbu drama untuk membujuknya.
            Tepat sepuluh menit kemudian, aku sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Nata dan Hyungjun. Sebelum aku mengetuk pintu itu, aku menyiapkan dialog di otakku. Dan saat itulah, pintu bercat putih di depanku ini terbuka. Hampir saja aku menjatuhkan peta London yang ada di tanganku ketika melihat orang yang membuka pintu itu. Nata.
            Nata tampak terkejut melihatku berdiri di depan pintu kamarnya. Aku membalas tatapan terkejut Nata dengan senyuman yang lebar.
            “Hi Nata!”
            “Hari ini juga nggak,” tolaknya mentah-mentah sebelum aku memintanya.
            Aku tertawa pelan. “kamu ini. Padahal aku belum mengatakan apa-apa. Tapi, tetep aja kamu harus mau,”
            “Kenapa?”
            “Aku nggak tahu jalan. Aku juga sendirian,”
            “Kamu punya peta,” Nata melirik kertas yang ada di tangan kananku.
            “Bahkan aku nggak bisa baca peta. Navigasi cewek kan nggak begitu bagus,”
            “Ajak saja temanmu yang lain. Bukannya mereka juga pasti udah kenal jalan di London?” ia masih tak mau kalah.
            “Tapi mereka nggak mau menemaniku,” kataku setengah berbohong. Dessy memang tak mau menemaniku.
            “Pergi saja sendiri. Aku sibuk!”
            Ini saatnya. Aku memasang mimik sesedih mungkin. “Baiklah,” aku menundukkan kepala lalu melangkah pergi. Baru dua langkah kakiku berjalan, aku kembali lagi. “Nata, kalau kamu nggak ketemu denganku besok, tolong panggil polisi untuk mencariku,” kataku. Oh DramaQueen!
            Aku berjalan dengan perlahan, menunggu panggilan dari Nata. Aku yakin kata-kataku barusan membuatnya tak enak hati dan akhirnya memutuskan untuk menemaniku. Aku mulai tertawa dalam hati.
            Bukannya panggilan dari Nata yang kudengar, tetapi justru suara pintu ditutup. Aku menoleh.
            “Nataaa!!!” aku menghentakkan sebelah kakiku ke lantai kuat-kuat. Cowok itu benar-benar menjengkelkan. “Cowok itu nggak gentle banget sih! Kataku uring-uringan.
            Aku berjalan lesu memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Ini akan menjadi jalan-jalan yang sangat membosankan. Terlebih lagi, aku belum mengenal London. Aku juga tak yakin petaku ini akan membantu.
Aku memandangi peta yang ada di tanganku ini dan berusaha memahaminya. Ku putar-putar tetap saja aku tak bisa memahaminya. Di mana utara? Di mana selatan? Ah aku tak mengerti.
“Kenapa kamu nggak bisa aku baca sih?!” aku mulai frustasi.
Perhaps we don’t need it,” kata seseorang yang tiba-tiba muncul di depanku.
Aku hampir tak memercayai mataku. “Na…ta,”
“Aku nggak mau repot-repot memanggil polisi untuk mencarimu,” katanya lagi.
Aku tersenyum senang. Aku tahu. Aku menang.
“Jadi kamu mau ke mana?”
“Ke mana saja,” ucapku penuh semangat.
Jadilah aku dan Nata jalan-jalan hari ini. Kunjungan pertama kami adalah ke Museum of London. Siangnya kami mengunjungi Tate Modern Art Gallery. Setelah puas berfoto dengan laba-laba raksasa di sana, aku meminta Nata untuk menemaniku ke Stasiun King Cross yang termasyur itu.
“Stasiun King Cross?” kata Nata setelah aku mengungkapkan keinginanku ke stasiun itu.
“Iya. Emangnya salah kalau aku pengen ke stasiun itu?”
“Sebaiknya kita ke sungai Themes dan pulang,”
“NO!” teriakku spontan. “Nata, aku ini penggemar Harry Potter! Jadi wajar dong kalau aku pengen ke tempat itu. Ke Stasiun King Cross. Aku pengen lihat tempat Joanne Kathleen Rowling yang hebat itu “menemukan” Harry Potter. Aku pengen melihat tempat lahirnya ide besar yang sekarang sudah mendunia itu. Aku pengen lihat tempat para penyihir-penyihir menembus tembok lalu naik ke kereta. Dan  tuuut tuuut! Kereta berjalan menuju sekolah sihir yang hebat! Dan oh ya, aku pengen lihat platform 9 3/4,” aku begitu menggebu-gebu mengatakan hal itu. Dadaku berdebar-debar karena tak sabar ingin ke Stasiun King Cross.
Cowok yang berdiri tepat di depanku ini menyipitkan matanya sedikit dan menatapku lekat-lekat. Sesuatu yang di lakukan untuk menangkap sinyal-sinyal kebohongan. Respon Nata yang tak terduga.
“Kamu nggak percaya kalau aku ini penggemar Harry Potter? memangnya di mana salahku?” tanyaku pada Nata yang sudah tak lagi menyipitkan matanya.
“Usaha yang bagus. Kamu berusaha membuatku terkesan dengan berpura-pura menjadi  Harry Potter Freak sepertiku. Bahkan sampai menghapalkan sejarahnya,”
“Hah? Jadi kamu juga penggemar Harry Potter? Dan, hei! Aku nggak pura-pura! Aku emang penggemar Harry potter, ok?!” kataku setengah senang karena Nata juga menyukai Harry potter dan setengah tidak terima karena ia menuduhku berbohong.
“Oh ya? Dan aku nggak peduli,” katanya dingin.
Wajah dingin Nata membuatku harus memuji karya Tuhan itu. Wajah Nata begitu tampan jika ia sedang bersikap dingin. Walaupun begitu, aku lebih menyukai Nata yang sedang tersenyum. Dengan senyum di wajahnya ia tampak lebih manusiawi. Dan tanpa senyum, ia seperti patung antagonis yang di pahat sempurna. Sangat sempurna di mataku.
Sebenarnya ada satu nilai minus dari Nata. Rambut hitam legamnya itu selalu berantakkan. Aku tak suka melihat Nata dengan rambut yang selalu mencuat ke mana-mana. Dan setiap kali melihat rambutnya—seperti sekarang, aku harus menahan diri untuk tidak merapikan rambut Nata. Aku benci menahan diri.
“Hei! Apa hobimu melamun?” kata-kata Nata membuatku berhenti mengagumi dirinya.
“hmm… aku janji, kita pulang setelah ke stasiun King cross. Bagaimana?” aku mulai bernegosiasi.
Nata diam beberapa detik untuk mempertimbangkan kata-kataku. “Baiklah,” katanya pada akhirnya.
Kami pergi ke stasiun King Crossmenggunakan bus. Setelah bermenit-menit di dalam bus akhirnya kami berdiri tepat di depan stasiun yang sangat besar ini. Seandainya aku orang terbodoh di dunia, mungkin aku akan mengira bangunan yang ada di depan mataku ini adalah sebuah kastil atau semacamnya. Sungguh bangunan yang sangat indah.
Kukeluarkan kamera yang ada di tas kecilku, lalu mulai memotret stasiun ini. Setelah itu, barulah Nata mengajakku masuk ke dalam. Ternyata, stasiun ini lumayang padat. Banyak orang yang berlalu lalang ke sana ke mari menenteng kopor dan juga barang bawaan mereka. Di beberapa sudut ada orang-orang yang saling berpelukkan melepas rindu. Sungguh pemandangan yang menyentuh.
“Ini dindingnya,” Nata menatap dinding yang ditempeli sebuah plakat. Apalagi kalau bukan plakat bertuliskan “Platform 93/4”.
Aku menatap plakat itu dengan penuh kagum. Hampir saja aku meneteskan air mata saking bahagia bisa menatap plakat yang selama ini hanya bisa kulihat di foto itu. Segera saja aku meminta tolong Nata untuk memotretku bersama plakat bersejarah itu. Kemudian aku memotret plakat itu lagi sampai berulang kali. Aku tahu ini sedikit berlebihan.
Tiba-tiba saja sebuah ide jahil mampir di otakku. Kuarahkan kameraku ke arah Nata yang berdiri di sebelah kiriku lalu kufoto. Bukannya Nata yang terkejut, justru aku yang terkejut. Di foto itu, Nata tertangkap basah sedang melihatku. Lagi-lagi denyut jantungku menjadi tak beraturan.
“Jangan lakukan itu lagi,” kata Nata datar. “Dan kalau kamu sudah selesai, ayo pulang. Sudah sore,”
Aku mengangguk cepat.
Setelah hari itu keajaiban datang satu persatu. Hari demi hari. Nata yang dingin perlahan-lahan menghangat. Nata yang dulu selalu mengacuhkanku kini berubah menjadi Nata yang selalu tersenyum kepadaku ketika kusapa. Aku senang ia mulai mengakui keberadaanku. Tidak seperti dulu.
Sejak pertama kali aku melihat Nata, entah mengapa aku ingin sekali menjadi sahabatnya. Sesuatu mendorongku untuk terus mendekatinya. Berusaha menjadi—tak hanya teman, tetapi sahabat. Dan itulah realitanya. Ia sudah menjadi sahabatku. Aku rasa ia juga menganggapku begitu.
Kata sahabat juga membuatku sering pergi bersamanya di akhir pekan walau hanya sekedar untuk melihat plakat aneh di stasiun King Cross. Dan sekarang, Nata sudah memercayaiku bahwa aku menyukai Harry Potter bukan karena dia. Meskipun membutuhkan beberapa minggu untuk membuatnya percaya. Dia memang tak mudah untuk memercayai sesuatu. Bahkan hal kecil sekalipun.
“apa kamu suka makan cokelat?” tanyaku pada Nata di suatu siang saat musim panas. Kami baru saja sampai di Camden Market.
“Nggak terlalu. Hot chocolate, mungkin?” jawabnya dengan senyum yang mengembang.
Senyuman itu membuat tubuhku bereaksi aneh. Untuk ke sekian kalinya dadaku berdebar-debar. Sebenarnya aku sudah terbisaa dengan hal itu. Hanya saja aku belum terbisaa dengan kenyataan yang di beberkan Janet setelah aku menceritakan padanya soal jantungku.
You love him!” kata Janet penuh semangat.
Oh god! Apa memang benar aku telah jatuh cinta pada Nata? Sahabatku sendiri? Apakah begini rasanya jatuh cinta?
Ternyata mencintai seseorang itu rasanya menyenangkan. Seolah semuanya empat kali lebih baik.
“Hot chocolate,” kataku setelah sukses mengenyahkan pikiranku dari kata-kata Janet.”Aku juga suka Hot chocolate. Tapi aku lebih suka cokelat batang. Dan aku penggemar dark chocolate. Dark chocolate itu beda dari cokelat lain. Dia punya rasa pahit di balik rasa manisnya cokelat.” Aku membayangkan sebatang dark chocolate besar saat mengatakan itu.
Nata mengerutkan kening. “Kenapa? Bukannya rasa pahit akan merusak rasa manis di cokelat?”
“Karena saat masuk mulut, lidah nggak melulu merasakan manis. ?Dark chocolate itu seperti kehidupan. Hidup nggak terus-terusan manis dan nggak terus-terusan pahit kan?” aku meniru kata-kata mama yang sangat kuingat.
“Sejak kapan kamu pintar berfilosofi?” ucap Nata sambil mencubit hidungku. Akhir-akhir ini Nata suka sekali mencubit hidungku. Mungkin sudah menjadi hobi baru baginya.
Oh my lovely nose! “ pekikku pelan. Aku menggosok hidungku pelan dan berpura-pura marah. Sejujurnya aku menyukai cubitannya.
“Jadi anda mau beli apa, Nona? Ini sudah yang ke lima kalinya dalam sebulan anda datang ke tempat ini,” ia berbicara seolah aku ini puteri kerajaan.
“Masa sih?” aku tertawa.
“Dan sampai kapan anda mau ke sini?”
“Hmm… sampai kamu membayar janjimu,”
Nata mengerutkan kening. Sepertinya ia sedang berusaha mengingat sesuatu. “Janji apa?” katanya bingung.
Come on, Nataaa!” kataku dengan penuh rasa jengkel. “Kamu bener-bener lupa?”
“janji apa?”
Pink,
Pink? Merah jambu?”
“ya Tuhan! Kamu sudah pikun!” aku memukul lengan Nata.
Nata tertawa renyah. “iya aku inget. Wand, right?”
“Yap. Dan pink. Jangan lupa itu!” kataku senang.
“Bagaimana kalau hitam? Yang pink susah di cari,”
“Aku benci hitam. Pokoknya pink atau ungu. Ah, pink saja!”
Nata kembali tertawa. Kemudian ia merangkul pundakku.
“Wait,”kataku sambil meloloskan diri dari rangkulan Nata. Mataku tertuju pada rambut berantakkan khas Nata itu. “You know? I’ve been waiting so long… long time to do this,” tanganku meraih rambut Nata dan berusaha merapikan rambutnya. Tetapi tangan Nata segera menepis tanganku.
Aku tertawa,”I hate your hair!
I never give you the wand if you do it again!” ancam Nata.
Kami tertawa bersama lalu mulai memilih barang yang hendak aku beli. Aku tahu, aku telah mempunyai satu hari menyenangkan bersama Kanata Anggara Wiguna, lagi. Ia memang selalu membuat setiap hariku penuh warna. Hari-hari yang mustahil untuk kulupakan.
Sampai pada suatu pagi, aku menemukan Nata dalam keadaan yang sama sekali tak bisa dibilang baik. Wajahnya begitu lesu dan pucat. Lingkaran hitam samar-samar menghiasi mata tajamnya. Dan ketika aku menatap kedua mata itu, hatiku mencelos. Kehangatan yang biasanya terpancar di sana hilang tak berbekas. Mata itu kembali dingin. Jauh lebih dingin dari pertamakali aku melihatnya.
“Kamu kenapa? Apakah ujiannya susah?” tanyaku dengan nada yang ku buat seceria mungkin. Minggu ini memang sedang ada ujian.
“Nggak,”jawabnya singkat.
“Apa kamu belajar sampai pagi?”
“Nggak,”
“Atau jangan-jangan kamu insomnia?” aku sedikit terkekeh.
“JUST SHUT UP!” bentak Nata.
Aku kaget bukan main. Baru kali ini ia membentakku sekejam itu. Sampai-sampai air mata menggenangi kedua mataku.
Nata meninggalkanku begitu saja. Segera kuhapus air mata yang sempat menetes lalu menyusulnya. “You can tell me anything, Nata. Anything,” kataku masih berusaha tetap ceria.
Nata berhenti berjalan lalu menatapku. “Leave me alone,”
Aku membeku.
I’m sorry Vanya,” kali ini, Nata benar-benar pergi.
Hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Pada suatu malam, sehari setelah kejadian itu, Janet memberitahuku bahwa Nata sudah pulang ke Indonesia. Awalnya aku tak percaya. Ketika aku masuk ke kamar Nata dan tak menemukan satupun barangnya, barulah aku percaya. Nata telah pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan. Tanpa memberiku kesempatan untuk menahannya agar tetap tinggal. Ia telah pergi bersama janji-janji yang sudah terlanjur terucap. Ia pergi meninggalkan kenangan indah yang justru membuat dadaku semakin sesak.
Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menangis. Dadaku terus disesaki rasa sedih. Nyeri di dadaku tak kunjung hilang sampai pagi menjelang. Mata bengkakku sarat dengan kepedihan ketika aku memandang diriku sendiri di depan cermin. Aku benar-benar merasa kehilangan.
Aku bersyukur bisa sekamar dengan Janet di asrama ini. Janetlah yang terus menemaniku semalam. Bahkan ia sampai tak tidur hanya untuk menghiburku. Menghiburku yang telah kehilangan seseorang yang sangat berharga.
Nata.
***
Suara langkah kaki Kak Vio membuyarkan lamunan panjangku di pagi yang masih agak gelap ini. Baru kemarin sore Kak Vio datang dari Jakarta untuk melihat keadaanku.
Kak Vio duduk tepat di sebelahku. Kami menikmati keheningan yang tercipta cukup lama. “Gue tahu, sekolah di luar negeri itu salah satu cita-cita lo,”kata Kak Vio ketika hangat sinar mentari mulai menyentuh kulit.
Aku menatap langit timur yang berwarna jingga, “Memang,”kataku
“Jadi kenapa kamu milih pulang hanya karena sahabatmu itu?”
“Tapi Vanya juga seneng di sini kok,” aku tersenyum lebar.
“Iya, tetap aja lo pulang ke sini Cuma gara-gara hal itu. Hal bodoh seperti itu,”
“Buat kakak mungkin sepele, tapi buat Vanya nggak, kak,” aku menahan emosi agar nada suaraku terdengar sebiasa mungkin. “Dia itu… sudah seperti kakaku sendiri,” lanjutku.
Aku bangkit dari dudukku. Kulangkahkan kakiku di atas rumput hijau yang sedikit basah ini. Aku mendekati sebuah pohon kamboja yang cukup besar. Kusentuh kulit pohon yang biasa tumbuh di kuburan itu. Tiba-tiba saja, bunga kamboja yang berwarna merah muda jatuh tepat di atas kaki kiriku. Lalu, aku membungkuk untuk memungutnya.
Senyumku merekah ketika Kak Vio melihatku ketika aku sedang menyematkan bunga kamboja di telingaku. Kakiku pun kembali melangkah ke tempat dudukku tadi.
“Cantik kan,Kak?” aku tertawa pelan.
Pintu yang ada di belakang kami terbuka. Dari pintu itu muncul seorang wanita dengan kulit putih yang sudah keriput. Mata lembut wanita itu menatap kami berdua. “Vanya, Vio, ayo sarapan!” kata wanita itu.
“Iya Uti. Nanti kita masuk,” aku menghampiri nenekku yang kupanggil uti itu dan memeluknya.
Sudah hampir empat bulan aku tinggal di rumah model belanda milik orang tua mama ini. Beberapa jam sebelum keberangkatan mama hari itu, aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama Uti dan Akung di sini. Di Jogja.
“Ya sudah. Cepat masuk lho ya!” perintah Uti lagi.
“Nggih Uti,” Utipun berjalan pelan meninggalkan aku dan Kak Vio.
“Ayo kak!”
Kak Vio berdiri. “Gue mau tanya lo sekali lagi. Kenapa lo pulang dan mengorbankan mimpi lo cuma gara-gara orang itu? Apakah orang itu lebih penting dari mimpimu?”
Aku berpura-pura tertawa. “Nggak Cuma itu alasanku pulang ke sini, Kak Vio,”
“Apa? Alasanmu apa?”
Aku terdiam.
See? Lo nggak bisa jawab. Lo tahu apa yang udah lo lakuin?” suara Kak Vio mulai meninggi. “Lo udah mengorbankan cita-cita lo cuma demi cinta! Dan gue nggak tahu apalagi yang lebih konyol dari itu. Pengorbanan yang sia-sia. Pengorbanan bodoh! Bahkan mungkin tak layak di sebut pengorbanan.”
Kata-kata Kak Vio tepat pada sasaran. Kata-kata itu seperti tamparan seratus kali bagiku. Apakah aku memang sudah melakukan hal yang bodoh? Apakah aku memang sudah membuang mimpiku dan memilih pulang untuk menemui Nata? Apakah ini sia-sia? Beribu pertanyaan lain mulai mmenyesakki otakku.
Kurasakan mataku mulai panas. Cairan bening mulai memenuhi mataku. Aku menahan air mata itu agar tidak jatuh.
“Sorry Vanya. Gue ngomong ini karena gue peduli sama adik gue. Gue peduli sama mimpi-mimpi adik gue,” lanjut Kak Vio.
Aku masih membeku di tempatku.
“Ayo sarapan!” ajak kak Vio sebelum masuk.
Cairan bening yang dari tadi kutahan, akhirnya meluap dan terjun ke bumi.
***
“mengorbankan cita-cita demi cinta. Pengorbanan yang sia-sia.” Arnest mengulang kata-kataku. Aku baru saja menceritakan kejadian kemarin kepada Arnest, teman sebangkuku
 “Kamu bilang Nata itu sahabat kamu. Tapi kenapa kakakmu pake kata “Cinta-cinta” segala?” wajah Arnest tampak kebingungan.
Arnest memang sudah kuceritakan tentang Nata. Awalnya aku tak mau bercerita tentang Nata pada Arnest. Tetapi melihat ketulusan Arnest yang menawarkan diri sebagai tempat bercerita, aku mengiyakan. Mungkin karena sering melihatku melamun, Arnest jadi tak enak hati membiarkanku begitu saja.
Arnest memang teman sekaligus pendengar yang baik. Walaupun terkadang sifat ingin tahu dan sok tahunya berlebihan.
“Atau,” ia memulai lagi. “Kamu menyukai Nata?”
“Aduuh! Kenapa semua orang ngomong kayak gitu?” aku mulai sedikit jengkel.
“Sudah kuduga. Di dunia ini, persahabatan antara cowok dan cewek emang nggak ada yang normal. Ya kayak kamu deh, suka sama sahabat sendiri,” Arnest mulai sok tahu.
“Sok tahu kamu!” aku melempar bantal bintang warna pink kesayanganku tepat ke kepala Arnest.
Arnest tergelak. “Iya kaaan? Kamu suka Nata kaaan?”
“hmm… iya sih,” akhirnya aku mengaku setelah selama ini aku mengelak.
“apa aku bilang?!” seru Arnest keras. “Jadi kalian pacaran?”
“Nggak, Cuma sahabat,”
“Kenapa nggak? Apa Nata nggak menyukaimu?”
Pertanyaan Arnest menyadarkanku pada hal kecil yang tak pernah kusadari. Aku dan Nata memang selalu bersama. Mengatasi masalah bersama. Tertawa bersama. Dan aku pikir selama dia ada di sisiku selalu, itu sudah menjawab semuanya. Tetapi setelah Nata pergi, aku baru menyadari hal kecil itu. apakah Nata juga mempunyai rasa yang sama dengan seperti yang sedang aku rasakan selama ini?Mungkin tidak. Tetapi mungkin juga iya.
“Aku nggak tahu. Selama ini dia selalu membuatku merasa nyaman. Dia selalu memberiku kehangatan. Dia selalu membuatku merasa bahagia jika bersamanya. Di juga memberiku perhatian yang besar. Dan aku menyukai caranya memerlakukan aku, dan aku pikir,” aku sedikit ragu melanjutkan kata-kataku. “Aku pikir dia juga punya rasa yang sama sepertiku,”
Arnest menatapku dengan tatapan iri. “Oh Vanya,  so sweeeet! Nata pasti cowok yang super baik!”
Aku tersenyum.
“Tapi,” Arnest melanjutkan. “Itu belum menjadi fakta kan? Itu Cuma persepsimu. Kamu belum tahu yang sebenernya,”
Arnest membuat bahuku merosot. Dia benar.
“Duluin aja, Nya! Kayak iklan teh di TV itu! Lagi zamannya kok aksi jemput bola gitu,”
Pikiranku melayang. Apakah aku harus mengakui perasaanku pada seorang cowok yang menjadi sahabatku? Apakah dengan begitu Nata akan menemuiku? Apakah dengan begitu sifatnya akan berubah menjadi hangat seperti yang dulu? Lagi-lagi aku menyimpan pertanyaan yang tak terjawab.
Mungkin iya. Mungkin dengan aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Nata, ia akan berubah. Dan ini tidak akan menjadi pengorbanan yang sia-sia.
Mungkin saja.
Mungkin.