Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Selasa, 31 Juli 2012

TSMJ #6 (By: Kanata)

Perjalanan (Masih) Panjang

“Kok lo gak ikut sih?” Suara Galih bergaung dari ponsel yang sengaja aku pasang pada mode loudspeaker. “Ini Jogja loh! Jogja! Lo belom pernah kan ke Jogja!?” Ujarnya berapi-api seakan datang ke sana merupakan hal yang sangat penting.
“Gak ah, gua di rumah aja.” Jawabku sambil mengelap meja belajar.
Aku sedang memanfaatkan hari minggu dengan beres-beres kamar. Dari ocehan-ocehannya tentang Jogja dan rasa solidaritas antar teman, sepertinya dia belum menyerah juga untuk merayuku agar pada liburan semester bulan depan aku mau ikut teman-teman sekelas ke Jogja. Seminggu dia mencoba mengajakku, seminggu pula jawabanku tak berubah. Takkan berubah, tepatnya.
“Soalnya kami berdua udah ngerencanain liburan ke Jepang.” Ucap Diane saat aku menolak untuk bicara. “Iya kan, Honey?”
Aku tersenyum kecut mendengar alasan sepihak yang barusan diajukan oleh Diane. Pada kenyataannya aku baru tahu kalau Diane berencana mengajakku kesana. Galih bersiul di ujung sana.
            “Ooh, gua ngerti kenapa lo gak mau ikut. Mau bulan madu berdua toh?” Ucapnya jahil.
Diane terkikik senang. Aku tak memberi tanggapan.
Tak perlu aku katakan bahwa hampir semua temanku mendapat kesan bahwa Diane sungguhan tunanganku dan kabarnya kami akan menikah tak lama setelah Diane lulus kuliah, yang artinya sekitar 8 tahun lagi. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk tahu siapa penghembus kabarnya.
Jogja. Terakhir kali yang aku tahu seseorang dari masa lalu sekarang tinggal disana. Jadi rasanya aku takkan sanggup untuk menginjakkan kaki ke sana. Aku belum siap. Itu saja.
Namun memberi tahu alasan sebenarnya mengenai keenggananku untuk ikut pada orang-orang juga bukan suatu hal yang bijak. Entah politik apa yang telah dijalankan oleh Diane. Yang jelas semua orang di sekelilingku sepertinya amat menyukai dirinya. Dan jika aku melakukan hal-hal yang mereka anggap “aneh” tentunya aku akan menjadi pihak yang bersalah.
“Serius, gua gak bisa ikut. Gua mau ngelakuin persiapan olimpiade sains tiga bulan lagi.” Ujarku. Alasan yang tak sepenuhnya jujur namun juga bukan sebuah kebohongan.
 “Ya udah, kita ngobrolnya besok aja di sekolah.” Kudengar suara keluhan Galih di ujung sana. “Sori kalo gua udah ganggu kencan kalian!”
Senyum Diane makin mengembang. Ponsel yang baru kugunakan dua bulan lalu ini kembali menawarkan layar yang gelap menandakan sambungan telah berakhir. Sebuah ponsel yang mewah keluaran terbaru yang terlihat sangat kontras dengan kamarku yang sangat sederhana.
“Maaf ya?! Ponsel kamu gak sengaja jatoh ke kolam waktu aku kepleset.” Ujar Diane waktu itu sambil menyodorkan ponselku dalam keadaan amat kuyup.
“Gak apa-apa. Bisa aku keringin kok.” Jawabku sambil berniat mengambilnya dari tangan Diane.
Diane malah menarik tangannya. “Gak perlu. Nanti aku ganti aja sama yang baru. Sekalian nomernya yang baru juga.”
Menyadari mukaku yang kebingungan, Diane menambahkan, “Gak ada nomer penting kan? Cuman nomer-nomer temen sekolah sama keluarga kan? Bisa minta lagi ke mereka kan?”
            Nada bicaranya sih biasa saja. Namun entah kenapa sepertinya Diane sedang menyembunyikan sesuatu.
Pikiranku gamang. Diane menatapku lekat. Meminta jawaban. “Iya. Gampang tinggal minta lagi.” Ucapku akhirnya.
Di sana ada nomor ponsel Vanya. Aku tak yakin akan bisa mendapatkannya kembali. Bagaimana lagi cara Vanya bisa menghubungiku sementara tak satu pun emailnya yang aku balas?
            Biarlah, memang seharusnya pertemanan kami hanya sebatas itu, hiburku. Semoga.
            “Oy! Ngelamun!” Seru Diane membuyarkan pikiranku.
            “Kardus ini mau dibuang aja?” Tambahnya sambil menunjuk sebuah kardus setinggi setengah meter yang aku letakan di sebelah meja belajar.
            “Oh. Jangan! Simpen aja disitu.”
            Alisnya berkerut. “Perasaan, kamu gak pernah buka kardus yang ini deh.
            “Isinya barang2 aku sewaktu di London.”
            “Kalo emang isinya sayang buat dibuang, kita simpen aja di gudang belakang. Lumayan kan bisa sedikit memperluas ruangan.”
            “Gak usah. Di situ aja.” Jawabku keras kepala.
            ‘Isinya apa sih? Penasaran. Aku buka ya?!” Tanpa menunggu persetujuanku dia merobek lakban yang menyegel kardus tersebut.
            Satu persatu Diane mengeluarkan isinya. Kaus tim Muggle-Quidditch, beberapa poster, sepatu, jaket almamater, kaleng berisi koin–koin kuno, setumpuk buku, jam dinding, dan amsih banyak lagi barang-barang yang muncul dari dalam kardus.
            Sebelum akhirnya hatiku dibuat mencelos saat Diane mengeluarkan barang yang benar-benar aku lupa ada disana. sebuah album foto bersampul biru dengan logo asrama Ravenclaw di bagian depannya.
            Aku ingat pernah membelikan Vanya album warna merah yang serupa namun dengan logo Gryffindor, asrama kesukaannya di cerita Harry Potter. Aku membelinya di sebuah toko di London sebagai hadiah ulang tahun. Yang tak kukatahui adalah ternyata Vanya membelikan aku album pasangannya di toko yang sama.
            Menyadari ekspresi mukaku. Diane menghentikan kegiatannya mengeluarkan barang dan mulai membuka-buka album tersebut. Dia membalik lembar demi lembarnya. Semakin banyak yang dia buka, semakin suram pula auranya.
            “Aku mau pulang.” Ujarnya sebelum seluruh isi album tersebut dia lihat.
            Tanpa berkata apapun lagi dia melengos pergi keluar kamar. Kulihat dari jendela kamar Diane masuk ke dalam mobil diikuti oleh Pak Hamzah, sopir keluarganya. Accord berwarna hitam metalik tersebut mundur keluar halaman sebelum melaju pulang.
            Sebuah foto ukuran kartu pos tersaji di hadapanku. Sebuah syal besar melingkari pundak kami. Hamparan salju tersaji menjadi latar belakang kami. Kami tertawa. Tangan kananku dan tangan kiri Vanya memegang sebuah karton merah. Sebuah kalimat pendek dari tinta emas tercetak di atasnya: CUZ WEE LOVE YE
            Saat itu musim dingin. Kami mengantri sejak tengah malam demi mendapatkan cetakan pertama buku favorit kami. Karton tersebut merupakan ungkapan kecintaan kami pada sang pengarang.
Namun tentu saja Diane tak mengetahuinya. Aku akan sangat mengerti jika Diane salah menangkap maknanya. Entah kenapa aku senang dengan kesalahpahaman ini.
Aku tersenyum seiring dengan makin banyak foto yang kulihat. Kenangan-kenangan manis berkelebat.
Aku dan Vanya. Dua orang asing yang terdampar di sebuah negeri yang terlampau jauh. Kami teramat dekat karena merasa memiliki ketertarikan pada bidang yang sama. Kami menjadi terikat oleh kenyataan bahwa banyak hal yang bisa kami bagi bersama.
Aku dan Vanya. Sepasang sahabat baik.
Dulu.....
*
“Kok lo tiga hari ini ke sekolah naek sepeda lagi?” Tanya Galih sebelum sepedaku benar-benar berhenti. “Kereta kencana lo mana?”
Yang dia maksud dengan kereta kencana adalah Accord hitam milik keluarga Diane. “Gak tau. Bubuk sihirnya lagi di isi ulang kali.” Jawabku asal sambil melengos pergi dari parkiran menuju kelas. Secara otomatis Galih mengekor di belakang.
“Pertengkaran asmara, ya?!”
“Bukan urusan lo!” jawabku ketus.
“Justru ini bakalan jadi urusan gua.” Ujar Galih makin bersemangat.
 “Maksudnya lo mau jadiin ini bahan buat mading lo? Gitu?” Aku menaiki tangga menuju lantai dua tanpa menoleh padanya.
Mendengar gerutuanku dia malah terkekeh. “Ya enggak lah. Mading gua itu musti steril dari berita gosip murahan kayak gini. Informasi itu suci. Musti bisa mencerahkan peradaban umat manusia. Jadi kalo cuman mau baca gosip sih mendingan lo baca tabloid. Jangan mading gua.” Penjelasan Galih yang panjang lebar cukup untuk mengantarkan kami hingga kelas.
“Bagus!” ujarku sembari menghempaskan pantat ke kursi.
“Maksud gua. Itu artinya lo bisa ikut kita liburan ke Jogja.” Ucapnya yang duduk di kursi belakang. “Lo gak jadi kan pergi bareng Diane-nya?”
Aku memutar badan hingga menghadap padanya. Galih nyengir seakan dirinya telah memenangkan pertempuran yang sangat hebat.
“Begini, ya, Tuan Galih... ini bukan tentang gua yang mau liburan bareng Diane ato bukan. Tapi kalo kalian liburannya ke Jogja. Itu artinya gua gak bakalan ikut. Gak peduli lo mau nyogok gua berapa pun, jawaban gua tetep sama, ‘Enggak’!”
Selama beberapa detik pandangan kami bertemu. Alis Galih bertaut menandakan dirinya sedang mempertanyakan sesuatu.
“Kok gua nangkap kesan lo lagi ngehindarin sesuatu sih?” Ujarnya sambil menyandar ke punggung kursi.
Deg... kalimat Galih barusan terasa terlalu tepat sasaran. Aku memilih untuk tak menjawab. Kembali aku membalikkan badan. Memunggungi Galih.
“Siapa?” Tanyanya dekat telingaku.
Mulutku diam, namun hatiku menjawab, “Masa Lalu.”
*
“Angga, tunggu!” Suara seorang gadis terdengar dari lorong belakang. Aku menghentikan langkah dan menoleh.
Fiona menghentikan larinya segera setelah menyadari aku sedang memandang ke arahnya. Dia berjalan ke arahku sambil menunduk. Hanya bando merah jambu yang dapat kulihat jelas dari kepalanya.
“Aku disuruh Pak Rendi buat ngasih tau kamu kalo besok ada pertemuan klub sains di lab kimia sepulang sekolah.” Pada jarak 6 meter dia menghentikan langkah. Kepalanya tetap menunduk. Entah penglihatanku yang menipu atau bagaimana, tapi sepertinya kulihat segurat warna merah pada pipinya.
“Oh, oke.” Jawabku. “Makasih ya?!”
Fiona mengangkat kepalanya sebentar. Mata kami bertatapan. Aku berusaha tersenyum setulus mungkin. Dia menanggapi keramahanku dengan segera menundukkan kepala kembali.
“Aku balik lagi ke kelas ya?! Lupa tadi belum beres-beres.” Ucapnya tanpa memandangku.
“Sip.”
Fiona membalikkan badan hendak kembali ke kelasnya. Lima langkah dia berjalan tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Fio!” Aku memanggilnya. “Tunggu.”
Fiona menghentikan kegiatannya. Aku berjalan ke arahnya.
“Katanya kamu lagi nyari-nyari buku ini.” Ucapku sambil menyodorkan sebuah buku. “Kebetulan aku punya dua. Jadi yang satu ini buat kamu.”
Mata Fiona berbinar-binar seakan sedang menemukan sebuah harta karun. “’Keajaiban-keajaiban Ilmu Kimia’... seriusan ini buat aku?”
Aku mengangguk sambil tak lupa tersenyum. Muka Fiona sontak memerah. Dia langsung menunduk seperti kebiasaannya.
“Kalo gitu, ampe ketemu besok. Bye” Ucapku.
“Bye.” Balas Fiona.
Aku melihat sosok Fiona yang berjalan memunggungiku.
Fiona Sagita. Sejujurnya dia sama sekali tak memiliki bakat dalam bidang sains. Berkali-kali kulihat dia cukup kesulitan untuk memahami serta mengikuti kegiatan ekskul ini. Aku tak yakin dia juga menikmatinya. Malah menurut kabar yang kudengar, satu-satunya alasan dirinya masuk klub sains adalah agar bisa dekat dengan seorang anggota pria. Siapa sang lelaki beruntung tersebut, aku tak tahu.
Beruntungnya gadis yang tergolong cantik ini adalah tipe orang yang sangat pandai bersosialisasi. Meskipun kemampuannya dibawah rata-rata (untuk sains, karena jika menyangkut seni Fiona sangat luar biasa), tak satu pun anggota klub yang menganggap Fiona sebagai pengganggu. Kami cenderung suka membantu dia secara sukarela jika dirinya mengalami kesulitan memahami kegiatan yang sedang dilakukan.
Sedikit banyak Fiona mengingatkanku pada Vanya. Selama dua tahun kami saling mengenal, Vanya yang tak pernah bisa bangun pagi selalu saja memaksakan diri menemaniku berenang setiap minggu dini hari. Walau masih merasa sangat mengantuk, Vanya akan menyemangatiku dari pinggir kolam agar berenang lebih cepat atau lebih jauh.
Lebih sering kutemukan dirinya tertidur di bangku. Hatiku selalu terasa hangat setiap mendengar dengkuran halus dirinya yang bergelung sambil memakai jaket tiga lapis dengan berbantalkan tas.
Kurasa itulah gunanya sahabat...
Vanya memberi arti jauh lebih banyak bagiku daripada yang disadarinya...
Namun tetap saja aku tak mungkin bisa menemuinya lagi. Tidak setelah kejadian itu...



Rabu, 04 Juli 2012

TSMJ #5 (By: Vanya)

PILIHAN KEDUA

            Cuaca semakin tak bersahabat. Akhir-akhir ini matahari senang membuat peluh orang-orang mengucur pada siang hari. Dan ketika sore hari, hujan dengan deras mendera. Mungkin anomali cuaca yang santer diperdengarkan itu memang nyata adanya. Atau memang musim peralihan selalu seperti ini. Belum lagi orang-orang yang banyak terserang flu. Tidak terkecuali Arnest yang sekarang sedang bersin-bersin dengan hebohnya.
            “Nest, kamu yakin nggak pa-pa?” tanyaku khawatir, setelah berhasil mengajak Arnest pergi dari kantin sebelum orang-orang di sana kehilangan nafsu makan mereka hanya gara-gara Arnest.
            “Aku.. haaaaciiiin! Nggak pa-pa kok. Cuma… hhmppprrrrt,” dan sekarang Arnest mulai mengeluarkan ingusnya itu. Membuatku sedikit jijik. Kalau saja dia bukan sahabatku, mungkin aku sudah menjauh dari kemarin-kemarin.
            “Aku cuma sedikit flu kok. Hehe” lanjutnya setelah membersihkan hidungnya.
            “Mending kamu ke dokter deh, Nest,” kataku sambil membenahi jepit rambutku.
            “Udah kok, Nya. Haaaaciiiin!”
            “Ke UKS aja ya? Mumpung belum ada guru,”
            “Nggak usah. ASTAGA!!!” tiba-tiba saja mata Arnest membulat, raut wajahnya seperti orang kesetanan.
            “Ada apa?” kataku setengah panik.
            “Itu Romi! Aduh gimana ini, Vanya? Masa dengan keadaanku seperti ini aku harus ketemu dia?!” kali ini Arnest benar benar panik melihat Romi—orang yang Arnest sukai, sedang berjalan ke arah kami dengan sebuah map warna biru di tangannya.
            Keadaan Arnest memang sangat mengerikan. Hidungnya merah karena sering bersin dan matanya berair terus-terusan seperti orang yang baru saja di putuskan oleh pacarnya. Belum lagi saat ia harus mengeluarkan ingusnya. Bisa-bisa melihat hal ini, Romi ilfil dan harapan Arnest untuk dekat dengan orang itu lunturlah sudah.
            “Gimana ini?! Aduh, dia udah deket?!” kata Arnest sambil menutupi wajahnya dengan tisu besar yang ia bawa.
            Dan tiba-tiba saja, aku mempunyai ide yang bagus. “Tenang aja. Kamu diem dan nggak usah bicara apa-apa. Biar aku aja,” ucapku sambil tersenyum senang.
            Ketika Arnest sudah membuka mulut ingin mengajukan protesnya kepadaku, Romi sudah berdiri di depan kami. Membuat Arnest kembali menutup mulutnya.
            “Hai, Nest. Ini bahannya buat mading. Usulanku sih,” kata Romi sambil menyerahkan map biru yang dia bawa.
            Aku cepat-cepat merebut map itu dari tangan Romi. “Sorry Rom, Arnestnya lagi sakit nih. Jadi,” belum selesai aku bicara, Arnest sudah melototiku.
            “Jadi?” tanya Romi.
            “Jadi dia harus ke UKS. Bisa tolong kamu anterin ke UKS? Aku harus pergi nganterin buku-buku tugas ke meja Pak Parno. Ntar mapnya aku kasih Arnest waktu mau pulang. Bisa kan? Dah Arnest, Dah Romi,” aku segera pergi sebelum Arnest protes.
            Kata-kataku barusan memang tidak bohong. Aku diberi tugas oleh Pak Parno untuk mengumpulkan buku tugas anak-anak kelasku tetapi saat pulang sekolah nanti. Dan caraku barusan memang ampuh. Setali tiga uang. Arnest bisa istirahat di UKS karena kali ini aku yakin ia tidak akan bisa menolak ucapan Romi, dan Arnest juga bisa semakin dekat dengan Romi. Rencana yang sempurna. Di kelas, aku baru bisa berhenti terkikik memikirkan wajah malu Arnest setelah Miss Rini, guru bahasa Inggrisku, menegurku.
            Sepulang sekolah aku membereskan barang-barang Arnest termasuk map yang tadi diberikan Romi kemudian ke UKS untuk menyerahkan tas dan map biru itu. Tanpa kuduga, di depan UKS perempuan, Romi sudah berdiri dengan tas di punggungnya.
            “Dari tadi kamu di sini Rom?” tanyaku.
            “Eh, nggak kok. Barusan aja. Ini mau anter Arnest pulang,” jawabnya.
            Aku tersenyum senang, rencanaku memang berhasil. “Oh gitu. Hmm… ini tasnya Arnest sama map kamu. Tolong sekalian kasih Arnest ya, bye,” aku melambaikan tanganku pada Romi lalu segera kembali ke kelas untuk mengambil buku tugas yang sudah menumpuk di meja guru.
            Membawa 34 buku tidaklah terlalu berat. Hanya saja jarak yang harus kutempuh dari kelas menuju kantor guru lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket, beberapa koridor, dan barulah sampai. Tetapi ini sudah menjadi kewajibanku yang sudah mengiyakan perintah Pak Parno tadi siang.
            Baru saja aku melewati lapangan basket dan hendak berbelok ke koridor, seseorang menabrakku dengan keras sampai aku jatuh ke belakang dengan posisi yang tidak mengenakkan. Lalu kurasakan sebuah bola besar menghantam kepalaku. Buku-buku yang ku bawa bertebaran dimana-mana menghujani tubuhku. Rupanya orang tadi sedang berlari dan menabrakku.
            Aku berusaha berdiri membenahi rokku yang tadi terbuka sampai paha. Untung saja aku memakai celana pendek. Tetapi aku tetap malu. Aku tak berkata apa-apa saking malunya. Kubereskan buku-buku yang bertebaran tadi. Orang yang tadi menabrakkuitu juga ikut membantuku.
            “Sorry, nggak sengaja,” katanya sambil memungut buku-buku yang tersebar.
            “Ngaak pa-pa,” kataku cepat. Berusaha menyembunyikan rasa malu yang membuat wajahku panas. Bagaimana tidak malu jika seorang cewek jatuh sampai roknya terangkat sampai paha di depan seorang cowok?
            Setelah selesai membereskan buku-buku itu, dan cowok itu juga sudah memungut bolanya—yang ternyata bola basket, aku segera meninggalkan cowok berbaju olah raga itu sambil berlari. Cowok itu berusaha memanggilku tetapi aku terus berlari. Aku tak sanggup berdiri lebih lama lagi di depan cowok itu. Aku yakin 1000 persen dia melihat celana pendek hitam yang kupakai di balik rok abu-abu selututku ini. Ah, sangat memalukan. Membuatku ingin mengganti wajahku agar kalau aku bertemu lagi dengan cowok itu aku tak perlu malu lagi. Sayangnya itu mustahil.
***
            “Uti, Akung, Vanya pulang,” ucapku sambil memijit kepalaku yang pening. Ini gara-gara bola basket tidak tahu diri yang seenaknya memantul di kepalaku itu.
            “Oh sudah pulang. Ayo masuk makan dulu, kamu pasti laper kan habis jalan kaki?” kata Uti yang muncul dari dapur.
            Jarak antara sekolah dan rumah Uti memang tak terlalu jauh. Sekitar 400 meter. Jadi untuk berangkat dan pulang sekolah aku tinggal jalan. Tidak membutuhkan kendaraan lagi.
            “Iya Uti,”
            “Oh iya, tadi Nia telepon katanya mau ngomong sama kamu tapi kamunya belum pulang,” ucap Uti sambil menyiapkan piring untukku.
            “Emang mama mau ngomong apa, Ti?”
            “Uti ya ndak tahu. Wong tadi Uti tanya malah bilang nanti mau telepon lagi,”
            “Oh gitu,” kemudian aku menyendokkan nasi dan ayam asam manis buatan Bu Sariyem ke piringku dan melahapnya.
            Satu jam setelahnya, mama menelepon. Mama memberitahuku bahwa Janet datang ke apartemen mama kemarin sore. Janet, roommate-ku sekaligus sahabatku itu, menanyakan kabarku dan membawa sebuah kotak berwarna pink. Janet bilang itu kotak milikku yang ketinggalan di kamar. Aku berusaha mengingat-ingat kotak itu. Lalu aku mengiyakan bahwa itu milikku. Dan mama sudah mengirimkannya untukku.
            Pikiranku melayang pada kotak yang berukuran cukup besar berisikan foto-fotoku bersama Nata dan benda-benda kecil pemberian dari Nata seperti gantungan kunci dan semacamnya. Saat aku membereskan barang-barang di kamarku dulu, aku lupa membawa kotak yang aku simpan di bawah tempat tidurku itu. bahkan aku baru ingat ketika mama memberitahuku tadi. Bagaimana bisa aku lupa?
            Lalu aku beringsut menuju kamarku. Membuka laptop lalu mengirim e-mail kepada Nata. Entah sudah berapa kali aku mengirim e-mail padanya hanya untuk sekedar menceritakan hari-hariku di sini. Dan tak satupun dari e-mailku itu dibalasnya, tentu saja. Aku tahu ini sia-sia. Tetapi siapa yang tahu kapan Nata akan membalas e-maiku? Mungkin e-mailku kali ini akan dibalasnya. Atau mungkin ia akan membalas e-mailku besok, atau besoknya lagi. Who knows?
***
            Kemarin Arnest tidak masuk sekolah karena mamanya melarang Arnest untuk pergi ke sekolah dulu. Kemarin malam ia meneleponku kalau hari ini ia sudah bisa berangkat sekolah walaupun flunya belum seratus persen sembuh. Dan Arnest membuktikan kata-katanya. Pagi ini ia sudah duduk di meja kami sambil menatapku cerah. Arnest memang tampak lebih sehat dari waktu itu. Hanya saja ia masih pilek.
            “Vanyaaa,” Arnest langsung memelukku ketika aku hendak meletakkan tasku di kursi di sebelahnya.
            Arnest melepaskan pelukannya. “Thanks yaaa. Kamu udah bantuin aku. Dulu itu Romi mengantarku pulang. Dan mulai hari itu, dia jadi sering sms aku. Uwaaaa, Vanyaaa makasiiih. Ini semua karena kamu,” lanjut Arnest sebelum ia kembali memelukku erat.
            “Iya sama-sama. Kalian ngomongin apa aja? Ceritaa selengkap lengkapnya!” tuntutku penuh  antusias.
            Setelah pertanyaanku itu meluncur dari mulutku, Arnest tak henti-hentinya menceritakan kejadian waktu ia diantar ke UKS, di antar pulang, saat Rom sms untuk menanyakan kondisinya, dan obrolan-obrolah lain yang membuatku sakit kepala. Bahkan lebih sakit daripada dihantam bola basket. Aku jadi sedikit menyesal bertanya soal Romi pada Arnest.
            “… terus paginya, dia sms aku! Dia tanya gimana apa aku udah baikan atau belum. Ya ampuuuun Vanyaaaa. Mimpi apa aku bisa ditanyain kayak gitu sama Romi!” kata Arnest yang entah sudah keberapa kalinya ia bercerita soal Romi.
            “Iya, udah dong, Nest! Aku sampe hapal sama cerita kamu,” kataku sewot sambil membuka dua tutup teh botol yang ada di meja kantin ini. Satu untukku dan satu untuk Arnest.
            “Iya iyaa. Nggak usah marah kayak gitu kalee. Oh iya, gimana sama Natamu itu?”
            Ah ya! Nata! Pertanyaan Arnest membuat mood-ku anjlok.
            “Nggak tahu,” jawabku sekenanya.
            “Kok nggak tahu sih? Kamu jadi ngungkapin perasaan kamu kan?”
            Aku menatap Arnest sesaat. “Aku nggak tahu. Kamu tahu kan Nest, dia nggak pernah bales e-mailku. Dan nomernya udah nggak aktif dua minggu yang lalu setelah waktu itu.”
            Ya, setelah hari itu. waktu itu aku mencoba telepon ke nomor Nata lagi. Awalnya aku senang akhirnya Nata mau mengangkat telponku. Tetapi ternyata yang berbicara di seberang telepon sana adalah ceorang cewek dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar manis. Suara itu justru seperti cicitan tikus di telingaku.
            Saat itu aku menanyakan di mana Angga—nama panggilan Nata di Bandung. Cewek-suara-cicitan-tikus itu berkata Angga tidak ada dengan suara ketus. Lalu setelah itu, nomer Nata tak aktif lagi. Entah siapa cewek-suara-cicitan-tikus itu. Mungkin adik Nata atau entahlah. Yang jelas aku tak begitu menyukai nada bicara cewek itu.
            “Iya sih. Atau jangan-jangan cewek itu pacarnya Nata?” kata-kata Arnest membuatku menggigit bibirku.
            “Nggak mungkin lah,”
            “Kenapa nggak mungkin?”
            “Karena… ya nggak mungkin aja,”
            Arnest meminum teh botolnya. “Mungkin aja. Tapi udalah. Balik ke masalah awal. Jadi nggak bilang “I love you, Nata!”? dari e-mail lebih mudah dari pada ngomong langsung. Nggak perlu liat orangnya.”
            “Tapi… apa kamu yakin kalau nanti aku memberitahukan perasaanku ke Nata, dia akan sama seperti dulu lagi?”
            “Siapa yang tahu kan, Nya? Coba dulu baru kita tahu hasilnya. Tapi ini keputusan kamu. Jadi kamu mau bilang atau nggak itu hak kamu. Aku sebagai sahabat mendukung aja,” kata Arnest sambil menepuk bahuku.
            Memang segala kemungkinan itu ada. Tetapi, entahlah. Tiba-tiba saja aku merasa ragu. Mungkin ini memang takdirku untuk tak lagi berteman dengan Nata.
            “Aku ragu. Kayaknya emang takdirku temenan sama Nata Cuma di London aja,”
            Astaga! Apa yang baru kuucapkan? Menerima takdir “tidak berteman dengan Nata” dan membuat kata-kata Kak Vio soal “pengorbanan bodoh” itu menjadi nyata? Aku ini yang bodoh.
            “Nggak. Aku nggak akan membuat pengorbananku ini jadi sia-sia seperti kata-kata Kak Vio, Nest. Jadi aku akan mencoba mengungkapkan perasaanku ini. Walaupun aku nggak tahu kemungkinan apa yang akan menjadi nyata nanti,” aku meralat ucapanku sendiri.
            “Vanya, kamu nggak perlu harus membuktikan sama kakakmu kalo pengorbanan kamu ini nggak sia-sia. Aku yakin kakakmu cuma pengen yang terbaik buat kamu. Kamu pulang ataupun kamu nggak pulang ke Indonesia, jauuuh di dalam hatinya, kakakmu pasti dukung kamu. Mungkin dia bilang kayak gitu kemarin biar kamu bisa ngelupain Nata,” Arnest tampak sangat serius. “Jadi kamu nggak perlu merasa harus membuktikan itu pada kakakmu. Kamu masih punya kesempatan, masih punya pilihan.”
            “Pilihan apa?” tanyaku tak mengerti.
            “Ya kamu mau ngungkapin perasaanmu itu sama Nata, menemui cowok itu, membuat cowok itu seperti dulu lagi. Atau,” Arnest mencondongkan badannya ke arahku beberapa derajat. “Atau kamu melupakan Nata dan move on,
            “Move on?” kataku tak percaya.
Itu adalah hal terakhir yang akan ku lakukan saat ini. Bagaimana bisa semudah itu melupakan seseorang yang aku cintai?
“Itu susah Nest,”
“Eiiiits! Lagi –lagi itu keputusan kamu. Kamu yang menjalani jadi kamu yang mutusin. Aku sih ngasih saran aja,” Arnest kembali meminum teh botolnya lewat sedotan sampai habis.
Aku tidak tahu harus memilih yang mana. berusaha membuat Nata kembali ke kehidupanku dan membuktikan pada Kak Vio kalau pengorbananku ini tak sis-sia. Atau aku harus melepas Nata dan membenarkan kata-kata Kak Vio. Aku tak tahu. Dua-duanya sama-sama sulit. Tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan begitu saja.
“Ngomong-ngomong, jepit kupu-kupumu kok nggak kamu pake?” suara Arnest membuat lamunanku buyar.
“Oh, di tas. Udah dua hari emang nggak aku pake kok,”
***
Aku menekan tombol hp ku dengan gemetar. Susah payah aku mencari nomor Arnest di phonebook­-ku dan akhirnya aku berhasil menghubungi Arnest. Nada sambung yang terdengar membuat rasa panik yang menyelubungiku semakin menjadi. Beberapa detik kemudian, Arnest mengangkat telponku.
“hallo, Nest?”
“Iya, ada apa?”
“Jepit rambutku hilang! Aku pikir tadi di dalam tas. Tapi waktu aku cari nggak ada. Gimana ini, Nest?”
“Jepit rambut kupu-kupumu itu?”
“Iya. Aduh, gimana ini Nest?” aku menggigit bibir bawahku.
“Coba kamu cari di kamarmu, kamar mandi, di rumah kamu deh,”
“Nggak ada. Aku udah nyariin dari tadi tapi nggak ada. Gimana ini Nest?”
“Ya udah, tenang aja. Besok aku temenin kamu cari jepit rambut yang sama kayak jepit rambutmu itu, oke?”
“Benda itu berharga buat aku Nest! Kalau benda itu nggak berharga, aku nggak bakalan sepanik ini!” rasa panikku menjelma menjadi rasa marah. Kata-kata Arnest barusanlah penyebabnya.
Tanpa menunggu kata-kata Arnest selanjutnya, aku langsung mematikan telponnya. Kulempar hp-ku ke kasur dengan penuh amarah. Kududukkan tubuhku di kursi belajar di sampingku lalu menangis pelan.
Jangan di lepas. Kamu lebih cantik pake jepit rambut itu,” kata-kata Nata itu masih kuingat seolah-olah baru aku dengar semenit yang lalu.
Semenjak Nata mengucapkan hal itu, aku sangat menyayangi jepit kupu-kupu pemberian Kak Vio itu. sebenarnya ada empat yang diberikan Kak Vio kepadaku. Tetapi aku memberikannya pada Janet satu, sedangkan yang hilang ada dua. Hanya satu yang tersisa dan sekarang hilang. Ini semua karena kau terlalu teledor.
Aku memeluk lututku dan membenamkan wajahku dibalik lututku. Jepit itu sangat berharga untukku. Terlalu berharga untuk hilang.
Kemudian aku mendengar pintuku diketuk tiga kali. “Vanya, ini ada Arnest,” suara Uti membuat wajahku terangkat lagi.
Aku segera menghapus air mataku lalu membuka pintu kamarku sedikit. Agar Uti tidak tahu kalau kamarku berantakkan.
“Ini lho ada Arnest,” kata Uti lagi.
Kemudian Uti pergi menyusul Akung di ruang tamu.
“Vanya,” kata Arnest setelah masuk ke kamarku yang seperti kapal pecah ini.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun aku menghambur memeluk Arnest. “Jepit itu sangat berharga, Nest. Nata menyukai jepit itu,” air mataku menetes lagi.
Arnest melepaskan pelukanku. “Astaga, Vanya. Itu cuma jepit rambut, oke?”ia mulai lagi.
“Kamu nggak tahu, Nest! Benda itu penting! Aku tahu itu cuma jepit rambut yang nggak berarti buat kamu, tapi buatku sangat berarti!” aku mulai marah lagi. Aku kira kedatangan Arnest akan membuatku lebih tenang. Ternyata aku salah.
“Nata membuatmu gila!” nada suara Arnest mulai meninggi. Dia sudah seperti Kak Vio.
Kemudian semuanya menjadi hening.
“Sorry, Nya. Aku nggak bermaksud…”
“Iya nggak pa-pa. Ini emang cuma jepit rambut yang hilang,” ucapku lirih.
“Vanya, aku nggak bermaksud gitu. Mungkin jepit rambutmu jatuh di kelas. Besok pagi aku akan membantu mencarimu,” Arnest berjanji.
Thanks. Ini udah malem Nest. Mendingan kamu pulang aja.”aku tak bermaksud mengusir Arnest. Tetapi aku tak ingin Arnest lebih lama lagi di sini.
“Oke aku pulang, sampai besok.” lalu ia keluar dari kamarku.
Hari ini jepit rambutku hilang. Benda yang penuh kenangan bersama Nata itu hilang. Mungkin satu per satu kenanganku bersama Nata akan hilang. Dan mungkin, setelah ini Nata sendirilah yang akan benar-benar hilang dari hidupku.
Nata, apa kamu lupa kalau kamu sudah berjanji akan menjadi temanku selamanya?
***
“Udahlah Nest, nggak pa-pa. kamu emang bener, itu cuma jepit rambut. Udahlah,” kataku lesu pada Arnest yang masih dengan semangat mecari jepit rambutku di kelas. Dan ini sudah ke lima kalinya Arnest menyusuri setiap laci, sudut-sudut kelas, dan merangkak di lantai untuk mencari jepit rambut kupu-kupu berwarna pink-ungu kecil itu.
“Nggak bisa,”
“Tenang aja, kamu nggak usah ngelakuin ini cuma gara-gara kamu merasa bersalah sama aku tadi malem,”
Arnest berhenti mencari. “Sorry, Nya,”  mata Arnest menyiratkan rasa penyesalan yang dalam.
“Iya nggak pa-pa kok, udah yuk, pulang,” ajakku.
Kami pun melangkah pergi. Hari ini aku akan ke rumah Arnest, jadi kami pulang lewat pintu depan untuk mengambil motor Arnest terlebih dahulu. Setelah melewati lapangan basket, seseorang memegang bahuku pelan.
“Sorry,” kata orang itu.
Aku menoleh. Dan ASTAGA! Cowok yang beberapa hari yang lalu menabrakku itu berdiri tepat di depanku. Tiba-tiba rasa malu itu datang lagi. Wajahku kembali memanas. Arnest menatap aku dan cowok itu bergantian dengan tatapan bingung.
“Kamu yang waktu itu nggak sengaja aku tabrak itu kan?” tanya cowok itu.
“I, iya,” jawabku sedikit ragu karena saat ini aku ingin secepatnya ditelan ikan hiu.
“Waktu itu, bentar,” cowok itu merogoh kantong celana abu-abunya. “Waktu itu jepit kamu jatuh. Nih,” tangan cowok itu menyodorkan sebuah jepit rambut kupu-kupu yang selama ini kucari.
Aku segera mengambilnya. “Jepitku!” kataku sedikit berteriak. “Thanks ya, hmm…”
“Aka. Namaku Aka. Kamu Vanya kan?”
Aku mengangguk walaupun aku sedikit heran karena Aka mengetahui namaku.
Thanks Aka,” ulangku.
“Oke. Aku pergi dulu ya,” Aka tersenyum lalu pergi menuju lapangan basket.
Arnest menatapku seperti seorang hakim yang sudah tak sabar mendengar penjelasan dari seorang tersangka.
“Kamu berhutang cerita kepadaku, Sista!”kata Arnest.
Sesampainya di rumah Arnest, bukannya mengerjakan tugas IPS dari Pak Tama, ia justru membombardirku dengan pertanyaannya. Dengan penuh rasa malu, akhirnya aku bercerita. Menceritakan pertama kali bertemu dengan Aka sama saja menceritakan aibku sendiri. Memalukan!
“Hahaha…” sudah sepuluh menit Arnest tertawa setelah mendengar ceritaku. Dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan berhenti.
“Sorry, Nya.” Ia mengusap matanya yang mengeluarkan air mata geli lalu kembali tertawa. “Hahaha… aku bisa bayangin posisi jatuh kamu. Sumpah jelek banget di bayanganku,”
“Udah! Bikin aku tambah malu aja!” wajahku masih cemberut karena Arnest.
“Oke, oke… yang penting jepit rambutmu ketemu kan?”
Aku tersenyum, “Iya,”
“Vanya?”
“Hmm?
“Aka baik ya mau mengembalikan jepit rambutmu?” aku menangkap maksud lain di balik kata-kata Arnest itu, tetapi aku memilih diam.
“Iya. Yuk kerjain tugasnya!”
Ditengah-tengah pengerjaan tugas ini, Arnest kembali mengungkit soal Aka.
“Menurutmu Aka kayak gimana?” lagi-lagi aku menangkap maksud terselubung di balik kata-kata Arnest itu.
“Aka? Mana ku tahu. Aku kan belum kenal dia.” Kataku sambil membuka buku IPS.
“Kenapa kamu nggak kenalan lebih jauh aja sama Aka? Dia itu baik, pemain basket yang oke, ganteng pula,”
Mendengar hal itu, aku tetap menunjukkan aksi cuekku. “Terus kenapa?”
“Nggak pa-pa sih. Kali aja kamu suka,”
“Suka?!” aku shock. “Aku kenal aja belum,”
“Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau kamu melihat Nata untuk pertama kalinya dan langsung tertarik?”
Arnest benar. Tetapi ini berbeda. Tak sama.
“Nggak usah nyama-nyamain Nata sama Aka deh,”
“Yeee… siapa juga yang nyama-nyamain!”
“Udah nih, kamu yang bacain ini biar aku yang ngetik,” aku membelokkan pembicaraan.
***
“Hai Vanya!” sapa Aka ketika aku akan pulang.
“Oh hai Aka!” sahutku.
“Mau pulang?”
“Iya,”
“Mau aku antar pulang?”
“Nggak usah, rumahku deket kok dari sini. Aku jalan aja,”
“Oh, oke. Hati-hati ya,”
“Iya, dah,” aku melambaikan tanganku lalu berjalan pulang.
Setelah Aka mengembalikan jepit rambutku tiga hari yang lalu, Aka jadi sering menyapaku. Kadang ia mengajakku makan di kantin dan membantuku dalam beberapa hal. Dan hari ini ia menawariku untuk mengantarku pulang. Aku rasa Arnest benar, Aka memang baik.
“Cieee. Aka lagi mau pedekate tuh, Nya.”
“Pedekate? Nggak mungkinlah! Dia cuma temen yang baik, itu aja.”
“Awalnya temen yang baik, lama-lama jadi pacar yang baik.” Arnest mulai menggodaku lagi.
“Apaan sih kamu?!”
“Aduh, kapan ya Romi ngajak aku buat pulang bareng?” imajinasi Arnest mulai liar.
Lagi-lagi Arnest benar. Aka terus mendekatiku. Ia selalu memerhatikanku sampai hal kecil seperti makan sekalipun. Kadang saat malam tiba, Aka meneleponku hanya untuk menanyakan tugas. Walaupun kami berbeda kelas, tugas kami tetap sama. Jadi, tidak heran jika ia bertanya tentang tugas. Yang membuat aku dan heran adalah, kenapa ia tak menanyakan hal itu pada teman sekelasnya saja? Bukankah lebih jelas jika bertanya dengan teman sekelas?
He loves you, Vanya,”
But I love Nata,” kataku tanpa kompromi.
“Mungkin ini saatnya buat melupakan Nata, Vanya,”
Ini saatnya melupakan Nata? Melupakan Nata? Melupakan Nata?
Aku rasa tidak.
“Aku pulang dulu ya, Nest,”
Sesampainya di rumah,  aku dikejutkan oleh kotak pink yang sudah ada di kamarku. Kata Uti dan Akung, kotak itu datang tadi pagi. Lalu aku segera membuka kotak pink itu.
Di dalam kotak itu ada puluhan fotoku bersama Nata. Foto saat kami di sebuah café, di Camden Market, di atap gedung asrama, dan masih banyak lagi. Sebenarnya foto ini masih banyak. Tetapi sebagian sudah kutata di album foto kecil dan kuberikan pada Nata sebagai kado ulangtahun dariku. Aku tak tahu apakah Nata masih menyimpan hadiahku itu.
Melihat foto-foto itu, hatiku seperti diiris. Begitu banyak kenangan bersama Nata. Lalu bagaimana bisa aku melupakan itu semua? Melupakan Nata itu sama saja dengan menghapus setengah ingatanku.
***
“Vanya!” Aka memanggilku saat aku dan Arnest akan ke kantin.
“Ya?”
“Hmm… nanti malem kamu ada acara?” tanyanya.
Aku mencoba mengingat-ingat apakah nanti malam ada acara atau tidak. “kayaknya nggak ada. Emang kenapa?” jawabku pada akhirnya.
“Kamu… kamu mau nonton bareng aku?” kata Aka sedikit gugup.
“Nonton? Aku nggak bisa janji ya. Aku belum tanya sama kakek-nenekku. Nanti sore aku kabarin kamu,”
“Oke, kalo gitu aku duluan ya,”
“Cieee. First date!” goda Arnest setelah Aka pergi.
“Kan aku belum bilang iya,”
“Belum,” kata Arnest penuh tekanan pada satu kata itu.
Sorenya, Aka datang ke rumahku setelah aku telpon bahwa aku diizinkan pergi nonton.
“Nak, Aka, jangan malam-malam ya pulangnya,” kata Uti semringah saat aku naik ke motor Aka.
“Iya nek,”
Sebenarnya aku tak menyangka aku di bolehkan pergi oleh Uti dan Akung. Dan aku lebih suka duduk di kamarku sambil memandangi foto Nata daripada harus pergi bersama Aka. Tetapi aku sudah terlanjur janji. Aku juga tak enak hati untuk menolak ajakan Aka. Walaupun begitu, aku akan mencoba menikmati malam ini.
“Kamu mau nonton apa?”tanya Aka sesampainya di bioskop.
“Yang ini aja,” aku menunjuk sebuah poster film animasi Gnomeo and Juliet. “Kayaknya lucu”
“Oh oke, bentar ya aku beli tiketnya dulu,”
“Tunggu!” aku menahan Aka lalu mengeluarkan uang dalam dompetku. “Ini uangnya,” kataku.
Aka tampak terkejut saat aku mengeluarkan uang itu. “Nggak usah, Vanya. Aku yang bayarin. Kan aku yang ngajak,” Aka tersenyum lalu mengantre. Malam ini lumayan banyak orang yang mengantre. Mungkin karena ini malam minggu, jadi banyak yang mau nonton. Terutama pasangan-pasangan itu.
Setelah limabelas menit mengantre, akhirnya Aka berhasil membawa dua tiket di tangannya. Filmnya baru akan di mulai lima menit lagi. Kami pun segera membeli pop corn dan soft drink. Lagi-lagi, Aka yang membayarnya. Aku jadi tak enak hati.
“Yuk, masuk ke studionya,”
Film yang kupilih memang tidak salah. Film yang diadaptasi dari “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare itu sangat menarik. Lucu, romantis, dan mengharukan. Semuanya jadi satu. Membuatku ingin menontonnya lagi.
Di dalam bioskop itu, aku memergoki Aka sedang memerhatikanku dan bukannya menatap layar raksasa di depannya itu. dan ditengah-tengah film, Aka justru tertidur. Hal itu membuatku semakin tak enak hati. aku yakin Aka tidak menyukai film drama seperti ini. Ah, bodohnya aku! Harusnya tadi aku memilih film action yang posternya di pajang tepat di sebelah poster film ini. Tetapi sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi?
“Aka,” aku mengguncang badan Aka saat film itu akan berakhir.
“Ah, sorry, Nya. Sorry tadi aku ketiduran,”
“Nggak pa-pa lagi. Filmnya bentar lagi selesai deh kayaknya,” aku tersenyum, menatap  Aka yang tak begitu jelas karena gelap. “Nah, udah selesai kan?” kemudian lampu mulai menyala lagi.
“Iya. Makan yuk?” ajaknya tiba-tiba.
“Nggak usah, Ka. Kita pulang aja,” aku yakin, jika nanti aku mengiyakan untuk makan, pasti Aka lagi yang akan membayariku. Dia terlalu baik.
“oke, yuk,”
Ketika kami sampai tepat di depan rumahku, Aka bertanya kepadaku.
“Kenapa kamu suka memakai jepit rambut itu, Vanya?”
“Ini?” aku menyentuh jepit rambutku. “Karena ada yang bilang aku lebih camtik memakai jepit ini,” kataku malu-malu.
“Pacarmu?”
“Bukan,” aku tertawa pelan. “Sahabatku di London sana,”
“Oh. Sahabatmu benar. Kamu lebih cantik pake jepit kupu-kupu itu,”
Thanks,”
“Aku cuma ngomong yang sebenerrnya kok. Aku pulang dulu ya. Salam buat kakek sama nenek kamu.”
“Oke. Thanks buat semuanya ya,”
“Kenapa kamu seneng banget bilang thanks sih?”
Aku tertawa.
Aka tersenyum kepadaku lalu pergi.
Di dalam rumah, Uti dan Akung sudah menungguku. Mereka langsung menanyaiku yang tidak-tidak. Mereka pikir, Aka itu pacarku. Dengan kesabaran tingkat tinggi aku menjelaskan pada mereka bahwa Aka itu hanya teman saja. Dan dengan wajah yang kecewa, akhirnya mereka memercayaiku. Setelah itu, barulah aku menuju kamarku.
Aku duduk di tepi ranjangku dan memikirkan Aka. Mungkin Arnest benar. Seharusnya aku berhenti mencintai Nata dan memilih Aka untuk tempatku move on. Apalagi yang harus kupikirkan? Aka baik, perhatian, dan menyenangkan seperti Nata. Dan yang berada di dekatku sekarang adalah Aka, bukan Nata. Dan ketika Tuhan memberiku pengganti Nata, apakah itu baik jika aku menolaknya? Aku rasa tidak. Aku akan memilih pilihan kedua itu. aku memilih untuk melupakan Nata dan move on.
Aku tahu ini tak akan mudah, tetapi aku akan berusaha melupakan Nata dan segala kenangan indah bersamanya. Juga janji-janji manis itu. aku akan berusaha melupakan segalanya tentang Nata.
Aku mengambil kotak pink yang ada di atas mejaku itu lalu membawanya keluar. Aku menaruh kotak itu di samping tempat sampah lalu kembali ke kamarku. Kutekan beberapa tombol di hp-ku lalu menelepon Arnest.
“Nest, aku udah milih. Aku akan melupakan Nata,”
Good choice, sista!” kata Arnest di seberang telepon sana.
“Thanks,”
“Sama-sama. Aku tidur dulu ya,”
“Oke.”
Klik.
Setelah selesai menggosok gigi dan mencuci muka, aku segera berbaring di tempat tidur. Ketika jam di mejaku menunjukkan pukul 00.43, aku terbangun. Sesuatu menggerakkan hatiku untuk memungut kembali kotak pink berisi kenanganku bersama Nata itu lalu kuletakkan di bawah tempat tidurku. Kotak itu belum saatnya kubuang. Harus pelan-pelan untuk melupakan Nata. Tidak bisa begitu saja.
Kemudian, mataku kembali terpejam.

Minggu, 01 Juli 2012

TSMJ #4 (By Kanata)


(Hanya) Teman

            Kupindah-pindahkan saluran televisi asal saja saking bosannya. Saluran demi saluran datang silih berganti tanpa benar-benar kuperhatikan. Ruangan putih ini berhasil membuatku jenuh setengah mati. Tak ada buku, tak ada lagu, game, atau hal-hal lain yang bisa menjadi perintang waktu. Satu-satunya hiburanku hanya televisi yang menggantung di salah satu dinding, dan seorang penjaga yang sebenarnya justru menambah perasaan tak nyaman bagiku.
            “Hai, lagi ngapain? Kok cemberut? Gak ada temen ngobrol ya?” Sesosok tubuh gadis berumur 13 tahun memakai bando bunga matahari di atas rambut hitam legam sepanjang pundak muncul dari satu-satunya pintu yang tersedia.
            “Udah makannya?” Aku tak membalas senyuman yang disebarkan olehnya.
            “Udah. Nih, aku bawain sesuatu. Biar kamu cepet sembuh.” Dia meletakan kantong plastik putih di atas meja sebelah ranjangku.
            “Makasih.” Jawabku demi kesopanan.
            Senyum Diane tambah merekah. Pasti dia terlalu menganggap serius perkataanku. Aku memilih melanjutkan nonton televisi.
          “Kata dokter kamu baru bisa keluar rumah sakit lusa. Masih ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan.”
            “Mau meriksa apa lagi sih? Aku udah sehat kok?!” Ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
            “Gak tau.” Jawabnya sambil duduk di sofa. “Kalo menurut aku sih mendingan kita percaya aja sama dokter. Lagian demam berdarah bukan penyakit yang bisa dianggap enteng loh!?”
            “Tapi jangan kuatir, perawatan rumah sakit ini kelas dunia kok. Lagian kamu termasuk dalam kategori pasien VVIP disini. Hanya perawatan terbaik yang akan kau dapatkan.”
            Aku menghela napas dan menghembuskannya secepat mungkin. Perawatan terbaik di tempat terbaik bukan berarti bisa membuatku merasa betah disini. Sudah lebih dari seminggu aku terbaring tanpa diperbolehkan melakukan kegiatan apapun yang berarti.
            “Kamu mau pulang kapan? Bukannya besok musti sekolah?”
            “Tenang aja. Aku dah minta ijin ke wali kelas buat nemenin kamu sampe keluar rumah sakit kok.” Cengirannya bertambah lebar. “Kamu seneng kan?”
            “Sempurna!” ucapku getir. “Dan jangan bilang Teh Mia gak jadi gantiin kamu jaga malam ini!?”
            “Kamu pinter!” Serunya sambil menjawil pipiku seperti kebiasaannya jika sedang merasa gemas.
            Diane Anastasia Adiyaksa adalah seorang putri yang akan mendapatkan apapun yang diinginkannya. Sebagai putri tunggal dari pengusaha paling cemerlang abad ini, Wahyu Gani Adiyaksa, Diane benar-benar akan mendapatkan APAPUN yang diinginkannya. Termasuk jika menginginkan aku, seperti yang sedang dilakukannya saat ini.
            Segala perlakuannya padaku berhasil membuat perasaanku sangat jengah. Sering aku merasa diperlakukan Diane tak lebih dari sebuah boneka. Misi Diane padaku hanya satu: membahagiakanku sebisa mungkin. Dan misiku padanya juga satu: menghindarinya sebisa mungkin. Hasilnya: kami berdua gagal. Dia gagal membuatku merasa senang (karena aku sama sekali tak senang), aku juga gagal menghindarinya (karena entah bagaimana Diane selalu berhasil membuat beragam alasan hebat untuk tetap bersamaku).
            Sebagai tunanganku (menurut pengakuannya) dia merasa berhak untuk terus berdekatan denganku. Karena dia anak Pak Wahyu, yang notabene merupakan bos dari Almarhum Apa, ayahku, aku tak mungkin memperlakukannya dengan kasar mengingat betapa besar jasa Pak Wahyu pada keluarga kami.
3 dari 5 kakak-kakakku menjadi karyawannya. Belum lagi para sepupu, sejumlah paman, dan masih banyak lagi kerabat menjadi karyawan dari beragam perusahaan yang dimiliki oleh Pak Wahyu dan keluarganya. Pesan Emak, ibuku, adalah memperlakukan Diane sebaik mungkin. Dia mengerti jika aku tak mau menjadi tunangan Diane. “Perlakukan saja dia sebagai adik Aan. Gak sulit kan?”
Yang Emak tidak ketahui adalah Diane benar-benar menjiwai pertunangan sepihak ini.
“Aaa... buka lebar-lebar mulutnya...” Diane menyodorkan garpu berisi kupasan buah mangga.
Aku menggeleng sambil pura-pura menonton salah satu saluran yang ditawarkan televisi berlangganan. “Kamu aja yang makan!”
“Ih, kamu aneh! Siapa yang sakit, siapa pula yang musti makan buahnya!”
“Aku gak sakit kok!” Ucapku keras kepala.
“Iya deh, gak sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
DEG....!!!
Dejavu.
Rangkaian barusan membukan sebuah memori usang yang tersimpan dalam ruang tak berbentuk. Buah yang berbeda, lokasi yang berbeda, waktu yang berbeda, para tokoh yang berbeda pula namun maknanya tetap sama.
#
“Ayo dong makan.... Enak banget loh!” Aku menyodorkan sesendok kecil buah kiwi.
Vanya menggeleng kuat-kuat. “Kalo kamu yakin itu enak, kenapa bukannya kamu aja yang makan?”
“Nih, aku makan ya?!” Pada akhirnya sang buah masuk dalam mulutku. “Sekarang giliran kamu!” Aku menyodorkan sendokan yang baru.
“Abisin aja!”
“Kok aku yang ngabisin sih? Kan Nona Artha yang sakitnya juga!”
“Jangan panggil aku dengan nama itu!” Ancamnya.
“Loh? Emang kenapa? Kamu juga seenaknya aja manggil aku Nata.” Aku mengajukan protes. “Cuman kamu yang panggil aku Nata. Yang laen cukup tau diri dengan memanggilku Kanata, atau Angga seperti teman-temanku di kampung.”
“Suka-suka aku dong!”
“Berarti suka-suka aku juga dong! Ayo dong cepet makan, biar gak tambah sakit.”
“Aku gak sakit! Dan jangan-pernah-manggil-aku-Artha-lagi!”
“Iya deh, gak sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
“ENGGAK MAU!!” Teriak Vanya.
“Berarti kamu gak ikut ke acara pembacaan novel Harry Potter di Kinokuniya lusa kan? Aku gak mau ah nuntun orang sakit! Kamu ini yang rugi kalo gak bisa denger Miss Rowling bacain novel favorit kita.”
Vanya cemberut. Matanya mendelik padaku. “Siniin! Aku bisa makan sendiri!” Ucapnya kasar. “Kamu balik aja ke kamar! Lagi banyak tugas kan?!”
Aku keluar kamar Vanya dengan ekspresi kemenangan.
Keesokan harinya Vanya masuk bangsal rumah sakit karena usus buntunya makin parah. Aku menemani dirinya terbaring 3 hari di bangsal sambil memperdengarkan rekaman suara Sang Pengarang yang kuambil secara sembunyi-sembunyi.
#
            “Kok ngelamun sih, Ay?” Diane membuyarkan khayalanku.
            Kenapa sih cewek hobi amat manggil orang lain seenaknya? Diane memanggilku Ayang tanpa meminta persetujuan.
            Dulu Vanya......
            4 bulan berlalu sejak terakhir kali aku mambalas SMS-nya di atas bis.
Dimana sekarang dirinya?
Perlukah aku mengirim email atau semacamnya pada Vanya sekarang? Tapi untuk apa?
#
“Kita teman, kan?” Ucap Vanya saat kami duduk di atap gedung asrama Putra pada satu sore.
“Kenapa bukan teman?” Jawabku sambil makan keripik.
“Gak ada yang namanya mantan teman, kan?”
“Kenapa pula harus ada?”
“Jadi kita ini teman? Selamanya?”
“Teman, selamanya....” Janjiku.
Angin berhembus cukup kencang, mengakibatkan kalimat Vanya selanjutnya tak mampu kutangkap maknanya. “Sorry, apaan tadi? Aku gak dengar.”
Vanya malah tersenyum. Dia berdiri. Membersihkan debu dari belakang roknya. “Bukan sesuatu yang penting! Saat ini cukuplah kita berteman dulu.”
Keningku berkerut. Agak penasaran dengan kalimat yang sesungguhnya diucapkan Vanya sebelumnya.
Bersambung