Kejujuran yang Sangat Mahal
Di sana, kulihat
dirinya sedang memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat dia
menyendokkan ice cream itu ke mulut, aku mendekatinya sambil tersenyum. Terbaca
jika ekspresi yang dia lontarkan adalah sebuah kekagetan. Dia tak jadi makan
dan malah menatapku dengan mata terbelalak.
Dia
mengucek-ngucek matanya. Dia bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya sekilas
imajinasi kosong? Aku tak bisa menyembunyikan senyum.
Dia sekilas
menutup mata sebelum akhirnya membukanya lagi. Aku masih berdiri di hadapannya.
Sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku
memang nyata adanya.
Sejujurnya,
bukan hanya dia yang kaget akan pertemuan ini. sedari tadi jantungku juga
berdenyut liar. Aku juga tak percaya bahwa pertemuan ini akan terjadi di tempat
ini, di waktu yang sungguh tak terduga seperti ini. Meski kaget, sesungguhnya
aku sangat senang dipertemukan seperti ini. Matanya berkaca-kaca, bahagia
karena telah bertemu denganku.
Tanpa
benar-benar bisa kuduga dia bangkit dari duduknya dan langsung menghambur ke
pelukanku.
“Syukurlah kita
bisa bertemu...” Ujarnya.
Kutangkap aura
kelam menguar dari tubuh Diane yang berdiri di sebelahku. Mulutnya mengerucut
tanda sebal dengan kejadian ini. Tak ingin membuat keributan, aku mendorong tubuh
Jane dengan halus.
“Kami tersesat.”
Ujar Hyungjun di belakangku.
“Kami benci
Indonesia!” Air mata Jane berubah menjadi kemarahan.
Aku tersenyum
menenangkan. “lets have a seat and tell
me what happened.”
Setelah kami
berempat duduk Jane mulai menyerocos mengenai pengalamannya berkeliling
Indonesia dua minggu ini. Dimulai dengan ditipu oleh para pedagang suvenir di
Bali, betapa tidak nyamannya penginapan di Lombok, harus membayar sangat mahal
untuk masuk candi Borobudur hanya karena mereka “turis asing”, penerjemah yang
sangat sulit dicari, makanan yang sangat mahal (lagi-lagi karena mereka turis
asing), berkali-kali salah naik angkutan, hingga akhirnya terdampar di Bandung
saat memutuskan untuk pulang ke Inggris lewat Jakarta.
“Oke, pertanyaan
pertamaku adalah kenapa kau bisa bersama Hyungjun?” tanyaku pada Jane.
Bukannya
menjawab pertanyaanku, mereka malah saling melempar senyuman. “Kau bisa menebak
sendiri lah, Sobat.” Hyungjun nyengir tidak jelas.
“Dari pada itu,
sungguh jahat kau tak memperkenalkan nona manis disebelahmu pada kami.”
Tambahnya iseng.
“Hi, my name is Diane. Nice to meet you.”
Ucap Diane terbata-bata saat aku jelaskan maksud kalimat Hyungjun.
“Pacar Kanata
ya?” Desak Hyungjun.
Diane mengangguk
dengan terlalu bersemangat. Langsung dirinya merangkul lenganku dengan manja.
Aku berusaha memasang muka setidak nyaman mungkin.
“Tiga hari
kemarin kami juga ketemu Vanya.” Ucap Jane sambil menyendokkan eskrim ke
mulutnya. “Dia juga punya pacar baru.”
Deg. Informasi
langsung yang sungguh tak terduga. Entah kenapa aku sangat merasa tak nyaman
mendengar hal tersebut.
“Maksudnya cowok
item, tinggi itu?” Balas Hyungjun sambil mengerutkan kening. “Kayaknya mereka
gak pacaran deh!”
Selesai
mengucapkan itu kulihat Hyungjun meringgis kesakitan sementara Jane terlihat
geram.
“Tapi mereka
sangat dekat kan!?” Ancam Jane. Hyungjun mengangguk sembari meringgis karena
takut dicubit pahanya lagi.
Karena tak ingin
membuat suasana tak nyaman dalam hatiku terus berlanjut aku berusaha
mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong
dalam rangka apa kalian ke Indonesia?”
Kembali mereka
saling melempar pandangan penuh arti.
“well, sejujurnya kami hanya menghabiskan
liburan musim dingin.” Ucap Jane.
“Sekolah sepi
tanpa kamu, Kawan!” Cetus Hyungjun.
Sebenarnya aku
juga lumayan kehilangan teman-teman multi-bangsa yang ada disana. Namun tentu
saja aku tak mungkin terus memaksakan diri sekolah disana setelah apa yang
terjadi hampir dua tahun silam. Sekarang aku sudah mulai terbiasa menganggap
bahwa apa yang terjadi di sama hanyalah sekelebatan masa lalu yang tak
seharusnya disesali dan diharapkan untuk kembali. Seperti tentang seseorang...
“Apa kalian
sudah ada rencana selama di Bandung?” Celetuk Diane menggunakan bahasa
Indonesia.
“Kan mereka
sudah bilang mau ke Jakarta. Mereka mau kembali lagi ke Inggris.”
“Tapi kan sayang
sudah jauh-jauh ke sini kalau gak keliling-keliling dulu?!” Diane mendesak.
“Gak. Mereka
harus pulang. Pasti liburannya mau berakhir.”
“Kayak yang tau
aja!” sisi egoisnya muncul dengan kuat/
“Jangan lupa,
aku kan pernah sekolah disana!” kali ini aku tak mau menyerah. “Mereka pasti
gak mau ikut kita!”
“Oh, ya? Kenapa
gak tanya langsung?”
Hyungjun dan
Jane mengangkat alis sebagai tanda ketidakmengertian. Meski enggan aku akhirnya
menanyakan pada mereka apakah mau ikut dengan kami menghadiri kegiatan
peresmian pusat konservasi alam di kawasan Ciwidey. Mereka mengangguk dengan
sangat antusias, merasa lega telah bertemu denganku. Aku juga lega bertemu
dengan mereka. Itu artinya aku memiliki alasan untuk tak ditempeli Diane setiap
detik.
Sepanjang
perjalanan selama lebih dari satu jam kami bertiga habiskan dengan bernostalgia
tentang masa-masa yang sudah lewat. Sungguh menyenangkan berbagi cerita dengan
orang-orang seperti mereka. Untuk sesaat kekosongan hati yang kurasakan sejak
pulang ke Bandung terobati.
Bukan berarti
aku tak bisa menikmati momen-momen kampung halaman, bertemu dan menjalin
pertemanan baru di SMA, berbagi pengalaman dengan putera-puteri terbaik bangsa,
meraih pendidikan di negeri sendiri. Tapi sejujurnya selalu saja hal-hal
tersebut terasa kurang. Seakan aku telah kehilangan sesuatu yang sangat
penting.
Kawah Putih.
Terletak kira-kira 70 kilometer dari pusat kota Bandung. Salah satu destinasi
wisata yang sangat sayang untuk dilewatkan jika berkunjung ke Bandung. Kawah
Putih merupakan salah satu kawah gunung berapi yang masih aktif. Tempat ini
memiliki hamparan belerang putih yang tersebar diseantero kawasan.
Menjadikannya bagaikan pantai dengan kabut-kabut uap yang menguar setiap waktu.
Batang-batang pohon tegak berdiri walau hanya memiliki sedikit daun. Aku pikir
Kawah Putih merupakan sebuah negeri dongeng.
Demi menjaga
eksotisme Kawah Putih, Ayahnya Diane menanamkan modal yang sangat besar untuk
membangun sebuah pusat konservasi hewan dan tumbuhan khas daerah tersebut.
Kegiatan kali ini adalah peresmian semacam gedung peragaan. Di dalamnya
terdapat sebuah bioskop tiga dimensi tempat para pengunjung bisa berkelana
keliling Kawah Putih dari masa ke masa secara virtual.
Ide yang sangat
menarik dan sangat mulia, pikirku.
“Semakin tinggi
keadaan seseorang sudah selayaknya semakin menghargai tempat asal kita dan tempat
terakhir kita dalam kehidupan fana ini. Bumi.” Ujar Pak Wahyu ketika aku
bertanya alasannya membangun tempat tersebut.
“Kudengar Angga suka sains? Sepertinya nanti
Bapak mandatkan saja pada Angga soal pengelolaan kawasan ini.” Tambah beliau.
“Itung-itung berbakti sama mertua.” Ujarnya ditambahi dengan kekehan jahil.
Perjodohan itu
lagi. Aku sudah mulai terbiasa mendengarnya dari semua orang. Namun aku belum
–takkan pernah- terbiasa untuk menyetujuinya. Andai saja mereka tahu bahwa yang
kuinginkan hanyalah menikmati waktu untukku sendiri tanpa digerecoki oleh
pikiran-pikiran lain yang sebenarnya tak kuinginkan.
Pidato-pidato
panjang dari orang-orang yang merasa dirinya memiliki andil besar dalam
pendirian pusat konservasi ini masih bergaung dari panggung di kejauhan. Aku
memilih untuk menyendiri di sebuah bukit yang terpencil. Menjauhi Diane yang
terpaksa harus selalu berada di sebelah ayah dan ibunya. Menjauhi Jane dan
Hyungjun yang berfoto heboh di sekitaran Kawah Putih. Menjauhi diriku sendiri.
Menjauhi kenangan yang tiba-tiba berkelebat.
“Apa kau percaya
bahwa Tongkat Sihir itu benar-benar ada?” Tanya Vanya saat kami duduk di salah
satu bangku King Cross. Kami sedang memandangi sebuah tembok berplakat tulisan
“platform 9 ¾”
“Apa kamu
percaya?” aku balas bertanya.
“Kenapa tidak?”
Jawabnya mantap.
“Kalau memang
ada, akan kau gunakan untuk apa?”
Vanya berpikir
serius untuk beberapa lama. Keningnya berkerut. Matahari membiaskan wajahnya.
Sosok gadis yang duduk di sebelahku ini entah kenapa terlihat sangat indah saat
itu.
“Aku akan
membuat kebahagiaan!” Ujarnya diiringi tawa manis.
Giliran aku yang
mengerutkan kening. “Bahagia? Caranya?”
“Inti tongkatnya
adalah ekor burung merak, bahannya adalah kayu Akasia, panjangnya harus tepat
32,23 cm.” Dia mulai berceloteh. Rona kebahagiaan tergurat di wajahnya. “Dan warnanya
harus merah muda!”
Kami tertawa
bersama di sebuah stasiun asing yang sangat jauh dari rumah. Namun kami tak
merasa asing. Karena kami bersama.
Dulu...
“Minggu kemarin
kami bertemu dengan Vanya.” Tanpa kusadari Hyungjun sudah duduk di sebelahku.
“Kalian kan tadi
udah cerita.” Jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari kolam belerang yang
menggelegak di kejauhan.
“Lalu?” Tambahnya.
“Lalu apa?”
“Kau tak ingin
mendengar cerita lengkapnya?”
“Tidak.” Jawabku
singkat. Sesungguhnya aku ingin sekali mendengar sepotong pengalaman mereka
bertemu dengan Vanya.
“Ya sudah kalau
kau memang tak ingin mendengarnya.”
Kami terdiam
sama seperti tahun-tahun yang aku habiskan bersama Hyungjun di negeri yang
teramat jauh. Selain sebagai teman sekamar, Hyungjun merupakan sahabat yang
sangat nyaman untuk berbagi cerita dan kegelisahan hidup. Sudah terlampau
banyak tema yang kami bahas mulai dari yang ringan seperti cuaca, hingga yang
tak memilik ujung dan pangkal seperti asal dan tujuan manusia hidup di dunia.
Hyungjun selalu
mengerti jika aku sedang ingin menikmati ketiadaan kata. Seringkali kami hanya
duduk bersebelahan. Memandangi satu titik di kejauhan. Tanpa kata sama sekali.
kadang hingga berjam-jam lamanya.
“Kabarmu sendiri
bagaimana?” Tanyanya. “Kulihat kau sedang dibayang-bayangi oleh gadis manja
itu.”
Aku terkekeh. Senang
atas pengamatannya yang cepat dan tepat. “Seperti yang kau lihat sendiri, aku
hanya mencoba menjalani kehidupan.” Kerikil terbang dari tanganku menuju kolam.
“Kehidupan
memang harus terus berjalan.” Dia melakukan hal yang sama, namun dengan jarak
lemparan yang lebih jauh. “Tapi yang kulihat kau sedang lari dari sesuatu.”
“Ini soal Vanya
lagi?” Tanyaku defensif.
“Kau tahu ini
tentang apa.” Jawabnya kalem.
Hyungjun
mengeluarkan secarik kertas dari tas kecil yang menggantung di pinggangnya.
“Kau tentunya
mengenalku jauh lebih baik dari ini.” Ujarnya sambil menyerahkan kertas biru
yang terlipat. “Soal kami yang tersesat di Bandung ini setengahnya adalah
sebuah kebohongan. Sejujurnya kami – aku lebih tepatnya – memang sengaja
mencarimu.”
Kubuka kertas
tersebut. Kubaca perlahan. Sebuah gambar dan rangkaian kata menyulam makna
disana. Hatiku mencelos bagai terjatuh dari gedung dua belas lantai kubaca
berulang-ulang, berharap isinya akan berubah. Namun ternyata tulisan ramping
rapi itu takkan pernah berubah maknanya. Hyungjun menatapku lekat.
“Kutemukan
kertas itu di tempat sampah depan kamar Vanya dua tahun silam. Sepertinya dia
tak punya keberanian untuk mewujudkannya.”
Aku membaca
huruf demi huruf hasil goresan tangan Vanya tersebut. Sukar memercayai bahwa
Vanya benar-benar menulisnya. Untukku!
“Aku tahu kau
tak pernah melakukan kontak lagi dengannnya. Tapi tak kusangka keadaannya akan
serumit ini.”
“Bagian mananya
yang rumit?” Ujarku berpura-pura ini bukan hal yang penting.
“Kau tahu
maksudku. Vanya mencintaimu. Kau yang berpura-pura tak menyadarinya dan memilih
untuk lari dari perasaan yang terlanjur tumbuh di hati Vanya. Namun aku tahu
pasti bahwa sesungguhnya kau kehilangan Vanya bukan sebagai sahabat, tapi
sebagai seseorang yang lain.”
Aku diam tak
menanggapi. Hyungjun melanjutkan. “Aku tahu pasti bahwa perasaan Vanya padamu
masih ada. Namun aku juga berani berkata bahwa hal tersebut perlahan namun
pasti sedang memudar. Vanya mulai bisa mengiklaskanmu.”
Dia diam kembali.
Sengaja memberi waktu agar kata-katanya bisa meresap dalam sanubariku.
“Namun yang jadi
pertanyaan adalah, “ lanjutnya. “Apa kau bisa merelakan Vanya bersam orang
lain?”
Aku membaca
kembali surat dari Vanya. Kertas yang kuduga sobekan sebuah buku harian memberi
wadah bagi sebuah gambar loncong dengan dekorasi indah. Sebuah tongkat sihir
impian Vanya. Dia menuliskans dengan detail tiap elemen-elemennya. Harus kuakui
bahwa daya imajinasi dan kemampuannya mendeskripsikanny dalam narasi serta
gambar sangatlah luar biasa.
“Bagaimana?” Desak
Hyungjun.
“Sepertinya
memang sudah saatnya aku menemui Vanya di Jogja dan mengatakan sebuah
kejujuran.”
Hyungjun
tersenyum. Aku tak tahu harus merasakan apa.
“Sihir pertama yang ingin aku daraskan menggunakan
Tongkat Kebahagiaan ini adalah agar kita bisa selalu bersama hingga ajal
memisahkan. Karena itulah kebahagiaan terbesarku. Semoga itu pula kebahagiaan
terbesarmu.”
Kulipat kembali
kertas tersebut. Kusimpan baik-baik di saku kemeja.
Saatnya bagiku
untuk membuat Tongkat Sihir Merah Jambu!