Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Minggu, 07 Oktober 2012

TSMJ #10 (By Kanata)


Kejujuran yang Sangat Mahal

Di sana, kulihat dirinya sedang memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat dia menyendokkan ice cream itu ke mulut, aku mendekatinya sambil tersenyum. Terbaca jika ekspresi yang dia lontarkan adalah sebuah kekagetan. Dia tak jadi makan dan malah menatapku dengan mata terbelalak.
Dia mengucek-ngucek matanya. Dia bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya sekilas imajinasi kosong? Aku tak bisa menyembunyikan senyum.
Dia sekilas menutup mata sebelum akhirnya membukanya lagi. Aku masih berdiri di hadapannya.  Sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku memang nyata adanya.
Sejujurnya, bukan hanya dia yang kaget akan pertemuan ini. sedari tadi jantungku juga berdenyut liar. Aku juga tak percaya bahwa pertemuan ini akan terjadi di tempat ini, di waktu yang sungguh tak terduga seperti ini. Meski kaget, sesungguhnya aku sangat senang dipertemukan seperti ini. Matanya berkaca-kaca, bahagia karena telah bertemu denganku.
Tanpa benar-benar bisa kuduga dia bangkit dari duduknya dan langsung menghambur ke pelukanku.
“Syukurlah kita bisa bertemu...” Ujarnya.
Kutangkap aura kelam menguar dari tubuh Diane yang berdiri di sebelahku. Mulutnya mengerucut tanda sebal dengan kejadian ini. Tak ingin membuat keributan, aku mendorong tubuh Jane dengan halus.
“Kami tersesat.” Ujar Hyungjun di belakangku.
“Kami benci Indonesia!” Air mata Jane berubah menjadi kemarahan.
Aku tersenyum menenangkan. “lets have a seat and tell me what happened.
Setelah kami berempat duduk Jane mulai menyerocos mengenai pengalamannya berkeliling Indonesia dua minggu ini. Dimulai dengan ditipu oleh para pedagang suvenir di Bali, betapa tidak nyamannya penginapan di Lombok, harus membayar sangat mahal untuk masuk candi Borobudur hanya karena mereka “turis asing”, penerjemah yang sangat sulit dicari, makanan yang sangat mahal (lagi-lagi karena mereka turis asing), berkali-kali salah naik angkutan, hingga akhirnya terdampar di Bandung saat memutuskan untuk pulang ke Inggris lewat Jakarta.
“Oke, pertanyaan pertamaku adalah kenapa kau bisa bersama Hyungjun?” tanyaku pada Jane.
Bukannya menjawab pertanyaanku, mereka malah saling melempar senyuman. “Kau bisa menebak sendiri lah, Sobat.” Hyungjun nyengir tidak jelas.
“Dari pada itu, sungguh jahat kau tak memperkenalkan nona manis disebelahmu pada kami.” Tambahnya iseng.
Hi, my name is Diane. Nice to meet you.” Ucap Diane terbata-bata saat aku jelaskan maksud kalimat Hyungjun.
“Pacar Kanata ya?” Desak Hyungjun.
Diane mengangguk dengan terlalu bersemangat. Langsung dirinya merangkul lenganku dengan manja. Aku berusaha memasang muka setidak nyaman mungkin.
“Tiga hari kemarin kami juga ketemu Vanya.” Ucap Jane sambil menyendokkan eskrim ke mulutnya. “Dia juga punya pacar baru.”
Deg. Informasi langsung yang sungguh tak terduga. Entah kenapa aku sangat merasa tak nyaman mendengar hal tersebut.
“Maksudnya cowok item, tinggi itu?” Balas Hyungjun sambil mengerutkan kening. “Kayaknya mereka gak pacaran deh!”
Selesai mengucapkan itu kulihat Hyungjun meringgis kesakitan sementara Jane terlihat geram.
“Tapi mereka sangat dekat kan!?” Ancam Jane. Hyungjun mengangguk sembari meringgis karena takut dicubit pahanya lagi.
Karena tak ingin membuat suasana tak nyaman dalam hatiku terus berlanjut aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong dalam rangka apa kalian ke Indonesia?”
Kembali mereka saling melempar pandangan penuh arti.
well, sejujurnya kami hanya menghabiskan liburan musim dingin.” Ucap Jane.
“Sekolah sepi tanpa kamu, Kawan!” Cetus Hyungjun.
Sebenarnya aku juga lumayan kehilangan teman-teman multi-bangsa yang ada disana. Namun tentu saja aku tak mungkin terus memaksakan diri sekolah disana setelah apa yang terjadi hampir dua tahun silam. Sekarang aku sudah mulai terbiasa menganggap bahwa apa yang terjadi di sama hanyalah sekelebatan masa lalu yang tak seharusnya disesali dan diharapkan untuk kembali. Seperti tentang seseorang...
“Apa kalian sudah ada rencana selama di Bandung?” Celetuk Diane menggunakan bahasa Indonesia.
“Kan mereka sudah bilang mau ke Jakarta. Mereka mau kembali lagi ke Inggris.”
“Tapi kan sayang sudah jauh-jauh ke sini kalau gak keliling-keliling dulu?!” Diane mendesak.
“Gak. Mereka harus pulang. Pasti liburannya mau berakhir.”
“Kayak yang tau aja!” sisi egoisnya muncul dengan kuat/
“Jangan lupa, aku kan pernah sekolah disana!” kali ini aku tak mau menyerah. “Mereka pasti gak mau ikut kita!”
“Oh, ya? Kenapa gak tanya langsung?”
Hyungjun dan Jane mengangkat alis sebagai tanda ketidakmengertian. Meski enggan aku akhirnya menanyakan pada mereka apakah mau ikut dengan kami menghadiri kegiatan peresmian pusat konservasi alam di kawasan Ciwidey. Mereka mengangguk dengan sangat antusias, merasa lega telah bertemu denganku. Aku juga lega bertemu dengan mereka. Itu artinya aku memiliki alasan untuk tak ditempeli Diane setiap detik.
Sepanjang perjalanan selama lebih dari satu jam kami bertiga habiskan dengan bernostalgia tentang masa-masa yang sudah lewat. Sungguh menyenangkan berbagi cerita dengan orang-orang seperti mereka. Untuk sesaat kekosongan hati yang kurasakan sejak pulang ke Bandung terobati.
Bukan berarti aku tak bisa menikmati momen-momen kampung halaman, bertemu dan menjalin pertemanan baru di SMA, berbagi pengalaman dengan putera-puteri terbaik bangsa, meraih pendidikan di negeri sendiri. Tapi sejujurnya selalu saja hal-hal tersebut terasa kurang. Seakan aku telah kehilangan sesuatu yang sangat penting.
Kawah Putih. Terletak kira-kira 70 kilometer dari pusat kota Bandung. Salah satu destinasi wisata yang sangat sayang untuk dilewatkan jika berkunjung ke Bandung. Kawah Putih merupakan salah satu kawah gunung berapi yang masih aktif. Tempat ini memiliki hamparan belerang putih yang tersebar diseantero kawasan. Menjadikannya bagaikan pantai dengan kabut-kabut uap yang menguar setiap waktu. Batang-batang pohon tegak berdiri walau hanya memiliki sedikit daun. Aku pikir Kawah Putih merupakan sebuah negeri dongeng.
Demi menjaga eksotisme Kawah Putih, Ayahnya Diane menanamkan modal yang sangat besar untuk membangun sebuah pusat konservasi hewan dan tumbuhan khas daerah tersebut. Kegiatan kali ini adalah peresmian semacam gedung peragaan. Di dalamnya terdapat sebuah bioskop tiga dimensi tempat para pengunjung bisa berkelana keliling Kawah Putih dari masa ke masa secara virtual.
Ide yang sangat menarik dan sangat mulia, pikirku.
“Semakin tinggi keadaan seseorang sudah selayaknya semakin menghargai tempat asal kita dan tempat terakhir kita dalam kehidupan fana ini. Bumi.” Ujar Pak Wahyu ketika aku bertanya alasannya membangun tempat tersebut.
 “Kudengar Angga suka sains? Sepertinya nanti Bapak mandatkan saja pada Angga soal pengelolaan kawasan ini.” Tambah beliau. “Itung-itung berbakti sama mertua.” Ujarnya ditambahi dengan kekehan jahil.
Perjodohan itu lagi. Aku sudah mulai terbiasa mendengarnya dari semua orang. Namun aku belum –takkan pernah- terbiasa untuk menyetujuinya. Andai saja mereka tahu bahwa yang kuinginkan hanyalah menikmati waktu untukku sendiri tanpa digerecoki oleh pikiran-pikiran lain yang sebenarnya tak kuinginkan.
Pidato-pidato panjang dari orang-orang yang merasa dirinya memiliki andil besar dalam pendirian pusat konservasi ini masih bergaung dari panggung di kejauhan. Aku memilih untuk menyendiri di sebuah bukit yang terpencil. Menjauhi Diane yang terpaksa harus selalu berada di sebelah ayah dan ibunya. Menjauhi Jane dan Hyungjun yang berfoto heboh di sekitaran Kawah Putih. Menjauhi diriku sendiri. Menjauhi kenangan yang tiba-tiba berkelebat.
“Apa kau percaya bahwa Tongkat Sihir itu benar-benar ada?” Tanya Vanya saat kami duduk di salah satu bangku King Cross. Kami sedang memandangi sebuah tembok berplakat tulisan “platform 9 ¾”
“Apa kamu percaya?” aku balas bertanya.
“Kenapa tidak?” Jawabnya mantap.
“Kalau memang ada, akan kau gunakan untuk apa?”
Vanya berpikir serius untuk beberapa lama. Keningnya berkerut. Matahari membiaskan wajahnya. Sosok gadis yang duduk di sebelahku ini entah kenapa terlihat sangat indah saat itu.
“Aku akan membuat kebahagiaan!” Ujarnya diiringi tawa manis.
Giliran aku yang mengerutkan kening. “Bahagia? Caranya?”
“Inti tongkatnya adalah ekor burung merak, bahannya adalah kayu Akasia, panjangnya harus tepat 32,23 cm.” Dia mulai berceloteh. Rona kebahagiaan tergurat di wajahnya. “Dan warnanya harus merah muda!”
Kami tertawa bersama di sebuah stasiun asing yang sangat jauh dari rumah. Namun kami tak merasa asing. Karena kami bersama.
Dulu...
“Minggu kemarin kami bertemu dengan Vanya.” Tanpa kusadari Hyungjun sudah duduk di sebelahku.
“Kalian kan tadi udah cerita.” Jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari kolam belerang yang menggelegak di kejauhan.
“Lalu?” Tambahnya.
“Lalu apa?”
“Kau tak ingin mendengar cerita lengkapnya?”
“Tidak.” Jawabku singkat. Sesungguhnya aku ingin sekali mendengar sepotong pengalaman mereka bertemu dengan Vanya.
“Ya sudah kalau kau memang tak ingin mendengarnya.”
Kami terdiam sama seperti tahun-tahun yang aku habiskan bersama Hyungjun di negeri yang teramat jauh. Selain sebagai teman sekamar, Hyungjun merupakan sahabat yang sangat nyaman untuk berbagi cerita dan kegelisahan hidup. Sudah terlampau banyak tema yang kami bahas mulai dari yang ringan seperti cuaca, hingga yang tak memilik ujung dan pangkal seperti asal dan tujuan manusia hidup di dunia.
Hyungjun selalu mengerti jika aku sedang ingin menikmati ketiadaan kata. Seringkali kami hanya duduk bersebelahan. Memandangi satu titik di kejauhan. Tanpa kata sama sekali. kadang hingga berjam-jam lamanya.
“Kabarmu sendiri bagaimana?” Tanyanya. “Kulihat kau sedang dibayang-bayangi oleh gadis manja itu.”
Aku terkekeh. Senang atas pengamatannya yang cepat dan tepat. “Seperti yang kau lihat sendiri, aku hanya mencoba menjalani kehidupan.” Kerikil terbang dari tanganku menuju kolam.
“Kehidupan memang harus terus berjalan.” Dia melakukan hal yang sama, namun dengan jarak lemparan yang lebih jauh. “Tapi yang kulihat kau sedang lari dari sesuatu.”
“Ini soal Vanya lagi?” Tanyaku defensif.
“Kau tahu ini tentang apa.” Jawabnya kalem.
Hyungjun mengeluarkan secarik kertas dari tas kecil yang menggantung di pinggangnya.
“Kau tentunya mengenalku jauh lebih baik dari ini.” Ujarnya sambil menyerahkan kertas biru yang terlipat. “Soal kami yang tersesat di Bandung ini setengahnya adalah sebuah kebohongan. Sejujurnya kami – aku lebih tepatnya – memang sengaja mencarimu.”
Kubuka kertas tersebut. Kubaca perlahan. Sebuah gambar dan rangkaian kata menyulam makna disana. Hatiku mencelos bagai terjatuh dari gedung dua belas lantai kubaca berulang-ulang, berharap isinya akan berubah. Namun ternyata tulisan ramping rapi itu takkan pernah berubah maknanya. Hyungjun menatapku lekat.
“Kutemukan kertas itu di tempat sampah depan kamar Vanya dua tahun silam. Sepertinya dia tak punya keberanian untuk mewujudkannya.”
Aku membaca huruf demi huruf hasil goresan tangan Vanya tersebut. Sukar memercayai bahwa Vanya benar-benar menulisnya. Untukku!
“Aku tahu kau tak pernah melakukan kontak lagi dengannnya. Tapi tak kusangka keadaannya akan serumit ini.”
“Bagian mananya yang rumit?” Ujarku berpura-pura ini bukan hal yang penting.
“Kau tahu maksudku. Vanya mencintaimu. Kau yang berpura-pura tak menyadarinya dan memilih untuk lari dari perasaan yang terlanjur tumbuh di hati Vanya. Namun aku tahu pasti bahwa sesungguhnya kau kehilangan Vanya bukan sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang lain.”
Aku diam tak menanggapi. Hyungjun melanjutkan. “Aku tahu pasti bahwa perasaan Vanya padamu masih ada. Namun aku juga berani berkata bahwa hal tersebut perlahan namun pasti sedang memudar. Vanya mulai bisa mengiklaskanmu.”
Dia diam kembali. Sengaja memberi waktu agar kata-katanya bisa meresap dalam sanubariku.
“Namun yang jadi pertanyaan adalah, “ lanjutnya. “Apa kau bisa merelakan Vanya bersam orang lain?”
Aku membaca kembali surat dari Vanya. Kertas yang kuduga sobekan sebuah buku harian memberi wadah bagi sebuah gambar loncong dengan dekorasi indah. Sebuah tongkat sihir impian Vanya. Dia menuliskans dengan detail tiap elemen-elemennya. Harus kuakui bahwa daya imajinasi dan kemampuannya mendeskripsikanny dalam narasi serta gambar sangatlah luar biasa.
“Bagaimana?” Desak Hyungjun.
“Sepertinya memang sudah saatnya aku menemui Vanya di Jogja dan mengatakan sebuah kejujuran.”
Hyungjun tersenyum. Aku tak tahu harus merasakan apa.
“Sihir pertama yang ingin aku daraskan menggunakan Tongkat Kebahagiaan ini adalah agar kita bisa selalu bersama hingga ajal memisahkan. Karena itulah kebahagiaan terbesarku. Semoga itu pula kebahagiaan terbesarmu.
Kulipat kembali kertas tersebut. Kusimpan baik-baik di saku kemeja.
Saatnya bagiku untuk membuat Tongkat Sihir Merah Jambu!