Bayangan Merah Jambu
<jangan lupa tar malem Papa
nunggu kamu di restoran yang biasa jam delapan... miss you then>
Setidaknya sudah
lima kali sejak pagi Diane terus saja mengingatkanku mengenai acara pertemua
keluarga besarnya. Aku sebetulnya malas untuk datang jika saja tidak teringat
bahwa mungkin ini kesempatanku satu-satunya untuk berterima kasih atas kebaikan
keluarga Diane sekaligus menolak secara langsung mengenai perjodohan yang tak
kuinginkan ini.
<ok>
Jawabku singkat
karena tak ingin ketahuan menggunakan telepon genggam dalam kelas sementara
kuliah Kimia Organik sedang berlangsung. Materi kali ini adalah tentang
aldehida dan keton. Meski dosen sudah menjelaskan materinya selama lebih dari dua
jam, namun hanya sedikit sekali yang mengendap dalam otak. Otakku lebih sibuk
memikirkan kalimat yang baik untuk kegiatan nanti malam.
Sejujurnya Diane
adalah tipe gadis yang sangat menyenangkan. Seiring dengan pertambahan usia,
pikirannya juga lebih dewasa dan sudah mengurangi derajat kemanjaannya. Dia
baru saja diterima di sebuah SMA favorit di kota Bandung. Hampir setiap malam
dia menceritakan hal-hal yang menarik yang terjadi seharian di sekolah. Aku
merasakan bahwa momen-momen bercerita tersebut merupakan sesuatu yang sangat
berharga baginya. Dan sayangnya aku juga merasakan hal yang sama. Sangat
menyenangkan berbagi kisah dengannya.
Namun tetap saja
perjodohan sepihak ini harus dihentikan. Itu janjku.
“Nah, sepertinya
materi hari ini kita cukupkan dulu sampai sini. Jangan lupa pelajari bab
selanjutnya untuk kita diskusikan pada pertemuan mendatang.”
Suara derit
kursi mengisi udara. Bagai tawon yang keluar sarangnya, puluhan mahasiswa
berbondong-bondong keluar kelas dengan keriuhan yang tak dapat tertangkap
dengan baik oleh telinga.
Aku sengaja
berlama-lama membereskan alat tulis kedalam tas. Aku berharap semakin lama
melakukannya maka Sang Dosen keburu keluar ruangan dan membiarkanku hidup
tenang. Dari sudut mata kulihat pria muda itu sedang menghapus papan tulis dan
membelakangiku.
Merasa ini
kesempatan yang baik untuk menyelinap keluar kelas aku bergegas melangkahkan
kaki tanpa suara.
“Kanata,
tunggu!” serunya.
Dia mengangkat
alisnya, memintaku untuk mendekat. Aku mengikuti perintahnya. Sepasang
mahasiswa terakhir baru saja keluar kelas.
“Duduk dulu. Ada
yang mau diobrolin.”
Aku tak punya
pilihan selain menurut dan menggu dirinya selesai menghapus. Lima menit
kemudian sosoknya yang kurus mendekati
bangku yang kududuki.
“Saya menduga
Bapak bukan mau ngobrolin soal Kimia, kan?” ujarku sebelum dia sempat membuka
mulut.
“Ayolah. Gua gak
setua itu hingga musti dipanggil Bapak. Lagian di kelas ini gak ada siapa-siapa
selain kita.”
“Tapi itu bukan
berarti saya boleh mengurangi rasa hormat kepada dosen sendiri.” Jawabku
malas-malasan.
“Udahlah.
Hentikan obrolan kosong ini.” Ujarnya sambil menepiskan tangan di udara. “Lo
udah lakuin yang gua pinta?”
“Belum, Pak.”
Aku benar-benar malas dengan percakapan ini.
“Panggil gua
Revo!” Kak Revo menaikan nadanya.
“Oke, Mas.
Masalahnya apa?” Kali ini aku yang menaikan alis dengan menantang.
“Masalahnya
adalah... lo nyuruh gua gak ngasih tau ke adek gua, Vanya, kalo kalian berdua
tuh sekampus... mulanya gua pikir lo mau ngelakuin sesuatu yang manis dengan
hal tersebut... gua pikir lo bakal ngasi tau dia sendiri, entah dengan tubrukan
gaya telenovela ato berteduh di pohon yang sama kayak film India... tapi udah
tiga semester Vanya kuliah disini dan lo masih belom nunjukin batang idung lo
depan dia...”
“Apa aku masih
penting buat dia?”
“PENTING! Meski
Vanya gak ngaku terus terang, tapi gua tau banget kalo lo itu masih jadi hantu
masa lalunya! Dia masih penasaran sama lo! Lagian kalian konyol, milih pisah
gitu aja! Bukannya beresin dulu masalah kalian!”
“Udahlah, Mas.
kalo waktunya udah tiba. Pasti kita ketemu kok.” Aku bangkit dari duduk dan
melengos pergi.
“Kapan itu!?”
teriaknya dari balik punggungku.
Entahlah,
jawabku dalam hati.
Memoriku dipaksa
untuk mundur mengingat kejadian 18 bulan yang lalu.
#
“Udah belom?!?
Kayak cewek aja ke WC harus ditungguin!” Teriak Wira dari balik pintu.
“Bentar! Tau
sendiri kan bahannya gak boleh kena air? Jadi tolong pegangin dulu sebentar
diluar!” balasku tak kalah teriak.
“Ck. Gak keren
banget nunggu yang boker!”
“Berisik! Lagian
kenapa gak nunggu di kantin aja sih?!”
“Gak punya
duit!” Ujarnya.
Sungguh
mengganggu jika perut sedang bermasalah seperti ini. Sepanjang pagi diriku
bolak-balik kamar kecil untuk buang air. Segala macam obat diare sudah aku coba
tanpa hasil yang berarti.
“Maaf, Kak. Kalo
sekretariat SMSR di mana ya?!” Ucap sebuah suara lembut. Suara perempuan.
Sepertinya
terjadi distorsi suara di bilik yang sedang aku tempati ini karena aku merasa
sangat mengenal suara si perempuan. Kudengar Wira dan perempuan itu
bercakap-cakap sambil sesekali diiringi tawa
“Terima kasih
ya, kak?” Ucap si perempuan.
“Terima kasih
kembali atas fotonya.” Balas Wira.
Karena penasaran aku bergegas menyelesaikan
kegiatan yang sedang dilakukan. Saat aku membuka pintu, si perempuan sudah 10
meter jauhnya dari WC. Hanya rambut yang diikat ekor kuda yang masih bisa
kulihat.
“Siapa?” Tanyaku
“Anak semester
baru. Dari Seni Rupa.” Wira tak kuasa menyembunyikan cengirannya. “Cuantik
banget loh, Kana....”
“Oh ya?”
berlawanan dengan suaraku yang tenang. Jantungku tiba-tiba berpacu.
“Gua dapet foto
bareng sama dia!” Wira menjulurkan ponselnya sangat dekat dengan mukaku.
Aku menjauhkan
muka dari ponsel Wira. Mencoba memfokuskan pandangan. “Vanya?”
“Lo kenal dia?”
Ujar Wira heran.
“Nggak kok.”
Mudah-mudahan Wira tak menangkap kegugupan dalam suaraku.
#
“Jadi saya
bukannya hendak menolak kebaikan Bapak selama ini. Namun setelah sekian lama
saya mencoba tetap saja saya merasa bahwa ini terlampau dipaksakan untuk
terjadi.”
Tujuh orang
lainnya yang duduk di kursi bundar sebuah restoran paling elit di Bandung mendadak
membeku.
“Saya butuh
waktu untuk berpikir. Dan saya tak ingin dikejar-kejar target semacam
pernikahan dua tahun lagi.”
Bulir-bulir
bening terbit di sudut mata Emak. Sebenarnya aku sungguh tak tega melihat
beliau seperti ini. Namun aku lebih tak tega jika harus terus membohongi diri
seperti yang kulakukan bertahun-tahun ini. Diane kali ini hanya menundukan
kepalanya. Kurasakan aura kecewa menguar pada semua orang yang hadir.
Keheningan
menyelusup selama lima menit penuh. Semua orang sibuk dengan pikirannya
masing-masing. Begitupun aku. Meskipun aku sudah memutuskan hal ini
berminggu-minggu lalu namun tetap saja pada saat aku benar-benar mengucapkannya
terasa ada hal yang salah telah kuperbuat.
“Baiklah jika
memang demikian keputusan Nak Angga. Bapak bisa sepenuhnya mengerti kok. Memang
persoalan ini harus dipikirkan secara matang dan mendalam.” Ucap Pak Wahyu
dengan suaranya yang biasa, tenang dan ramah.
“Waktu itu juga
Mama sempet nolak lamaran Papa, kan?” Tambahnya genit pada sang istri yang
duduk di sebelahnya.
Adegan cubitan
sayang Bu Dewi yang ditimpali ringgisan senang Pak Wahyu mencairkan suasana
kelam yang sempat aku bangun.
“Sudahlah.
Sebaiknya kita nikmati hidangan yang ada. Kita bicarakan perjodohan ini
kapan-kapan lagi jika waktunya sudah tepat.”
Aku mengangguk.
Dari sudut mata kulihat tatapan tajam Teh Mia tertuju padaku. Aku memilih untuk
pura-pura tak menyadarinya.
#
“Kemana, Bro!?” Seru Aris yang berlari-lari dari
parkiran. Aku menghentikan kegiatan menaiki tangga.
“Ngerjain
makalah.”
“Di atap lagi?”
“Memang di mana
lagi tempat yang sepi buat berpikir selain disana?”
Aris tertawa.
“Gua curiga bukan karena sepi deh. Tapi karena lo bisa liat anak-anak cewek
Seni Rupa makan di kafetaria taman sebelah gedung.”
Aku hanya
tersenyum samar. Mungkin aku mulai terbiasa untuk berdiam di atas atap dan
memandang taman gedung Seni Rupa yang letaknya lumayan jauh dari gedung yang
sedang kunaiki.
Sebuah
pemandangan kantin terlihat di kejauhan. Beberapa orang terlihat sedang menikmati
sarapan yang terlambat (atau makan siang yang terlalu cepat). Namun sosok yang
kucari sepertinya belum datang.
Sambil menunggu,
aku membuka laptop dan mulai menulis makalah Sosiologi yang harus dikumpulkan
besok. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku yang terlindungi kanopi. Namun tak
seperti biasanya, pikiranku kali ini tak bisa benar-benar terfokus pada layar
yang sedang aku coba isi dengan deretan huruf.
Kejadian semalam
masih saja terbayang dalam otak. Dan setelah memiliki waktu untuk berpikir, aku
merasa bahwa ternyata tindakanku semalam benar-benar keterlaluan. Aku terlanjur
menyakiti banyak orang yang telah mengharapkan kebahagianku.
Setengah jam
telah berlalu, awan hitam mulai berarak mendekat. Aku sangat berharap bahwa
hujan jangan dulu turun sebelum seseorang yang kuharapkan datang.
Angin hangat
telah berubah menjadi lebih dingin. Gemuruh terdengar di udara di kejauhan. Akal
sehatku mengatakan bahwa seharusnya aku bersegera untuk turun dan mendapatkan
perlindungan yang lebih baik dari hujan. Namun entah kenapa aku masih saja
bersikeras untuk tetap berada di tempat ini.
Hujan rintik-rintik
telah turun. Ujung celanaku mulai basah oleh cipratan air hujan. Kantin Fakultas
Seni Rupa sepi tanpa satupun orang. Aku menduga bahwa mungkin hari ini dirinya
takkan datang. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini.
Aku belum
memutar kenop pintu saat terdengar suara langkah kaki mendekat.
BRAK....
Pintu menjeblak
terbuka. Seorang gadis berambut sebahu memakai jas hujan pink. Tangannya menggenggam
sebatang tongkat pendek.
Sebuah memori
dari masa lalu terbayang. Aku teringat dua buah sosok yang sering menari
dibawah rintik hujan di atas atap.
Vanya sedang
menari di hadapanku.
Untungnya aku
sudah berhasil menyembunyikan diri.