Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Rabu, 30 Januari 2013

TSMJ #13 (by: Vanya)


Dunia yang Tak Sama

Aku tahu, puluhan pasang mata yang ada di depan gerbang Benteng Vredeberg ini sedang melihat sebuah adegan di mana seorang remaja putri sedang menangis di pelukan seorang remaja putra. Aku yakin, di antara pemilik puluhan pasang mata itu ada yang berusaha mencari keberadaan kamera karena mungkin mengira adegan itu adalah salah satu adegan di film. Namun sayangnya, orang yang berpikiran seperti itu akan kecewa. Karena pada kenyataannya adegan itu bukanlah salah satu adegan di film ataupun sinetron. Ya, adegan itu nyata adanya. Dan di adegan itu, akulah si remaja putri, dan Natalah si remaja putra itu.
Siang tadi, setelah aku curhat panjang lebar kepada Arnest, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Nata untuk menemuiku di tempat ini. untunglah Nata menitipkan nomor teleponnya kepada Uti dan Akung, jadi aku bisa menghubungi cowok yang ada di masa laluku itu. Entah pemikiran dari mana sampai pada akhirnya aku  mau menemui Nata yang selama beberapa hari ini menghabiskan beberapa jamnya di Jogja ini untuk duduk di kursi tamu Uti dan Akung. Hanya untuk menungguku kalau-kalau aku berubah pikiran untuk mau menemuinya. Tetapi pemikiranku tidak berubah—sampai hari ini, akhirnya aku luluh dengan sedikit paksaan Arnest untuk menemui Nata. Dan di sinilah aku, memeluk Nata di depan gerbang Benteng Vredeberg sambil menenggelamkan wajahku di bahu Nata.
Kamu jahat!” Ucapku lirih.
Kurasakan badan Nata berangsur-angsur mengendur dari ketegangannya. Lalu aku merasakan sentuhan tangan Nata di kepalaku yang berusaha meredakan getaran di punggungku. Aku mulai merasakan kehangatan yang hampir dua tahun ini tak menjalariku. Kehangatan yang hampir saja aku lupakan bagaimana sensasinya. Kehangatan yang kupikir tak akan pernah kudapatkan lagi dari sosok yang membelai rambutku dengan lembut ini. Rasanya aku ingin lebih lama seperti ini. Lebih lama lagi sampai aku yakin sosok itu tak akan pernah pergi lagi. Tidak untuk sekali lagi.
“Aku nggak pernah minta kamu pergi,” kataku setelah berhasil meredakan tangisku dan melepaskan pelukan itu.
I know,”
“Kamu yang minta aku pergi, Nat,”
I’m sorry,” kedua bola mata Nata menatapku lekat-lekat. Sampai-sampai, menangkap ketulusan di matanya bukanlah pekerjaan yang berat.
            Hening sesaat. Kedua pasang mataku dan mata Natalah yang saling berbicara. Saling melepas rindu yang selama ini tak terpuaskan. Lewat mata yang berbicara itu, diam-diam kami saling menebar kelegaan yang hampir dua tahun ini tak pernah hinggap di hati. membiarkan mataku melepas dahaga untuk menatap Nata, dalam diam. Dalam keheningan.
            “Hmm…,” aku berdeham pelan, memecah keheningan di antara kami berdua. Dan sepertinya, rasa canggung pun mulai tercipta. “Jadi, kamu mau masuk atau nggak?” tanyaku sambil memberi isyarat menuju gerbang masuk Benteng Vredeberg.
            “Iya,” jawab Nata singkat.
            Kami berdua berjalan menuju pintu gerbang, di mana dua orang pria berkumis berdiri di salah satu sisi gerbang. dua orang pria itu memberikan tiket lalu Nata mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar dua tiket masuk itu. akhirnya, kami masuk ke dalam benteng dan berjalan dengan diam. Aura canggung ini lama kelamaan terasa mengerikan. Mungkin waktu nyaris dua tahun itu benar-benar telah turut serta membangun dinding pemisah antara kami berdua. Atau mungkin beginilah rasanya saat bertemu kembali dengan orang yang lama menghilang dari kehidupanku.
            “Hampir dua tahun,” Nata memulai menepis rasa canggung itu. Lalu ia mengajakku duduk di tempat duduk yang tersedia di dalam benteng itu.
            “Iya,” aku memandang sekeliling benteng yang tidak terlalu ramai ini. Masa liburan memang sudah berlalu. “Kemana aja kamu selama itu, Nat?” tanyaku seraya menoleh ke arah Nata yang duduk tepat di sebelah kiriku.
            “Banyak yang udah aku lewati. Cerita yang panjang,”
            “Tapi aku mau denger,”aku sedikit memaksa.
            Kemudian Nata mulai bercerita alasannya kembali ke Indonesia waktu itu. tentang ayahnya yang meninggal, tentang bos ayahnya, dan ketidakinginan Nata untuk menyakiti perasaan ibunya. Nata menceritakan semua itu dengan pelan namun sarat emosi. Hatiku bergetar mendengar cerita laki-laki yang duduk di sampingku ini. Sekarang, aku benar-benar memaklumi sikap Nata waktu itu yang bisa di katakana tidak sengaja berbuat kasar kepadaku. Mungkin jika aku ada di posisinya, aku bisa melakukan hal yang sama. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah, tetapi setidaknya aku pernah merasakan bagaimana kehilangan orang yang aku sayangi: Nata. Dan itu semakin membuatku memahami perasaan Nata.
            “Aku nggak pernah tahu itu. Maaf,” aku menyentuh tangan Nata dan meremas tangannya pelan untuk memberinya sedikit kekuatan. “Harusnya aku nggak marah sama kamu, Nat,”
            “Aku yang salah karena nggak cerita ini dari awal ke kamu, Nya. Sorry,” kini, Nata yang balik menggenggam tanganku. Entah mengapa sentuhan tangan Nata berefek aneh pada tubuhku. Rasanya seperti ada benda berat yang jatuh ke perutku.
            “Udahlah,” aku tersenyum. Berharap senyum itu meredakan rasa aneh di perutku ini. “Yang penting sekarang kita ada di sini,”
            “Yeah. Kamu bener,”
            Hening kembali.
            “Oh iya, kenapa kamu nggak pake jepit rambut kupu-kupu yang dulu lagi? Apa karena rambutmu udah panjang terus kamu nggak mau pake jepit itu?” tanya Nata, yang lagi-lagi berhasil memecah keheningan.
            Spontan, aku menyentuh rambutku. “Nggaklah. Bosen kali pake jepit itu melulu. Cewek kan emang selalu ganti style. Nggak kayak kamu yang dari dulu rambutnya acak-acakkan,” aku tertawa pelan sambil berusaha meraih kepala Nata untuk merapikan rambut berantakkan khas Nata itu.
            Nata berusaha menghindari tanganku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya yang bebas mencubit hidungku keras-keras. “Oooh! My lovely nose!” pekikku. Lalu tiba-tiba, aku merasa seperti de javu. Ya, laki-laki ini memang pernah mencubit hidungku di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Tetapi, bukankah sekarang aku sudah bersama Nata?
            “Hahaha, hidungmu merah!” Nata mulai tertawa keras dan aku menggosok-gosok hidungku sambil melihat bayangan wajahku di kaca kecil yang setiap hari aku bawa ke sekolah.
            “Aku tahu! Sakit tauk! Pokoknya kalau sampe hidungku nggak bisa kayak semula, kamu harus bayarin operasi plastic buat hidungku!” kataku melebih-lebihkan.
            Nata justru kembali tertawa, “Nggak bakalan se-over itu. tuh udah nggak merah,”
            “Tapi tetep aja sakit, Nata! Coba kamu sini!” tanganku mulai meraih-raih lagi. Kali ini hidung Nata yang mancung itulah sasaranku.
            Lagi-lagi Nata dapat menangkis kedua tanganku dengan mudah dengan tangan kanannya. Aku mencoba lagi, dan Nata menepis kembali. Ia tertawa sambil terus menepis kedua tanganku yang berniat untuk membalas dendam. Dengan gerakkan yang cekatan, Nata mencengkeram kedua pergelangan tanganku erat-erat lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku membeku saking kagetnya. Pelukan itu membuatku lupa bagaimana cara berkedip dan bernapas. Bahkan lidahku tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Jantungku yang tersimpan di balik rongga dada ini mulai meronta-ronta, memompa darah lebih cepat dari beberapa detik yang lalu ketika aku belum di pelukannya.
            Aku mulai merasakan hembusan napas Nata di telinga kananku, “Kamu cantik dengan rambut panjangmu,”
            Entah mengapa. Wajahku terasa panas. Seperti berada tepat di depan api unggun yang panas. Dalam hati, aku pun berdoa agar jantungku tidak meledak saking kerasnya ia memompa darah. Dan sepertinya doaku terkabul, karena tiga detik kemudian, Nata melepaskan pelukannya. Kemudian aku menghembuskan napas yang dari tadi kutahan. Tetapi rasa panas di wajahku tak kunjung menghilang.
            Thanks,” kataku tulus. “Oh ya, Nat, bukannya harusnya hari ini kamu udah masuk sekolah ya?”
            Nata tersenyum ke arahku lalu menjawab pertanyaanku, “Iya. Aku seharusnya hari ini udah balik ke Bandung. Tapi kamu baru mau ngomong sama aku hari ini, Nona Vanya,”
            “Harusnya mau nemuin kamu sebulan lagi biar kamu nggak sekolah sebulan,” aku tertawa jahil.
            Where is your lovely nose, Miss Vanya?” pertanyaan Nata membuatku semakin tertawa—sambil memegangi hidungku, tentu saja.
            “Vanya?” panggil Nata setelah aku meredakan tawaku.
            “Ya?”
            “Ada sesuatu yang mau aku kasihin ke kamu,”
            “Apa?”
            “Aku lupa membawanya. Nanti mau ke tempat penginapanku? Bendanya ada di sana,”
            Aku mengernyitkan dahi. “Emang apa sih bendanya?” tanyaku penasaran.
            “Jadi, kapan kamu balik ke Bandung, Nata?”
            “Nata?! Nata siapa?!” kata sebuah suara yang sedikit melengking. Aku dan Nata segera menoleh ke arah pemilik suara itu yang ternyata adalah seorang perempuan dengan rambut sebahu yang wajahnya tampak merah karena marah.
            Perempuan itu mendekati Nata lalu Nata berdiri. Aku juga ikut berdiri.
            “Sekarang aku tahu kenapa kamu nggak pulang-pulang!” kata si perempuan itu ketus. “Gara-gara dia!” perempuan itu menudingku dengan jari telunjukknya. Aku sedikit terkejut. Siapa perempuan yang datang sambil marah-marah tak keruan seperti ini?
            “Kamu siapa sih?!” perempuan itu mulai mendekatiku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Angga itu pacar aku! Kamu nggak berhak deketin dia! Lagi pula—ooh ya! Aku inget!”
            Perempuan yang ada di depanku ini mundur selangkah lalu menatap Nata. “Dia yang ada di foto itu! Iya kan, Angga?!”
            Nata, yang di panggil Angga oleh perempuan itu mengangguk pelan. Perempuan yang lebih pendek beberapa centi dari aku ini nampak sangat marah. Wajahnya yang merah semakin merah. Aku tahu, kedua rahang perempuan ini bergetar seolah-olah bisa menelan siapa saja yang ada di tempat ini. Aku sendiri mulai merasakan kemarahan yang aku sendiri tak mengerti.
            “Oh jadi kamu yang namanya Vanya?!”
            “Kenapa?!” aku ikut-ikutan ketus.
            Perempuan itu menatapku seperti ingin membunuhku. “KAMU TAHU NGGAK?! DIA—KANATA ANGGARA WIGUNA UDAH TUNANGAN SAMA AKU! JADI KAMU JANGAN DEKETIN DIA LAGI! KAMU CUMA TEMAN LAMA YANG HARUSNYA DI BUANG!” lalu perempuan itu mengakhiri kata-katanya dengan sebuah tamparan panas mendarat di pipi kiriku.
            Aku menatap perempuan itu penuh amarah. Hampir saja aku balas memukulnya kalau saja Nata tidak menahan tanganku. Tunggu! Kenapa Nata menahan tanganku? kenapa ia tidak menahan tangan perempuan sialan ini tadi?
            Nata segera mencengkeran kedua tangan perempuan yang barusan menamparku itu lalu membawa perempuan itu agak jauh dariku. Aku terdiam di tempat, berusaha meredakan kemarahan yang tadi merasukiku. Aku tak mau melihat Nata dan perempuan itu. aku tak mau kemarahan kembali mendatangiku.
            “Kalau gitu, aku mau pulang! Terserah kamu mau pulang atau nggak!” lalu aku mendengar kata-kata perempuan itu.
            “Diane! Diane!” panggil Nata, sedangkan sosok yang dipanggil tetap berlari tanpa menoleh.
            Nata berjalan mendekatiku dengan wajah yang lelah. Ia menatapku lekat lalu menyentuh pipi kiriku yang masih terasa panas, tetapi aku segera menepis tangan Nata.
            “Jadi… dia pacarmu?” tanyaku.
            Nata mengangguk singkat. Lalu aku terduduk di kursi yang kami duduki tadi.
            “Kamu nggak pa-pa?” tanya Nata setelah mengikutiku duduk.
            “Apa kalian sudah tunangan?” alih-alih menjawab pertanyaan Nata, aku justru balik bertanya.
            Kali ini Nata membisu dengan mata yang sudah terlanjur menatap mataku. Ia tak kunjung menjawab sampai aku menyimpulkan kediaman Nata itu sebagai kata ‘iya’.
            Tanpa banyak pembicaraan lagi, aku segera meraih tasku dan berdiri. Ketika kakiku baru saja akan melangkankan kakiku, tangan Nata meraih tangan kiriku. Dan Nata berdiri.
            “Nata, PACAR kamu itu benar! Kamu harusnya nggak di sini. Harusnya kita nggak pernah ketemu! DIA benar! Harusnya kamu nggak usah ke sini. Kita punya dunia yang berbeda dari dulu! Harusnya aku emang nggak berteman sama kamu saat di London! Mungkin semuanya nggak akan seperti ini!” aku mengatakan itu penuh emosi. Kemarahanku yang berusaha aku redakan, mulai meledak. Aku merasakan air mata kemarahan mulai menggenangi kedua mataku.
            “Kenapa?” tanya Nata dingin.
            “Karena harusnya kita nggak berteman! Kata-katamu waktu di London dulu emang bener! Harusnya aku nggak pernah ganggu kamu! Kita emang nggak ditakdirkan selalu bersama, Nat! Kamu juga tahu itu!”
            “Vanya, nggak kayak gitu…”
            “Jadi, biar aku perjelas! Lebih baik kamu kembali ke Bandung, minta maaf sama PACARmu itu dan JANGAN TEMUI AKU LAGI! DUNIA KITA SUDAH BERUBAH! Tenang aja Nat, aku nggak akan mengganggumu lagi, seperti permintaanmu saat pertama kali kita bertemu.” Air mataku mulai jatuh dengan deras di kedua pipiku. Namun aku tak berniat untuk mengusapnya sama sekali.
            Aku melepaskan cengkeraman tangan Nata lalu berjalan menuju gerbang.
            “Jadi kita nggak akan ketemu lagi?” tanya Nata dingin tetapi sarat emosi.
            Aku berhenti berjalan. “Nggak. Mulai hari ini nggak ada kata kita. Yang ada hanya Nata dan Vanya,” jawabku tanpa menoleh.
            Nata kembali meraih tanganku dengan lembut. Ia menyentuh bahuku lalu membalikkan badanku. Nata menatapku dalam. Mata milik Nata itu seperti sebilah belati yang menusuk-nusuk dadaku. Berkali-kali dan menyisakan rasa perih yang tak terkira. Air mataku kembali menetes karena rasa perih itu. Lalu aku menutup kedua mataku. Berharap dengan aku menutup mataku, rasa perih itu akan berkurang. Akhirnya kembali aku buka mataku karena rasa perih itu tak kunjung surut.
            Kemudian Nata menarik tubuhku dan memelukku erat. “terakhir,” bisiknya di telingaku. “You know? You’re the best friend I’ve ever know. And…” aku merasakan detakan jantungku dan Nata sama-sama menggila. Dan air mataku lebih deras mengalir membasahi pipi juga baju Nata.
            I love you,” lanjut Nata. Satu kalimat itu membuatku semakin tersedu. Aku berusaha meredakan tangisanku lalu melepas pelukan hangat Nata untuk yang terakhir kalinya itu.
            Bye, Vanya Diartha Nirwana,” ucap Nata.
            Bye… Kanata Anggara Wiguna,” aku tak berani menatap mata Nata. Lalu keheningan yang menyesakkan tercipta di antara kami. Aku pun memutuskan untuk berbalik dan pergi meninggalkan Nata. Dan kali ini, tidak ada tangan Nata yang menahanku. Aku terus berjalan dan berjalan. Berharap aku bisa berbalik dan membuat semuanya lebih baik. Namun ini yang terbaik. Nata bukan tercipta untuk selalu ada di sampingku. Tuhan memang HANYA memberikan waktu dua tahun bagiku dan Nata untuk saling berbagi. Dan setelah itu, semua tinggalah omong kosong. Ya, hanya dua tahun. Hanya dua tahun yang sesingkat kedipan mata. Lalu tak ada lagi kesempatan juga waktu.
            Ada awal ada akhir. Ada pertemuan ada perpisahan.
            Beginilah pada akhirnya. Aku memang tak seharusnya masuk dalam kehidupan Nata. Dari awal pertemuan Nata memintaku untuk menjauh darinya. Aku rasa itu pertanda bahwa aku dan Nata memang tak ditakdirkan untuk bahkan sekedar berteman. Kami berbeda. Kami berdiri di garis berbeda walaupun sejajar. Terlihat bersampingan, tetapi sebenarnya garis yang kita lalui tak pernah bertemu di titik manapun. Tak ada ujungnya.
            Aku tahu, kali ini perpisahanku dengan Nata adalah benar-benar sebuah perpisahan. Setelah hari ini, mungkin Aku dan Nata akan menjadi orang yang lain. Atau menjadi seperti yang dulu ketika aku dan Nata belum saling mengenal.  Memang begitulah pada kenyataannya. Aku tidak untuk Nata, dan begitu juga Nata.
            Mungkin, perpisahanku dengan Nata sewaktu di London dulu bukanlah perpisahan yang sebenarnya. Hanya sebuah perpisahan yang tertunda. Barulah hari ini, semua jelas. Hari ini semuanya berakhir. Mengakhiri yang seharusnya tak pernah dimulai.
###
            Aku terbangun dari tidurku dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Mimpi buruk itu lagi. Akhir-akhir ini mimpi buruk sering menghantuiku. Setelah perpisahanku dengan Nata hari itu, duniaku terasa dua kali lebih gelap. Di tambah lagi dengan mimpi-mimpi buruk sialan itu. Rasanya aku ingin berteriak tapi aku tak bisa. Tenggorokkanku seperti menelan teriakanku itu sebelum sempat menggetarkan partike-partikel udara. Sungguh buruk.
            Aku menghapus peluh di pelipis dan leherku kemudian melirik jam. 05.30. Aku segera bangun dan menyiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke sekolah. Uti baru saja meletakkan segelas susu coklat di meja makan ketika aku selesai mengenakan seragamku. Uti tersenyum kepadaku, dan aku membalas senyuman itu seceria mungkin. Lalu kami bertiga mulai sarapan. Di meja makan ini, kami membicarakan cuaca di luar yang cerah dan tumbuhan Uti yang sudah berbunga di halaman depan. Aku berusaha tampak seceria mungkin agar Uti dan Akung tak mengkhawatirkanku. Dan aku rasa aku berhasil.
            Aka datang tepat waktu. Ia datang saat susu coklat buatan uti seudah kutenggak habis. Aku dan Aka berpamitan pada Uti dan Akung lalu kami berangkat ke sekolah. Aku menatap langit biru tak berawan yang ada di atasku. Hari ini memang benar-benar cerah.
            “Yuk!” ajak Aka.
            Aku menoleh ke arah Aka lalu tersenyum. Ini memang duniaku. Kataku dalam hati.

Minggu, 13 Januari 2013

TSMJ #12 (By Kanata)



Makna Sebuah Pertemuan

Aku tak tahu mana yang lebih bodoh; fakta bahwa aku sedang duduk di kursi rotan di ruang tamu sebuah rumah yang bergaya arsitektur abad ke-17, disuguhi penganan seperti bola-bola berwarna coklat dan secangkir besar teh hangat,  dan ditemani kesunyian karena pria tua yang kuduga kakeknya Vanya memilih menyibukkan diri dengan menghisap tembakau dari pipa kunonya sambil melihat jendela dibanding dengan mengajakku bicara; atau fakta lain bahwa ini hari ketiga aku melakukan ritual ini. Dan Vanya masih menolak menemuiku.
            “Katanya Vanya masih belum siap buat ketemu.” Ucap wanita tua yang mengenalkan dirinya sebagai Uti Vanya. “Bukannya Uti tak mengerti perasaan Nak Nata, tapi tahu sendiri kalau gadis muda sudah merajuk susah sekali dibujuknya.”
            Sama seperti hari-hari sebelumnya, yang kulakukan hanyalah diam mendengarkan sambil memegang erat bungkusan yang belum berhasil aku serahkan langsung pada Vanya.
            “Bagaimana kabar sekolahnya?” Aku tak tahu apakah Uti sengaja atau tidak. Yang jelas setiap kali datang selalu pertanyaan-pertanyaannya diulang.
            “Baik. Sekarang saya kelas tiga. Betul.  Ujian sekitar bulan Maret. Rencananya mau ngelanjutin ke ITB. Iya, saya pernah ketemu Kak Revo disana. Nanti saya sampaikan salamnya jika ketemu lagi. Biasa aja, Vanya suka melebih-lebihkan.” Jawabku dalam hati karena aku tahu urutan pertanyaannya pastilah:
            “Sekarang kelas berapa? Oh ya? UN bulan apa? Mau lanjut kuliah kemana? Revo, kakaknya Vanya juga kuliah disana loh. Salam ya buat Revo?! Jangan nakal-nakal di kampung orang!”
            Tiga bulan berlalu sejak pertemuan tak sengajaku dengan Janet dan Hyungjun. Butuh hanpir 100 hari bagiku mengumpulkan keberanian untuk menemui Vanya seperti yang mereka anjurkan. Hari-hari yang penuh kebimbangan.
            Sejujurnya aku amat ingin menemui Vanya lagi. Namun aku juga sangat takut akan apa yang terjadi ketika pertemuan tersebut benar-benar terjadi. Seminggu yang kulakukan semenjak tiba di Jogja adalah memandangi rumah ini dari kejauhan, merasa ragu hendak melangkah atau tidak.
            Sampai akhirnya pertemuan yang cukup tak disengaja itu pun terjadi. Aku yang sedang berbelanja cemilan sebagai bekal duduk dan melamun di taman seberang rumah Vanya harus bertemu dengannnya di sana.
            Entah dorongan dari mana, alih-alih lari dan bersembunyi aku malah menampakkan diri di hadapannya. Diluar dugaan ternyata Vanya merasa jauh lebih kaget terhadap pertemuan tersebut dibanding diriku. Dia lari, terluka, dan mengurung diri di kamar.
            Tiga sore aku datang. Tiga sore pula aku hanya ditemani Akung dan Uti.
            Seakan keadaan tak bisa bertambah rumit, terdengar suara kendaraan berhenti depan rumah, dilanjutkan dengan suara pagar terbuka, kemudian suara salam. Sosok cowok tinggi berbadan atletis dengan kulit yang terlalu banyak terjemur sinar matahari muncul dari pintu ruang tamu. Senyum di bibirnya seketika berubah menjadi  kerutan di dahinya.
            “Aih, Aka pikir tidak ada tamu?!” jelas itu pernyataan basa-basi karena bagaimanapun kami sempat bertemu sekilas ketika dirinya keluar dari lorong yang kutahu mengarah ke kamar Vanya dengan tergesa-gesa seperti pencuri yang tertangkap basah.
            “Aka, kenalkan. Ini Kanata. Temen Vanya juga.” Jelas Uti.
            Kami berjabat tangan dengan sopan. Aku catat baik-baik kalimat beliau.
            “Juga.”
            Artinya posisi aku maupun Aka adalah teman Vanya. Tak lebih.
            Aka duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Kesunyian mengisi udara selama beberapa menit.
            Akung berdiri sambil berdehem pada Uti. Mereka berpandangan. Akung mengangguk. Uti tersenyum paham.
            “Sepertinya Uti harus meninggalkan kalian mengobrol berdua. Katanya Akung pengen dipijit sama Uti.” Ucapnya sambil tersenyum yang tak bisa kutangkap maknanya. “Maklum sudah tua. Jadi perlu banyak perawatan.”
            “Kalian ngobrolah dengan tenang.” Ucap Akung dengan suaranya yang khas.
            Kesunyian kembali tercipta. Aku menunggu. Dia juga menunggu.
            “Saya dengar Kanata DULU dekat dengan Vanya.”
            “Saya dengar juga bahwa SEKARANG Vanya dekat dengan Chakra.” Jawabku segera.
            Cukup aneh sebetulnya menggunakan kata Saya untuk diri sendiri dan menyebutkan nama jelas dari lawan bicara.
            “Panggil Aka aja. Gua biasa dipanggil kayak gitu.” Ujarnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku merasa ini adalah sebuah perang batin antara kami berdua. “Bisa dibilang saat ini gua cowoknya Vanya.”
            Jika saja aku sedang meneguk air tentunya air tersebut akan menyembur keluar. Suatu pernyataan yang terlalu blak-blakkan menurutku.
            “Saya dan Vanya dulu deket karena sama-sama berasal dari Indonesia.” Aku tak ingin kalah dalam adu mental ini. Segurat warna merah muncul di tenguknya ketika aku jelas-jelas tak terprovokasi dan tetap menggunakan kata ganti Saya.
            “Tak terhitung banyaknya waktu yang kami habiskan bersama dalam dua tahun tersebut. Sangat menyenangkan.” Kali ini telingannya ikut memerah.
            “Gua juga denger sudah lebih dari dua tahun ini kalian sama sekali gak menjalin kontak.” Entah memang sudah wataknya yang angkuh atau ini hanya sekedar metode pertahanan dirinya yang ingin melindungi Vanya, aku tak tahu pasti. Yang jelas sepertinya bukan pembicaraan ringan semacam cuaca atau sebagainya yang akan kami bahas saat ini.
            “Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun ini.” Ucapku dengan suara setenang mungkin.
            “Oh ya? Gua pengen denger dong semuanya!”
Ya Tuhan, aku sudah terlalu lelah untuk menghadapi ini. Seluruh daya upayaku sudah aku pakai untuk melakukan perjalanan ke Jogja. Apakah masih harus ditambahkan dengan menghadapi “pacar” Vanya yang disebut Uti sebagai “teman”, sama sepertiku?
“Saya merasa tak berkewajiban untuk melakukannya.” Melihat situasi yang ada, aku memilih untuk menghindari konflik. “Saya pamit. Besok kesini lagi.”
Tanpa menunggu persetujuannya aku bangkit dan berjalan pulang ke penginapan.
Aku berjanji akan terus datang hingga Vanya mau menemuiku. Aku tak mungkin pulang ke Bandung dengan sebuah cerita yang menggantung.
#
Malam telah amat larut. Hanya suara derum motor yang sesekali melintas yang menjadi pengisi kesunyian. Mataku sangat sulit untuk diajak terpejam. Pikiranku melantur kemana-mana sementara kedua tangaku memainkan sebuah purwarupa dari tongkat sihir merah jambu yang telah digambar Vanya.
Jika Vanya dapat membanggakan kemampuannya dalam menggambar, maka aku bisa dikatakan ahli dalam membuat prakarya. Gambar dua dimensi Vanya aku wujudkan dalam bentuk tiga dimensi. Kayu Akasia yang aku ukir secara hati-hati dengan tingkat presisi yang tak kalah teliti. Panjangnya berkali-kali aku ukur untuk memastikan agar tepat seperti yang diminta olehnya. Karena pada dasarnya kayu akasia berwarna kecoklatan, maka aku terpaksa merendamnya selama berhari-hari dalam cat kayu berwarna merah jambu.
Kupikir karya seniku cukup sempurna kecuali satu pertanyaan besar, bagaimana caranya Mr. Olivander memasukan inti tongkat ke dalam kayunya? Apakah dibutuhkan sebuah sihir sungguhan agar nadi naga dan sebagainya bisa berada di tengah tongkat tanpa merusak kayunya?
Menyadari aku hanya seorang Muggle (begitu sang Penulis memberi istilah bagi rakyat non-sihir) maka aku menggunakan metode yang paling masuk akal untuk memasukan bulu burung merak ke dalam tongkat buatanku: Melubanginya.
Butuh 5 hari untuk membuat lubang mungil yang sejajar dengan kayu yang aku ukir. Sebuah pekerjaan yang sangat melelehkan dan membutuhkan ketelitian tinggi karena penyimpangan satu mili saja bisa berakibat lubangnya keburu keluar sebelum mencapai ujung.
Pekerjaan yang tak kalah membutuhkan kesabaran adalah memasukan bulu burung tersebut ke dalam. Jika aku terburu-buru melakukannya akan mengakibatkan bulu tersebut rontok dan kehilangan sisi magisnya.
Namun semua usaha yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh tentunya akan membuahkan hasil yang maksimal. Sejujurnya aku sangat puas dengan hasil karyaku ini. Semoga Vanya bisa merasakan aura kesungguhan menguar dari tongkat impiannya ini.
Namun yang jadi pertanyaan adalah jika dirinya tak mau menemuiku, bagaimana caranya Vanya bisa merasakan momen magisnya?
Meski tak benar-benar menginginkannya, aku tertidur dengan pertanyaan yang saling menumpuk.
#
Aku bangun dengan perasaan sungguh tak karuan. Rencana awalnya adalah pada hari ini aku sudah berada di Bandung karena libur semesteran sudah berakhir. Sebelum bangkit dari tempat tidur aku berkali-kali merapal kalimat yang sama.
“Jika hari ini masih gagal, aku pulang dan merelakan semuanya.”
Dengan waktu yang cukup lama berada di Jogja, sebagian besar objek wisata yang sekiranya tak membutuhkan biaya besar telah aku kunjungi. Yang artinya Borobudur dan Prambanan tak jadi aku kunjungi karena kudengar tiket masuknya saja 75 ribu rupiah. Sungguh biaya yang terlalu banyak buatku.
Kuputuskan untuk berada di penginapan  seharian. Menyiapkan energi untuk menghadapi sore hari sambil mengepak barang. Menyingkirkan hasrat untuk datang ke sekolah Vanya dan mengamati kegiatannya seperti stalker yang sering aku lihat di televisi.
#
Ponselku berdering dari kamar sementara aku sedang mengobrol dengan Mas Pano, penjaga penginapan, di front office. Setengah malas aku menuju kamar. Pasti dari Diane lagi. hampir setengah jam sekali dia bertanya kapan aku pulang sambil memastikan bahwa semua barang titipan dia telah aku beli.
Alih-alih nama Diane yang muncul, sederet nomor yang tak kukenal menghiasi layar ponsel.
“Halo? Nata?”
Deg!
Suara Vanya terdengar di ujung sambungan.
“Vanya?” Ucapku meski dugaanku tak mungkin keliru.
“Iya, Nat.” Balasnya datar. “Kita bisa ketemu di Benteng Vredeburg jam satu?”
“Tentu.” Jawabku spontan.
“Aku tunggu ya?!”
Klek.
Sambungan terputus.
Setelah berhasil mnegatasi kekagetan aku lalu melihat jam. 10 menit lagi menuju waktu janjian. Tanpa banyak mempersiapkan diri aku segera pergi karena bagaimanapun Benteng tersebut letaknya lumayan jauh dari penginapan.
#
Sosok berseragamnya berdiri di pintu masuk Benteng. Masih ada jarak 20 meter diantara kami. Vanya berusaha tersenyum seramah mungkin saat aku berjalan mendekat. Namun bertahun-tahun aku kenal Vanya,  jenis senyum tersebut bukanlah yang masuk kategori baik-baik saja. Ada sesuatu yang telah terjadi. Aku tahu pasti.
Saat jarak yang tercipta hanya 2 meter tiba-tiba saja Vanya berlari dan memelukku sebelum akhirnya terisak.
“Kamu jahat!” Ucapnya lirih.
Aku membelai rambutnya, menikmati aroma tubuhnya, merasakan berat badannya.
It’s just like years ago, but without hope and happiness....
Sungguh, bukan seperti ini pertemuan kami dalam bayanganku.