Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Kamis, 21 Februari 2013

TSMJ #15 (By: Vanya)


Pergi

            “Kenapa tiga bulan terakhir ini kamu murung terus, Nya?” tanya Aka yang duduk di depanku.
            Aku hanya mengaduk milkshake strawberry-ku tanpa mau menatap Aka. Bukannya aku tak mau menjawab pertanyaan Aka itu. Hanya saja aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak pernah benar-benar tahu mengapa aku kehilangan semangatku beberapa bulan terakhir, meskipun terkadang aku memaksakan semangat itu agar orang-orang disekitarku tetap mempunyai semangat. Tetapi, sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Aku tak bisa menyembunyikan ini terus menerus. Terutama pada Aka yang terlalu perhatian.
            “Vanya?”
            Aku mengangkat kepalaku dengan enggan.
            “Jawab pertanyaanku,” katanya pelan.
            Aku menggelengkan kepala, lalu mulai angkat bicara. “Aku sendiri nggak tahu, Ka,” jawabku jujur. Lalu aku kembali menunduk dan mengaduk milkshake yang sudah tinggal separuh gelas.
            Tiga bulan yang lalu, tepat saat aku dan Nata memutuskan untuk berpisah—atau tepatnya atas keputusanku sendiri, rasanya tubuhku seperti kehilangan banyak darah. Nafsu makanku menurun, tubuhku lemas, aku menjadi malas melakukan apapun—bahkan untuk belajar sekalipun. Entah apa yang terjadi padaku. Aku rasa ini bukan karena perpisahan yang menyebalkan itu. Bukankah kembali ke kehidupanku yang sekarang tanpa ada nama Nata di dalamnya sudah menjadi pilihanku? Ya. Tentu saja begitu.
            Aku meminum milkshake-ku dan kembali menatap Aka. Aku tak menyangka, Aka menatapku dengan mata yang tajam, sarat kemarahan. Kedua rahangnya mengatup dan menegang. Wajahnya merah karena marah. Aku tahu ia berhak marah karena jawabanku yang tak memuaskan tadi. Yang membuatku bingung adalah mengapa ia harus semarah itu hanya karena jawabanku tadi? Lagipula aku jujur.
            “Aka—“aku berusaha meraih tangannya untuk menenangkan, tetapi gerakan tanganku berhenti di udara. Lalu aku kembali menarik tanganku.
            “Apa gara-gara dia lagi?” tanya Aka dingin.
            “Dia siapa?” tanyaku berpura-pura tidak peka.
            Aka membuang muka sejenak, lalu kembali menatapku. “Nata,”nada bicara Aka masih saja dingin.
            Aku tahu ini. Aku tahu Aka akan mengucapkan nama itu, dan aku tidak suka. Aku memang tak menceritakan pertemuanku dengan Nata saat di Vredenberg dulu. Toh isi pertemuan itu hanya untuk perpisahan. Seharusnya Aka sudah cukup puas dengan ketidakmauanku bertemu Nata saat Nata ke Jogja dulu.
            “Iya kan, Nya?” desak Aka.
            “Aku memundurkan badanku sampai menyentuh sandaran kursi, lalu merundukkan kepalaku untuk ke sekian kalinya. “Aku nggak tahu, Ka,”
            “Bohong,”
            “Tapi aku bener-bener nggak tahu kenapa aku jadi kayak gini,”aku kembali mencondongkan tubuhku kea rah Aka.
            Mataku dan mata Aka saling mengunci dalam keheningan di antara kami berdua. Kemarahan masih tersirat jelas di matanya. Dan aku masih dalam zona ketidakmengertianku mengenai diriku sendiri.
            “Sebenernya dari awal aku ragu sama kamu, Nya,” ucap Aka pelan karena ia sedang menahan marahnya. “dari awal aku udah ngerasa kalau kita emang nggak pernah bisa sejalan. Bahkan sejak kita masih sangat kecil. Aku mendorongmu sampai jatuh waktu kita TK baru kamu bisa liat keberadaanku. Aku seneng kamu akhirnya melihat aku walaupun sambil menangis. Lalu suatu hari, kamu pindah dari Jogja. Dan aku masih terlalu kecil untuk mengetahui keberadaanmu saat itu. Sampai kira-kira setahun yang lalu kamu kembali ke kota ini. Mungkin wajahmu agak berbeda, tapi dari dulu senyummu selalu sama. Aku langsung mengenalimu saat itu. Tapi aku tahu, saat kita pertama bertemu satu tahun yang lalu, kamu sama sekali tak mengingatku.”
            “Sejak hari itu waktu aku mengembalikan jepit rambutmu, aku mulai tertarik sama kamu, Nya. Aku berani mengatakan soal perasaanku saat aku rasa kamu memberiku respon yang baik. Dan setelah kita dalam hubungan ini, lama kelamaan aku sadar. Responmu itu memang baik, tapi kamu nggak menganggapku lebih dari seorang sahabat. Selama ini aku berusaha nggak peka kalau kamu nggak mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku mengabaikan seseorang yang ada di masa lalumu itu. Aku berpura-pura mengiyakan kalau kamu dan orang itu udah berakhir. Kalau kalian memang udah nggak ada hubungan lagi. Mungkin emang bener, tapi aku yakin, ada sesuatu yang belum kalian selesaikan walaupun aku nggak tahu apa itu. Aku ngomong gini bukannya nggak beralasan. Buktinya kamu masih menyimpan semua kenangan bersama orang itu, dan waktu orang itu datang menemui kamu untuk entah apa itu dan justru kamu nggak mau menemui dia. Aku nggak akan bertanya masalah apa yang membuat kamu dan orang itu jadi seperti itu. Tetapi mungkin aku bisa sedikit merasakan. Jadi, Vanya, aku rasa hubungan kita nggak akan pernah baik selama masa lalumu itu masih menghantui kamu. Bukan Cuma soal masa lalumu itu aja, tapi soal perasaan. Kamu nggak punya perasaan yang sama dengan yang aku rasakan. Aku terlalu bodoh untuk berpura-pura berpikir kalau kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku,”
            Kata-kata Aka yang panjang itu membuatku sedikit terkejut. Seluruh badanku seperti teraliri oleh sesuatu yang bergetar tak menentu. Otakku mulai membeku, tak dapat berpikir secara jernih. Lidahku pun ikut menghianatiku dengan ketidakmampuannya mengucapkan sepatah katapun
            “Maaf karena aku membuatmu di tempat yang rumit seperti sekarang ini,” lanjutnya. “Tapi sekarang aku nggak akan membebanimu dengan hubungan kita yang emang nggak bisa berhasil. Aku rasa, lebih baik kita bertema kayak dulu. Mungkin ini lebih mudah buat kamu, Nya,”
            Aku masih setia membisu di antara serbuan ucapan Aka. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Aka. Namun aku tak mampu. Aku takut saat aku angkat bicara, aku hanya akan membuat Aka semakin terluka. Mungkin lebih baik aku diam seperti ini.
            “Kamu bisa pulang naik taksi kan? Hati-hati di jalan. Bye, Vanya,” belum sempat keberanianku untuk angkat bicara datang, Aka sudah berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi dari café ini. aku menghembuskan napas berat setelah Aka menghilang dari penglihatanku. Aku kembali memundurkan badanku lalu merunduk menatap kedua tanganku yang saling meremas. Aku merasa sedikit cemas.
###
            “Terus?” mata Arnest nampak berkilauan tanda ingin tahu. Sejak awal aku bercerita, Arnest memang nampak sangat ingin tahu.
            “Ya udah,” kataku sambil membuka-buka novel baru Arnest. “Pulang. Di pulang dan ninggalin aku,”
            “Sumpah dia ninggalin kamu?!” kali ini mata Arnest hampir bulat sempurna.
            Aku melihat mata Arnest yang membulat itu dan menganggukkan kepala singkat. Ekspresi Arnest seperti baru saja menelan ku tart utuh tanpa di kunyah.
            “Nya, berarti di marah banget sama kamu,”
            Aku berhenti membuka-buka novel Arnest dan menanggapi ucapan Arnest barusan. “Gitu ya? Emang keliatan banget sih. Tapi aku nggak tahu harus ngapain,”
            “Gini aja deh,” Arnest membenahi cara duduknya lalu menatapku lembut. “Sekarang kamu jujur sama diri kamu sendiri. Apa kamu sama seperti yang Aka katakan? Jujur aja. Emang susah sih kalau keadaannya kayak gini. Tapi dengan kamu jujur itu bakalan bantuin kamu buat ngerti perasaanmu sendiri baru kamu bisa mengerti perasaan orang lain,”
            “Itu yang dari kemarin aku pengen lakuin. Tapi susah banget, Nest,” kurebahkan tubuhku di ranjang Arnest. Lalu ia menyusulku.
            “Jadi, mendingan sekarang kamu aku anterin pulang dan kamu pikirin lagi, oke? Bukan bermaksud aku ngusir, tapi kayaknya kamu bakalan lebih nyaman di rumahmu sendiri. Di kamarmu sendiri. Gimana?” katanya seraya memelukku.
            Aku mengerutkan keningku untuk berpikir sejenak lalu mengiyakan kata-kata Arnest. Arnest mengantarku pulang tepat pukul empat sore. Saat itu, Uti sedang menyiapkan makan malam dan Akung sedang menghisap cerutunya di halaman belakang. Aku lega Uti dan Akung sedang mempunyai kesibukkan masing-masing, sehingga aku mempunyai kesempatan mengurung di kamar tanpa ada yang mengganggu. Setidaknya sampai jam makan malam.
            Hal yang pertama kali aku lakukan setelah menutup pintu kamarku adalah membuka jendela dan membiarkan jendela besar yang ada di kamarku terbuka lebar-lebar. Berharap angin sore masuk ke kamarku dan membawa sedikit pencerahan bagiku. Paling tidak membuat perasaanku lebih baik.  Lalu pikiran tentang Aka keluar dengar sendirinya, kemudian Nata. Lalu aku segera mengenyahkan pikiran itu dan memilih untuk menyelinap di balik selimutku.
***
            Dua tahun kemudian...
            “Aka,” sapaku saat Aka memasuki halaman rumah Uti bersama Arnest.
            “Hei,” Arnest balik menyapaku dengan cengiran lebar khasnya. Disusul dengan Aka yang juga tersenyum ramah di belakang punggung Arnest.
            “Ayo masuk! Uti tadi bikin brownis kukus loh buat kalian. Barusan aja mateng,” kataku seceria matahari di langit sana.
            “Yes! Aku suka banget brownis, Nya! Haha!” Arnest menghambur masuk ke dapur seolah rumah Uti adalah rumahnya juga. Aku dan Uti sudah terbiasa dengan sikap Arnest itu. Toh aku juga tidak merasa terganggu.
            “Duduk aja dulu, Ka. Aku ambilin minum dulu,”
            Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku menuju dapur, Arnest sudah membawa tiga gelas kosong dengan sebotol besar soda dingin beserta sepiring brownis yang masih hangat. Aku tertawa pelan melihatnya lalu membantu Arnest meletakkan gelas-gelas itu di atas meja.
            “Akhirnyaaaaa, aku bisa makan juga brownisnya,” seru Arnest girang sesaat setelah ia meletakkan pantatnya di kursi dan mengambil satu potong brownis.
            “Gimana, Nest? Enak?” tanyaku basa-basi.
            “Always,”komentar Arnest singkat itu mengundang sedikit tawaku dan Aka.
            “Jadi,” kataku sambil menatap satu per satu dari mereka. “Ini pertama kalinya kita kumpul setelah lulus. Kalian mau kemana habis ini?”
            “Aku sih pengennya ke Psikoligi UGM,” jawab Arnest dengan mulut penuh.
            “Kamu Ka?”
            “Hmm... Nggak tahu, tapi mungkin aku bakalan keluar, “ jawab angka dengan senyum menghiasi bibirnya. Kemudian ia menuang segelas penuh soda dan menenggaknya sampai habis setengah gelas.
            “Yaaah, Aka jauh,” keluhku pelan.
            “Terus, kamu mau ke mana, Nya?” tanya Aka serius.
            “Mungkin di Bandung, tapi yang jelas nggak di sini,”
            “Yaaaaah, kita bakalan pisah dong?” gantian Arnest yang mengeluh.
            “Santai aja. Masih tetep satu negara, haha,” ujarku berusaha mencairkan suasana. Juga berusaha membuat pandangan Aka yang aneh terhadapku itu menghilang.
            “Vanya, ini brownisnya di ambil lagi,” kata Uti yang masih berada di dapur.
            “Iya Uti,” sahutku. “Aku—,”
            “Aku aja yang ambil brownis tercintaku itu ya,” Arnest menimpali dengan kekehan.
            Aku rasa Arnest meninggalkan aku bersama Aka itu salah. Karena sekarang, yang ada di ruang tamu ini hanyalah keheningan. Perasaan canggung kuat menguar. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi, sedang aku merasa Aka ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya aku memilih menunggu Aka yang berbicara terlebih dahulu.
            “Jadi, kamu mau ke Bandung?” katanya setelah tiga puluh lima detik penuh ia diam.
            “Iya,”
            “Apa karena Nata?”
            Aku yakin, jantungku berhenti berdetak untuk sedetik ketika nama yang dua tahun terakhir ini tak pernah disebut, disebut lagi. Aku merasa sedikit risih mendengar nama itu.
            “Nggak,”jawabku cepat cepat. “Plis, Ka. Kita udah selesai membicarakan ini dulu,”
            Dua tahun yang lalu aku memang sudah menjelaskan semuanya pada Aka. Tentang perasaanku, keadaanku, keinginanku, dan masih banyak lagi. Saat itu aku berkata, mungkin apa yang di katakana Aka saat mengakhiri hubungan kami ada benarnya. Iya, memang aku tidak mempunyai perasaan sayang yang sama seperti yang Aka berikan untukku. Tetapi soal masa lalu, aku pikir masa laluku sudah benar-benar selesai. Tak perlu lagi diungkit-ungkit, karena memang sudah selesai walaupun berakhir dengan cara yang kurang baik. Setelah aku menceritakan hal itu, aku dan Aka menjadi jauh lebih dekat sebagai sahabat. Dia mengerti dengan permintaanku untuk tidak membicarakan masa laluku lagi. Tetapi hari ini, ia justru membicarakannya.
            “Iya, aku tahu. Maaf aku tanya kayak gitu,”
            “Nggak pa-pa, tapi sekedar buat cerita, aku ke Bandung bukan karena apa-apa. Kak Revo yang menawariku sebulan yang lalu. Toh Kak Revo sama keluarganya tinggal di Bandung,”
            “Kalau gitu, good luck ya, Nya,” kata Aka dengan senyuman tulus tersungging di bibirnya. Lalu aku ikut tersenyum.
            Hening kembali mengisi, tetapi untunglah Arnest segera datang dengan sepiring brownis yang menggunung. Lalu kami bertiga menghabiskan seluruh brownis dan soda itu dengan tawa yang lepas. Walaupun kami akan berpisah, tetapi setidaknya aku bisa menikmati waktu yang tersisa untuk tertawa bersama.
***
            Telepon rumah berdering keras ketika Akung, Uti, dan aku sedang berbicara mengenai Aka yang di terima di Canberra. Kami terpaksa menghentikan pembicaraan kami, lalu aku bangkit untuk mengangkat telepon.
            “Halo?”
            “Halo, Vanya, ini Kak Ines,” suara Kak Ines, istri Kak Revo, di ujung telepon sana terdengar sangat antusias.
            “Ada apa, Kak?” tanyaku penasaran.
            “Kamu diterima! Selamat yaaa!” seru Kak Ines heboh.
            “Diterima?” tanyaku masih tak percaya.
            “Iya diterima! Kakak tunggu di Bandung ya, Vanyaku sayang, dah,”
            Klik.
            Telepon terputus.
            Jadi, aku diterima?
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar