Pergi
“Kenapa
tiga bulan terakhir ini kamu murung terus, Nya?” tanya Aka yang duduk di
depanku.
Aku
hanya mengaduk milkshake strawberry-ku
tanpa mau menatap Aka. Bukannya aku tak mau menjawab pertanyaan Aka itu. Hanya saja aku tak tahu harus
menjawab apa. Aku
tak pernah benar-benar tahu mengapa aku kehilangan semangatku beberapa bulan
terakhir, meskipun terkadang aku memaksakan semangat itu agar orang-orang
disekitarku tetap mempunyai semangat. Tetapi, sepandai-pandainya tupai melompat
akan jatuh juga. Aku tak bisa menyembunyikan ini terus menerus. Terutama pada
Aka yang terlalu perhatian.
“Vanya?”
Aku
mengangkat kepalaku dengan enggan.
“Jawab
pertanyaanku,” katanya pelan.
Aku
menggelengkan kepala, lalu mulai angkat bicara. “Aku sendiri nggak tahu, Ka,”
jawabku jujur. Lalu aku kembali menunduk dan mengaduk milkshake yang sudah tinggal separuh gelas.
Tiga bulan yang lalu, tepat saat aku
dan Nata memutuskan untuk berpisah—atau tepatnya atas keputusanku sendiri, rasanya
tubuhku seperti kehilangan banyak darah. Nafsu makanku menurun, tubuhku lemas,
aku menjadi malas melakukan apapun—bahkan untuk belajar sekalipun. Entah apa
yang terjadi padaku. Aku rasa ini bukan karena perpisahan yang menyebalkan itu.
Bukankah kembali ke kehidupanku yang sekarang tanpa ada nama Nata di dalamnya
sudah menjadi pilihanku? Ya. Tentu saja begitu.
Aku meminum milkshake-ku dan kembali menatap Aka. Aku
tak menyangka, Aka menatapku dengan mata yang tajam, sarat kemarahan. Kedua
rahangnya mengatup dan menegang. Wajahnya merah karena marah. Aku tahu ia
berhak marah karena jawabanku yang tak memuaskan tadi. Yang membuatku bingung
adalah mengapa ia harus semarah itu hanya karena jawabanku tadi? Lagipula aku
jujur.
“Aka—“aku
berusaha meraih tangannya untuk menenangkan, tetapi gerakan tanganku berhenti
di udara. Lalu aku kembali menarik tanganku.
“Apa
gara-gara dia lagi?” tanya Aka dingin.
“Dia
siapa?” tanyaku berpura-pura tidak peka.
Aka
membuang muka sejenak, lalu kembali menatapku. “Nata,”nada bicara Aka masih
saja dingin.
Aku
tahu ini. Aku tahu Aka akan mengucapkan nama itu, dan aku tidak suka. Aku
memang tak menceritakan pertemuanku dengan Nata saat di Vredenberg dulu. Toh
isi pertemuan itu hanya untuk perpisahan. Seharusnya Aka sudah cukup puas dengan
ketidakmauanku bertemu Nata saat Nata ke Jogja dulu.
“Iya
kan, Nya?” desak Aka.
“Aku
memundurkan badanku sampai menyentuh sandaran kursi, lalu merundukkan kepalaku
untuk ke sekian kalinya. “Aku nggak tahu, Ka,”
“Bohong,”
“Tapi
aku bener-bener nggak tahu kenapa aku jadi kayak gini,”aku kembali
mencondongkan tubuhku kea rah Aka.
Mataku
dan mata Aka saling mengunci dalam keheningan di antara kami berdua. Kemarahan
masih tersirat jelas di matanya. Dan aku masih dalam zona ketidakmengertianku
mengenai diriku sendiri.
“Sebenernya
dari awal aku ragu sama kamu, Nya,”
ucap Aka pelan karena ia sedang menahan marahnya. “dari awal aku udah ngerasa
kalau kita emang nggak pernah bisa sejalan. Bahkan sejak kita masih sangat
kecil. Aku mendorongmu sampai jatuh waktu kita TK baru kamu bisa liat
keberadaanku. Aku seneng kamu
akhirnya melihat aku walaupun sambil menangis. Lalu suatu hari, kamu pindah
dari Jogja. Dan aku masih terlalu kecil untuk mengetahui keberadaanmu saat
itu. Sampai kira-kira
setahun yang lalu kamu kembali ke kota ini. Mungkin wajahmu agak berbeda, tapi
dari dulu senyummu selalu sama. Aku langsung mengenalimu saat itu. Tapi
aku tahu, saat kita pertama bertemu satu tahun yang lalu, kamu sama sekali tak
mengingatku.”
“Sejak hari itu waktu aku mengembalikan
jepit rambutmu, aku mulai tertarik sama kamu, Nya. Aku berani mengatakan soal
perasaanku saat aku rasa kamu memberiku respon yang baik. Dan setelah kita
dalam hubungan ini, lama kelamaan aku sadar. Responmu itu memang baik, tapi
kamu nggak menganggapku lebih dari seorang sahabat. Selama ini aku berusaha
nggak peka kalau kamu nggak mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku
mengabaikan seseorang yang ada di masa lalumu itu. Aku berpura-pura mengiyakan
kalau kamu dan orang itu udah berakhir. Kalau kalian memang udah nggak ada
hubungan lagi. Mungkin emang bener, tapi aku yakin, ada sesuatu yang belum
kalian selesaikan walaupun aku nggak tahu apa itu. Aku ngomong gini bukannya
nggak beralasan. Buktinya kamu masih menyimpan semua kenangan bersama orang itu,
dan waktu orang itu datang menemui kamu untuk entah apa itu dan justru kamu
nggak mau menemui dia. Aku nggak akan bertanya masalah apa yang membuat kamu
dan orang itu jadi seperti itu. Tetapi mungkin aku bisa sedikit merasakan.
Jadi, Vanya, aku rasa hubungan kita nggak akan pernah baik selama masa lalumu
itu masih menghantui kamu. Bukan Cuma soal masa lalumu itu aja, tapi soal
perasaan. Kamu nggak punya perasaan yang sama dengan yang aku rasakan. Aku
terlalu bodoh untuk berpura-pura berpikir kalau kamu juga mempunyai perasaan
yang sama denganku,”
Kata-kata Aka yang panjang itu
membuatku sedikit terkejut.
Seluruh badanku seperti teraliri oleh sesuatu yang bergetar tak menentu. Otakku
mulai membeku, tak dapat berpikir secara jernih. Lidahku pun ikut menghianatiku
dengan ketidakmampuannya mengucapkan sepatah katapun
“Maaf
karena aku membuatmu di tempat yang rumit seperti sekarang ini,” lanjutnya.
“Tapi sekarang aku nggak akan membebanimu dengan hubungan kita yang emang nggak
bisa berhasil. Aku rasa, lebih baik kita bertema kayak dulu. Mungkin ini lebih
mudah buat kamu, Nya,”
Aku
masih setia membisu di antara serbuan ucapan Aka. Sebenarnya ada banyak hal
yang ingin kukatakan pada Aka. Namun aku tak mampu. Aku takut saat aku angkat
bicara, aku hanya akan membuat Aka semakin terluka. Mungkin lebih baik aku diam
seperti ini.
“Kamu
bisa pulang naik taksi kan? Hati-hati di jalan. Bye, Vanya,” belum sempat
keberanianku untuk angkat bicara datang, Aka sudah berdiri dari tempat duduknya
dan melangkah pergi dari café ini. aku menghembuskan napas berat setelah Aka menghilang
dari penglihatanku. Aku kembali memundurkan badanku lalu merunduk menatap kedua
tanganku yang saling meremas. Aku merasa sedikit cemas.
###
“Terus?”
mata Arnest nampak berkilauan tanda ingin tahu. Sejak awal aku bercerita,
Arnest memang nampak sangat ingin tahu.
“Ya
udah,” kataku sambil membuka-buka novel baru Arnest. “Pulang. Di pulang dan
ninggalin aku,”
“Sumpah
dia ninggalin kamu?!” kali ini mata Arnest hampir bulat sempurna.
Aku
melihat mata Arnest yang membulat itu dan menganggukkan kepala singkat.
Ekspresi Arnest seperti baru saja menelan ku tart utuh tanpa di kunyah.
“Nya,
berarti di marah banget sama kamu,”
Aku
berhenti membuka-buka novel Arnest dan menanggapi ucapan Arnest barusan. “Gitu
ya? Emang keliatan banget sih. Tapi aku nggak tahu harus ngapain,”
“Gini
aja deh,” Arnest membenahi cara duduknya lalu menatapku lembut. “Sekarang kamu
jujur sama diri kamu sendiri. Apa kamu sama seperti yang Aka katakan? Jujur
aja. Emang susah sih kalau keadaannya kayak gini. Tapi dengan kamu jujur itu
bakalan bantuin kamu buat ngerti perasaanmu sendiri baru kamu bisa mengerti
perasaan orang lain,”
“Itu
yang dari kemarin aku pengen lakuin. Tapi susah banget, Nest,” kurebahkan
tubuhku di ranjang Arnest. Lalu ia menyusulku.
“Jadi,
mendingan sekarang kamu aku anterin pulang dan kamu pikirin lagi, oke? Bukan
bermaksud aku ngusir, tapi kayaknya kamu bakalan lebih nyaman di rumahmu
sendiri. Di kamarmu sendiri. Gimana?” katanya seraya memelukku.
Aku
mengerutkan keningku untuk berpikir sejenak lalu mengiyakan kata-kata Arnest.
Arnest mengantarku pulang tepat pukul empat sore. Saat itu, Uti sedang
menyiapkan makan malam dan Akung sedang menghisap cerutunya di halaman
belakang. Aku lega Uti dan Akung sedang mempunyai kesibukkan masing-masing,
sehingga aku mempunyai kesempatan mengurung di kamar tanpa ada yang mengganggu.
Setidaknya sampai jam makan malam.
Hal
yang pertama kali aku lakukan setelah menutup pintu kamarku adalah membuka
jendela dan membiarkan jendela besar yang ada di kamarku terbuka lebar-lebar.
Berharap angin sore masuk ke kamarku dan membawa sedikit pencerahan bagiku.
Paling tidak membuat perasaanku lebih baik.
Lalu pikiran tentang Aka keluar dengar sendirinya, kemudian Nata. Lalu
aku segera mengenyahkan pikiran itu dan memilih untuk menyelinap di balik
selimutku.
***
Dua
tahun kemudian...
“Aka,” sapaku saat Aka memasuki
halaman rumah Uti bersama Arnest.
“Hei,” Arnest balik menyapaku dengan
cengiran lebar khasnya. Disusul dengan Aka yang juga tersenyum ramah di
belakang punggung Arnest.
“Ayo masuk! Uti tadi bikin brownis
kukus loh buat kalian. Barusan aja mateng,” kataku seceria matahari di langit
sana.
“Yes! Aku suka banget brownis, Nya!
Haha!” Arnest menghambur masuk ke dapur seolah rumah Uti adalah rumahnya juga.
Aku dan Uti sudah terbiasa dengan sikap Arnest itu. Toh aku juga tidak merasa
terganggu.
“Duduk aja dulu, Ka. Aku ambilin
minum dulu,”
Baru saja aku hendak melangkahkan
kakiku menuju dapur, Arnest sudah membawa tiga gelas kosong dengan sebotol
besar soda dingin beserta sepiring brownis yang masih hangat. Aku tertawa pelan
melihatnya lalu membantu Arnest meletakkan gelas-gelas itu di atas meja.
“Akhirnyaaaaa, aku bisa makan juga
brownisnya,” seru Arnest girang sesaat setelah ia meletakkan pantatnya di kursi
dan mengambil satu potong brownis.
“Gimana, Nest? Enak?” tanyaku
basa-basi.
“Always,”komentar Arnest singkat itu
mengundang sedikit tawaku dan Aka.
“Jadi,” kataku sambil menatap satu
per satu dari mereka. “Ini pertama kalinya kita kumpul setelah lulus. Kalian
mau kemana habis ini?”
“Aku sih pengennya ke Psikoligi
UGM,” jawab Arnest dengan mulut penuh.
“Kamu Ka?”
“Hmm... Nggak tahu, tapi mungkin aku
bakalan keluar, “ jawab angka dengan senyum menghiasi bibirnya. Kemudian ia
menuang segelas penuh soda dan menenggaknya sampai habis setengah gelas.
“Yaaah, Aka jauh,” keluhku pelan.
“Terus, kamu mau ke mana, Nya?”
tanya Aka serius.
“Mungkin di Bandung, tapi yang jelas
nggak di sini,”
“Yaaaaah, kita bakalan pisah dong?”
gantian Arnest yang mengeluh.
“Santai aja. Masih tetep satu
negara, haha,” ujarku berusaha mencairkan suasana. Juga berusaha membuat
pandangan Aka yang aneh terhadapku itu menghilang.
“Vanya, ini brownisnya di ambil lagi,” kata Uti yang masih
berada di dapur.
“Iya
Uti,” sahutku. “Aku—,”
“Aku
aja yang ambil brownis tercintaku itu ya,” Arnest menimpali dengan kekehan.
Aku
rasa Arnest meninggalkan aku bersama Aka itu salah. Karena sekarang, yang ada
di ruang tamu ini hanyalah keheningan. Perasaan canggung kuat menguar. Aku tak
tahu harus berbicara apa lagi, sedang aku merasa Aka ingin mengatakan sesuatu.
Akhirnya aku memilih menunggu Aka yang berbicara terlebih dahulu.
“Jadi,
kamu mau ke Bandung?” katanya setelah tiga puluh lima detik penuh ia diam.
“Iya,”
“Apa
karena Nata?”
Aku
yakin, jantungku berhenti berdetak untuk sedetik ketika nama yang dua tahun
terakhir ini tak pernah disebut, disebut lagi. Aku merasa sedikit risih
mendengar nama itu.
“Nggak,”jawabku
cepat cepat. “Plis, Ka. Kita udah selesai membicarakan ini dulu,”
Dua
tahun yang lalu aku memang sudah menjelaskan semuanya pada Aka. Tentang
perasaanku, keadaanku, keinginanku, dan masih banyak lagi. Saat itu aku
berkata, mungkin apa yang di katakana Aka saat mengakhiri hubungan kami ada
benarnya. Iya, memang aku tidak mempunyai perasaan sayang yang sama seperti
yang Aka berikan untukku. Tetapi soal masa lalu, aku pikir masa laluku sudah
benar-benar selesai. Tak perlu lagi diungkit-ungkit, karena memang sudah
selesai walaupun berakhir dengan cara yang kurang baik. Setelah aku
menceritakan hal itu, aku dan Aka menjadi jauh lebih dekat sebagai sahabat. Dia
mengerti dengan permintaanku untuk tidak membicarakan masa laluku lagi. Tetapi
hari ini, ia justru membicarakannya.
“Iya,
aku tahu. Maaf aku tanya kayak gitu,”
“Nggak
pa-pa, tapi sekedar buat cerita, aku ke Bandung bukan karena apa-apa. Kak Revo
yang menawariku sebulan yang lalu. Toh Kak Revo sama keluarganya tinggal di
Bandung,”
“Kalau
gitu, good luck ya, Nya,” kata Aka dengan senyuman tulus tersungging di
bibirnya. Lalu aku ikut tersenyum.
Hening
kembali mengisi, tetapi untunglah Arnest segera datang dengan sepiring brownis
yang menggunung. Lalu kami bertiga menghabiskan seluruh brownis dan soda itu
dengan tawa yang lepas. Walaupun kami akan berpisah, tetapi setidaknya aku bisa
menikmati waktu yang tersisa untuk tertawa bersama.
***
Telepon
rumah berdering keras ketika Akung, Uti, dan aku sedang berbicara mengenai Aka
yang di terima di Canberra. Kami terpaksa menghentikan pembicaraan kami, lalu
aku bangkit untuk mengangkat telepon.
“Halo?”
“Halo,
Vanya, ini Kak Ines,” suara Kak Ines, istri Kak Revo, di ujung telepon sana
terdengar sangat antusias.
“Ada
apa, Kak?” tanyaku penasaran.
“Kamu
diterima! Selamat yaaa!” seru Kak Ines heboh.
“Diterima?”
tanyaku masih tak percaya.
“Iya
diterima! Kakak tunggu di Bandung ya, Vanyaku sayang, dah,”
Klik.
Telepon
terputus.
Jadi,
aku diterima?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar