Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Jumat, 19 April 2013

TSMJ #16 (By: Kanata)



Bayangan Merah Jambu

            <jangan lupa tar malem Papa nunggu kamu di restoran yang biasa jam delapan... miss you then>
Setidaknya sudah lima kali sejak pagi Diane terus saja mengingatkanku mengenai acara pertemua keluarga besarnya. Aku sebetulnya malas untuk datang jika saja tidak teringat bahwa mungkin ini kesempatanku satu-satunya untuk berterima kasih atas kebaikan keluarga Diane sekaligus menolak secara langsung mengenai perjodohan yang tak kuinginkan ini.
<ok>
Jawabku singkat karena tak ingin ketahuan menggunakan telepon genggam dalam kelas sementara kuliah Kimia Organik sedang berlangsung. Materi kali ini adalah tentang aldehida dan keton. Meski dosen sudah menjelaskan materinya selama lebih dari dua jam, namun hanya sedikit sekali yang mengendap dalam otak. Otakku lebih sibuk memikirkan kalimat yang baik untuk kegiatan nanti malam.
Sejujurnya Diane adalah tipe gadis yang sangat menyenangkan. Seiring dengan pertambahan usia, pikirannya juga lebih dewasa dan sudah mengurangi derajat kemanjaannya. Dia baru saja diterima di sebuah SMA favorit di kota Bandung. Hampir setiap malam dia menceritakan hal-hal yang menarik yang terjadi seharian di sekolah. Aku merasakan bahwa momen-momen bercerita tersebut merupakan sesuatu yang sangat berharga baginya. Dan sayangnya aku juga merasakan hal yang sama. Sangat menyenangkan berbagi kisah dengannya.
Namun tetap saja perjodohan sepihak ini harus dihentikan. Itu janjku.
“Nah, sepertinya materi hari ini kita cukupkan dulu sampai sini. Jangan lupa pelajari bab selanjutnya untuk kita diskusikan pada pertemuan mendatang.”
Suara derit kursi mengisi udara. Bagai tawon yang keluar sarangnya, puluhan mahasiswa berbondong-bondong keluar kelas dengan keriuhan yang tak dapat tertangkap dengan baik oleh telinga.
Aku sengaja berlama-lama membereskan alat tulis kedalam tas. Aku berharap semakin lama melakukannya maka Sang Dosen keburu keluar ruangan dan membiarkanku hidup tenang. Dari sudut mata kulihat pria muda itu sedang menghapus papan tulis dan membelakangiku.
Merasa ini kesempatan yang baik untuk menyelinap keluar kelas aku bergegas melangkahkan kaki tanpa suara.
“Kanata, tunggu!” serunya.
Dia mengangkat alisnya, memintaku untuk mendekat. Aku mengikuti perintahnya. Sepasang mahasiswa terakhir baru saja keluar kelas.
“Duduk dulu. Ada yang mau diobrolin.”
Aku tak punya pilihan selain menurut dan menggu dirinya selesai menghapus. Lima menit kemudian sosoknya yang kurus  mendekati bangku yang kududuki.
“Saya menduga Bapak bukan mau ngobrolin soal Kimia, kan?” ujarku sebelum dia sempat membuka mulut.
“Ayolah. Gua gak setua itu hingga musti dipanggil Bapak. Lagian di kelas ini gak ada siapa-siapa selain kita.”
“Tapi itu bukan berarti saya boleh mengurangi rasa hormat kepada dosen sendiri.” Jawabku malas-malasan.
“Udahlah. Hentikan obrolan kosong ini.” Ujarnya sambil menepiskan tangan di udara. “Lo udah lakuin yang gua pinta?”
“Belum, Pak.” Aku benar-benar malas dengan percakapan ini.
“Panggil gua Revo!” Kak Revo menaikan nadanya.
“Oke, Mas. Masalahnya apa?” Kali ini aku yang menaikan alis dengan menantang.
“Masalahnya adalah... lo nyuruh gua gak ngasih tau ke adek gua, Vanya, kalo kalian berdua tuh sekampus... mulanya gua pikir lo mau ngelakuin sesuatu yang manis dengan hal tersebut... gua pikir lo bakal ngasi tau dia sendiri, entah dengan tubrukan gaya telenovela ato berteduh di pohon yang sama kayak film India... tapi udah tiga semester Vanya kuliah disini dan lo masih belom nunjukin batang idung lo depan dia...”
“Apa aku masih penting buat dia?”
“PENTING! Meski Vanya gak ngaku terus terang, tapi gua tau banget kalo lo itu masih jadi hantu masa lalunya! Dia masih penasaran sama lo! Lagian kalian konyol, milih pisah gitu aja! Bukannya beresin dulu masalah kalian!”
“Udahlah, Mas. kalo waktunya udah tiba. Pasti kita ketemu kok.” Aku bangkit dari duduk dan melengos pergi.
“Kapan itu!?” teriaknya dari balik punggungku.
Entahlah, jawabku dalam hati.
Memoriku dipaksa untuk mundur mengingat kejadian 18 bulan yang lalu.
#
“Udah belom?!? Kayak cewek aja ke WC harus ditungguin!” Teriak Wira dari balik pintu.
“Bentar! Tau sendiri kan bahannya gak boleh kena air? Jadi tolong pegangin dulu sebentar diluar!” balasku tak kalah teriak.
“Ck. Gak keren banget nunggu yang boker!”
“Berisik! Lagian kenapa gak nunggu di kantin aja sih?!”
“Gak punya duit!” Ujarnya.
Sungguh mengganggu jika perut sedang bermasalah seperti ini. Sepanjang pagi diriku bolak-balik kamar kecil untuk buang air. Segala macam obat diare sudah aku coba tanpa hasil yang berarti.
“Maaf, Kak. Kalo sekretariat SMSR di mana ya?!” Ucap sebuah suara lembut. Suara perempuan.
Sepertinya terjadi distorsi suara di bilik yang sedang aku tempati ini karena aku merasa sangat mengenal suara si perempuan. Kudengar Wira dan perempuan itu bercakap-cakap sambil sesekali diiringi tawa
“Terima kasih ya, kak?” Ucap si perempuan.
“Terima kasih kembali atas fotonya.” Balas Wira.
 Karena penasaran aku bergegas menyelesaikan kegiatan yang sedang dilakukan. Saat aku membuka pintu, si perempuan sudah 10 meter jauhnya dari WC. Hanya rambut yang diikat ekor kuda yang masih bisa kulihat.
“Siapa?” Tanyaku
“Anak semester baru. Dari Seni Rupa.” Wira tak kuasa menyembunyikan cengirannya. “Cuantik banget loh, Kana....”
“Oh ya?” berlawanan dengan suaraku yang tenang. Jantungku tiba-tiba berpacu.
“Gua dapet foto bareng sama dia!” Wira menjulurkan ponselnya sangat dekat dengan mukaku.
Aku menjauhkan muka dari ponsel Wira. Mencoba memfokuskan pandangan. “Vanya?”
“Lo kenal dia?” Ujar Wira heran.
“Nggak kok.” Mudah-mudahan Wira tak menangkap kegugupan dalam suaraku.
#
“Jadi saya bukannya hendak menolak kebaikan Bapak selama ini. Namun setelah sekian lama saya mencoba tetap saja saya merasa bahwa ini terlampau dipaksakan untuk terjadi.”
Tujuh orang lainnya yang duduk di kursi bundar sebuah restoran paling elit di Bandung mendadak membeku.
“Saya butuh waktu untuk berpikir. Dan saya tak ingin dikejar-kejar target semacam pernikahan dua tahun lagi.”
Bulir-bulir bening terbit di sudut mata Emak. Sebenarnya aku sungguh tak tega melihat beliau seperti ini. Namun aku lebih tak tega jika harus terus membohongi diri seperti yang kulakukan bertahun-tahun ini. Diane kali ini hanya menundukan kepalanya. Kurasakan aura kecewa menguar pada semua orang yang hadir.
Keheningan menyelusup selama lima menit penuh. Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitupun aku. Meskipun aku sudah memutuskan hal ini berminggu-minggu lalu namun tetap saja pada saat aku benar-benar mengucapkannya terasa ada hal yang salah telah kuperbuat.
“Baiklah jika memang demikian keputusan Nak Angga. Bapak bisa sepenuhnya mengerti kok. Memang persoalan ini harus dipikirkan secara matang dan mendalam.” Ucap Pak Wahyu dengan suaranya yang biasa, tenang dan ramah.
“Waktu itu juga Mama sempet nolak lamaran Papa, kan?” Tambahnya genit pada sang istri yang duduk di sebelahnya.
Adegan cubitan sayang Bu Dewi yang ditimpali ringgisan senang Pak Wahyu mencairkan suasana kelam yang sempat aku bangun.
“Sudahlah. Sebaiknya kita nikmati hidangan yang ada. Kita bicarakan perjodohan ini kapan-kapan lagi jika waktunya sudah tepat.”
Aku mengangguk. Dari sudut mata kulihat tatapan tajam Teh Mia tertuju padaku. Aku memilih untuk pura-pura tak menyadarinya.
#
“Kemana, Bro!?” Seru Aris yang berlari-lari dari parkiran. Aku menghentikan kegiatan menaiki tangga.
“Ngerjain makalah.”
“Di atap lagi?”
“Memang di mana lagi tempat yang sepi buat berpikir selain disana?”
Aris tertawa. “Gua curiga bukan karena sepi deh. Tapi karena lo bisa liat anak-anak cewek Seni Rupa makan di kafetaria taman sebelah gedung.”
Aku hanya tersenyum samar. Mungkin aku mulai terbiasa untuk berdiam di atas atap dan memandang taman gedung Seni Rupa yang letaknya lumayan jauh dari gedung yang sedang kunaiki.
Sebuah pemandangan kantin terlihat di kejauhan. Beberapa orang terlihat sedang menikmati sarapan yang terlambat (atau makan siang yang terlalu cepat). Namun sosok yang kucari sepertinya belum datang.
Sambil menunggu, aku membuka laptop dan mulai menulis makalah Sosiologi yang harus dikumpulkan besok. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku yang terlindungi kanopi. Namun tak seperti biasanya, pikiranku kali ini tak bisa benar-benar terfokus pada layar yang sedang aku coba isi dengan deretan huruf.
Kejadian semalam masih saja terbayang dalam otak. Dan setelah memiliki waktu untuk berpikir, aku merasa bahwa ternyata tindakanku semalam benar-benar keterlaluan. Aku terlanjur menyakiti banyak orang yang telah mengharapkan kebahagianku.
Setengah jam telah berlalu, awan hitam mulai berarak mendekat. Aku sangat berharap bahwa hujan jangan dulu turun sebelum seseorang yang kuharapkan datang.
Angin hangat telah berubah menjadi lebih dingin. Gemuruh terdengar di udara di kejauhan. Akal sehatku mengatakan bahwa seharusnya aku bersegera untuk turun dan mendapatkan perlindungan yang lebih baik dari hujan. Namun entah kenapa aku masih saja bersikeras untuk tetap berada di tempat ini.
Hujan rintik-rintik telah turun. Ujung celanaku mulai basah oleh cipratan air hujan. Kantin Fakultas Seni Rupa sepi tanpa satupun orang. Aku menduga bahwa mungkin hari ini dirinya takkan datang. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini.
Aku belum memutar kenop pintu saat terdengar suara langkah kaki mendekat.
BRAK....
Pintu menjeblak terbuka. Seorang gadis berambut sebahu memakai jas hujan pink. Tangannya menggenggam sebatang tongkat pendek.
Sebuah memori dari masa lalu terbayang. Aku teringat dua buah sosok yang sering menari dibawah rintik hujan di atas atap.
Vanya sedang menari di hadapanku.
Untungnya aku sudah berhasil menyembunyikan diri.