Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Jumat, 31 Oktober 2014

TSMJ #17 (By: Vanya)


setelah berbulan-bulan lari, kini aku kembali... :)

Menunggu Jawaban

Di luar sana sudah mulai gelap. Langit telah sempurna tertutup awan kelabu dibumbui sedikit kilat dan petir yang menggelegar.  Kantin Seni Rupa bahkan sudah kosong lima menit yang lalu. Meninggalkanku duduk sendirian di sudut kantin. Aku meraih ponselku di tas dan mencoba menghubungi Kak Revo sekali lagi. Dan lagi-lagi tidak diangkat. Kujejalkan ponsel itu ke dalam saku celanaku dengan sebal.

Satu per satu tetes hujan mulai turun lalu diikuti jutaan tetes kawan-kawannya. Aku menengadahkan kepalaku, dan saat itulah aku melihatnya. Sebuah tempat yang baru beberapa hari ini aku temukan: lantai atas sebuah gedung kosong di sebelah kampus Seni Rupa. Senyumku terbit melihat tempat itu yang seolah memanggilku di antara tirai hujan.

Tanpa menunggu apapun lagi, aku segera memakai mantel hujanku dan menarik sesuatu yang kusebut tongkat sihir dari dalam tasku. Aku segera berlari menembus hujan menuju gedung kosong itu. Kubuka pintu gedung kosong yang tak pernah terkunci dan mulai berlari kecil menaiki satu per satu tangga. Di tangga ke empat aku sempat berhenti, menaiki tangga sambil berlari itu memang melelahkan. Aku kembali berlari sampai tangga ke enam. Kubuka pintu di hadapanku tanpa pikir panjang. Di sinilah aku. di atap gedung, berusaha meraih hujan dari langitnya langsung.

Aku menengadahkan satu tanganku. merasakan tetes hujan menyerbu telapak tanganku. aku memejamkan mataku dan mulai berputar-putar kecil. Di bawah rinai hujan, aku berusaha menikmati segalanya. Menikmati hari-hari baruku di tempat ini. menikmati hari-hari yang sudah kulalui jauh di belakang sana. Dan, menikmati ingatanku tentang seseorang yang pernah begitu dalam menorehkan luka. Tentang dia yang seharusnya sudah benar-benar enyah dari otak juga hatiku.

Apakah ia masih mengingatku di sudut lain kota ini?

                Aku kembali membuka mata dan berhenti berputar. Aku terdiam, berusaha mengenyahkan pikiranku dari segala hal tentang orang itu. saat itulah ponselku berbunyi. Aku berlari  menuju bawah kanopi, lalu meraih ponselku demi mengangkat telpon yang ternyata dari Kak Revo itu.
               
“Iya Kak?”
                “Aku udah di depan kampusmu.” Katanya.
               
“Oke Kak. Aku keluar.”
               
Aku buru-buru memasukkan ponsel itu ke sakuku lagi dan segera meninggalkan tempat ini. Aku lari menuruni tangga. Berharap aku bisa cepat-cepat ke tempat Kak Revo, aku tidak mau ia tahu aku hujan-hujan lagi. tepat saat keluar dari gedung itu, aku tak sengaja menginjak botol minum kosong yang entah bagaimana bisa di sana, dan membuatku jatuh terpeleset ke belakang. Aku mencoba berdiri sambil merintih kesakitan. Pantatku terasa sangat sakit setelah berbenturan dengan lantai. Di situlah aku sadar, ponselku telah menghilang.

                Aku mencari di sekitar tempatku jatuh, namun ponsel putih itu tidak terlihat. Aku segera berlari masuk gedung. Menaiki anak-anak tangga itu sekali lagi. Sepertinya jatuh saat aku buru-buru turun tadi. Tangga pertama tidak ada. Tangga ke dua pun tidak. Tangga ke tiga nihil. Aku berlari lagi sambil berdoa semoga ada di tangga ke empat.

                Di ujung tangga ke tiga aku belok menuju tangga ke empat. Dan di sanalah ponselku! Di tangan seorang laki-laki berkaus putih dan berjaket hitam. Begitu terkejutnya aku saat mengenali orang yang berdiri di ujung tangga yang tengah membawa ponselku itu. aku menengadah, menatap orang itu  dengan berjuta rasa yang berkecamuk. Satu per satu perasaan yang kupendam berpuluh-puluh bulan yang lalu, berebut untuk keluar saat ini juga. Namun, bibirku hanya bisa mengatup rapat-rapat. Seluruh badanku menegang menahan berjuta emosi yang menyatu tanpa bisa kucegah.

                “Hai… Vanya…”

                Aku berbalik dan berlari keluar gedung.
***
                “Kok lama banget sih?” itu adalah kalimat pertama dari Kak Revo saat aku membuka pintu mobil Juke-nya.

                “Kak, Vanya ada urusan dadakan. Bisa jemput Vanya nanti?” kataku berusaha senormal mungkin. Berusaha seperti biasa.
                Kak Revo hanya mengangkat alis dan “Oke.”
               
Aku menutup pintu mobil dan kembali menuju gedung kosong itu. Kembali menemui orang itu.
***
                Aku mendapati Nata terduduk di tempatnya tadi berdiri seraya memutarmutar ponsel putihku. Dia sedikit terkejut saat mendapatiku berdiri di hadapannya. Laki-laki berbadan tegak itu mulai berdiri. Perlahan namun pasti, anak-anak tangga dilahap oleh langkah kakinya yang tampak sangat hati-hati. Matanya yang teduh itu tak sekalipun berkedip saat menatapku. Tinggal beberapa langkah lagi, pemilik mata teduh itu akan benar-benar ada di hadapanku.

                Dan sekarang, laki-laki itu tepat berada di hadapanku. Tubuhku serasa telanjang di antara salju musim dingin. Membeku. Menggigil. Satu per satu rindu itu membuncah keluar meski aku berusaha menahannya. Sedikit demi sedikit, benteng yang kubangun beberapa tahun terakhir ini mulai runtuh. Semua pertahananku begitu saja luruh. Tanpa pernah aku rencanakan, dan tanpa sempat aku pikirkan, cairan bening yang hangat mulai membanjiri kedua pipiku. Saat itulah, badan tegap yang aromanya selalu kuhapal itu memelukku erat.
               
                Ia mendekapku hangat. Sedang aku masih berkutat dengan egoku yang masih kuat.

                “Aku tahu, kamu masih marah.” aku hanya diam. “Dari awal aku tahu kamu kuliah di sini, di tempat yang sama denganku. Tapi selama tiga semester ini, aku sama sekali gak punya nyali buat sekedar lewat di depanmu.” aku masih diam, namun menyimak. Aku berusaha setengah mati agar badanku tidak bergetar karena menahan tangis, namun tetap saja, aku gagal.

                Ia berhenti bicara, namun tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Aku masih di tempatku dengan berjuta rasa yang kuredam dalam diam.

                “Maaf…” ucapnya lirih. Suaranya seperti instrumen paling menyayat yang pernah kudengar. Dan demi mendengar ucapan maafnya, egoku mengendur seketika. Tangisanku yang teredam, perlahan menjadi isak. Badanku yang tadinya hanya bergetar, kini  benar-benar terguncang. Dan tanpa bisa aku pahami, aku balas memeluknya. Aku memeluknya lebih erat dari yang pernah aku ingat.

                “Kenapa?” kataku di antara isakanku yang mulai mereda. “Kenapa kamu harus kembali lagi? padahal aku udah mulai berusaha ngelupain kamu, Nat.”

                Nata melepas pelukannya. Aku mulai menghapus air mata di kedua pipiku dengan punggung tangan. Saat membuka mata, aku mendapati mata teduhnya menembus mataku yang begitu sembab. Aku balas menatapnya. Menunggu ia menjawab pertanyaanku. Tetap, ia hanya memandangiku tanpa mengucapkan sepatah katapun.

                Namun aku masih menunggu.