setelah berbulan-bulan lari, kini aku kembali... :)
Menunggu Jawaban
Di luar sana
sudah mulai gelap. Langit telah sempurna tertutup awan kelabu dibumbui sedikit
kilat dan petir yang menggelegar. Kantin
Seni Rupa bahkan sudah kosong lima menit yang lalu. Meninggalkanku duduk
sendirian di sudut kantin. Aku meraih ponselku di tas dan mencoba menghubungi
Kak Revo sekali lagi. Dan lagi-lagi tidak diangkat. Kujejalkan ponsel itu ke
dalam saku celanaku dengan sebal.
Satu per satu
tetes hujan mulai turun lalu diikuti jutaan tetes kawan-kawannya. Aku
menengadahkan kepalaku, dan saat itulah aku melihatnya. Sebuah tempat yang baru
beberapa hari ini aku temukan: lantai atas sebuah gedung kosong di sebelah
kampus Seni Rupa. Senyumku terbit melihat tempat itu yang seolah memanggilku di
antara tirai hujan.
Tanpa menunggu
apapun lagi, aku segera memakai mantel hujanku dan menarik sesuatu yang kusebut
tongkat sihir dari dalam tasku. Aku segera berlari menembus hujan menuju gedung
kosong itu. Kubuka pintu gedung kosong yang tak pernah terkunci dan mulai
berlari kecil menaiki satu per satu tangga. Di tangga ke empat aku sempat
berhenti, menaiki tangga sambil berlari itu memang melelahkan. Aku kembali
berlari sampai tangga ke enam. Kubuka pintu di hadapanku tanpa pikir panjang.
Di sinilah aku. di atap gedung, berusaha meraih hujan dari langitnya langsung.
Aku
menengadahkan satu tanganku. merasakan tetes hujan menyerbu telapak tanganku.
aku memejamkan mataku dan mulai berputar-putar kecil. Di bawah rinai hujan, aku
berusaha menikmati segalanya. Menikmati hari-hari baruku di tempat ini.
menikmati hari-hari yang sudah kulalui jauh di belakang sana. Dan, menikmati
ingatanku tentang seseorang yang pernah begitu dalam menorehkan luka. Tentang
dia yang seharusnya sudah benar-benar enyah dari otak juga hatiku.
Apakah ia masih
mengingatku di sudut lain kota ini?
Aku
kembali membuka mata dan berhenti berputar. Aku terdiam, berusaha mengenyahkan
pikiranku dari segala hal tentang orang itu. saat itulah ponselku berbunyi. Aku
berlari menuju bawah kanopi, lalu meraih
ponselku demi mengangkat telpon yang ternyata dari Kak Revo itu.
“Iya Kak?”
“Aku
udah di depan kampusmu.” Katanya.
“Oke Kak. Aku
keluar.”
Aku buru-buru
memasukkan ponsel itu ke sakuku lagi dan segera meninggalkan tempat ini. Aku
lari menuruni tangga. Berharap aku bisa cepat-cepat ke tempat Kak Revo, aku
tidak mau ia tahu aku hujan-hujan lagi. tepat saat keluar dari gedung itu, aku
tak sengaja menginjak botol minum kosong yang entah bagaimana bisa di sana, dan
membuatku jatuh terpeleset ke belakang. Aku mencoba berdiri sambil merintih
kesakitan. Pantatku terasa sangat sakit setelah berbenturan dengan lantai. Di
situlah aku sadar, ponselku telah menghilang.
Aku
mencari di sekitar tempatku jatuh, namun ponsel putih itu tidak terlihat. Aku
segera berlari masuk gedung. Menaiki anak-anak tangga itu sekali lagi.
Sepertinya jatuh saat aku buru-buru turun tadi. Tangga pertama tidak ada.
Tangga ke dua pun tidak. Tangga ke tiga nihil. Aku berlari lagi sambil berdoa
semoga ada di tangga ke empat.
Di
ujung tangga ke tiga aku belok menuju tangga ke empat. Dan di sanalah ponselku!
Di tangan seorang laki-laki berkaus putih dan berjaket hitam. Begitu
terkejutnya aku saat mengenali orang yang berdiri di ujung tangga yang tengah
membawa ponselku itu. aku menengadah, menatap orang itu dengan berjuta rasa yang berkecamuk. Satu per
satu perasaan yang kupendam berpuluh-puluh bulan yang lalu, berebut untuk
keluar saat ini juga. Namun, bibirku hanya bisa mengatup rapat-rapat. Seluruh
badanku menegang menahan berjuta emosi yang menyatu tanpa bisa kucegah.
“Hai…
Vanya…”
Aku
berbalik dan berlari keluar gedung.
***
“Kok
lama banget sih?” itu adalah kalimat pertama dari Kak Revo saat aku membuka
pintu mobil Juke-nya.
“Kak,
Vanya ada urusan dadakan. Bisa jemput Vanya nanti?” kataku berusaha senormal
mungkin. Berusaha seperti biasa.
Kak
Revo hanya mengangkat alis dan “Oke.”
Aku menutup
pintu mobil dan kembali menuju gedung kosong itu. Kembali menemui orang itu.
***
Aku
mendapati Nata terduduk di tempatnya tadi berdiri seraya memutarmutar ponsel
putihku. Dia sedikit terkejut saat mendapatiku berdiri di hadapannya. Laki-laki
berbadan tegak itu mulai berdiri. Perlahan namun pasti, anak-anak tangga
dilahap oleh langkah kakinya yang tampak sangat hati-hati. Matanya yang teduh
itu tak sekalipun berkedip saat menatapku. Tinggal beberapa langkah lagi,
pemilik mata teduh itu akan benar-benar ada di hadapanku.
Dan
sekarang, laki-laki itu tepat berada di hadapanku. Tubuhku serasa telanjang di
antara salju musim dingin. Membeku. Menggigil. Satu per satu rindu itu
membuncah keluar meski aku berusaha menahannya. Sedikit demi sedikit, benteng
yang kubangun beberapa tahun terakhir ini mulai runtuh. Semua pertahananku
begitu saja luruh. Tanpa pernah aku rencanakan, dan tanpa sempat aku pikirkan,
cairan bening yang hangat mulai membanjiri kedua pipiku. Saat itulah, badan
tegap yang aromanya selalu kuhapal itu memelukku erat.
Ia
mendekapku hangat. Sedang aku masih berkutat dengan egoku yang masih kuat.
“Aku
tahu, kamu masih marah.” aku hanya diam. “Dari awal aku tahu kamu kuliah di
sini, di tempat yang sama denganku. Tapi selama tiga semester ini, aku sama
sekali gak punya nyali buat sekedar lewat di depanmu.” aku masih diam, namun
menyimak. Aku berusaha setengah mati agar badanku tidak bergetar karena menahan
tangis, namun tetap saja, aku gagal.
Ia
berhenti bicara, namun tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Aku masih di
tempatku dengan berjuta rasa yang kuredam dalam diam.
“Maaf…”
ucapnya lirih. Suaranya seperti instrumen paling menyayat yang pernah kudengar.
Dan demi mendengar ucapan maafnya, egoku mengendur seketika. Tangisanku yang
teredam, perlahan menjadi isak. Badanku yang tadinya hanya bergetar, kini benar-benar terguncang. Dan tanpa bisa aku
pahami, aku balas memeluknya. Aku memeluknya lebih erat dari yang pernah aku
ingat.
“Kenapa?”
kataku di antara isakanku yang mulai mereda. “Kenapa kamu harus kembali lagi?
padahal aku udah mulai berusaha ngelupain kamu, Nat.”
Nata
melepas pelukannya. Aku mulai menghapus air mata di kedua pipiku dengan
punggung tangan. Saat membuka mata, aku mendapati mata teduhnya menembus mataku
yang begitu sembab. Aku balas menatapnya. Menunggu ia menjawab pertanyaanku. Tetap,
ia hanya memandangiku tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Namun
aku masih menunggu.