Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 10 Juli 2017

TSMJ #18 (By Kanata)

Apa Kabar?

    “Maaf...” ujarku lirih. Karena hanya kata itu yang sanggup aku sampaikan saat ini. Perlahan kudengar suara isakan hadir. Badan Vanya juga mulai berguncang seiring makin kencang tangisnya. Lalu pada akhirnya Vanya memelukku. Sebuah pelukan yang entah kapan terakhir kali aku dapatkan darinya. Pelukannya makin erat, seakan ingin menahanku agar tidak pergi lagi.
    “Kenapa?” katanya diantara isakannya yang mulai dapat dia kendalikan. “Kenapa kamu harus kembali lagi? Padahal aku udah mulai berusaha ngelupain kamu, Nat.”
    Aku mengendurkan pelukan. Vanya menghapus air mata yang mengalir di pipinya menggunakan punggung tangan. Yang kulakukan saat ini hanyalah menatapnya penuh kerinduan. Vanya belas menatapku setelah dia berhasil mengeringkan pipinya. Dia menunggu tanggapanku.
    “Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih hangat.”
    Hujan telah berhenti, digantikan dengan angin yang cukup dingin. Aku menggigil karena hanya memakai jaket tipis. Kuduga Vanya juga kedinginan.
    “Di sini dingin. Kita cari tempat yang lebih hangat buat ngobrol, yuk!?” Ulangku.
    “Aku mau pulang. Kak Revo lagi nunggu di bawah.” Dia berbohong. Tentu saja.
    “Dia udah pulang.” Aku mengacungkan ponsel milik Vanya.
    Vanya merebut benda tersebut dari tanganku. Menatap sekilas. Mengeluarkan erangan tertahan. Sebelum akhirnya memelototiku.
    “Apa maksudnya dengan ‘mau ngobrol sebentar dengan Vanya. Nanti aku antar dia pulang. Dari mahasiswa anda’? Jadi selama ini Kak Revo ngajar kamu?”
    “Baru dua semester ini, kok.” Aku mengangkat bahu sebagai tanda bahwa itu bukanlah hal penting.
    “Pengkhianatan ganda!” Vanya bersungut-sungut sambil menuruni tangga. Aku mengikutinya turun.
    Sepanjang perjalanan menuju lantai bawah Vanya tak hentinya merapalkan kekesalannya dengan volume rendah yang sukar aku tangkap dengan sempurna.
    ‘Hilang tanpa kabar. Seenaknya aja hadir kembali. Tiba-tiba ngajak ngobrol’ adalah beberapa hal yang mampu dengar.
    “Jadi mobil kamu yang mana?” Tanya Vanya galak saat kami sampai parkiran mobil.
    “Ngeledek...” Jawabku pendek. Aku berjalan menjauhi parkiran. Vanya mengekor dengan patuh.
    Aku menyodorkan helm. Vanya menerimanya tanpa banyak bicara. Dia juga tak bertanya aku akan membawanya ke mana.
    Kami membelah jalanan Kota Bandung yang basah akibat hujan. Cukup roman sebetulnya, jika saja aku tidak membonceng orang yang sedang ngambek.
    “Bagaimana kabarmu?” tanyaku setelah kami duduk dengan nyaman di dalam kafe.
    “Selain merasa dikhianati, aku baik-baik saja.” Dia masih terlihat kesal. “Terima kasih sudah bertanya kabarku.
    “Meski bertahun-tahun menghilang tanpa jejak!”
    “Jangan lupa, kamu yang memutuskan bahwa sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi.” Aku menyampaikan fakta.
    “Tapi, kan...” Dia menunduk, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
    “Jadi aku tanya sekali lagi, bagaimana kabarmu?”
    “Kalau kamu udah nguntit aku sejak masuk kuliah tentunya kamu bakalan tahu kalo aku baik-baik aja.” Vanya sudah menggunakan kalimat yang tak terlalu formal. Tandanya dia sudah tak terlalu kesal.
    “Tapi kan beda antara dengar dari orang sama dengar dari pelakunya langsung.”
    “Jadi kamu nganggap akulah pelaku, sang penjahat? Sementara kamu adalah korban yang tak bersalah?” Vanya kembali merajuk. “Iya, gitu!?”
    Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Tanpa sadar aku menjawil hidungnya yang mungil. Seperti kebiasaanku bertahun-tahun lalu. Mata Vanya membelalak kaget. Aku juga kaget. Dan tercipta momen hening selama hampir satu menit penuh.
    “Ah, sori.” Kataku gugup.
    Vanya malah tersenyum. Senyuman yang selalu sanggup membuatku meleleh sejak dulu. “Aku juga kagen.” Dia malah menjawab diluar konteks.
    Aku tertawa. Vanya tertawa. Kemudian kami saling bertukar cerita tentang pengalaman selama kami tidak berhubungan.
    Aneh sebetulnya. Karena seakan kami bersepakat untuk tidak mengungkit alasan kami terpisah. Kami mengobrol seolah-olah tak terjadi masalah apapun. Seperti dua orang sahabat yang terpisah dan kini sedang bertukar kabar.
    Satu hal yang membuatku tambah senang adalah Vanya dan Chakra akhirnya memilih untuk berteman saja, tanpa perlu ada roman asmara.
    “Sayang sekali kamu mutusin pertunangan itu, padahal kayaknya keluarga Diane baik loh.” Ucap Vanya. Aku agak kecewa karena kelihatannya Vanya biasa saja mendengar penuturanku mengenai batalnya pertunanganku dengan Diane.
    “Aku pengen fokus dulu kuliah.” Jawabku mencoba terdengar kalem. “Kalo jodoh mungkin aku dan Diane bakalan beneran tunangan.”
Ekspresi Vanya tetap tak berubah. “Yah, mungkin gitu.” Vanya mengangkat bahu, seakan tak terlalu peduli.
Keheningan lalu tercipta di antara kami. Aku memandang Vanya, memerhatikan lebih detail penampilannya. Beberapa hal telah berubah. Dulu aku tak pernah melihat Vanya berdandan, walau bedak tipis sekalipun. Kali ini di matanya terlihat jejak eye liner, bibirnya terdapat sapuan lipstik merah muda, bahkan kutebak ujung-ujung rambutnya dicat biru gelap. Dia bertambah cantik. Vanya remaja yang kukenal sudah hilang, digantikan dengan versi dewasa.
“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanyanya sambil menyuap spageti.
Aku menggeleng kecil. “Aku hanya bertanya-tanya dari mana kamu mendapatkan tongkat merah jambu itu.”
“Aku bikin sendiri. Asal aja.” Jawabnya santai. “Habis, yang katanya mau bikinin kayaknya sekarang udah lupa sama janjinya.”
Aku. Maksud dia adalah aku. Vanya mengungkit soal Tongkat Sihir Merah Jambu yang sudah aku bikin tapi belum sempat kuberikan gara-gara insiden Benteng Vandeburg dulu.
“Hei, aku punya ide bagus.” Ujarnya tiba-tiba. “Gimana kalo kamu sebelum ngirim aku pulang temenin dulu keliling kota Bandung?
“Tiga semester aku di sini hampir bisa dikatakan yang aku tahu cuma rute kampus sama rumah.”
“Emang kakakmu itu gak pernah ngajak kamu jalan-jalan?”
“Ck. Cowok sok sibuk kayak gitu mana bisa diharepin? Tiap hari ngampus. Kalo gak ngampus juga malah diem aja di rumah. Maenin Toluena, anaknya.
“Kadang aku ngerasa bukan adiknya, cuma mahasiswi yang kebetulan ngekos di rumah dia.”
“Oke. Sebagai permintaan maaf, aku anterin kamu kemanapun mau.”
Great!”
“Mau ke mana dulu?” Aku berdiri.
“Coba kamu tebak.” Dia ikut berdiri sambil tersenyum senang.
Senyum yang sudah aku rindukan selama bertahun-tahun.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar