Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 24 September 2012

TSMJ #9 (By: Vanya)


BUKAN MIMPI

                “Jadi kamu datang ke pensi nggak, Nest?” tanyaku pada Arnest ketika kami melewati lapangan bola.     
“Ganteng banget, Nya! Sumpah ganteng banget!” seru Arnest seraya menatap langit mendung dengan tatapan tak focus. Mungkin kata “ganteng” itu sudah seribu kali keluar dari mulutnya dua minggu ini. Membuat telingaku memanas.
                “Aku tanya kamu datang ke pensi atau nggak, bukan minta pendapat soal Kak Revo  ganteng atau nggak,” kataku sedikit emosi.
                “Tapi asli! Ganteng!”
“Inget sama Romy!” balasku sedikit kesal.
                “Oh Gosh! Kamu bener, Nya! Lagi pula Kak Revo itu kan udah terlalu tua!” Arnest segera membuyarkan khayalannya itu dan menggeleng-gelengkan kepala cepat-cepat.
Ya. Alasan Arnest menjadi sedikit gila itu adalah Kak Revo yang dua minggu lalu kukenalkan padanya.
                “Lagian aku ga bakalan merestui kamu sama kakakku!” kataku bercanda.
                “Yeee! Apaan sih?!” Arnest menyikut lenganku pelan. “Tapi kok kamu nggak pernah cerita punya kakak cowok sih?”
                “Masa sih nggak pernah?” Arnest mengangguk penuh semangat. “Yah sori deh! Haha!”
                “Dia juga di Jakarta kayak Kak Vio ya?” Arnest memulai wawancaranya.
                “Nggak. Di Bandung.”
                “WHAT?!” Ekspresi yang sudah kutunggu. Kalau aku jadi Arnest aku akan bereaksi sama seperti itu. “Terus, kenapa kamu nggak—“
                “Mama nggak ngebolehin,”jawabku sebelum pertanyaan Arnest terselesaikan.
                “Terus seminggu kemarin ngobrol apa aja sama kakakmu yang guanteng itu?”
                Aku berpikir sejenak. Banyak yang telah aku ceritakan kepada Kak Revo. Bahkan lebih banyak daripada kepada Kak Vio. Bisa dibilang, Kak Revo tahu secara lengkap semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Ada beberapa pembicaraan yang menurutku bahkan sedikit gila. Aku tak yakin ingin menceritakan ini semua pada Arnest.
                “Nest, udah ditunggu di perpus. Yuk!” kata sebuah suara yang ternyata milik Romi yang tiba-tiba muncul di samping kami. Romi datang tepat pada waktunya. Dengan begitu, aku tak perlu menjawab pertanyaan Arnest itu.
***
2 minggu yang lalu…
                Hari ini, seperti hari Minggu yang lainnya, aku bangun agak siang. Jendela kamarku sengaja tak aku sibak karena aku sedang tak peduli dengan apapun termasuk cuaca hari ini. Segera saja kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mandi. Barulah setelah itu aku menuju dapur dan menemukan Uti sedang membuat  teh di sana.
                “Uti, Vanya mau sarapan,” ucapku sembari membantu Uti mengaduk secangkir teh.
                “Lha itu, sarapannya ada di meja. Uti sama Akung sudah sarapan tadi,” Uti tersenyum ramah dengan satu tangan yang sibuk mengaduk teh yang satu lagi. “Sarapan dulu sana, Uti mau nganterin teh ini buat Akungmu itu,” lanjut Uti. Lalu dibawanya dua cangkir teh itu keluar dari dapur.
                Aku segera mengambil piring kosong. Baru saja aku akan mengambil nasi di meja, aku mendengar bel rumah berdenting pertanda ada seseorang di luar sana. Entah mengapa aku terpanggil untuk membukakan pintu. Kuputuskan untuk bangkit dari tempat dudukku dan berlari-lari kecil untuk membukakan pintu itu.
                Ketika aku membuka pintu, kakak pertamaku sedang berdiri di depan pintu dengan sebuah tas ransel hitam di punggungnya. Hal pertama yang aku lakukan adalah memeluk orang itu. Kak Revo mengacak rambutku penuh sayang.
                “Kak Revo kok bisa ke sini?” tanyaku setelah puas memeluknya.
                “Pengen ketemu sama adik gua yang katanya lagi bermasalah ini,” Kak Revo sedikit terkekeh lalu melangkah masuk.
                “Siapa tamunya, Nduk?” Uti tiba-tiba muncul dari halaman belakang.
                Sebelum sempat aku menjawab, Uti sudah memekik kegirangan melihat cucu laki-lakinya sedang berdiri di depannya. “Ya ampuun! Revo! Walah, sudah lama nggak pernah ke sini. Uti sama Akung kangen ini,” Uti memeluk dan mencium Kak Revo dengan penuh rasa rindu.
                “Iya, maaf Uti. Revo jarang ke sini,” kata Kak Revo tulus.
                “Ya sudah, ayo ayo istirahat dulu. Uti mau kasih tau Akung dulu,” Uti kembali ke halaman belakang dengan langkah semangat.
                “Sarapan dulu aja Kak,”kataku setelah Uti pergi.
                “Udah sarapan. Gua mau tidur aja dulu,” Kak Revo langsung melangkah menuju kamarku. Setelah berbicara sebentar dengan Uti dan Akung, Kak Revo pun benar-benar tertidur pulas. Sementara aku melanjutkkan sarapanku dengan tenang.
                Begitu sore datang, aku menemukan Kak Revo sedang sibuk menelepon seseorang. Dari raut wajah Kak Revo, aku tahu, yang Kak revo sedang bicarakan itu adalah sesuatu yang sangat penting. Setelah telepon itu berakhir, aku mendekati Kak Revo yang bediri di bawah pohon kamboja.
                “Ngomongin apa sih Kak? Kok serius banget?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
                “Persiapan buat Olimpiade,” jawab Kak Revo singkat lalu kembali sibuk dengan Blackberry-nya. Entah olimpiade apa yang Kak Revo maksud, aku tak ingin tahu lagi.
                “Gimana, Nya?” tanya Kak Revo setelah berhenti mengutak-atik Blackberry-nya itu.
                Aku menatap Kak Revo. “Gimana apanya?”
                “Sekolah lo yang baru. Lo nggak nyesel kan?”
                “Nggak kok, Kak. Vanya udah mulai nyaman di sini,”
                “Kakak udah denger ceritanya. Tapi, kakak belum begitu percaya kalo nggak lo sendiri yang cerita,” kata Kak Revo sambil merangkul pundakku. “Tapi kakak nggak maksa kalo lo nggak mau cerita. Tujuan kakak ke sini cuma pengen tahu keadaan lo,” bibir Kak Revo melengkung tersenyum. Membuatku ikut menarik bibirku, juga tersenyum.
                Tanpa pikir panjang, aku menceritakan semuanya kepada Kak Revo. Kuceritakan semuanya dari nol. Mulai dari aku ke London dan akhirnya aku pulang dari London dengan perasaan yang campur aduk. Seperti biasanya ketika aku bercerita sesuatu pada Kak Revo, Kak Revo hanya mendengarkanku dan sesekali membenarkan ucapanku dan kadang mengerutkan keningnya. Setelah aku selesai bercerita, barulah Kak Revo angkat bicara.
                “Cerita versi Vio dan versimu sedikit berbeda,” katanya. “but it’s ok. Biarin apa yang harus terjadi itu terjadi. Tuhan punya rencana lain, Nya. Lupain masa lalu yang bakalan menghambat masa depan,” sekali lagi Kak Revo tersenyum hangat.
                “Tapi Vanya kangen, Kak. Vanya pengen ketemu Nata. Kakak mau kan cariin Nata buat Vanya? Toh Kak Revo kuliah di Bandung dan Nata juga di Bandung,”
                “Bandung itu nggak kecil, Vanya. Biarkan semuanya terjadi . Kalau memang cerita kalian belum selesai, pasti kalian bertemu lagi. Percaya sama kakak,”Kak Revo menguatkanku.
                Sekarang aku mengerti betapa berbedanya kedua kakakku ini.  Kak Revo yang lebih banyak mendengar dan Kak Vio yang lebih banyak untuk di dengar. Semua terlihat sangat jelas sekarang. Dan aku juga berusaha percaya dengan setiap kata-kata Kak Revo.  Dia benar, jika kisah ini belum menyentuh kata selesai, aku pasti bisa bertemu dengan Nata lagi.
***
                “Vanya?!” suara Aka membuyarkan pikiranku yang untuk beberapa saat melayang-layang tak menentu.
                “Oh, iya? Kenapa, Ka?” tanyaku setelah berhasil mengembalikkan pikiranku.
                Aka yang entah sejak kapan ada di sampingku itu mengerutkan kening, lalu bertanya. “Kamu yang kenapa?”
                “Aku nggak pa-pa lagi. Aku cuma—aaaaaaarrghhh!!!” sesuatu yang keras menampar wajahku, membuatku terhuyung jatuh. Segera saja kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Rasanya sesuatu yang panas mulai menyerubungi wajah sebelah kananku. Lalu aku mulai mendengar suara-suara khawatir yang terus menanyai keadaanku. Beberapa, aku mengenal suara dari orang-orang itu, dan sisanya sangat asing di telingaku.
                “Kamu nggak pa-pa Vanya?” aku berhasil menangkap suara Aka.
                Aku mulai menurunkan tanganku. “Iya, aku nggak pa-pa kok,” kataku dengan kepala yang berdenyut-denyut.
                “Kamu mimisan,” kata Aka lagi.
Dengan gerakkan yang singkat, ia memegang lenganku dan berniat untuk membantuku berdiri. Dengan gerakkan yang singkat pula, aku menghempaskan tangan Aka dari lenganku dan aku berusaha berdiri sendiri.
                “Aku baik-baik aja kok,” kataku pada semua orang yang mengerubungiku.
                “Sorry ya, Dek. Aku nggak sengaja,” kata seorang kakak kelas berbadan tinggi besar.
                Aku melirik sekilas ke arah bola yang ada di tangan kakak kelas itu. sekarang aku mengerti bahwa sesuatu yang membuat wajahku panas itu adalah bola yang melesat cepat. Aku mulai muak dengan bola.
                “Iya Mas nggak pa-pa,”kataku pelan.
                Setelah itu, kerumunan itu mulai membubarkan diri. Tinggallah aku dan Aka di tempat ini. Aka masih menatapku dengan penuh kekhawatiran. “Kamu mimisan,” Aka mengulang kata-katanya lagi.
                “Iya aku tahu. Cuma dikit kok,” aku mengelap sedikit darah yang keluar dari hidungku.
                “Aku antar kamu ke UKS,” Aka menggandeng tanganku. Tak selangkahpun aku bergerak. Justru yang kulakukan adalah berusaha melepas genggaman Aka. Entah kenapa, sentuhan Aka membuatku merasa tak nyaman. Aku merasa risih dengan keberadaan Aka. Aku merasa seharusnya dia tak ada di sini.
                Aka menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku pahami. Mata Aka seperti tertutup kabut tebal yang tak bisa ditembus. Aku sedikit terkejut melihat ekspresi Aka itu.
                “Oke, lebih baik aku antar kamu pulang,” kata Aka lagi. Dengan tak enak hati, aku mengiyakan kata-kata Aka yang satu ini. Aku tak mau Aka berpikir aku tak menghargai perhatian yang ia berikan untukku.
                Entahlah, aku merasa sesuatu yang buruk menghantuiku di belakang punggungku seperti bayangan yang selalu mengikuti. Aku tak menyukai perasaan seperti ini.
***
                “Vanyaaaaaaaaaaaaaa!!!” seru Arnest ketika kau baru saja memasuki halaman sekolah.
                “Vanya! Katanya kamu nggak dateng ke pensi? Kok sekarang ada di sini?” tanya Arnest penuh rasa heran sekaligus senang.
                “Nggak tahu, berubah pikiran. Jadi pengen dateng aja,” aku tersenyum lebar lalu mengajak Arnest mendekat ke stand minumam yang berada di paling pojok halaman sekolah.
                Pensi sekolah ini cukup ramai. Dengan panggung yang cukup besar berdiri di tengah-tengah halaman sekolah, dan orang-orang yang dengan penuh antusias ikut bernyanyi-nyanyi bersama di dekat panggung. Beberapa band yang mengisi acara pun tak kalah antusias untuk menghibur. Begitu ramai.
                “Oh, kamu ada di sini,” kata sebuah suara yang begitu aku kenal.
                “Aka?” aku tersenyum.
                “Pergi aaaah. Takut ganguuu,” tanpa menunggu aku bicara sepatah kata pun, Arnest segera melesat pergi meninggalkanku bersama Aka. Keadaan ini membuatku merasa sedikit canggung.
                “Mau beli minum apa?” tanya Aka.
                “Hah? Hmm… soda aja deh,” jawabku sekenanya.
                Setelah Aka berhasil membuatku tak mengeluarkan uang untuk membayar soda itu, Aka mengajakku mendekat ke panggung. Sayangnya aku tak menyukai hal-hal sepeti meloncat-loncat sambil bernyanyi seperti yang sedang orang-orang itu lakukakan. Lalu, Aka mengajakku duduk di kursi yang berdiri tak jauh dari tempat kami. Seperti kejadian di lapangan bola beberapa hari yang lalu, Aka kembali menggandeng tanganku dan kuhempaskan begitu saja. Aku merasa tak nyaman dengan sentuhan Aka itu. Lagi-lagi Aka menatapku dengan tatapan yang tak bisa kupahami.
                “Kamu nggak mau aku gandeng?” katanya to the point.
                Aku mematung. “Aku cuma…  nggak suka aja,” kataku jujur.
                “Apa kamu juga nggak suka dengan keberadaanku?”
                Kali ini aku benar-benar terkejut. Setengah mengiyakan kata-kata Aka setengah tak ingin mengakuinya. Akhirnya hanya diam yang kulakukan. Dan Aka pun berlalu begitu saja.
                Aku menatap punggung Aka yang menjauh perlahan lalu tertelan puluhan punggung yang lain. Untuk beberapa detik, aku tak bergerak sama sekali. Lalu aku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Kuhentikan sebuat taksi kosong di depan sekolah lalu meminta sopir itu untuk mengantarku ke sebuah cafĂ© ice cream di dekat sekolah.
                Di sana, aku memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat aku menyendokkan ice cream itu ke mulutku, seseorang menyapaku sambil tersenyum. Orang itu membuatku hampir mati saking kagetnya. Ice cream yang baru saja akan kumakan itu, tiba-tiba saja ingin segera kubuang.
Aku memejamkan mataku sesaat. Ya Tuhan, apakah yang kulihat ini nyata adanya? Ataukah ini hanyalah sebuah khayalan?
Aku kembali membuka mataku dan masih mendapati orang itu di depan mataku. Lalu aku mulai percaya, bahwa ini nyata. Ini bukan khayalan, apalagi mimpi.
Jantungku yang semula berdenyut normal mulai menggila. Tak kusangka, hanya dengan melihat orang itu, jantungku melonjak liar seperti akan keluar dari rongganya. Aliran rasa senang pun mengaliri tubuhku. Mataku mulai memproduksi cairan hangat yang kemudian menetes membasahi kedua pipiku. Semua ini terjadi begitu saja, tanpa bisa kutahan. Tanpa bisa kucegah.