Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 10 Juli 2017

TSMJ #18 (By Kanata)

Apa Kabar?

    “Maaf...” ujarku lirih. Karena hanya kata itu yang sanggup aku sampaikan saat ini. Perlahan kudengar suara isakan hadir. Badan Vanya juga mulai berguncang seiring makin kencang tangisnya. Lalu pada akhirnya Vanya memelukku. Sebuah pelukan yang entah kapan terakhir kali aku dapatkan darinya. Pelukannya makin erat, seakan ingin menahanku agar tidak pergi lagi.
    “Kenapa?” katanya diantara isakannya yang mulai dapat dia kendalikan. “Kenapa kamu harus kembali lagi? Padahal aku udah mulai berusaha ngelupain kamu, Nat.”
    Aku mengendurkan pelukan. Vanya menghapus air mata yang mengalir di pipinya menggunakan punggung tangan. Yang kulakukan saat ini hanyalah menatapnya penuh kerinduan. Vanya belas menatapku setelah dia berhasil mengeringkan pipinya. Dia menunggu tanggapanku.
    “Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih hangat.”
    Hujan telah berhenti, digantikan dengan angin yang cukup dingin. Aku menggigil karena hanya memakai jaket tipis. Kuduga Vanya juga kedinginan.
    “Di sini dingin. Kita cari tempat yang lebih hangat buat ngobrol, yuk!?” Ulangku.
    “Aku mau pulang. Kak Revo lagi nunggu di bawah.” Dia berbohong. Tentu saja.
    “Dia udah pulang.” Aku mengacungkan ponsel milik Vanya.
    Vanya merebut benda tersebut dari tanganku. Menatap sekilas. Mengeluarkan erangan tertahan. Sebelum akhirnya memelototiku.
    “Apa maksudnya dengan ‘mau ngobrol sebentar dengan Vanya. Nanti aku antar dia pulang. Dari mahasiswa anda’? Jadi selama ini Kak Revo ngajar kamu?”
    “Baru dua semester ini, kok.” Aku mengangkat bahu sebagai tanda bahwa itu bukanlah hal penting.
    “Pengkhianatan ganda!” Vanya bersungut-sungut sambil menuruni tangga. Aku mengikutinya turun.
    Sepanjang perjalanan menuju lantai bawah Vanya tak hentinya merapalkan kekesalannya dengan volume rendah yang sukar aku tangkap dengan sempurna.
    ‘Hilang tanpa kabar. Seenaknya aja hadir kembali. Tiba-tiba ngajak ngobrol’ adalah beberapa hal yang mampu dengar.
    “Jadi mobil kamu yang mana?” Tanya Vanya galak saat kami sampai parkiran mobil.
    “Ngeledek...” Jawabku pendek. Aku berjalan menjauhi parkiran. Vanya mengekor dengan patuh.
    Aku menyodorkan helm. Vanya menerimanya tanpa banyak bicara. Dia juga tak bertanya aku akan membawanya ke mana.
    Kami membelah jalanan Kota Bandung yang basah akibat hujan. Cukup roman sebetulnya, jika saja aku tidak membonceng orang yang sedang ngambek.
    “Bagaimana kabarmu?” tanyaku setelah kami duduk dengan nyaman di dalam kafe.
    “Selain merasa dikhianati, aku baik-baik saja.” Dia masih terlihat kesal. “Terima kasih sudah bertanya kabarku.
    “Meski bertahun-tahun menghilang tanpa jejak!”
    “Jangan lupa, kamu yang memutuskan bahwa sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi.” Aku menyampaikan fakta.
    “Tapi, kan...” Dia menunduk, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
    “Jadi aku tanya sekali lagi, bagaimana kabarmu?”
    “Kalau kamu udah nguntit aku sejak masuk kuliah tentunya kamu bakalan tahu kalo aku baik-baik aja.” Vanya sudah menggunakan kalimat yang tak terlalu formal. Tandanya dia sudah tak terlalu kesal.
    “Tapi kan beda antara dengar dari orang sama dengar dari pelakunya langsung.”
    “Jadi kamu nganggap akulah pelaku, sang penjahat? Sementara kamu adalah korban yang tak bersalah?” Vanya kembali merajuk. “Iya, gitu!?”
    Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Tanpa sadar aku menjawil hidungnya yang mungil. Seperti kebiasaanku bertahun-tahun lalu. Mata Vanya membelalak kaget. Aku juga kaget. Dan tercipta momen hening selama hampir satu menit penuh.
    “Ah, sori.” Kataku gugup.
    Vanya malah tersenyum. Senyuman yang selalu sanggup membuatku meleleh sejak dulu. “Aku juga kagen.” Dia malah menjawab diluar konteks.
    Aku tertawa. Vanya tertawa. Kemudian kami saling bertukar cerita tentang pengalaman selama kami tidak berhubungan.
    Aneh sebetulnya. Karena seakan kami bersepakat untuk tidak mengungkit alasan kami terpisah. Kami mengobrol seolah-olah tak terjadi masalah apapun. Seperti dua orang sahabat yang terpisah dan kini sedang bertukar kabar.
    Satu hal yang membuatku tambah senang adalah Vanya dan Chakra akhirnya memilih untuk berteman saja, tanpa perlu ada roman asmara.
    “Sayang sekali kamu mutusin pertunangan itu, padahal kayaknya keluarga Diane baik loh.” Ucap Vanya. Aku agak kecewa karena kelihatannya Vanya biasa saja mendengar penuturanku mengenai batalnya pertunanganku dengan Diane.
    “Aku pengen fokus dulu kuliah.” Jawabku mencoba terdengar kalem. “Kalo jodoh mungkin aku dan Diane bakalan beneran tunangan.”
Ekspresi Vanya tetap tak berubah. “Yah, mungkin gitu.” Vanya mengangkat bahu, seakan tak terlalu peduli.
Keheningan lalu tercipta di antara kami. Aku memandang Vanya, memerhatikan lebih detail penampilannya. Beberapa hal telah berubah. Dulu aku tak pernah melihat Vanya berdandan, walau bedak tipis sekalipun. Kali ini di matanya terlihat jejak eye liner, bibirnya terdapat sapuan lipstik merah muda, bahkan kutebak ujung-ujung rambutnya dicat biru gelap. Dia bertambah cantik. Vanya remaja yang kukenal sudah hilang, digantikan dengan versi dewasa.
“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanyanya sambil menyuap spageti.
Aku menggeleng kecil. “Aku hanya bertanya-tanya dari mana kamu mendapatkan tongkat merah jambu itu.”
“Aku bikin sendiri. Asal aja.” Jawabnya santai. “Habis, yang katanya mau bikinin kayaknya sekarang udah lupa sama janjinya.”
Aku. Maksud dia adalah aku. Vanya mengungkit soal Tongkat Sihir Merah Jambu yang sudah aku bikin tapi belum sempat kuberikan gara-gara insiden Benteng Vandeburg dulu.
“Hei, aku punya ide bagus.” Ujarnya tiba-tiba. “Gimana kalo kamu sebelum ngirim aku pulang temenin dulu keliling kota Bandung?
“Tiga semester aku di sini hampir bisa dikatakan yang aku tahu cuma rute kampus sama rumah.”
“Emang kakakmu itu gak pernah ngajak kamu jalan-jalan?”
“Ck. Cowok sok sibuk kayak gitu mana bisa diharepin? Tiap hari ngampus. Kalo gak ngampus juga malah diem aja di rumah. Maenin Toluena, anaknya.
“Kadang aku ngerasa bukan adiknya, cuma mahasiswi yang kebetulan ngekos di rumah dia.”
“Oke. Sebagai permintaan maaf, aku anterin kamu kemanapun mau.”
Great!”
“Mau ke mana dulu?” Aku berdiri.
“Coba kamu tebak.” Dia ikut berdiri sambil tersenyum senang.
Senyum yang sudah aku rindukan selama bertahun-tahun.



Jumat, 31 Oktober 2014

TSMJ #17 (By: Vanya)


setelah berbulan-bulan lari, kini aku kembali... :)

Menunggu Jawaban

Di luar sana sudah mulai gelap. Langit telah sempurna tertutup awan kelabu dibumbui sedikit kilat dan petir yang menggelegar.  Kantin Seni Rupa bahkan sudah kosong lima menit yang lalu. Meninggalkanku duduk sendirian di sudut kantin. Aku meraih ponselku di tas dan mencoba menghubungi Kak Revo sekali lagi. Dan lagi-lagi tidak diangkat. Kujejalkan ponsel itu ke dalam saku celanaku dengan sebal.

Satu per satu tetes hujan mulai turun lalu diikuti jutaan tetes kawan-kawannya. Aku menengadahkan kepalaku, dan saat itulah aku melihatnya. Sebuah tempat yang baru beberapa hari ini aku temukan: lantai atas sebuah gedung kosong di sebelah kampus Seni Rupa. Senyumku terbit melihat tempat itu yang seolah memanggilku di antara tirai hujan.

Tanpa menunggu apapun lagi, aku segera memakai mantel hujanku dan menarik sesuatu yang kusebut tongkat sihir dari dalam tasku. Aku segera berlari menembus hujan menuju gedung kosong itu. Kubuka pintu gedung kosong yang tak pernah terkunci dan mulai berlari kecil menaiki satu per satu tangga. Di tangga ke empat aku sempat berhenti, menaiki tangga sambil berlari itu memang melelahkan. Aku kembali berlari sampai tangga ke enam. Kubuka pintu di hadapanku tanpa pikir panjang. Di sinilah aku. di atap gedung, berusaha meraih hujan dari langitnya langsung.

Aku menengadahkan satu tanganku. merasakan tetes hujan menyerbu telapak tanganku. aku memejamkan mataku dan mulai berputar-putar kecil. Di bawah rinai hujan, aku berusaha menikmati segalanya. Menikmati hari-hari baruku di tempat ini. menikmati hari-hari yang sudah kulalui jauh di belakang sana. Dan, menikmati ingatanku tentang seseorang yang pernah begitu dalam menorehkan luka. Tentang dia yang seharusnya sudah benar-benar enyah dari otak juga hatiku.

Apakah ia masih mengingatku di sudut lain kota ini?

                Aku kembali membuka mata dan berhenti berputar. Aku terdiam, berusaha mengenyahkan pikiranku dari segala hal tentang orang itu. saat itulah ponselku berbunyi. Aku berlari  menuju bawah kanopi, lalu meraih ponselku demi mengangkat telpon yang ternyata dari Kak Revo itu.
               
“Iya Kak?”
                “Aku udah di depan kampusmu.” Katanya.
               
“Oke Kak. Aku keluar.”
               
Aku buru-buru memasukkan ponsel itu ke sakuku lagi dan segera meninggalkan tempat ini. Aku lari menuruni tangga. Berharap aku bisa cepat-cepat ke tempat Kak Revo, aku tidak mau ia tahu aku hujan-hujan lagi. tepat saat keluar dari gedung itu, aku tak sengaja menginjak botol minum kosong yang entah bagaimana bisa di sana, dan membuatku jatuh terpeleset ke belakang. Aku mencoba berdiri sambil merintih kesakitan. Pantatku terasa sangat sakit setelah berbenturan dengan lantai. Di situlah aku sadar, ponselku telah menghilang.

                Aku mencari di sekitar tempatku jatuh, namun ponsel putih itu tidak terlihat. Aku segera berlari masuk gedung. Menaiki anak-anak tangga itu sekali lagi. Sepertinya jatuh saat aku buru-buru turun tadi. Tangga pertama tidak ada. Tangga ke dua pun tidak. Tangga ke tiga nihil. Aku berlari lagi sambil berdoa semoga ada di tangga ke empat.

                Di ujung tangga ke tiga aku belok menuju tangga ke empat. Dan di sanalah ponselku! Di tangan seorang laki-laki berkaus putih dan berjaket hitam. Begitu terkejutnya aku saat mengenali orang yang berdiri di ujung tangga yang tengah membawa ponselku itu. aku menengadah, menatap orang itu  dengan berjuta rasa yang berkecamuk. Satu per satu perasaan yang kupendam berpuluh-puluh bulan yang lalu, berebut untuk keluar saat ini juga. Namun, bibirku hanya bisa mengatup rapat-rapat. Seluruh badanku menegang menahan berjuta emosi yang menyatu tanpa bisa kucegah.

                “Hai… Vanya…”

                Aku berbalik dan berlari keluar gedung.
***
                “Kok lama banget sih?” itu adalah kalimat pertama dari Kak Revo saat aku membuka pintu mobil Juke-nya.

                “Kak, Vanya ada urusan dadakan. Bisa jemput Vanya nanti?” kataku berusaha senormal mungkin. Berusaha seperti biasa.
                Kak Revo hanya mengangkat alis dan “Oke.”
               
Aku menutup pintu mobil dan kembali menuju gedung kosong itu. Kembali menemui orang itu.
***
                Aku mendapati Nata terduduk di tempatnya tadi berdiri seraya memutarmutar ponsel putihku. Dia sedikit terkejut saat mendapatiku berdiri di hadapannya. Laki-laki berbadan tegak itu mulai berdiri. Perlahan namun pasti, anak-anak tangga dilahap oleh langkah kakinya yang tampak sangat hati-hati. Matanya yang teduh itu tak sekalipun berkedip saat menatapku. Tinggal beberapa langkah lagi, pemilik mata teduh itu akan benar-benar ada di hadapanku.

                Dan sekarang, laki-laki itu tepat berada di hadapanku. Tubuhku serasa telanjang di antara salju musim dingin. Membeku. Menggigil. Satu per satu rindu itu membuncah keluar meski aku berusaha menahannya. Sedikit demi sedikit, benteng yang kubangun beberapa tahun terakhir ini mulai runtuh. Semua pertahananku begitu saja luruh. Tanpa pernah aku rencanakan, dan tanpa sempat aku pikirkan, cairan bening yang hangat mulai membanjiri kedua pipiku. Saat itulah, badan tegap yang aromanya selalu kuhapal itu memelukku erat.
               
                Ia mendekapku hangat. Sedang aku masih berkutat dengan egoku yang masih kuat.

                “Aku tahu, kamu masih marah.” aku hanya diam. “Dari awal aku tahu kamu kuliah di sini, di tempat yang sama denganku. Tapi selama tiga semester ini, aku sama sekali gak punya nyali buat sekedar lewat di depanmu.” aku masih diam, namun menyimak. Aku berusaha setengah mati agar badanku tidak bergetar karena menahan tangis, namun tetap saja, aku gagal.

                Ia berhenti bicara, namun tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Aku masih di tempatku dengan berjuta rasa yang kuredam dalam diam.

                “Maaf…” ucapnya lirih. Suaranya seperti instrumen paling menyayat yang pernah kudengar. Dan demi mendengar ucapan maafnya, egoku mengendur seketika. Tangisanku yang teredam, perlahan menjadi isak. Badanku yang tadinya hanya bergetar, kini  benar-benar terguncang. Dan tanpa bisa aku pahami, aku balas memeluknya. Aku memeluknya lebih erat dari yang pernah aku ingat.

                “Kenapa?” kataku di antara isakanku yang mulai mereda. “Kenapa kamu harus kembali lagi? padahal aku udah mulai berusaha ngelupain kamu, Nat.”

                Nata melepas pelukannya. Aku mulai menghapus air mata di kedua pipiku dengan punggung tangan. Saat membuka mata, aku mendapati mata teduhnya menembus mataku yang begitu sembab. Aku balas menatapnya. Menunggu ia menjawab pertanyaanku. Tetap, ia hanya memandangiku tanpa mengucapkan sepatah katapun.

                Namun aku masih menunggu.

                                                                                                                                                                 

Jumat, 19 April 2013

TSMJ #16 (By: Kanata)



Bayangan Merah Jambu

            <jangan lupa tar malem Papa nunggu kamu di restoran yang biasa jam delapan... miss you then>
Setidaknya sudah lima kali sejak pagi Diane terus saja mengingatkanku mengenai acara pertemua keluarga besarnya. Aku sebetulnya malas untuk datang jika saja tidak teringat bahwa mungkin ini kesempatanku satu-satunya untuk berterima kasih atas kebaikan keluarga Diane sekaligus menolak secara langsung mengenai perjodohan yang tak kuinginkan ini.
<ok>
Jawabku singkat karena tak ingin ketahuan menggunakan telepon genggam dalam kelas sementara kuliah Kimia Organik sedang berlangsung. Materi kali ini adalah tentang aldehida dan keton. Meski dosen sudah menjelaskan materinya selama lebih dari dua jam, namun hanya sedikit sekali yang mengendap dalam otak. Otakku lebih sibuk memikirkan kalimat yang baik untuk kegiatan nanti malam.
Sejujurnya Diane adalah tipe gadis yang sangat menyenangkan. Seiring dengan pertambahan usia, pikirannya juga lebih dewasa dan sudah mengurangi derajat kemanjaannya. Dia baru saja diterima di sebuah SMA favorit di kota Bandung. Hampir setiap malam dia menceritakan hal-hal yang menarik yang terjadi seharian di sekolah. Aku merasakan bahwa momen-momen bercerita tersebut merupakan sesuatu yang sangat berharga baginya. Dan sayangnya aku juga merasakan hal yang sama. Sangat menyenangkan berbagi kisah dengannya.
Namun tetap saja perjodohan sepihak ini harus dihentikan. Itu janjku.
“Nah, sepertinya materi hari ini kita cukupkan dulu sampai sini. Jangan lupa pelajari bab selanjutnya untuk kita diskusikan pada pertemuan mendatang.”
Suara derit kursi mengisi udara. Bagai tawon yang keluar sarangnya, puluhan mahasiswa berbondong-bondong keluar kelas dengan keriuhan yang tak dapat tertangkap dengan baik oleh telinga.
Aku sengaja berlama-lama membereskan alat tulis kedalam tas. Aku berharap semakin lama melakukannya maka Sang Dosen keburu keluar ruangan dan membiarkanku hidup tenang. Dari sudut mata kulihat pria muda itu sedang menghapus papan tulis dan membelakangiku.
Merasa ini kesempatan yang baik untuk menyelinap keluar kelas aku bergegas melangkahkan kaki tanpa suara.
“Kanata, tunggu!” serunya.
Dia mengangkat alisnya, memintaku untuk mendekat. Aku mengikuti perintahnya. Sepasang mahasiswa terakhir baru saja keluar kelas.
“Duduk dulu. Ada yang mau diobrolin.”
Aku tak punya pilihan selain menurut dan menggu dirinya selesai menghapus. Lima menit kemudian sosoknya yang kurus  mendekati bangku yang kududuki.
“Saya menduga Bapak bukan mau ngobrolin soal Kimia, kan?” ujarku sebelum dia sempat membuka mulut.
“Ayolah. Gua gak setua itu hingga musti dipanggil Bapak. Lagian di kelas ini gak ada siapa-siapa selain kita.”
“Tapi itu bukan berarti saya boleh mengurangi rasa hormat kepada dosen sendiri.” Jawabku malas-malasan.
“Udahlah. Hentikan obrolan kosong ini.” Ujarnya sambil menepiskan tangan di udara. “Lo udah lakuin yang gua pinta?”
“Belum, Pak.” Aku benar-benar malas dengan percakapan ini.
“Panggil gua Revo!” Kak Revo menaikan nadanya.
“Oke, Mas. Masalahnya apa?” Kali ini aku yang menaikan alis dengan menantang.
“Masalahnya adalah... lo nyuruh gua gak ngasih tau ke adek gua, Vanya, kalo kalian berdua tuh sekampus... mulanya gua pikir lo mau ngelakuin sesuatu yang manis dengan hal tersebut... gua pikir lo bakal ngasi tau dia sendiri, entah dengan tubrukan gaya telenovela ato berteduh di pohon yang sama kayak film India... tapi udah tiga semester Vanya kuliah disini dan lo masih belom nunjukin batang idung lo depan dia...”
“Apa aku masih penting buat dia?”
“PENTING! Meski Vanya gak ngaku terus terang, tapi gua tau banget kalo lo itu masih jadi hantu masa lalunya! Dia masih penasaran sama lo! Lagian kalian konyol, milih pisah gitu aja! Bukannya beresin dulu masalah kalian!”
“Udahlah, Mas. kalo waktunya udah tiba. Pasti kita ketemu kok.” Aku bangkit dari duduk dan melengos pergi.
“Kapan itu!?” teriaknya dari balik punggungku.
Entahlah, jawabku dalam hati.
Memoriku dipaksa untuk mundur mengingat kejadian 18 bulan yang lalu.
#
“Udah belom?!? Kayak cewek aja ke WC harus ditungguin!” Teriak Wira dari balik pintu.
“Bentar! Tau sendiri kan bahannya gak boleh kena air? Jadi tolong pegangin dulu sebentar diluar!” balasku tak kalah teriak.
“Ck. Gak keren banget nunggu yang boker!”
“Berisik! Lagian kenapa gak nunggu di kantin aja sih?!”
“Gak punya duit!” Ujarnya.
Sungguh mengganggu jika perut sedang bermasalah seperti ini. Sepanjang pagi diriku bolak-balik kamar kecil untuk buang air. Segala macam obat diare sudah aku coba tanpa hasil yang berarti.
“Maaf, Kak. Kalo sekretariat SMSR di mana ya?!” Ucap sebuah suara lembut. Suara perempuan.
Sepertinya terjadi distorsi suara di bilik yang sedang aku tempati ini karena aku merasa sangat mengenal suara si perempuan. Kudengar Wira dan perempuan itu bercakap-cakap sambil sesekali diiringi tawa
“Terima kasih ya, kak?” Ucap si perempuan.
“Terima kasih kembali atas fotonya.” Balas Wira.
 Karena penasaran aku bergegas menyelesaikan kegiatan yang sedang dilakukan. Saat aku membuka pintu, si perempuan sudah 10 meter jauhnya dari WC. Hanya rambut yang diikat ekor kuda yang masih bisa kulihat.
“Siapa?” Tanyaku
“Anak semester baru. Dari Seni Rupa.” Wira tak kuasa menyembunyikan cengirannya. “Cuantik banget loh, Kana....”
“Oh ya?” berlawanan dengan suaraku yang tenang. Jantungku tiba-tiba berpacu.
“Gua dapet foto bareng sama dia!” Wira menjulurkan ponselnya sangat dekat dengan mukaku.
Aku menjauhkan muka dari ponsel Wira. Mencoba memfokuskan pandangan. “Vanya?”
“Lo kenal dia?” Ujar Wira heran.
“Nggak kok.” Mudah-mudahan Wira tak menangkap kegugupan dalam suaraku.
#
“Jadi saya bukannya hendak menolak kebaikan Bapak selama ini. Namun setelah sekian lama saya mencoba tetap saja saya merasa bahwa ini terlampau dipaksakan untuk terjadi.”
Tujuh orang lainnya yang duduk di kursi bundar sebuah restoran paling elit di Bandung mendadak membeku.
“Saya butuh waktu untuk berpikir. Dan saya tak ingin dikejar-kejar target semacam pernikahan dua tahun lagi.”
Bulir-bulir bening terbit di sudut mata Emak. Sebenarnya aku sungguh tak tega melihat beliau seperti ini. Namun aku lebih tak tega jika harus terus membohongi diri seperti yang kulakukan bertahun-tahun ini. Diane kali ini hanya menundukan kepalanya. Kurasakan aura kecewa menguar pada semua orang yang hadir.
Keheningan menyelusup selama lima menit penuh. Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Begitupun aku. Meskipun aku sudah memutuskan hal ini berminggu-minggu lalu namun tetap saja pada saat aku benar-benar mengucapkannya terasa ada hal yang salah telah kuperbuat.
“Baiklah jika memang demikian keputusan Nak Angga. Bapak bisa sepenuhnya mengerti kok. Memang persoalan ini harus dipikirkan secara matang dan mendalam.” Ucap Pak Wahyu dengan suaranya yang biasa, tenang dan ramah.
“Waktu itu juga Mama sempet nolak lamaran Papa, kan?” Tambahnya genit pada sang istri yang duduk di sebelahnya.
Adegan cubitan sayang Bu Dewi yang ditimpali ringgisan senang Pak Wahyu mencairkan suasana kelam yang sempat aku bangun.
“Sudahlah. Sebaiknya kita nikmati hidangan yang ada. Kita bicarakan perjodohan ini kapan-kapan lagi jika waktunya sudah tepat.”
Aku mengangguk. Dari sudut mata kulihat tatapan tajam Teh Mia tertuju padaku. Aku memilih untuk pura-pura tak menyadarinya.
#
“Kemana, Bro!?” Seru Aris yang berlari-lari dari parkiran. Aku menghentikan kegiatan menaiki tangga.
“Ngerjain makalah.”
“Di atap lagi?”
“Memang di mana lagi tempat yang sepi buat berpikir selain disana?”
Aris tertawa. “Gua curiga bukan karena sepi deh. Tapi karena lo bisa liat anak-anak cewek Seni Rupa makan di kafetaria taman sebelah gedung.”
Aku hanya tersenyum samar. Mungkin aku mulai terbiasa untuk berdiam di atas atap dan memandang taman gedung Seni Rupa yang letaknya lumayan jauh dari gedung yang sedang kunaiki.
Sebuah pemandangan kantin terlihat di kejauhan. Beberapa orang terlihat sedang menikmati sarapan yang terlambat (atau makan siang yang terlalu cepat). Namun sosok yang kucari sepertinya belum datang.
Sambil menunggu, aku membuka laptop dan mulai menulis makalah Sosiologi yang harus dikumpulkan besok. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku yang terlindungi kanopi. Namun tak seperti biasanya, pikiranku kali ini tak bisa benar-benar terfokus pada layar yang sedang aku coba isi dengan deretan huruf.
Kejadian semalam masih saja terbayang dalam otak. Dan setelah memiliki waktu untuk berpikir, aku merasa bahwa ternyata tindakanku semalam benar-benar keterlaluan. Aku terlanjur menyakiti banyak orang yang telah mengharapkan kebahagianku.
Setengah jam telah berlalu, awan hitam mulai berarak mendekat. Aku sangat berharap bahwa hujan jangan dulu turun sebelum seseorang yang kuharapkan datang.
Angin hangat telah berubah menjadi lebih dingin. Gemuruh terdengar di udara di kejauhan. Akal sehatku mengatakan bahwa seharusnya aku bersegera untuk turun dan mendapatkan perlindungan yang lebih baik dari hujan. Namun entah kenapa aku masih saja bersikeras untuk tetap berada di tempat ini.
Hujan rintik-rintik telah turun. Ujung celanaku mulai basah oleh cipratan air hujan. Kantin Fakultas Seni Rupa sepi tanpa satupun orang. Aku menduga bahwa mungkin hari ini dirinya takkan datang. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini.
Aku belum memutar kenop pintu saat terdengar suara langkah kaki mendekat.
BRAK....
Pintu menjeblak terbuka. Seorang gadis berambut sebahu memakai jas hujan pink. Tangannya menggenggam sebatang tongkat pendek.
Sebuah memori dari masa lalu terbayang. Aku teringat dua buah sosok yang sering menari dibawah rintik hujan di atas atap.
Vanya sedang menari di hadapanku.
Untungnya aku sudah berhasil menyembunyikan diri.


Kamis, 21 Februari 2013

TSMJ #15 (By: Vanya)


Pergi

            “Kenapa tiga bulan terakhir ini kamu murung terus, Nya?” tanya Aka yang duduk di depanku.
            Aku hanya mengaduk milkshake strawberry-ku tanpa mau menatap Aka. Bukannya aku tak mau menjawab pertanyaan Aka itu. Hanya saja aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak pernah benar-benar tahu mengapa aku kehilangan semangatku beberapa bulan terakhir, meskipun terkadang aku memaksakan semangat itu agar orang-orang disekitarku tetap mempunyai semangat. Tetapi, sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Aku tak bisa menyembunyikan ini terus menerus. Terutama pada Aka yang terlalu perhatian.
            “Vanya?”
            Aku mengangkat kepalaku dengan enggan.
            “Jawab pertanyaanku,” katanya pelan.
            Aku menggelengkan kepala, lalu mulai angkat bicara. “Aku sendiri nggak tahu, Ka,” jawabku jujur. Lalu aku kembali menunduk dan mengaduk milkshake yang sudah tinggal separuh gelas.
            Tiga bulan yang lalu, tepat saat aku dan Nata memutuskan untuk berpisah—atau tepatnya atas keputusanku sendiri, rasanya tubuhku seperti kehilangan banyak darah. Nafsu makanku menurun, tubuhku lemas, aku menjadi malas melakukan apapun—bahkan untuk belajar sekalipun. Entah apa yang terjadi padaku. Aku rasa ini bukan karena perpisahan yang menyebalkan itu. Bukankah kembali ke kehidupanku yang sekarang tanpa ada nama Nata di dalamnya sudah menjadi pilihanku? Ya. Tentu saja begitu.
            Aku meminum milkshake-ku dan kembali menatap Aka. Aku tak menyangka, Aka menatapku dengan mata yang tajam, sarat kemarahan. Kedua rahangnya mengatup dan menegang. Wajahnya merah karena marah. Aku tahu ia berhak marah karena jawabanku yang tak memuaskan tadi. Yang membuatku bingung adalah mengapa ia harus semarah itu hanya karena jawabanku tadi? Lagipula aku jujur.
            “Aka—“aku berusaha meraih tangannya untuk menenangkan, tetapi gerakan tanganku berhenti di udara. Lalu aku kembali menarik tanganku.
            “Apa gara-gara dia lagi?” tanya Aka dingin.
            “Dia siapa?” tanyaku berpura-pura tidak peka.
            Aka membuang muka sejenak, lalu kembali menatapku. “Nata,”nada bicara Aka masih saja dingin.
            Aku tahu ini. Aku tahu Aka akan mengucapkan nama itu, dan aku tidak suka. Aku memang tak menceritakan pertemuanku dengan Nata saat di Vredenberg dulu. Toh isi pertemuan itu hanya untuk perpisahan. Seharusnya Aka sudah cukup puas dengan ketidakmauanku bertemu Nata saat Nata ke Jogja dulu.
            “Iya kan, Nya?” desak Aka.
            “Aku memundurkan badanku sampai menyentuh sandaran kursi, lalu merundukkan kepalaku untuk ke sekian kalinya. “Aku nggak tahu, Ka,”
            “Bohong,”
            “Tapi aku bener-bener nggak tahu kenapa aku jadi kayak gini,”aku kembali mencondongkan tubuhku kea rah Aka.
            Mataku dan mata Aka saling mengunci dalam keheningan di antara kami berdua. Kemarahan masih tersirat jelas di matanya. Dan aku masih dalam zona ketidakmengertianku mengenai diriku sendiri.
            “Sebenernya dari awal aku ragu sama kamu, Nya,” ucap Aka pelan karena ia sedang menahan marahnya. “dari awal aku udah ngerasa kalau kita emang nggak pernah bisa sejalan. Bahkan sejak kita masih sangat kecil. Aku mendorongmu sampai jatuh waktu kita TK baru kamu bisa liat keberadaanku. Aku seneng kamu akhirnya melihat aku walaupun sambil menangis. Lalu suatu hari, kamu pindah dari Jogja. Dan aku masih terlalu kecil untuk mengetahui keberadaanmu saat itu. Sampai kira-kira setahun yang lalu kamu kembali ke kota ini. Mungkin wajahmu agak berbeda, tapi dari dulu senyummu selalu sama. Aku langsung mengenalimu saat itu. Tapi aku tahu, saat kita pertama bertemu satu tahun yang lalu, kamu sama sekali tak mengingatku.”
            “Sejak hari itu waktu aku mengembalikan jepit rambutmu, aku mulai tertarik sama kamu, Nya. Aku berani mengatakan soal perasaanku saat aku rasa kamu memberiku respon yang baik. Dan setelah kita dalam hubungan ini, lama kelamaan aku sadar. Responmu itu memang baik, tapi kamu nggak menganggapku lebih dari seorang sahabat. Selama ini aku berusaha nggak peka kalau kamu nggak mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku mengabaikan seseorang yang ada di masa lalumu itu. Aku berpura-pura mengiyakan kalau kamu dan orang itu udah berakhir. Kalau kalian memang udah nggak ada hubungan lagi. Mungkin emang bener, tapi aku yakin, ada sesuatu yang belum kalian selesaikan walaupun aku nggak tahu apa itu. Aku ngomong gini bukannya nggak beralasan. Buktinya kamu masih menyimpan semua kenangan bersama orang itu, dan waktu orang itu datang menemui kamu untuk entah apa itu dan justru kamu nggak mau menemui dia. Aku nggak akan bertanya masalah apa yang membuat kamu dan orang itu jadi seperti itu. Tetapi mungkin aku bisa sedikit merasakan. Jadi, Vanya, aku rasa hubungan kita nggak akan pernah baik selama masa lalumu itu masih menghantui kamu. Bukan Cuma soal masa lalumu itu aja, tapi soal perasaan. Kamu nggak punya perasaan yang sama dengan yang aku rasakan. Aku terlalu bodoh untuk berpura-pura berpikir kalau kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku,”
            Kata-kata Aka yang panjang itu membuatku sedikit terkejut. Seluruh badanku seperti teraliri oleh sesuatu yang bergetar tak menentu. Otakku mulai membeku, tak dapat berpikir secara jernih. Lidahku pun ikut menghianatiku dengan ketidakmampuannya mengucapkan sepatah katapun
            “Maaf karena aku membuatmu di tempat yang rumit seperti sekarang ini,” lanjutnya. “Tapi sekarang aku nggak akan membebanimu dengan hubungan kita yang emang nggak bisa berhasil. Aku rasa, lebih baik kita bertema kayak dulu. Mungkin ini lebih mudah buat kamu, Nya,”
            Aku masih setia membisu di antara serbuan ucapan Aka. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Aka. Namun aku tak mampu. Aku takut saat aku angkat bicara, aku hanya akan membuat Aka semakin terluka. Mungkin lebih baik aku diam seperti ini.
            “Kamu bisa pulang naik taksi kan? Hati-hati di jalan. Bye, Vanya,” belum sempat keberanianku untuk angkat bicara datang, Aka sudah berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi dari cafĂ© ini. aku menghembuskan napas berat setelah Aka menghilang dari penglihatanku. Aku kembali memundurkan badanku lalu merunduk menatap kedua tanganku yang saling meremas. Aku merasa sedikit cemas.
###
            “Terus?” mata Arnest nampak berkilauan tanda ingin tahu. Sejak awal aku bercerita, Arnest memang nampak sangat ingin tahu.
            “Ya udah,” kataku sambil membuka-buka novel baru Arnest. “Pulang. Di pulang dan ninggalin aku,”
            “Sumpah dia ninggalin kamu?!” kali ini mata Arnest hampir bulat sempurna.
            Aku melihat mata Arnest yang membulat itu dan menganggukkan kepala singkat. Ekspresi Arnest seperti baru saja menelan ku tart utuh tanpa di kunyah.
            “Nya, berarti di marah banget sama kamu,”
            Aku berhenti membuka-buka novel Arnest dan menanggapi ucapan Arnest barusan. “Gitu ya? Emang keliatan banget sih. Tapi aku nggak tahu harus ngapain,”
            “Gini aja deh,” Arnest membenahi cara duduknya lalu menatapku lembut. “Sekarang kamu jujur sama diri kamu sendiri. Apa kamu sama seperti yang Aka katakan? Jujur aja. Emang susah sih kalau keadaannya kayak gini. Tapi dengan kamu jujur itu bakalan bantuin kamu buat ngerti perasaanmu sendiri baru kamu bisa mengerti perasaan orang lain,”
            “Itu yang dari kemarin aku pengen lakuin. Tapi susah banget, Nest,” kurebahkan tubuhku di ranjang Arnest. Lalu ia menyusulku.
            “Jadi, mendingan sekarang kamu aku anterin pulang dan kamu pikirin lagi, oke? Bukan bermaksud aku ngusir, tapi kayaknya kamu bakalan lebih nyaman di rumahmu sendiri. Di kamarmu sendiri. Gimana?” katanya seraya memelukku.
            Aku mengerutkan keningku untuk berpikir sejenak lalu mengiyakan kata-kata Arnest. Arnest mengantarku pulang tepat pukul empat sore. Saat itu, Uti sedang menyiapkan makan malam dan Akung sedang menghisap cerutunya di halaman belakang. Aku lega Uti dan Akung sedang mempunyai kesibukkan masing-masing, sehingga aku mempunyai kesempatan mengurung di kamar tanpa ada yang mengganggu. Setidaknya sampai jam makan malam.
            Hal yang pertama kali aku lakukan setelah menutup pintu kamarku adalah membuka jendela dan membiarkan jendela besar yang ada di kamarku terbuka lebar-lebar. Berharap angin sore masuk ke kamarku dan membawa sedikit pencerahan bagiku. Paling tidak membuat perasaanku lebih baik.  Lalu pikiran tentang Aka keluar dengar sendirinya, kemudian Nata. Lalu aku segera mengenyahkan pikiran itu dan memilih untuk menyelinap di balik selimutku.
***
            Dua tahun kemudian...
            “Aka,” sapaku saat Aka memasuki halaman rumah Uti bersama Arnest.
            “Hei,” Arnest balik menyapaku dengan cengiran lebar khasnya. Disusul dengan Aka yang juga tersenyum ramah di belakang punggung Arnest.
            “Ayo masuk! Uti tadi bikin brownis kukus loh buat kalian. Barusan aja mateng,” kataku seceria matahari di langit sana.
            “Yes! Aku suka banget brownis, Nya! Haha!” Arnest menghambur masuk ke dapur seolah rumah Uti adalah rumahnya juga. Aku dan Uti sudah terbiasa dengan sikap Arnest itu. Toh aku juga tidak merasa terganggu.
            “Duduk aja dulu, Ka. Aku ambilin minum dulu,”
            Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku menuju dapur, Arnest sudah membawa tiga gelas kosong dengan sebotol besar soda dingin beserta sepiring brownis yang masih hangat. Aku tertawa pelan melihatnya lalu membantu Arnest meletakkan gelas-gelas itu di atas meja.
            “Akhirnyaaaaa, aku bisa makan juga brownisnya,” seru Arnest girang sesaat setelah ia meletakkan pantatnya di kursi dan mengambil satu potong brownis.
            “Gimana, Nest? Enak?” tanyaku basa-basi.
            “Always,”komentar Arnest singkat itu mengundang sedikit tawaku dan Aka.
            “Jadi,” kataku sambil menatap satu per satu dari mereka. “Ini pertama kalinya kita kumpul setelah lulus. Kalian mau kemana habis ini?”
            “Aku sih pengennya ke Psikoligi UGM,” jawab Arnest dengan mulut penuh.
            “Kamu Ka?”
            “Hmm... Nggak tahu, tapi mungkin aku bakalan keluar, “ jawab angka dengan senyum menghiasi bibirnya. Kemudian ia menuang segelas penuh soda dan menenggaknya sampai habis setengah gelas.
            “Yaaah, Aka jauh,” keluhku pelan.
            “Terus, kamu mau ke mana, Nya?” tanya Aka serius.
            “Mungkin di Bandung, tapi yang jelas nggak di sini,”
            “Yaaaaah, kita bakalan pisah dong?” gantian Arnest yang mengeluh.
            “Santai aja. Masih tetep satu negara, haha,” ujarku berusaha mencairkan suasana. Juga berusaha membuat pandangan Aka yang aneh terhadapku itu menghilang.
            “Vanya, ini brownisnya di ambil lagi,” kata Uti yang masih berada di dapur.
            “Iya Uti,” sahutku. “Aku—,”
            “Aku aja yang ambil brownis tercintaku itu ya,” Arnest menimpali dengan kekehan.
            Aku rasa Arnest meninggalkan aku bersama Aka itu salah. Karena sekarang, yang ada di ruang tamu ini hanyalah keheningan. Perasaan canggung kuat menguar. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi, sedang aku merasa Aka ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya aku memilih menunggu Aka yang berbicara terlebih dahulu.
            “Jadi, kamu mau ke Bandung?” katanya setelah tiga puluh lima detik penuh ia diam.
            “Iya,”
            “Apa karena Nata?”
            Aku yakin, jantungku berhenti berdetak untuk sedetik ketika nama yang dua tahun terakhir ini tak pernah disebut, disebut lagi. Aku merasa sedikit risih mendengar nama itu.
            “Nggak,”jawabku cepat cepat. “Plis, Ka. Kita udah selesai membicarakan ini dulu,”
            Dua tahun yang lalu aku memang sudah menjelaskan semuanya pada Aka. Tentang perasaanku, keadaanku, keinginanku, dan masih banyak lagi. Saat itu aku berkata, mungkin apa yang di katakana Aka saat mengakhiri hubungan kami ada benarnya. Iya, memang aku tidak mempunyai perasaan sayang yang sama seperti yang Aka berikan untukku. Tetapi soal masa lalu, aku pikir masa laluku sudah benar-benar selesai. Tak perlu lagi diungkit-ungkit, karena memang sudah selesai walaupun berakhir dengan cara yang kurang baik. Setelah aku menceritakan hal itu, aku dan Aka menjadi jauh lebih dekat sebagai sahabat. Dia mengerti dengan permintaanku untuk tidak membicarakan masa laluku lagi. Tetapi hari ini, ia justru membicarakannya.
            “Iya, aku tahu. Maaf aku tanya kayak gitu,”
            “Nggak pa-pa, tapi sekedar buat cerita, aku ke Bandung bukan karena apa-apa. Kak Revo yang menawariku sebulan yang lalu. Toh Kak Revo sama keluarganya tinggal di Bandung,”
            “Kalau gitu, good luck ya, Nya,” kata Aka dengan senyuman tulus tersungging di bibirnya. Lalu aku ikut tersenyum.
            Hening kembali mengisi, tetapi untunglah Arnest segera datang dengan sepiring brownis yang menggunung. Lalu kami bertiga menghabiskan seluruh brownis dan soda itu dengan tawa yang lepas. Walaupun kami akan berpisah, tetapi setidaknya aku bisa menikmati waktu yang tersisa untuk tertawa bersama.
***
            Telepon rumah berdering keras ketika Akung, Uti, dan aku sedang berbicara mengenai Aka yang di terima di Canberra. Kami terpaksa menghentikan pembicaraan kami, lalu aku bangkit untuk mengangkat telepon.
            “Halo?”
            “Halo, Vanya, ini Kak Ines,” suara Kak Ines, istri Kak Revo, di ujung telepon sana terdengar sangat antusias.
            “Ada apa, Kak?” tanyaku penasaran.
            “Kamu diterima! Selamat yaaa!” seru Kak Ines heboh.
            “Diterima?” tanyaku masih tak percaya.
            “Iya diterima! Kakak tunggu di Bandung ya, Vanyaku sayang, dah,”
            Klik.
            Telepon terputus.
            Jadi, aku diterima?