Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Senin, 24 Desember 2012

TSMJ #11 (By: Vanya)


Menemukan yang Sudah Tak Dicari

Sudah berpuluh-puluh menit aku melangkahkan kakiku ke sana ke mari dari satu toko kt toko lain yang ada di mall ini. Kalau saja Aka tidak menemaniku, ini akan menjadi jalan-jalan yang paling membosankan dan membingungkan. Bagaimana tidak? Mencari hadiah untuk ulang tahun pernikahan Akung dan Uti itu lebih membingungkan daripada memecahkan soal Logaritma dan semacamnya.
            “Udah kubilang, boneka Teddy Bear aja. Gampang kan?” usul Aka. Entah sudah berapa kali ia mengusulkan ide bodoh itu dan entah sudah berapa kali aku menolaknya.
            “Aka,” aku menatap Aka penuh rasa jengkel. “Masa iya ulang tahun pernikahan Akung dan Uti yang ke-40 mau dikasih boneka Teddy Bear?!”
            Tanpa kuduga, Aka justru membulatkan matanya. Aku tak tahu apakah ia benar-benar kaget atau hanya berpura-pura kaget. “40 tahun? Kalau gitu, jangan Teddy Bear. Itu lustrum. Harus dikasih hadiah special!” kata Aka dengan nada seorang presiden yang akan membangun perusahaan nuklir untuk negaranya. Dan sekarang aku tahu bahwa Aka hanya berpura-pura bersemangat—hanya untuk menggodaku.
            Aku memutar kedua bola mataku dan melengos pergi dan memilih untuk memasuki salah satu toko DVD yang sepi. Aku berkeliling dengan langkah pelan. membaca tulisan-tulisan yang ditempel di depan rak. Tulisan-tulisan itu menginformasikan tentang jenis music apa yang berderet di belakangnya. Ada rak yang semuanya adalah album band-band local yang beraliran pop, album boys band dan girls band yang begitu banyak seperti jamur yang tumbuh lebat di musim hujan, dan ada juga album-album milik musisi internasional yang taka sing lagi di telinga. Di rak yang terletak paling pojok bertuliskan ‘Musik Keroncong’ menarik perhatianku. Akung dan Uti sering mendengarkan music keroncong jika tak ada hal lain yang ingin mereka kerjakan. Sayangnya aku tak mengerti mana yang harus aku pilih, sedangkan tahu tentang music keroncong pun tidak. Lagi-lagi aku melengos kecewa. Lalu aku memutuskan untuk keluar.
            Saat aku berbalik, tiba-tiba saja Aka sudah berdiri di hadapanku. Membuatku sedikit terkejut. “Udah dapetin kadonya?” tanyanya.
            “Aku menghela napas pelan, “Belum,” jawabku, lalu beranjak dari toko yang penuh dengan rak berisikan DVD dan VCD itu.
            “Udahlah, kita makan dulu ya? Udah siang juga,”
            “Tapi aku belum dapetin kado buat Akung sama Uti, Ka!” kataku jengkel. Entahlah, akhir-akhir ini aku memang sensitif.
            “Iya, Vanya. Habis makan baru lanjut cari. Sampe mallnya tutup aku tetep nemenin. Tapi makan dulu, ya?” rayu Aka.
            Sejak dua minggu yang lalu, saat pensi sekolah malam itu, Aka memang lebih sabar menghadapi aku yang—harus kuakui—kadang-kadang memang kekanak-kanakkan. Entah apa yang terjadi pada Aka, yang jelas aku bersyukur kesalahpahaman malam itu dapat terselesaikan dan Aka menjadi lebih pengertian terhadapku. Sebenarnya aku merasa sedikit curiga dengan Janet yang malam itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku saat aku duduk di café sendirian untuk melepas kekesalanku pada Aka. Malam itu, aku berbicara panjang lebar bersama Janet yang ternyata datang ke Indonesia bersama HyungJun. Sampai pada akhirnya Aka datang menyusulku. Aku juga tak tahu bagaimana ia bisa tahu aku sedang di café itu. Yang jelas, malam itu, Aka juga ikut berbincang-bincang dengan Janet dan HyungJun setelah aku mengenalkan mereka padanya. Dan saat berada di tempat parkir café, sebelum kita berpisah, aku sempat mengobrol soal Nata bersama HyungJun dan Janet membicarakan sesuatu—yang entah apa itu, bersama Aka.
            “Jadi mau makan di mana?” tanyanya memudarkan lamunanku yang singkat.
            “Terserah kamu aja,” kataku pada akhirnya yang berarti menyetujui ajakan Aka untuk makan.
            Aka mengajakku di lantai paling atas dimana ada sebuah foodcourt yang selalu ramai memamerkan menunya. Aku memilih tempat duduk paling luar dan Aka memesan makanan untuknya dan untukku setelah aku tidak berhasil meyakinkan Aka bahwa aku hanya butuh segelas jus alpukat. Lalu Aka membiarkanku menunggu sejenak.
            “Kamu pesen apa?” tanyaku pada Aka yang baru saja meletakkan pantatnya di kursi.
            Spaghetti bolognaise,” jawab Aka. “dan harus habis,”tambah Aka sambil tersenyum.
            Baru saja aku hendak protes atas ucapan Aka barusan, dua piring spaghetti dan dua lemontea datang dan memenuhi meja kecil di hadapanku dan Aka. Aku menarik niatku untuk protes karena tiba-tiba saja sepiring spaghetti dengan porsi pas itu tampak sangat menggoda dimataku sekarang. Segera kuambil garpu yang disediakan dan melahap spaghetti itu dengan penuh semangat. Rasanya aku juga sudah membuang gengsiku jauh-jauh karena saat ini Aka tengah melihatku melahap spaghetti-ku dengan penuh antusias dengan ekspresi yang sepertinya-tadi-ada-yang-bilang-tidak-mau-makan. Aku tidak peduli.
            “Mau tambah spaghetti bolognaise­-nya, Nona?” goda Aka.
            “Nggak lah, Nat,”
            “Nat?” tanya Aka dengan kedua alis terangkat.
Astaga! Betapa bodohnya aku bisa mengucap nama orang itu lagi! Di depan Aka pula! Bodoh! Kata ‘Nona’ itu memang selalu berhasil memancing ingatanku tentang Nata.
“hmm… Nanti maksudku. Tadi aku belum kelar ngomong,”aku memaksakan untuk tertawa agar Aka tak curiga lagi. “Oh ya, Ka, malem itu, waktu ketemu Janet dan HyungJun kamu ngobrol apa aja sama Janet?” aku berusaha membelokkan obrolan.
“Kamu tahulah pasti. Waktu itu kan kamu duduk di sebelahku,”jawab Aka sebelum menenggak habis lemontea-nya.
“Bukan waktu di dalem café, tapi di parkiran,”
Aku sedikit menangkap ekspresi gusar di wajah Aka yang kemudian berhasil di buang oleh Aka. “Oh itu, soal Nata,”
Mataku tak bisa berkompromi dengan otakku karena saat ini kedua bola mataku seperti hendak meloncat dari lubangnya saking terkejutnya aku. “Na… Nata?” kataku masih tak percaya.
“Tapi itu nggak penting-penting amat kok, aku Cuma tanya soal Nata sedikit. Oh iya, ayo cari kado untuk Akung dan Utimu! Keburu sore, yuk!” Nata mulai berdiri dan aku pun mengikutinya. Aku tahu, Aka mengalihkan pembicaraan ini. Bahkan aku yakin Aka tahu bahwa aku berbohong soal ‘Nat’ tadi. Oh, lagi pula siapa yang percaya dengan alibi murahanku tadi?
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang Aka dan Janet omongkan malam itu. jika benar soal Nata, apa yang diinginkan Aka dari obrolan soal Nata itu? tetapi aku tidak mungkin bertanya secara langsung kepada Aka karena itu akan menjadi ide yang sangat buruk. Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan mulai berpikir lagi apa yang harus aku berikan kepada Akung dan Uti di ulangtahun pernikahan mereka.
“Gini aja,”lagi-lagi Aka membuyarkan lamunan singkatku. “Gimana kalau benda yang mau kamu kasih ke mereka itu adalah buatan tanganmu sendiri. Pasti lebih berkesan,” lanjut aka.
Oke, aku akui kali ini ide Aka tidak buruk. Bagus malah! Bukankan jika hadiah itu dibuat sendiri akan lebih puas dan lebih bangga ketika memberikannya kepada orang lain ketimbang membeli? Tentu saja. Tapi yang menjadi masalah kali ini adalah: apa yang harus aku buat sebagai hadiah ulangtahun pernikahan Akung dan Uti yang ke-40?
“Tapi bikin apa?” tanyaku lemas. Padahal beberapa detik yang lalu baru saja aku semangat.
“Apa aja. Mereka akan menghargai apapun pemberianmu, Vanya,” Aka tersenyum. Kalau sedang begitu dia terdengar seperti kakakku saja.
            Aku berpikir sejenak sambil memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di mall ini. Dan aku rasa satu ide telah berhenti sejenak di kepalaku dan memotivasiku untuk menggerakkan mulutku dan memberitahukan ide itu pada Aka, cowok yang penuh dengan kesabaran sekaligus pacarku ini.
            “Gimana kalau album foto?” kataku dengan cengiran lebar seolah-olah tidak ada ide yang lebih menarik dari itu.
            Aka tampak berpikir sejenak,”isinya foto apa?”
            “Isinya nanti aku kasih foto Akung sama Uti dulu waktu kakak pertamaku lahir sampe foto mereka yang sekarang. Terus nanti juga ada fotoku sama kakak-kakakku, gimana?”
            “Bagus! Nah sekarang kita cari bahannya aja dan cepet-cepet bikin. Ulangtahunnya lusa kan?”
            Aku mengangguk penuh semangat. Aku akan membuat suatu karya, sebentar lagi. Sebentar lagi.
###
“Ini ada kue bikinan Uti, dimakan lho ya,”kata Uti yang membawa sepiring kue brownis dan dua gelas sirup jeruk. Belum sampai masuk ke kamarku, aku sudah menghadang Uti di depan pintu kamarku agar tidak tahu tentang hadiah yang kubuat bersama Aka itu.
“Sini Vanya bantuin, Uti. Nah, uti bisa nyiramin tanaman lagi, hehe…”
            Uti melihat kamarku sebentar lalu tersenyum pada Aka. “Pintunya dibuka gini terus ya, ndak boleh ditutup lho. Kalian ndak ngapa-ngapain to?” tanya Uti penuh selidik.
            “Ya ampun, Uti. Vanya anak baik kok Uti, Vanya sama Aka nggak ngapa-ngapain,” kataku meyakinkan.
            “Ya sudah, Uti ke depan dulu ya. Dimakan itu kuenya,” Uti tersenyum pada Aka lagi dan berjalan menuju halaman depan untuk membantu Akung menyirami tanaman.
            Aku kembali duduk di sebelah Aka dan meletakkan makanan dan minuman di atas meja belajarku. Lalu aku kembali membantu membuat album foto dengan menempel foto-foto yang ada di album buatanku dan Aka.
            “Yaaah, selotipnya habis! Bentar ya aku cari dulu,” aku membuka semua laciku tetapi tidak ada selotip maupun lem di sana.
            “Nggak ada, Ka. Aku pergi dulu ya, mau beli selotip. Oh sama keju deh, brownisnya ga menarik banget kalo nggak ada kejunya. Hehe…”
            “Mau aku anterin?” tawar Aka penuh sayang.
            “Nggak usah,” aku tersenyum lalu pergi ke sebuah supermarket yang hanya beberapa ratus meter dari rumah, salah satu keuntunganku tinggal di sini.
            Aku memasuki supermarket itu dan langsung menuju rak tempat keju cedar biasanya ditata. Aku mengambil satu-satunya keju cedar yang ada di rak itu, dan ternyata tangan seseorang juga hendak mengambilnya. Aku segera melepaskan keju itu, “Oh silakan diambil,” kataku. Aku rasa orang itu sempat berterimakasih padaku. Aku pun langsung pergi ke rak tepung karena sebelum aku pergi Uti memintaku untuk membelikannya seplastik besar tepung terigu. Kuambil satu plastic tepung terigu lalu segera beralih. Ketika aku kesulitan menemukan selotip, aku bertanya kepada salah satu pegawai di supermarket itu dan pegawai itu membawaku ke tempat selotip ditata sedemikian rapi bersama beberapa alat tulis lainnya.
            Saat tanganku hendak meraih selotip bening itu, tanganku dihentikan oleh tangan seseorang yang rupanya adalah tangan yang sama dengan pemegang keju ceddar tadi.
“Ini, Nona. Untukmu saja,” orang itu menyodorkan kotak persegi panjang yang tidak terlalu besar yang ternyata adalah keju ceddar.
Aku mendongak ke pemilik tangan itu. sosok itu adalah seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi. Jauh lebih tinggi dariku. Sayangnya, mataku tidak membohongiku karena saat ini yang berdiri tepat di depanku dan tengah menyodorkan keju cedar itu adalah orang yang sangat kukenali. Orang yang kucari. Dulu…
“Hai, Nona Vanya?” sapa Kanata Anggara Wiguna.
Tubuhku seperti dibekukan saat itu juga, kerongkonganku terasa kering dan perih. Tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Rasanya seperti ada sesuatu yang memeras perutku dan membuat jantung yang ada di dadaku meloncat-loncat tak terkendali. Lidahku terasa kelu dan tak tahu harus bicara apa. Aku juga tak tahu harus bagaimana. Aku hanya seperti patung yang bermimik kaget. Tapi aku punya satu keinginan pasti: menghilang dari hadapan orang itu dan dari tempat ini.
Beberapa detik kemudian, aku tahu, tubuhku tak lagi lumpuh. Segera saja aku menuju kasir yang sepi dan membayar tepung serta selotip itu dan cepat-cepat keluar dari supermarket itu. Dan tentu saja, seharusnya aku tahu kalau Nata akan mengikutiku.
“Vanya, tunggu!”
Orang itu memintaku untuk berhenti tetapi aku justru terus berjalan. Orang itu berlari dan aku juga berlari. Aku berlari semakin cepat sampai aku tidak menyadari ada lubang di jalan itu yang membuatku terjatuh menghantam aspal. Aku meringis kesakitan dan mencoba bangun kembali dan berlari lagi. Aku tahu lututku terluka tapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin pergi meninggalkan orang itu. orang yang dulu menjadi alasanku untuk mengorbankan sekolahku di London. Orang yang seharusnya sekarang membuatku tertawa bahagia karena telah menemukannya dan bukannya berlari menjauh seolah-olah orang itu akan menerkamku sewaktu-waktu. Tetapi sepertinya memang begitulah kenyataannya. Orang itu bisa melukai hatiku sewaktu-waktu—bahkan sekarang sudah begitu.
            Aku baru sadar bahwa cairan bening yang hangat mulai menetes dari kedua mataku. Aku mencoba menyeka airmataku sendiri dengan punggung tanganku seraya kakiku terus berlari menuju rumah. Begitu sampai di rumah, aku segera masuk ke kamarku yang pintunya terbuka lebar. Saat aku masuk, aku menemukan Aka yang tengah mengeluarkan seisi kotak pink milikku yang beberapa bulan yang lalu kutaruh di bawah tempat tidurku. Astaga! Apa lagi sekarang? Mengapa semuanya semakin memburuk?
            “Aka, kamu ngapain?!” tanyaku masih dengan wajah yang sembab. Bahkan air mata itu kembali menetes.
            Aku merebut foto-foto dan benda-benda lain yang berhubungan dengan Nata dan melemparnya ke seluruh ruangan sehingga membuat seluruh kamarku berantakkan. Aka hanya bisa menatapku dengan tatapan kaget dan penuh penyesalan. Ia mencoba meminta maaf padaku, tetapi sepertinya moodku sedang sangat buruk dan justru mengusirnya. Kedua mata Aka tampak sangat terluka dan itu membuatku enggan untuk menatapnya dan semakin keras untuk mengusirnya. Sampai-sampai Uti dan Akung datang dan memelukku untuk menenangkanku. Aku menangis tersedu-sedu sampai aku tak bisa melihat pangkal dari tangisanku. Aku hanya merasa sangat kacau. Dan perasaan itu membuatku tak terkendali. Aku benci keadaanku yang seperti ini. Ini semua karena orang itu yang bisa-bisanya muncul kembali dan membuat aku kacau untuk sekali lagi.
            Nduk, kamu ini kenapa lha kok nangis kayak gitu?” tanya Akung sesaat setelah tangisku mereda.
            “Nggak apa-apa Akung, tadi Vanya Cuma kesel aja sama Aka,”
            “Udah, minum teh anget ini dulu terus istirahat ya nduk,”Uti datang membawakanku secangkir teh hangat.
            Aku meminumnya sedikit lalu meletakkannya di atas mejaku. “Terimakasih, Uti, Akung,” kataku tulus.
            “Oh iya, tadi Aka memberikan Uti kresek belanjaanmu sama ini keju cedar yang katanya tadi dibawain sama temen kamu yang satunya,” kata Uti lagi.
            Aku hanya melirik sekilas kresek putih berlogokan supermarket yang kukunjungi tadi dan sebuah keju cedar yang tadi dibawa Nata. Dan tentu saja, yang dimaksud Uti dengan temanku yang lain itu adalah Nata. Itu berarti Aka sudah bertemu dengan Nata. Pikiranku kembali melayang ke mana-mana. sampai akhirnya Uti dan Akung menyuruhku untuk tidur saja. Aku mengiyakan walaupun aku tahu aku tidak akan bisa tidur. bagaimana bisa aku tertidur sedangkan Nata membayangiku sangat kuat bahkan lebih kuat dari hantu dan Aka yang telah kulukai. Lagi-lagi cairan bening yang hangat itu turun mengikuti gravitasi. Barulah aku sadar betapa perihnya lututku yang ternyata mengeluarkan cukup banyak darah. Aku memutuskan untuk mengobatinya sejenak lalu kembali ke kamar. Aku yang tak mampu memejamkan mata memilih untuk menyelesaikan album foto itu semampuku. Setidaknya membuatku mengerjakan sesuatu dan tidak hanya berbaring di tempat tidur untuk membasahi bantal dengan air mata dan ingusku.
###
            Langit nampak indah dengan warna jingga keunguan di ufuk barat. Pertanda bahwa matahari sedang mengucapkan selamat tinggal sementara. Bahwa sang dewa cahaya itu akan pergi untuk menerangi belahan bumi bagian lain dan baru akan kembali menerangi tempat ini lagi, kurang lebih dua belas jam lagi.
Tiba-tiba saja ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu saat bertemu dengan Nata dan mendapati Aka tengah membuka kotak pink “harta karun” ku. Semuanya terasa sangat buruk hari ini. Bahkan bunga mawar yang baru saja mekar di halaman depan terasa sangat menyedihkan di mataku saat ini.
            Aku menghembuskan napas berat seraya kembali mengumpulkan foto-foto dan benda-benda yang berhubungan dengan Nata. Kupandangi sekali lagi foto-foto itu. Foto-foto itu membuatku sadar akan sesuatu: bahwa aku tak pernah benar-benar berhenti menginginkannya untuk kembali. Bahwa aku tak benar-benar telah melupakan orang itu beserta kenangan yang telah terukir indah dan mempunyai ruang tersendiri di hatiku. Selama ini Nata tak benar-benar telah menghilang dari otak dan hatiku, hanya saja perasaan itu terselip di antara tawaku bersama Aka. Itu saja.
            Nduk, itu ada temenmu yang datang,” kata Uti sambil mengusap rambutku yang sudah mulai memanjang.
            “Siapa, Uti?” tanyaku.
            “Uti ndak tahu namanya, Uti baru sekali lihat. Oh, itu nduk! Yang ada di fotomu itu, lha ya itu orangnya,”
            Hatiku mencelos.
            Nata. Mau apa dia kemari?