Menemukan yang Sudah Tak Dicari
Sudah berpuluh-puluh menit aku melangkahkan kakiku ke sana ke mari dari
satu toko kt toko lain yang ada di mall ini. Kalau saja Aka tidak menemaniku,
ini akan menjadi jalan-jalan yang paling membosankan dan membingungkan. Bagaimana
tidak? Mencari hadiah untuk ulang tahun pernikahan Akung dan Uti itu lebih
membingungkan daripada memecahkan soal Logaritma dan semacamnya.
“Udah kubilang, boneka Teddy Bear
aja. Gampang kan?” usul Aka. Entah sudah berapa kali ia mengusulkan ide bodoh
itu dan entah sudah berapa kali aku menolaknya.
“Aka,” aku menatap Aka penuh rasa
jengkel. “Masa iya ulang tahun pernikahan Akung dan Uti yang ke-40 mau dikasih
boneka Teddy Bear?!”
Tanpa kuduga, Aka justru membulatkan
matanya. Aku tak tahu apakah ia benar-benar kaget atau hanya berpura-pura
kaget. “40 tahun? Kalau gitu, jangan Teddy Bear. Itu lustrum. Harus dikasih
hadiah special!” kata Aka dengan nada seorang presiden yang akan membangun
perusahaan nuklir untuk negaranya. Dan sekarang aku tahu bahwa Aka hanya
berpura-pura bersemangat—hanya untuk menggodaku.
Aku memutar kedua bola mataku dan
melengos pergi dan memilih untuk memasuki salah satu toko DVD yang sepi. Aku
berkeliling dengan langkah pelan. membaca tulisan-tulisan yang ditempel di
depan rak. Tulisan-tulisan itu menginformasikan tentang jenis music apa yang
berderet di belakangnya. Ada rak yang semuanya adalah album band-band local
yang beraliran pop, album boys band dan girls band yang begitu banyak seperti
jamur yang tumbuh lebat di musim hujan, dan ada juga album-album milik musisi
internasional yang taka sing lagi di telinga. Di rak yang terletak paling pojok
bertuliskan ‘Musik Keroncong’ menarik perhatianku. Akung dan Uti sering
mendengarkan music keroncong jika tak ada hal lain yang ingin mereka kerjakan.
Sayangnya aku tak mengerti mana yang harus aku pilih, sedangkan tahu tentang
music keroncong pun tidak. Lagi-lagi aku melengos kecewa. Lalu aku memutuskan
untuk keluar.
Saat aku berbalik, tiba-tiba saja
Aka sudah berdiri di hadapanku. Membuatku sedikit terkejut. “Udah dapetin
kadonya?” tanyanya.
“Aku menghela napas pelan, “Belum,”
jawabku, lalu beranjak dari toko yang penuh dengan rak berisikan DVD dan VCD
itu.
“Udahlah, kita makan dulu ya? Udah
siang juga,”
“Tapi aku belum dapetin kado buat
Akung sama Uti, Ka!” kataku jengkel. Entahlah, akhir-akhir ini aku memang
sensitif.
“Iya, Vanya. Habis makan baru lanjut
cari. Sampe mallnya tutup aku tetep nemenin. Tapi makan dulu, ya?” rayu Aka.
Sejak dua minggu yang lalu, saat
pensi sekolah malam itu, Aka memang lebih sabar menghadapi aku yang—harus
kuakui—kadang-kadang memang kekanak-kanakkan. Entah apa yang terjadi pada Aka,
yang jelas aku bersyukur kesalahpahaman malam itu dapat terselesaikan dan Aka
menjadi lebih pengertian terhadapku. Sebenarnya aku merasa sedikit curiga
dengan Janet yang malam itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku saat aku duduk
di café sendirian untuk melepas kekesalanku pada Aka. Malam itu, aku berbicara
panjang lebar bersama Janet yang ternyata datang ke Indonesia bersama HyungJun.
Sampai pada akhirnya Aka datang menyusulku. Aku juga tak tahu bagaimana ia bisa
tahu aku sedang di café itu. Yang jelas, malam itu, Aka juga ikut
berbincang-bincang dengan Janet dan HyungJun setelah aku mengenalkan mereka
padanya. Dan saat berada di tempat parkir café, sebelum kita berpisah, aku
sempat mengobrol soal Nata bersama HyungJun dan Janet membicarakan sesuatu—yang
entah apa itu, bersama Aka.
“Jadi mau makan di mana?” tanyanya
memudarkan lamunanku yang singkat.
“Terserah kamu aja,” kataku pada
akhirnya yang berarti menyetujui ajakan Aka untuk makan.
Aka mengajakku di lantai paling atas
dimana ada sebuah foodcourt yang selalu ramai memamerkan menunya. Aku memilih
tempat duduk paling luar dan Aka memesan makanan untuknya dan untukku setelah
aku tidak berhasil meyakinkan Aka bahwa aku hanya butuh segelas jus alpukat.
Lalu Aka membiarkanku menunggu sejenak.
“Kamu pesen apa?” tanyaku pada Aka
yang baru saja meletakkan pantatnya di kursi.
“Spaghetti
bolognaise,” jawab Aka. “dan harus habis,”tambah Aka sambil tersenyum.
Baru saja aku hendak protes atas
ucapan Aka barusan, dua piring spaghetti
dan dua lemontea datang dan memenuhi
meja kecil di hadapanku dan Aka. Aku menarik niatku untuk protes karena
tiba-tiba saja sepiring spaghetti
dengan porsi pas itu tampak sangat menggoda dimataku sekarang. Segera kuambil
garpu yang disediakan dan melahap spaghetti
itu dengan penuh semangat. Rasanya aku juga sudah membuang gengsiku jauh-jauh
karena saat ini Aka tengah melihatku melahap spaghetti-ku dengan penuh antusias dengan ekspresi yang sepertinya-tadi-ada-yang-bilang-tidak-mau-makan.
Aku tidak peduli.
“Mau tambah spaghetti bolognaise-nya, Nona?” goda Aka.
“Nggak lah, Nat,”
“Nat?” tanya Aka dengan kedua alis
terangkat.
Astaga! Betapa bodohnya aku bisa mengucap nama orang itu lagi! Di depan
Aka pula! Bodoh! Kata ‘Nona’ itu memang selalu berhasil memancing ingatanku
tentang Nata.
“hmm… Nanti maksudku. Tadi aku belum kelar ngomong,”aku memaksakan untuk
tertawa agar Aka tak curiga lagi. “Oh ya, Ka, malem itu, waktu ketemu Janet dan
HyungJun kamu ngobrol apa aja sama Janet?” aku berusaha membelokkan obrolan.
“Kamu tahulah pasti. Waktu itu kan kamu duduk di sebelahku,”jawab Aka
sebelum menenggak habis lemontea-nya.
“Bukan waktu di dalem café, tapi di parkiran,”
Aku sedikit menangkap ekspresi gusar di wajah Aka yang kemudian berhasil
di buang oleh Aka. “Oh itu, soal Nata,”
Mataku tak bisa berkompromi dengan otakku karena saat ini kedua bola
mataku seperti hendak meloncat dari lubangnya saking terkejutnya aku. “Na…
Nata?” kataku masih tak percaya.
“Tapi itu nggak penting-penting amat kok, aku Cuma tanya soal Nata
sedikit. Oh iya, ayo cari kado untuk Akung dan Utimu! Keburu sore, yuk!” Nata
mulai berdiri dan aku pun mengikutinya. Aku tahu, Aka mengalihkan pembicaraan
ini. Bahkan aku yakin Aka tahu bahwa aku berbohong soal ‘Nat’ tadi. Oh, lagi
pula siapa yang percaya dengan alibi murahanku tadi?
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang Aka dan Janet omongkan
malam itu. jika benar soal Nata, apa yang diinginkan Aka dari obrolan soal Nata
itu? tetapi aku tidak mungkin bertanya secara langsung kepada Aka karena itu
akan menjadi ide yang sangat buruk. Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan
mulai berpikir lagi apa yang harus aku berikan kepada Akung dan Uti di
ulangtahun pernikahan mereka.
“Gini aja,”lagi-lagi Aka membuyarkan lamunan singkatku. “Gimana kalau
benda yang mau kamu kasih ke mereka itu adalah buatan tanganmu sendiri. Pasti
lebih berkesan,” lanjut aka.
Oke, aku akui kali ini ide Aka tidak buruk. Bagus malah! Bukankan jika
hadiah itu dibuat sendiri akan lebih puas dan lebih bangga ketika memberikannya
kepada orang lain ketimbang membeli? Tentu saja. Tapi yang menjadi masalah kali
ini adalah: apa yang harus aku buat sebagai hadiah ulangtahun pernikahan Akung
dan Uti yang ke-40?
“Tapi bikin apa?” tanyaku lemas. Padahal beberapa detik yang lalu baru
saja aku semangat.
“Apa aja. Mereka akan menghargai apapun pemberianmu, Vanya,” Aka
tersenyum. Kalau sedang begitu dia terdengar seperti kakakku saja.
Aku berpikir sejenak sambil
memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di mall ini. Dan aku rasa satu ide
telah berhenti sejenak di kepalaku dan memotivasiku untuk menggerakkan mulutku
dan memberitahukan ide itu pada Aka, cowok yang penuh dengan kesabaran
sekaligus pacarku ini.
“Gimana kalau album foto?” kataku
dengan cengiran lebar seolah-olah tidak ada ide yang lebih menarik dari itu.
Aka tampak berpikir sejenak,”isinya
foto apa?”
“Isinya nanti aku kasih foto Akung
sama Uti dulu waktu kakak pertamaku lahir sampe foto mereka yang sekarang.
Terus nanti juga ada fotoku sama kakak-kakakku, gimana?”
“Bagus! Nah sekarang kita cari
bahannya aja dan cepet-cepet bikin. Ulangtahunnya lusa kan?”
Aku mengangguk penuh semangat. Aku
akan membuat suatu karya, sebentar lagi. Sebentar
lagi.
###
“Ini ada kue bikinan Uti, dimakan lho ya,”kata Uti yang membawa sepiring
kue brownis dan dua gelas sirup jeruk. Belum sampai masuk ke kamarku, aku sudah
menghadang Uti di depan pintu kamarku agar tidak tahu tentang hadiah yang
kubuat bersama Aka itu.
“Sini Vanya bantuin, Uti. Nah, uti bisa nyiramin tanaman lagi, hehe…”
Uti melihat kamarku sebentar lalu
tersenyum pada Aka. “Pintunya dibuka gini terus ya, ndak boleh ditutup lho.
Kalian ndak ngapa-ngapain to?” tanya Uti penuh selidik.
“Ya ampun, Uti. Vanya anak baik kok
Uti, Vanya sama Aka nggak ngapa-ngapain,” kataku meyakinkan.
“Ya sudah, Uti ke depan dulu ya. Dimakan
itu kuenya,” Uti tersenyum pada Aka lagi dan berjalan menuju halaman depan
untuk membantu Akung menyirami tanaman.
Aku kembali duduk di sebelah Aka dan
meletakkan makanan dan minuman di atas meja belajarku. Lalu aku kembali
membantu membuat album foto dengan menempel foto-foto yang ada di album
buatanku dan Aka.
“Yaaah, selotipnya habis! Bentar ya
aku cari dulu,” aku membuka semua laciku tetapi tidak ada selotip maupun lem di
sana.
“Nggak ada, Ka. Aku pergi dulu ya,
mau beli selotip. Oh sama keju deh, brownisnya ga menarik banget kalo nggak ada
kejunya. Hehe…”
“Mau aku anterin?” tawar Aka penuh
sayang.
“Nggak usah,” aku tersenyum lalu
pergi ke sebuah supermarket yang hanya beberapa ratus meter dari rumah, salah
satu keuntunganku tinggal di sini.
Aku memasuki supermarket itu dan
langsung menuju rak tempat keju cedar biasanya ditata. Aku mengambil
satu-satunya keju cedar yang ada di rak itu, dan ternyata tangan seseorang juga
hendak mengambilnya. Aku segera melepaskan keju itu, “Oh silakan diambil,”
kataku. Aku rasa orang itu sempat berterimakasih padaku. Aku pun langsung pergi
ke rak tepung karena sebelum aku pergi Uti memintaku untuk membelikannya
seplastik besar tepung terigu. Kuambil satu plastic tepung terigu lalu segera
beralih. Ketika aku kesulitan menemukan selotip, aku bertanya kepada salah satu
pegawai di supermarket itu dan pegawai itu membawaku ke tempat selotip ditata
sedemikian rapi bersama beberapa alat tulis lainnya.
Saat tanganku hendak meraih selotip
bening itu, tanganku dihentikan oleh tangan seseorang yang rupanya adalah
tangan yang sama dengan pemegang keju ceddar tadi.
“Ini, Nona. Untukmu saja,” orang itu menyodorkan kotak persegi panjang
yang tidak terlalu besar yang ternyata adalah keju ceddar.
Aku mendongak ke pemilik tangan itu. sosok itu adalah seorang laki-laki
dengan postur tubuh yang tinggi. Jauh lebih tinggi dariku. Sayangnya, mataku
tidak membohongiku karena saat ini yang berdiri tepat di depanku dan tengah
menyodorkan keju cedar itu adalah orang yang sangat kukenali. Orang yang
kucari. Dulu…
“Hai, Nona Vanya?” sapa Kanata Anggara Wiguna.
Tubuhku seperti dibekukan saat itu juga, kerongkonganku terasa kering
dan perih. Tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Rasanya seperti ada sesuatu
yang memeras perutku dan membuat jantung yang ada di dadaku meloncat-loncat tak
terkendali. Lidahku terasa kelu dan tak tahu harus bicara apa. Aku juga tak
tahu harus bagaimana. Aku hanya seperti patung yang bermimik kaget. Tapi aku
punya satu keinginan pasti: menghilang dari hadapan orang itu dan dari tempat
ini.
Beberapa detik kemudian, aku tahu, tubuhku tak lagi lumpuh. Segera saja
aku menuju kasir yang sepi dan membayar tepung serta selotip itu dan
cepat-cepat keluar dari supermarket itu. Dan tentu saja, seharusnya aku tahu
kalau Nata akan mengikutiku.
“Vanya, tunggu!”
Orang itu memintaku untuk berhenti tetapi aku justru terus berjalan.
Orang itu berlari dan aku juga berlari. Aku berlari semakin cepat sampai aku
tidak menyadari ada lubang di jalan itu yang membuatku terjatuh menghantam
aspal. Aku meringis kesakitan dan mencoba bangun kembali dan berlari lagi. Aku
tahu lututku terluka tapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin pergi
meninggalkan orang itu. orang yang dulu menjadi alasanku untuk mengorbankan
sekolahku di London. Orang yang seharusnya sekarang membuatku tertawa bahagia
karena telah menemukannya dan bukannya berlari menjauh seolah-olah orang itu
akan menerkamku sewaktu-waktu. Tetapi sepertinya memang begitulah kenyataannya.
Orang itu bisa melukai hatiku sewaktu-waktu—bahkan sekarang sudah begitu.
Aku baru sadar bahwa cairan bening
yang hangat mulai menetes dari kedua mataku. Aku mencoba menyeka airmataku
sendiri dengan punggung tanganku seraya kakiku terus berlari menuju rumah.
Begitu sampai di rumah, aku segera masuk ke kamarku yang pintunya terbuka
lebar. Saat aku masuk, aku menemukan Aka yang tengah mengeluarkan seisi kotak
pink milikku yang beberapa bulan yang lalu kutaruh di bawah tempat tidurku.
Astaga! Apa lagi sekarang? Mengapa semuanya semakin memburuk?
“Aka, kamu ngapain?!” tanyaku masih
dengan wajah yang sembab. Bahkan air mata itu kembali menetes.
Aku merebut foto-foto dan
benda-benda lain yang berhubungan dengan Nata dan melemparnya ke seluruh
ruangan sehingga membuat seluruh kamarku berantakkan. Aka hanya bisa menatapku
dengan tatapan kaget dan penuh penyesalan. Ia mencoba meminta maaf padaku,
tetapi sepertinya moodku sedang
sangat buruk dan justru mengusirnya. Kedua mata Aka tampak sangat terluka dan
itu membuatku enggan untuk menatapnya dan semakin keras untuk mengusirnya.
Sampai-sampai Uti dan Akung datang dan memelukku untuk menenangkanku. Aku
menangis tersedu-sedu sampai aku tak bisa melihat pangkal dari tangisanku. Aku
hanya merasa sangat kacau. Dan perasaan itu membuatku tak terkendali. Aku benci
keadaanku yang seperti ini. Ini semua karena orang itu yang bisa-bisanya muncul
kembali dan membuat aku kacau untuk sekali lagi.
“Nduk,
kamu ini kenapa lha kok nangis kayak gitu?” tanya Akung sesaat setelah tangisku
mereda.
“Nggak apa-apa Akung, tadi Vanya Cuma
kesel aja sama Aka,”
“Udah, minum teh anget ini dulu
terus istirahat ya nduk,”Uti datang
membawakanku secangkir teh hangat.
Aku meminumnya sedikit lalu
meletakkannya di atas mejaku. “Terimakasih, Uti, Akung,” kataku tulus.
“Oh iya, tadi Aka memberikan Uti
kresek belanjaanmu sama ini keju cedar yang katanya tadi dibawain sama temen
kamu yang satunya,” kata Uti lagi.
Aku hanya melirik sekilas kresek
putih berlogokan supermarket yang kukunjungi tadi dan sebuah keju cedar yang
tadi dibawa Nata. Dan tentu saja, yang dimaksud Uti dengan temanku yang lain
itu adalah Nata. Itu berarti Aka sudah bertemu dengan Nata. Pikiranku kembali
melayang ke mana-mana. sampai akhirnya Uti dan Akung menyuruhku untuk tidur
saja. Aku mengiyakan walaupun aku tahu aku tidak akan bisa tidur. bagaimana
bisa aku tertidur sedangkan Nata membayangiku sangat kuat bahkan lebih kuat dari
hantu dan Aka yang telah kulukai. Lagi-lagi cairan bening yang hangat itu turun
mengikuti gravitasi. Barulah aku sadar betapa perihnya lututku yang ternyata
mengeluarkan cukup banyak darah. Aku memutuskan untuk mengobatinya sejenak lalu
kembali ke kamar. Aku yang tak mampu memejamkan mata memilih untuk
menyelesaikan album foto itu semampuku. Setidaknya membuatku mengerjakan
sesuatu dan tidak hanya berbaring di tempat tidur untuk membasahi bantal dengan
air mata dan ingusku.
###
Langit nampak indah dengan warna
jingga keunguan di ufuk barat. Pertanda bahwa matahari sedang mengucapkan
selamat tinggal sementara. Bahwa sang dewa cahaya itu akan pergi untuk
menerangi belahan bumi bagian lain dan baru akan kembali menerangi tempat ini
lagi, kurang lebih dua belas jam lagi.
Tiba-tiba saja ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu saat bertemu
dengan Nata dan mendapati Aka tengah membuka kotak pink “harta karun” ku.
Semuanya terasa sangat buruk hari ini. Bahkan bunga mawar yang baru saja mekar
di halaman depan terasa sangat menyedihkan di mataku saat ini.
Aku menghembuskan napas berat seraya
kembali mengumpulkan foto-foto dan benda-benda yang berhubungan dengan Nata.
Kupandangi sekali lagi foto-foto itu. Foto-foto itu membuatku sadar akan
sesuatu: bahwa aku tak pernah benar-benar berhenti menginginkannya untuk
kembali. Bahwa aku tak benar-benar telah melupakan orang itu beserta kenangan
yang telah terukir indah dan mempunyai ruang tersendiri di hatiku. Selama ini
Nata tak benar-benar telah menghilang dari otak dan hatiku, hanya saja perasaan
itu terselip di antara tawaku bersama Aka. Itu saja.
“Nduk,
itu ada temenmu yang datang,” kata Uti sambil mengusap rambutku yang sudah
mulai memanjang.
“Siapa, Uti?” tanyaku.
“Uti ndak tahu namanya, Uti baru
sekali lihat. Oh, itu nduk! Yang ada
di fotomu itu, lha ya itu orangnya,”
Hatiku mencelos.
Nata. Mau apa dia kemari?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar