Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Minggu, 13 Januari 2013

TSMJ #12 (By Kanata)



Makna Sebuah Pertemuan

Aku tak tahu mana yang lebih bodoh; fakta bahwa aku sedang duduk di kursi rotan di ruang tamu sebuah rumah yang bergaya arsitektur abad ke-17, disuguhi penganan seperti bola-bola berwarna coklat dan secangkir besar teh hangat,  dan ditemani kesunyian karena pria tua yang kuduga kakeknya Vanya memilih menyibukkan diri dengan menghisap tembakau dari pipa kunonya sambil melihat jendela dibanding dengan mengajakku bicara; atau fakta lain bahwa ini hari ketiga aku melakukan ritual ini. Dan Vanya masih menolak menemuiku.
            “Katanya Vanya masih belum siap buat ketemu.” Ucap wanita tua yang mengenalkan dirinya sebagai Uti Vanya. “Bukannya Uti tak mengerti perasaan Nak Nata, tapi tahu sendiri kalau gadis muda sudah merajuk susah sekali dibujuknya.”
            Sama seperti hari-hari sebelumnya, yang kulakukan hanyalah diam mendengarkan sambil memegang erat bungkusan yang belum berhasil aku serahkan langsung pada Vanya.
            “Bagaimana kabar sekolahnya?” Aku tak tahu apakah Uti sengaja atau tidak. Yang jelas setiap kali datang selalu pertanyaan-pertanyaannya diulang.
            “Baik. Sekarang saya kelas tiga. Betul.  Ujian sekitar bulan Maret. Rencananya mau ngelanjutin ke ITB. Iya, saya pernah ketemu Kak Revo disana. Nanti saya sampaikan salamnya jika ketemu lagi. Biasa aja, Vanya suka melebih-lebihkan.” Jawabku dalam hati karena aku tahu urutan pertanyaannya pastilah:
            “Sekarang kelas berapa? Oh ya? UN bulan apa? Mau lanjut kuliah kemana? Revo, kakaknya Vanya juga kuliah disana loh. Salam ya buat Revo?! Jangan nakal-nakal di kampung orang!”
            Tiga bulan berlalu sejak pertemuan tak sengajaku dengan Janet dan Hyungjun. Butuh hanpir 100 hari bagiku mengumpulkan keberanian untuk menemui Vanya seperti yang mereka anjurkan. Hari-hari yang penuh kebimbangan.
            Sejujurnya aku amat ingin menemui Vanya lagi. Namun aku juga sangat takut akan apa yang terjadi ketika pertemuan tersebut benar-benar terjadi. Seminggu yang kulakukan semenjak tiba di Jogja adalah memandangi rumah ini dari kejauhan, merasa ragu hendak melangkah atau tidak.
            Sampai akhirnya pertemuan yang cukup tak disengaja itu pun terjadi. Aku yang sedang berbelanja cemilan sebagai bekal duduk dan melamun di taman seberang rumah Vanya harus bertemu dengannnya di sana.
            Entah dorongan dari mana, alih-alih lari dan bersembunyi aku malah menampakkan diri di hadapannya. Diluar dugaan ternyata Vanya merasa jauh lebih kaget terhadap pertemuan tersebut dibanding diriku. Dia lari, terluka, dan mengurung diri di kamar.
            Tiga sore aku datang. Tiga sore pula aku hanya ditemani Akung dan Uti.
            Seakan keadaan tak bisa bertambah rumit, terdengar suara kendaraan berhenti depan rumah, dilanjutkan dengan suara pagar terbuka, kemudian suara salam. Sosok cowok tinggi berbadan atletis dengan kulit yang terlalu banyak terjemur sinar matahari muncul dari pintu ruang tamu. Senyum di bibirnya seketika berubah menjadi  kerutan di dahinya.
            “Aih, Aka pikir tidak ada tamu?!” jelas itu pernyataan basa-basi karena bagaimanapun kami sempat bertemu sekilas ketika dirinya keluar dari lorong yang kutahu mengarah ke kamar Vanya dengan tergesa-gesa seperti pencuri yang tertangkap basah.
            “Aka, kenalkan. Ini Kanata. Temen Vanya juga.” Jelas Uti.
            Kami berjabat tangan dengan sopan. Aku catat baik-baik kalimat beliau.
            “Juga.”
            Artinya posisi aku maupun Aka adalah teman Vanya. Tak lebih.
            Aka duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Kesunyian mengisi udara selama beberapa menit.
            Akung berdiri sambil berdehem pada Uti. Mereka berpandangan. Akung mengangguk. Uti tersenyum paham.
            “Sepertinya Uti harus meninggalkan kalian mengobrol berdua. Katanya Akung pengen dipijit sama Uti.” Ucapnya sambil tersenyum yang tak bisa kutangkap maknanya. “Maklum sudah tua. Jadi perlu banyak perawatan.”
            “Kalian ngobrolah dengan tenang.” Ucap Akung dengan suaranya yang khas.
            Kesunyian kembali tercipta. Aku menunggu. Dia juga menunggu.
            “Saya dengar Kanata DULU dekat dengan Vanya.”
            “Saya dengar juga bahwa SEKARANG Vanya dekat dengan Chakra.” Jawabku segera.
            Cukup aneh sebetulnya menggunakan kata Saya untuk diri sendiri dan menyebutkan nama jelas dari lawan bicara.
            “Panggil Aka aja. Gua biasa dipanggil kayak gitu.” Ujarnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku merasa ini adalah sebuah perang batin antara kami berdua. “Bisa dibilang saat ini gua cowoknya Vanya.”
            Jika saja aku sedang meneguk air tentunya air tersebut akan menyembur keluar. Suatu pernyataan yang terlalu blak-blakkan menurutku.
            “Saya dan Vanya dulu deket karena sama-sama berasal dari Indonesia.” Aku tak ingin kalah dalam adu mental ini. Segurat warna merah muncul di tenguknya ketika aku jelas-jelas tak terprovokasi dan tetap menggunakan kata ganti Saya.
            “Tak terhitung banyaknya waktu yang kami habiskan bersama dalam dua tahun tersebut. Sangat menyenangkan.” Kali ini telingannya ikut memerah.
            “Gua juga denger sudah lebih dari dua tahun ini kalian sama sekali gak menjalin kontak.” Entah memang sudah wataknya yang angkuh atau ini hanya sekedar metode pertahanan dirinya yang ingin melindungi Vanya, aku tak tahu pasti. Yang jelas sepertinya bukan pembicaraan ringan semacam cuaca atau sebagainya yang akan kami bahas saat ini.
            “Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun ini.” Ucapku dengan suara setenang mungkin.
            “Oh ya? Gua pengen denger dong semuanya!”
Ya Tuhan, aku sudah terlalu lelah untuk menghadapi ini. Seluruh daya upayaku sudah aku pakai untuk melakukan perjalanan ke Jogja. Apakah masih harus ditambahkan dengan menghadapi “pacar” Vanya yang disebut Uti sebagai “teman”, sama sepertiku?
“Saya merasa tak berkewajiban untuk melakukannya.” Melihat situasi yang ada, aku memilih untuk menghindari konflik. “Saya pamit. Besok kesini lagi.”
Tanpa menunggu persetujuannya aku bangkit dan berjalan pulang ke penginapan.
Aku berjanji akan terus datang hingga Vanya mau menemuiku. Aku tak mungkin pulang ke Bandung dengan sebuah cerita yang menggantung.
#
Malam telah amat larut. Hanya suara derum motor yang sesekali melintas yang menjadi pengisi kesunyian. Mataku sangat sulit untuk diajak terpejam. Pikiranku melantur kemana-mana sementara kedua tangaku memainkan sebuah purwarupa dari tongkat sihir merah jambu yang telah digambar Vanya.
Jika Vanya dapat membanggakan kemampuannya dalam menggambar, maka aku bisa dikatakan ahli dalam membuat prakarya. Gambar dua dimensi Vanya aku wujudkan dalam bentuk tiga dimensi. Kayu Akasia yang aku ukir secara hati-hati dengan tingkat presisi yang tak kalah teliti. Panjangnya berkali-kali aku ukur untuk memastikan agar tepat seperti yang diminta olehnya. Karena pada dasarnya kayu akasia berwarna kecoklatan, maka aku terpaksa merendamnya selama berhari-hari dalam cat kayu berwarna merah jambu.
Kupikir karya seniku cukup sempurna kecuali satu pertanyaan besar, bagaimana caranya Mr. Olivander memasukan inti tongkat ke dalam kayunya? Apakah dibutuhkan sebuah sihir sungguhan agar nadi naga dan sebagainya bisa berada di tengah tongkat tanpa merusak kayunya?
Menyadari aku hanya seorang Muggle (begitu sang Penulis memberi istilah bagi rakyat non-sihir) maka aku menggunakan metode yang paling masuk akal untuk memasukan bulu burung merak ke dalam tongkat buatanku: Melubanginya.
Butuh 5 hari untuk membuat lubang mungil yang sejajar dengan kayu yang aku ukir. Sebuah pekerjaan yang sangat melelehkan dan membutuhkan ketelitian tinggi karena penyimpangan satu mili saja bisa berakibat lubangnya keburu keluar sebelum mencapai ujung.
Pekerjaan yang tak kalah membutuhkan kesabaran adalah memasukan bulu burung tersebut ke dalam. Jika aku terburu-buru melakukannya akan mengakibatkan bulu tersebut rontok dan kehilangan sisi magisnya.
Namun semua usaha yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh tentunya akan membuahkan hasil yang maksimal. Sejujurnya aku sangat puas dengan hasil karyaku ini. Semoga Vanya bisa merasakan aura kesungguhan menguar dari tongkat impiannya ini.
Namun yang jadi pertanyaan adalah jika dirinya tak mau menemuiku, bagaimana caranya Vanya bisa merasakan momen magisnya?
Meski tak benar-benar menginginkannya, aku tertidur dengan pertanyaan yang saling menumpuk.
#
Aku bangun dengan perasaan sungguh tak karuan. Rencana awalnya adalah pada hari ini aku sudah berada di Bandung karena libur semesteran sudah berakhir. Sebelum bangkit dari tempat tidur aku berkali-kali merapal kalimat yang sama.
“Jika hari ini masih gagal, aku pulang dan merelakan semuanya.”
Dengan waktu yang cukup lama berada di Jogja, sebagian besar objek wisata yang sekiranya tak membutuhkan biaya besar telah aku kunjungi. Yang artinya Borobudur dan Prambanan tak jadi aku kunjungi karena kudengar tiket masuknya saja 75 ribu rupiah. Sungguh biaya yang terlalu banyak buatku.
Kuputuskan untuk berada di penginapan  seharian. Menyiapkan energi untuk menghadapi sore hari sambil mengepak barang. Menyingkirkan hasrat untuk datang ke sekolah Vanya dan mengamati kegiatannya seperti stalker yang sering aku lihat di televisi.
#
Ponselku berdering dari kamar sementara aku sedang mengobrol dengan Mas Pano, penjaga penginapan, di front office. Setengah malas aku menuju kamar. Pasti dari Diane lagi. hampir setengah jam sekali dia bertanya kapan aku pulang sambil memastikan bahwa semua barang titipan dia telah aku beli.
Alih-alih nama Diane yang muncul, sederet nomor yang tak kukenal menghiasi layar ponsel.
“Halo? Nata?”
Deg!
Suara Vanya terdengar di ujung sambungan.
“Vanya?” Ucapku meski dugaanku tak mungkin keliru.
“Iya, Nat.” Balasnya datar. “Kita bisa ketemu di Benteng Vredeburg jam satu?”
“Tentu.” Jawabku spontan.
“Aku tunggu ya?!”
Klek.
Sambungan terputus.
Setelah berhasil mnegatasi kekagetan aku lalu melihat jam. 10 menit lagi menuju waktu janjian. Tanpa banyak mempersiapkan diri aku segera pergi karena bagaimanapun Benteng tersebut letaknya lumayan jauh dari penginapan.
#
Sosok berseragamnya berdiri di pintu masuk Benteng. Masih ada jarak 20 meter diantara kami. Vanya berusaha tersenyum seramah mungkin saat aku berjalan mendekat. Namun bertahun-tahun aku kenal Vanya,  jenis senyum tersebut bukanlah yang masuk kategori baik-baik saja. Ada sesuatu yang telah terjadi. Aku tahu pasti.
Saat jarak yang tercipta hanya 2 meter tiba-tiba saja Vanya berlari dan memelukku sebelum akhirnya terisak.
“Kamu jahat!” Ucapnya lirih.
Aku membelai rambutnya, menikmati aroma tubuhnya, merasakan berat badannya.
It’s just like years ago, but without hope and happiness....
Sungguh, bukan seperti ini pertemuan kami dalam bayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar