Makna Sebuah Pertemuan
Aku tak tahu
mana yang lebih bodoh; fakta bahwa aku sedang duduk di kursi rotan di ruang
tamu sebuah rumah yang bergaya arsitektur abad ke-17, disuguhi penganan seperti
bola-bola berwarna coklat dan secangkir besar teh hangat, dan ditemani kesunyian karena pria tua yang
kuduga kakeknya Vanya memilih menyibukkan diri dengan menghisap tembakau dari
pipa kunonya sambil melihat jendela dibanding dengan mengajakku bicara; atau
fakta lain bahwa ini hari ketiga aku melakukan ritual ini. Dan Vanya masih
menolak menemuiku.
“Katanya
Vanya masih belum siap buat ketemu.” Ucap wanita tua yang mengenalkan dirinya
sebagai Uti Vanya. “Bukannya Uti tak mengerti perasaan Nak Nata, tapi tahu
sendiri kalau gadis muda sudah merajuk susah sekali dibujuknya.”
Sama
seperti hari-hari sebelumnya, yang kulakukan hanyalah diam mendengarkan sambil
memegang erat bungkusan yang belum berhasil aku serahkan langsung pada Vanya.
“Bagaimana
kabar sekolahnya?” Aku tak tahu apakah Uti sengaja atau tidak. Yang jelas setiap
kali datang selalu pertanyaan-pertanyaannya diulang.
“Baik.
Sekarang saya kelas tiga. Betul. Ujian
sekitar bulan Maret. Rencananya mau ngelanjutin ke ITB. Iya, saya pernah ketemu
Kak Revo disana. Nanti saya sampaikan salamnya jika ketemu lagi. Biasa aja,
Vanya suka melebih-lebihkan.” Jawabku dalam hati karena aku tahu urutan
pertanyaannya pastilah:
“Sekarang
kelas berapa? Oh ya? UN bulan apa? Mau lanjut kuliah kemana? Revo, kakaknya
Vanya juga kuliah disana loh. Salam ya buat Revo?! Jangan nakal-nakal di
kampung orang!”
Tiga
bulan berlalu sejak pertemuan tak sengajaku dengan Janet dan Hyungjun. Butuh
hanpir 100 hari bagiku mengumpulkan keberanian untuk menemui Vanya seperti yang
mereka anjurkan. Hari-hari yang penuh kebimbangan.
Sejujurnya
aku amat ingin menemui Vanya lagi. Namun aku juga sangat takut akan apa yang
terjadi ketika pertemuan tersebut benar-benar terjadi. Seminggu yang kulakukan
semenjak tiba di Jogja adalah memandangi rumah ini dari kejauhan, merasa ragu
hendak melangkah atau tidak.
Sampai
akhirnya pertemuan yang cukup tak disengaja itu pun terjadi. Aku yang sedang
berbelanja cemilan sebagai bekal duduk dan melamun di taman seberang rumah
Vanya harus bertemu dengannnya di sana.
Entah
dorongan dari mana, alih-alih lari dan bersembunyi aku malah menampakkan diri
di hadapannya. Diluar dugaan ternyata Vanya merasa jauh lebih kaget terhadap
pertemuan tersebut dibanding diriku. Dia lari, terluka, dan mengurung diri di
kamar.
Tiga
sore aku datang. Tiga sore pula aku hanya ditemani Akung dan Uti.
Seakan
keadaan tak bisa bertambah rumit, terdengar suara kendaraan berhenti depan
rumah, dilanjutkan dengan suara pagar terbuka, kemudian suara salam. Sosok
cowok tinggi berbadan atletis dengan kulit yang terlalu banyak terjemur sinar
matahari muncul dari pintu ruang tamu. Senyum di bibirnya seketika berubah
menjadi kerutan di dahinya.
“Aih,
Aka pikir tidak ada tamu?!” jelas itu pernyataan basa-basi karena bagaimanapun
kami sempat bertemu sekilas ketika dirinya keluar dari lorong yang kutahu mengarah
ke kamar Vanya dengan tergesa-gesa seperti pencuri yang tertangkap basah.
“Aka,
kenalkan. Ini Kanata. Temen Vanya juga.” Jelas Uti.
Kami
berjabat tangan dengan sopan. Aku catat baik-baik kalimat beliau.
“Juga.”
Artinya
posisi aku maupun Aka adalah teman Vanya. Tak lebih.
Aka
duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Kesunyian mengisi udara selama
beberapa menit.
Akung
berdiri sambil berdehem pada Uti. Mereka berpandangan. Akung mengangguk. Uti
tersenyum paham.
“Sepertinya
Uti harus meninggalkan kalian mengobrol berdua. Katanya Akung pengen dipijit
sama Uti.” Ucapnya sambil tersenyum yang tak bisa kutangkap maknanya. “Maklum
sudah tua. Jadi perlu banyak perawatan.”
“Kalian
ngobrolah dengan tenang.” Ucap Akung dengan suaranya yang khas.
Kesunyian
kembali tercipta. Aku menunggu. Dia juga menunggu.
“Saya
dengar Kanata DULU dekat dengan Vanya.”
“Saya
dengar juga bahwa SEKARANG Vanya dekat dengan Chakra.” Jawabku segera.
Cukup
aneh sebetulnya menggunakan kata Saya untuk diri sendiri dan menyebutkan nama
jelas dari lawan bicara.
“Panggil
Aka aja. Gua biasa dipanggil kayak gitu.” Ujarnya sambil menyandarkan
punggungnya ke kursi. Aku merasa ini adalah sebuah perang batin antara kami
berdua. “Bisa dibilang saat ini gua cowoknya Vanya.”
Jika
saja aku sedang meneguk air tentunya air tersebut akan menyembur keluar. Suatu
pernyataan yang terlalu blak-blakkan menurutku.
“Saya dan Vanya dulu deket karena
sama-sama berasal dari Indonesia.” Aku tak ingin kalah dalam adu mental ini.
Segurat warna merah muncul di tenguknya ketika aku jelas-jelas tak terprovokasi
dan tetap menggunakan kata ganti Saya.
“Tak
terhitung banyaknya waktu yang kami habiskan bersama dalam dua tahun tersebut.
Sangat menyenangkan.” Kali ini telingannya ikut memerah.
“Gua
juga denger sudah lebih dari dua tahun ini kalian sama sekali gak menjalin
kontak.” Entah memang sudah wataknya yang angkuh atau ini hanya sekedar metode
pertahanan dirinya yang ingin melindungi Vanya, aku tak tahu pasti. Yang jelas
sepertinya bukan pembicaraan ringan semacam cuaca atau sebagainya yang akan
kami bahas saat ini.
“Banyak
hal yang terjadi dalam dua tahun ini.” Ucapku dengan suara setenang mungkin.
“Oh
ya? Gua pengen denger dong semuanya!”
Ya Tuhan, aku
sudah terlalu lelah untuk menghadapi ini. Seluruh daya upayaku sudah aku pakai
untuk melakukan perjalanan ke Jogja. Apakah masih harus ditambahkan dengan
menghadapi “pacar” Vanya yang disebut Uti sebagai “teman”, sama sepertiku?
“Saya merasa tak
berkewajiban untuk melakukannya.” Melihat situasi yang ada, aku memilih untuk
menghindari konflik. “Saya pamit. Besok kesini lagi.”
Tanpa menunggu
persetujuannya aku bangkit dan berjalan pulang ke penginapan.
Aku berjanji
akan terus datang hingga Vanya mau menemuiku. Aku tak mungkin pulang ke Bandung
dengan sebuah cerita yang menggantung.
#
Malam telah amat
larut. Hanya suara derum motor yang sesekali melintas yang menjadi pengisi
kesunyian. Mataku sangat sulit untuk diajak terpejam. Pikiranku melantur
kemana-mana sementara kedua tangaku memainkan sebuah purwarupa dari tongkat
sihir merah jambu yang telah digambar Vanya.
Jika Vanya dapat
membanggakan kemampuannya dalam menggambar, maka aku bisa dikatakan ahli dalam
membuat prakarya. Gambar dua dimensi Vanya aku wujudkan dalam bentuk tiga
dimensi. Kayu Akasia yang aku ukir secara hati-hati dengan tingkat presisi yang
tak kalah teliti. Panjangnya berkali-kali aku ukur untuk memastikan agar tepat
seperti yang diminta olehnya. Karena pada dasarnya kayu akasia berwarna
kecoklatan, maka aku terpaksa merendamnya selama berhari-hari dalam cat kayu
berwarna merah jambu.
Kupikir karya
seniku cukup sempurna kecuali satu pertanyaan besar, bagaimana caranya Mr.
Olivander memasukan inti tongkat ke dalam kayunya? Apakah dibutuhkan sebuah
sihir sungguhan agar nadi naga dan sebagainya bisa berada di tengah tongkat
tanpa merusak kayunya?
Menyadari aku
hanya seorang Muggle (begitu sang
Penulis memberi istilah bagi rakyat non-sihir) maka aku menggunakan metode yang
paling masuk akal untuk memasukan bulu burung merak ke dalam tongkat buatanku:
Melubanginya.
Butuh 5 hari
untuk membuat lubang mungil yang sejajar dengan kayu yang aku ukir. Sebuah
pekerjaan yang sangat melelehkan dan membutuhkan ketelitian tinggi karena
penyimpangan satu mili saja bisa berakibat lubangnya keburu keluar sebelum
mencapai ujung.
Pekerjaan yang
tak kalah membutuhkan kesabaran adalah memasukan bulu burung tersebut ke dalam.
Jika aku terburu-buru melakukannya akan mengakibatkan bulu tersebut rontok dan
kehilangan sisi magisnya.
Namun semua
usaha yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh tentunya akan membuahkan hasil
yang maksimal. Sejujurnya aku sangat puas dengan hasil karyaku ini. Semoga
Vanya bisa merasakan aura kesungguhan menguar dari tongkat impiannya ini.
Namun yang jadi
pertanyaan adalah jika dirinya tak mau menemuiku, bagaimana caranya Vanya bisa
merasakan momen magisnya?
Meski tak
benar-benar menginginkannya, aku tertidur dengan pertanyaan yang saling
menumpuk.
#
Aku bangun
dengan perasaan sungguh tak karuan. Rencana awalnya adalah pada hari ini aku
sudah berada di Bandung karena libur semesteran sudah berakhir. Sebelum bangkit
dari tempat tidur aku berkali-kali merapal kalimat yang sama.
“Jika hari ini
masih gagal, aku pulang dan merelakan semuanya.”
Dengan waktu
yang cukup lama berada di Jogja, sebagian besar objek wisata yang sekiranya tak
membutuhkan biaya besar telah aku kunjungi. Yang artinya Borobudur dan
Prambanan tak jadi aku kunjungi karena kudengar tiket masuknya saja 75 ribu
rupiah. Sungguh biaya yang terlalu banyak buatku.
Kuputuskan untuk
berada di penginapan seharian.
Menyiapkan energi untuk menghadapi sore hari sambil mengepak barang. Menyingkirkan
hasrat untuk datang ke sekolah Vanya dan mengamati kegiatannya seperti stalker yang sering aku lihat di
televisi.
#
Ponselku
berdering dari kamar sementara aku sedang mengobrol dengan Mas Pano, penjaga
penginapan, di front office. Setengah malas aku menuju kamar. Pasti dari Diane
lagi. hampir setengah jam sekali dia bertanya kapan aku pulang sambil
memastikan bahwa semua barang titipan dia telah aku beli.
Alih-alih nama
Diane yang muncul, sederet nomor yang tak kukenal menghiasi layar ponsel.
“Halo? Nata?”
Deg!
Suara Vanya
terdengar di ujung sambungan.
“Vanya?” Ucapku
meski dugaanku tak mungkin keliru.
“Iya, Nat.”
Balasnya datar. “Kita bisa ketemu di Benteng Vredeburg jam satu?”
“Tentu.” Jawabku
spontan.
“Aku tunggu
ya?!”
Klek.
Sambungan
terputus.
Setelah berhasil
mnegatasi kekagetan aku lalu melihat jam. 10 menit lagi menuju waktu janjian.
Tanpa banyak mempersiapkan diri aku segera pergi karena bagaimanapun Benteng
tersebut letaknya lumayan jauh dari penginapan.
#
Sosok
berseragamnya berdiri di pintu masuk Benteng. Masih ada jarak 20 meter diantara
kami. Vanya berusaha tersenyum seramah mungkin saat aku berjalan mendekat.
Namun bertahun-tahun aku kenal Vanya,
jenis senyum tersebut bukanlah yang masuk kategori baik-baik saja. Ada
sesuatu yang telah terjadi. Aku tahu pasti.
Saat jarak yang
tercipta hanya 2 meter tiba-tiba saja Vanya berlari dan memelukku sebelum
akhirnya terisak.
“Kamu jahat!”
Ucapnya lirih.
Aku membelai
rambutnya, menikmati aroma tubuhnya, merasakan berat badannya.
It’s just like years ago, but without hope and
happiness....
Sungguh, bukan
seperti ini pertemuan kami dalam bayanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar