Dunia yang Tak Sama
Aku
tahu, puluhan pasang mata yang ada di depan gerbang Benteng Vredeberg ini
sedang melihat sebuah adegan di mana seorang remaja putri sedang menangis di
pelukan seorang remaja putra. Aku yakin, di antara pemilik puluhan pasang mata itu
ada yang berusaha mencari keberadaan kamera karena mungkin mengira adegan itu
adalah salah satu adegan di film. Namun sayangnya, orang yang berpikiran
seperti itu akan kecewa. Karena pada kenyataannya adegan itu bukanlah salah
satu adegan di film ataupun sinetron. Ya, adegan itu nyata adanya. Dan di
adegan itu, akulah si remaja putri, dan Natalah si remaja putra itu.
Siang
tadi, setelah aku curhat panjang lebar kepada Arnest, akhirnya aku memutuskan
untuk menelepon Nata untuk menemuiku di tempat ini. untunglah Nata menitipkan nomor
teleponnya kepada Uti dan Akung, jadi aku bisa menghubungi cowok yang ada di
masa laluku itu. Entah pemikiran dari mana sampai pada akhirnya aku mau menemui Nata yang selama beberapa hari
ini menghabiskan beberapa jamnya di Jogja ini untuk duduk di kursi tamu Uti dan
Akung. Hanya untuk menungguku kalau-kalau aku berubah pikiran untuk mau
menemuinya. Tetapi pemikiranku tidak berubah—sampai hari ini, akhirnya aku
luluh dengan sedikit paksaan Arnest untuk menemui Nata. Dan di sinilah aku,
memeluk Nata di depan gerbang Benteng Vredeberg sambil menenggelamkan wajahku
di bahu Nata.
“Kamu jahat!” Ucapku lirih.
Kurasakan badan Nata berangsur-angsur
mengendur dari ketegangannya. Lalu aku merasakan sentuhan tangan Nata di
kepalaku yang berusaha meredakan getaran di punggungku. Aku mulai merasakan
kehangatan yang hampir dua tahun ini tak menjalariku. Kehangatan yang hampir
saja aku lupakan bagaimana sensasinya. Kehangatan yang kupikir tak akan pernah
kudapatkan lagi dari sosok yang membelai rambutku dengan lembut ini. Rasanya
aku ingin lebih lama seperti ini. Lebih lama lagi sampai aku yakin sosok itu
tak akan pernah pergi lagi. Tidak untuk sekali lagi.
“Aku nggak pernah minta kamu pergi,” kataku
setelah berhasil meredakan tangisku dan melepaskan pelukan itu.
“I know,”
“Kamu yang minta aku pergi, Nat,”
“I’m
sorry,” kedua bola mata Nata menatapku lekat-lekat. Sampai-sampai,
menangkap ketulusan di matanya bukanlah pekerjaan yang berat.
Hening
sesaat. Kedua pasang mataku dan mata Natalah yang saling berbicara. Saling
melepas rindu yang selama ini tak terpuaskan. Lewat mata yang berbicara itu,
diam-diam kami saling menebar kelegaan yang hampir dua tahun ini tak pernah
hinggap di hati. membiarkan mataku melepas dahaga untuk menatap Nata, dalam
diam. Dalam keheningan.
“Hmm…,”
aku berdeham pelan, memecah keheningan di antara kami berdua. Dan sepertinya,
rasa canggung pun mulai tercipta. “Jadi, kamu mau masuk atau nggak?” tanyaku
sambil memberi isyarat menuju gerbang masuk Benteng Vredeberg.
“Iya,”
jawab Nata singkat.
Kami
berdua berjalan menuju pintu gerbang, di mana dua orang pria berkumis berdiri
di salah satu sisi gerbang. dua orang pria itu memberikan tiket lalu Nata
mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar dua tiket masuk itu. akhirnya,
kami masuk ke dalam benteng dan berjalan dengan diam. Aura canggung ini lama
kelamaan terasa mengerikan. Mungkin waktu nyaris dua tahun itu benar-benar
telah turut serta membangun dinding pemisah antara kami berdua. Atau mungkin
beginilah rasanya saat bertemu kembali dengan orang yang lama menghilang dari
kehidupanku.
“Hampir
dua tahun,” Nata memulai menepis rasa canggung itu. Lalu ia mengajakku duduk di
tempat duduk yang tersedia di dalam benteng itu.
“Iya,”
aku memandang sekeliling benteng yang tidak terlalu ramai ini. Masa liburan
memang sudah berlalu. “Kemana aja kamu selama itu, Nat?” tanyaku seraya menoleh
ke arah Nata yang duduk tepat di sebelah kiriku.
“Banyak
yang udah aku lewati. Cerita yang panjang,”
“Tapi
aku mau denger,”aku sedikit memaksa.
Kemudian
Nata mulai bercerita alasannya kembali ke Indonesia waktu itu. tentang ayahnya
yang meninggal, tentang bos ayahnya, dan ketidakinginan Nata untuk menyakiti
perasaan ibunya. Nata menceritakan semua itu dengan pelan namun sarat emosi.
Hatiku bergetar mendengar cerita laki-laki yang duduk di sampingku ini.
Sekarang, aku benar-benar memaklumi sikap Nata waktu itu yang bisa di katakana
tidak sengaja berbuat kasar kepadaku. Mungkin jika aku ada di posisinya, aku
bisa melakukan hal yang sama. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan
seorang ayah, tetapi setidaknya aku pernah merasakan bagaimana kehilangan orang
yang aku sayangi: Nata. Dan itu semakin membuatku memahami perasaan Nata.
“Aku
nggak pernah tahu itu. Maaf,” aku menyentuh tangan Nata dan meremas tangannya
pelan untuk memberinya sedikit kekuatan. “Harusnya aku nggak marah sama kamu,
Nat,”
“Aku
yang salah karena nggak cerita ini dari awal ke kamu, Nya. Sorry,” kini, Nata
yang balik menggenggam tanganku. Entah mengapa sentuhan tangan Nata berefek
aneh pada tubuhku. Rasanya seperti ada benda berat yang jatuh ke perutku.
“Udahlah,”
aku tersenyum. Berharap senyum itu meredakan rasa aneh di perutku ini. “Yang
penting sekarang kita ada di sini,”
“Yeah.
Kamu bener,”
Hening
kembali.
“Oh
iya, kenapa kamu nggak pake jepit rambut kupu-kupu yang dulu lagi? Apa karena
rambutmu udah panjang terus kamu nggak mau pake jepit itu?” tanya Nata, yang
lagi-lagi berhasil memecah keheningan.
Spontan,
aku menyentuh rambutku. “Nggaklah. Bosen kali pake jepit itu melulu. Cewek kan
emang selalu ganti style. Nggak kayak
kamu yang dari dulu rambutnya acak-acakkan,” aku tertawa pelan sambil berusaha
meraih kepala Nata untuk merapikan rambut berantakkan khas Nata itu.
Nata
berusaha menghindari tanganku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
yang bebas mencubit hidungku keras-keras. “Oooh! My lovely nose!” pekikku. Lalu tiba-tiba, aku merasa seperti de
javu. Ya, laki-laki ini memang pernah mencubit hidungku di tempat yang berbeda
dan waktu yang berbeda. Tetapi, bukankah sekarang aku sudah bersama Nata?
“Hahaha,
hidungmu merah!” Nata mulai tertawa keras dan aku menggosok-gosok hidungku
sambil melihat bayangan wajahku di kaca kecil yang setiap hari aku bawa ke
sekolah.
“Aku
tahu! Sakit tauk! Pokoknya kalau sampe hidungku nggak bisa kayak semula, kamu
harus bayarin operasi plastic buat hidungku!” kataku melebih-lebihkan.
Nata
justru kembali tertawa, “Nggak bakalan se-over itu. tuh udah nggak merah,”
“Tapi
tetep aja sakit, Nata! Coba kamu sini!” tanganku mulai meraih-raih lagi. Kali
ini hidung Nata yang mancung itulah sasaranku.
Lagi-lagi
Nata dapat menangkis kedua tanganku dengan mudah dengan tangan kanannya. Aku
mencoba lagi, dan Nata menepis kembali. Ia tertawa sambil terus menepis kedua
tanganku yang berniat untuk membalas dendam. Dengan gerakkan yang cekatan, Nata
mencengkeram kedua pergelangan tanganku erat-erat lalu menarik tubuhku ke dalam
pelukannya. Aku membeku saking kagetnya. Pelukan itu membuatku lupa bagaimana
cara berkedip dan bernapas. Bahkan lidahku tak bisa mengucapkan sepatah
katapun. Jantungku yang tersimpan di balik rongga dada ini mulai meronta-ronta,
memompa darah lebih cepat dari beberapa detik yang lalu ketika aku belum di
pelukannya.
Aku
mulai merasakan hembusan napas Nata di telinga kananku, “Kamu cantik dengan
rambut panjangmu,”
Entah
mengapa. Wajahku terasa panas. Seperti berada tepat di depan api unggun yang
panas. Dalam hati, aku pun berdoa agar jantungku tidak meledak saking kerasnya
ia memompa darah. Dan sepertinya doaku terkabul, karena tiga detik kemudian,
Nata melepaskan pelukannya. Kemudian aku menghembuskan napas yang dari tadi
kutahan. Tetapi rasa panas di wajahku tak kunjung menghilang.
“Thanks,” kataku tulus. “Oh ya, Nat,
bukannya harusnya hari ini kamu udah masuk sekolah ya?”
Nata
tersenyum ke arahku lalu menjawab pertanyaanku, “Iya. Aku seharusnya hari ini
udah balik ke Bandung. Tapi kamu baru mau ngomong sama aku hari ini, Nona
Vanya,”
“Harusnya
mau nemuin kamu sebulan lagi biar kamu nggak sekolah sebulan,” aku tertawa
jahil.
“Where is your lovely nose, Miss Vanya?” pertanyaan Nata membuatku
semakin tertawa—sambil memegangi hidungku, tentu saja.
“Vanya?”
panggil Nata setelah aku meredakan tawaku.
“Ya?”
“Ada
sesuatu yang mau aku kasihin ke kamu,”
“Apa?”
“Aku
lupa membawanya. Nanti mau ke tempat penginapanku? Bendanya ada di sana,”
Aku
mengernyitkan dahi. “Emang apa sih bendanya?” tanyaku penasaran.
“Jadi,
kapan kamu balik ke Bandung, Nata?”
“Nata?!
Nata siapa?!” kata sebuah suara yang sedikit melengking. Aku dan Nata segera
menoleh ke arah pemilik suara itu yang ternyata adalah seorang perempuan dengan
rambut sebahu yang wajahnya tampak merah karena marah.
Perempuan
itu mendekati Nata lalu Nata berdiri. Aku juga ikut berdiri.
“Sekarang
aku tahu kenapa kamu nggak pulang-pulang!” kata si perempuan itu ketus.
“Gara-gara dia!” perempuan itu menudingku dengan jari telunjukknya. Aku sedikit
terkejut. Siapa perempuan yang datang sambil marah-marah tak keruan seperti
ini?
“Kamu
siapa sih?!” perempuan itu mulai mendekatiku dan mendekatkan wajahnya ke
wajahku. “Angga itu pacar aku! Kamu nggak berhak deketin dia! Lagi pula—ooh ya!
Aku inget!”
Perempuan
yang ada di depanku ini mundur selangkah lalu menatap Nata. “Dia yang ada di
foto itu! Iya kan, Angga?!”
Nata,
yang di panggil Angga oleh perempuan itu mengangguk pelan. Perempuan yang lebih
pendek beberapa centi dari aku ini nampak sangat marah. Wajahnya yang merah
semakin merah. Aku tahu, kedua rahang perempuan ini bergetar seolah-olah bisa
menelan siapa saja yang ada di tempat ini. Aku sendiri mulai merasakan
kemarahan yang aku sendiri tak mengerti.
“Oh
jadi kamu yang namanya Vanya?!”
“Kenapa?!”
aku ikut-ikutan ketus.
Perempuan
itu menatapku seperti ingin membunuhku. “KAMU TAHU NGGAK?! DIA—KANATA ANGGARA
WIGUNA UDAH TUNANGAN SAMA AKU! JADI KAMU JANGAN DEKETIN DIA LAGI! KAMU CUMA
TEMAN LAMA YANG HARUSNYA DI BUANG!” lalu perempuan itu mengakhiri kata-katanya
dengan sebuah tamparan panas mendarat di pipi kiriku.
Aku
menatap perempuan itu penuh amarah. Hampir saja aku balas memukulnya kalau saja
Nata tidak menahan tanganku. Tunggu! Kenapa Nata menahan tanganku? kenapa ia
tidak menahan tangan perempuan sialan ini tadi?
Nata
segera mencengkeran kedua tangan perempuan yang barusan menamparku itu lalu
membawa perempuan itu agak jauh dariku. Aku terdiam di tempat, berusaha
meredakan kemarahan yang tadi merasukiku. Aku tak mau melihat Nata dan
perempuan itu. aku tak mau kemarahan kembali mendatangiku.
“Kalau
gitu, aku mau pulang! Terserah kamu mau pulang atau nggak!” lalu aku mendengar
kata-kata perempuan itu.
“Diane!
Diane!” panggil Nata, sedangkan sosok yang dipanggil tetap berlari tanpa
menoleh.
Nata
berjalan mendekatiku dengan wajah yang lelah. Ia menatapku lekat lalu menyentuh
pipi kiriku yang masih terasa panas, tetapi aku segera menepis tangan Nata.
“Jadi…
dia pacarmu?” tanyaku.
Nata
mengangguk singkat. Lalu aku terduduk di kursi yang kami duduki tadi.
“Kamu
nggak pa-pa?” tanya Nata setelah mengikutiku duduk.
“Apa
kalian sudah tunangan?” alih-alih menjawab pertanyaan Nata, aku justru balik
bertanya.
Kali
ini Nata membisu dengan mata yang sudah terlanjur menatap mataku. Ia tak
kunjung menjawab sampai aku menyimpulkan kediaman Nata itu sebagai kata ‘iya’.
Tanpa
banyak pembicaraan lagi, aku segera meraih tasku dan berdiri. Ketika kakiku
baru saja akan melangkankan kakiku, tangan Nata meraih tangan kiriku. Dan Nata
berdiri.
“Nata,
PACAR kamu itu benar! Kamu harusnya nggak di sini. Harusnya kita nggak pernah
ketemu! DIA benar! Harusnya kamu nggak usah ke sini. Kita punya dunia yang berbeda
dari dulu! Harusnya aku emang nggak berteman sama kamu saat di London! Mungkin
semuanya nggak akan seperti ini!” aku mengatakan itu penuh emosi. Kemarahanku
yang berusaha aku redakan, mulai meledak. Aku merasakan air mata kemarahan
mulai menggenangi kedua mataku.
“Kenapa?”
tanya Nata dingin.
“Karena
harusnya kita nggak berteman! Kata-katamu waktu di London dulu emang bener!
Harusnya aku nggak pernah ganggu kamu! Kita emang nggak ditakdirkan selalu
bersama, Nat! Kamu juga tahu itu!”
“Vanya,
nggak kayak gitu…”
“Jadi,
biar aku perjelas! Lebih baik kamu kembali ke Bandung, minta maaf sama PACARmu
itu dan JANGAN TEMUI AKU LAGI! DUNIA KITA SUDAH BERUBAH! Tenang aja Nat, aku
nggak akan mengganggumu lagi, seperti permintaanmu saat pertama kali kita
bertemu.” Air mataku mulai jatuh dengan deras di kedua pipiku. Namun aku tak
berniat untuk mengusapnya sama sekali.
Aku
melepaskan cengkeraman tangan Nata lalu berjalan menuju gerbang.
“Jadi
kita nggak akan ketemu lagi?” tanya Nata dingin tetapi sarat emosi.
Aku
berhenti berjalan. “Nggak. Mulai hari ini nggak ada kata kita. Yang ada hanya
Nata dan Vanya,” jawabku tanpa menoleh.
Nata
kembali meraih tanganku dengan lembut. Ia menyentuh bahuku lalu membalikkan
badanku. Nata menatapku dalam. Mata milik Nata itu seperti sebilah belati yang
menusuk-nusuk dadaku. Berkali-kali dan menyisakan rasa perih yang tak terkira.
Air mataku kembali menetes karena rasa perih itu. Lalu aku menutup kedua
mataku. Berharap dengan aku menutup mataku, rasa perih itu akan berkurang. Akhirnya
kembali aku buka mataku karena rasa perih itu tak kunjung surut.
Kemudian
Nata menarik tubuhku dan memelukku erat. “terakhir,” bisiknya di telingaku. “You know? You’re the best friend I’ve ever
know. And…” aku merasakan detakan jantungku dan Nata sama-sama menggila.
Dan air mataku lebih deras mengalir membasahi pipi juga baju Nata.
“I love you,” lanjut Nata. Satu kalimat
itu membuatku semakin tersedu. Aku berusaha meredakan tangisanku lalu melepas
pelukan hangat Nata untuk yang terakhir kalinya itu.
“Bye, Vanya Diartha Nirwana,” ucap Nata.
“Bye… Kanata Anggara Wiguna,” aku tak
berani menatap mata Nata. Lalu keheningan yang menyesakkan tercipta di antara
kami. Aku pun memutuskan untuk berbalik dan pergi meninggalkan Nata. Dan kali
ini, tidak ada tangan Nata yang menahanku. Aku terus berjalan dan berjalan.
Berharap aku bisa berbalik dan membuat semuanya lebih baik. Namun ini yang
terbaik. Nata bukan tercipta untuk selalu ada di sampingku. Tuhan memang HANYA
memberikan waktu dua tahun bagiku dan Nata untuk saling berbagi. Dan setelah
itu, semua tinggalah omong kosong. Ya, hanya dua tahun. Hanya dua tahun yang
sesingkat kedipan mata. Lalu tak ada lagi kesempatan juga waktu.
Ada
awal ada akhir. Ada pertemuan ada perpisahan.
Beginilah
pada akhirnya. Aku memang tak seharusnya masuk dalam kehidupan Nata. Dari awal
pertemuan Nata memintaku untuk menjauh darinya. Aku rasa itu pertanda bahwa aku
dan Nata memang tak ditakdirkan untuk bahkan sekedar berteman. Kami berbeda.
Kami berdiri di garis berbeda walaupun sejajar. Terlihat bersampingan, tetapi
sebenarnya garis yang kita lalui tak pernah bertemu di titik manapun. Tak ada
ujungnya.
Aku
tahu, kali ini perpisahanku dengan Nata adalah benar-benar sebuah perpisahan.
Setelah hari ini, mungkin Aku dan Nata akan menjadi orang yang lain. Atau
menjadi seperti yang dulu ketika aku dan Nata belum saling mengenal. Memang begitulah pada kenyataannya. Aku tidak
untuk Nata, dan begitu juga Nata.
Mungkin,
perpisahanku dengan Nata sewaktu di London dulu bukanlah perpisahan yang
sebenarnya. Hanya sebuah perpisahan yang tertunda. Barulah hari ini, semua
jelas. Hari ini semuanya berakhir. Mengakhiri yang seharusnya tak pernah
dimulai.
###
Aku
terbangun dari tidurku dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Mimpi
buruk itu lagi. Akhir-akhir ini mimpi buruk sering menghantuiku. Setelah
perpisahanku dengan Nata hari itu, duniaku terasa dua kali lebih gelap. Di
tambah lagi dengan mimpi-mimpi buruk sialan itu. Rasanya aku ingin berteriak
tapi aku tak bisa. Tenggorokkanku seperti menelan teriakanku itu sebelum sempat
menggetarkan partike-partikel udara. Sungguh buruk.
Aku
menghapus peluh di pelipis dan leherku kemudian melirik jam. 05.30. Aku segera
bangun dan menyiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke sekolah. Uti baru saja
meletakkan segelas susu coklat di meja makan ketika aku selesai mengenakan
seragamku. Uti tersenyum kepadaku, dan aku membalas senyuman itu seceria
mungkin. Lalu kami bertiga mulai sarapan. Di meja makan ini, kami membicarakan
cuaca di luar yang cerah dan tumbuhan Uti yang sudah berbunga di halaman depan.
Aku berusaha tampak seceria mungkin agar Uti dan Akung tak mengkhawatirkanku.
Dan aku rasa aku berhasil.
Aka
datang tepat waktu. Ia datang saat susu coklat buatan uti seudah kutenggak
habis. Aku dan Aka berpamitan pada Uti dan Akung lalu kami berangkat ke
sekolah. Aku menatap langit biru tak berawan yang ada di atasku. Hari ini
memang benar-benar cerah.
“Yuk!”
ajak Aka.
Aku
menoleh ke arah Aka lalu tersenyum. Ini
memang duniaku. Kataku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar