Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Minggu, 10 Februari 2013

TSMJ #14 (By Kanata)


Permintaan Terakhir

Aku tahu seharusnya tak melakukan ini. Ditambah pula dengan kejadian terakhir di Jogja  tiga bulan yang lalu. Aku sadar semestinya aku menyimpan segala hal tentang Vanya di sudut tergelap perasaan, hingga takkan mungkin lagi bisa aku temukan. Vanya telah bahagia bersama Chakra, dan selayaknya juga aku menikmati momen bersama Diane. Tidak! Vanya adalah masa lalu. Dan seharusnya tetap menjadi masa lalu.
            Namun, semakin keras aku mencoba melupakan Vanya, semakin intens pula keinginan untuk mengingatnya muncul. Kotak yang kubawa dari London kembali kubuka. Entah dorongan gila apa yang membuatku menghabiskan waktu berjam-jam memandangi album foto, gambar sketsa, atau membolak-balik buku pelajaran. Aku melakukannya hanya untuk mengingat satu masa, dengan satu orang di dalamnya, dan sejuta kenangan warna-warni yang hadir bersamanya. Ini tidak sehat! Aku tahu itu.
            Seperti semua orang bijak katakan, satu-satunya untuk bisa merelakan masa lalu adalah dengan berlaku jujur. Aku yang selama ini menekan perasaan nyaman bersama Vanya, aku yang selama ini tak ingin melangkah kemanapun jika berkaitan dengan Vanya, aku yang selama ini berpendapat bahwa setiap pertemua dan perpisahan telah diatur oleh sang Maha Berkehendak.
            Aku selama ini bodoh.
            Sebelum bisa melepas Vanya, hal terakhir yang harus kulakukan adalah merangkai ulang semua kisahku dengannya, mencari alasan hadirnya perasaan ini, untuk kemudian menemukan dasar kenapa hubungan kami takkan pernah berhasil.
            Atas pemikiran itulah aku berdiri di depan komputer yang telah terkoneksi internet. Pointer berkelip menunggu aku memasukan huruf demi huruf yang akan terangkai menjadi kata. Untuk terakhir kalinya, aku akan “bicara” dengan Vanya.
            Bukan hal yang sulit bagiku untuk mengingat alamat email Vanya. Yang sulit adalah meyakinkan diri menulis isinya:
Subjek  : Permintaan terakhir
Isi:
Mungkin ini emailku yang terakhir (aku yakin akan menjadi yang terakhir). Pertama, aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua waktu yang menyenangkan bersamamu. Sejak pertama menjalin pertemanan aku sudah merasakan sebuah gairah yang teramat menyenangkan. Tak banyak orang yang bisa kusebut sebagai sahabat. Beruntungnya kamu adalah satu diantara sedikit orang tersebut.
Vanya, kamu jauh lebih berharga daripada yang kau pikirkan. Selama aku sekolah di London aku tak pernah benar-benar rindu rumah, karena kamu yang telah membawa sebagian kenyamanan rumah tersebut kepadaku. Hanya dengan bersamamu aku merasa bahwa disitulah tempatku seharusnya berada. Semoga aku memberi kenyamanan yang sama padamu.
Banyak orang berkata bahwa kedekatan kita disebabkan oleh kesamaan geografis. Kita sama-sama orang Indonesia. Namun apakah mereka sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat luas? Mereka tak tahu bahwa antara Jogjakarta dan Bandung itu dipisahkan oleh ratusan kilometer ruang.
Kau juga boleh berpendapat kedekatan kita karena ketertarikan yang sama pada sebuah dunia magis yang diciptakan secara indah oleh J.K. Rowling. Namun bukankah juga terlampau banyak hal yang kau sukai sementara aku tak begitu menikmatinya? Sebut saja soal kecap atau saus, keju atau mayonais, jalan kaki atau bersepeda, horor atau thriller, taman ria atau hutan kota. Bukankah kita tak pernah benar-benar sepakat soal itu?
Banyak hal yang bisa dijadikan alasan, tapi aku pikir hanya satu yang benar: kita dipertemukan karena memang seharusnya seperti itu. Kau boleh menyebutnya takdir, kali ini sepertinya aku akan setuju.
Hal selanjutnya yang ingin aku ucapkan adalah sebuah pengakuan. Bersamamu, semua hal terasa begitu indah (bahkan saat kita berbeda pendapat tentang sesuatu). Kamu terlalu berharga untuk disebut sekadar sebagai sahabat, namun aku terlalu pengecut untuk memintamu menjadi lebih dari seorang sahabat. Kau takkan percaya betapa banyak momen yang sengaja aku ciptakan agar aku bisa mengungkapkan pengakuan ini, namun setiap kali itu pula aku yang menrusaknya. Aku takut dengan jawaban yang akan terlontar dari mulutmu saat kusampaikan hal tersebut. Maka aku memilih untuk diam dan menikmati hari-hari indah bersamamu sebagai sahabat baik.
Sempat aku berpikir bahwa pulang ke Bandung menjadi alasan agar aku tak perlu terombang-ambing dalam perasaan tak mementu ini. Beberapa tahun ini aku selalu berpura-pura bahwa yang aku tinggalkan adalah sebuah masa lalu yang tak terlampau berharga untuk dikenang.
Aku bodoh telah lari dari takdir.
Tak perlu kukatakan betapa gagalnya aku mencoba melupakanmu. Jarak yang jauh tak berarti memperlemah perasaan. Aku terlanjur mencintaimu. Dan aku terlampau idiot untuk mengakuinya.
Bahkan ketika kita sudah kembali ke Tanah Air. Aku masih saja terlalu pengecut untuk menemuimu. Segala usaha yag kulakukan untuk menjalin komunikasi selalu kulakukan dengan setengah hati. Di satu sisi aku teramat ingin bisa menghabiskan waktu bersamamu kembali. Namun di sisi yang lain aku takut jika selubung perasaan yang terlanjur aku ciptakan akan robek dan menguap keluar.
Mungkin titik balik dari kisah ini adalah ketika kamu bertemu Jane dan Hyungjun. Kemudian mereka bercerita tentang pertemuan tersebut. Aku mendengar kisah tersebut dengan perasaan senang sekaligus kecewa. Ternyata ada laki-laki lain yang menyukaimu. Chakra sangat beruntung.
Aku yang selalu berpikir bahwa perasaan yang ada ini hanya diriku yang mengalaminya akhirnya menyadari bahwa ternyata kamu pun merasakan hal yang sama. Aku menganggapmu lebih dari sekedar sahabat, dan kamu juga berpikir hal yang sama tentangku. Andai saja kita mengungkapkan perasaan ini sejak lama tentunya takkan terasa serumit ini.
Hal yang paling menyakitkan bagiku adalah saat aku memotivasi diri untuk melakukan hal yang seharusnya sejak dulu kulakukan harus menerima kenyataan pahit: semuanya telah terlambat. Jalan hidup kita telah bersimpangan terlalu jauh. Masing-masing telah menemukan kehidupan lain yang selayaknya dijalankan. Sudah habis waktunya untuk sebuah romantisme picisan.
Namun jujur harus kukatakan, bahwa bahkan hingga sekarang pun aku masih tak rela jika semua harus berakhir speerti ini. Aku mencintaimu, dan aku tahu kau pun (pernah) mencintaiku.
Melalui surat ini aku punya satu buah permintaan kepadamu, “Bisakah kita mulai segalanya dari awal lagi? Awal yang baru sehingga kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu dan bisa lebih jujur dalam menata hidup.”
Salam kenal,
Kanata

Aku membaca sekali lagi isi email yang kutulis untuk memastikan bahwa apa yang tertera disana sesuai dengan maksud yang kuharapkan.
Berkali-kali aku mengehala napas. Tanganku masih ragu untuk menekan tombol kirim. Menit-demi menit berlalu dengan diriku yang menatap kosong pada layar monitor.
Tanda pesan masuk berbunyi dari ponselku. Diane yang mengirim pesan
Sayang, sudah dimana? Aku 10 menit lagi nyampe.
Cepat aku menjawab : OTW
Aku melakukan hal pertama yang terlintas dalam kepala.
Menghapus draft email yang sudah bersusah payah kutulis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar