Permintaan Terakhir
Aku tahu
seharusnya tak melakukan ini. Ditambah pula dengan kejadian terakhir di
Jogja tiga bulan yang lalu. Aku sadar
semestinya aku menyimpan segala hal tentang Vanya di sudut tergelap perasaan,
hingga takkan mungkin lagi bisa aku temukan. Vanya telah bahagia bersama
Chakra, dan selayaknya juga aku menikmati momen bersama Diane. Tidak! Vanya
adalah masa lalu. Dan seharusnya tetap menjadi masa lalu.
Namun,
semakin keras aku mencoba melupakan Vanya, semakin intens pula keinginan untuk
mengingatnya muncul. Kotak yang kubawa dari London kembali kubuka. Entah dorongan
gila apa yang membuatku menghabiskan waktu berjam-jam memandangi album foto,
gambar sketsa, atau membolak-balik buku pelajaran. Aku melakukannya hanya untuk
mengingat satu masa, dengan satu orang di dalamnya, dan sejuta kenangan
warna-warni yang hadir bersamanya. Ini tidak sehat! Aku tahu itu.
Seperti
semua orang bijak katakan, satu-satunya untuk bisa merelakan masa lalu adalah
dengan berlaku jujur. Aku yang selama ini menekan perasaan nyaman bersama
Vanya, aku yang selama ini tak ingin melangkah kemanapun jika berkaitan dengan
Vanya, aku yang selama ini berpendapat bahwa setiap pertemua dan perpisahan
telah diatur oleh sang Maha Berkehendak.
Aku
selama ini bodoh.
Sebelum
bisa melepas Vanya, hal terakhir yang harus kulakukan adalah merangkai ulang
semua kisahku dengannya, mencari alasan hadirnya perasaan ini, untuk kemudian
menemukan dasar kenapa hubungan kami takkan pernah berhasil.
Atas
pemikiran itulah aku berdiri di depan komputer yang telah terkoneksi internet. Pointer berkelip menunggu aku memasukan
huruf demi huruf yang akan terangkai menjadi kata. Untuk terakhir kalinya, aku
akan “bicara” dengan Vanya.
Bukan
hal yang sulit bagiku untuk mengingat alamat email Vanya. Yang sulit adalah
meyakinkan diri menulis isinya:
Kepada:
Vanya@hotmail.com
Subjek : Permintaan terakhir
Isi:
Mungkin
ini emailku yang terakhir (aku yakin akan menjadi yang terakhir). Pertama, aku
ingin mengucapkan terima kasih atas semua waktu yang menyenangkan bersamamu. Sejak
pertama menjalin pertemanan aku sudah merasakan sebuah gairah yang teramat
menyenangkan. Tak banyak orang yang bisa kusebut sebagai sahabat. Beruntungnya kamu
adalah satu diantara sedikit orang tersebut.
Vanya,
kamu jauh lebih berharga daripada yang kau pikirkan. Selama aku sekolah di
London aku tak pernah benar-benar rindu rumah, karena kamu yang telah membawa
sebagian kenyamanan rumah tersebut kepadaku. Hanya dengan bersamamu aku merasa
bahwa disitulah tempatku seharusnya berada. Semoga aku memberi kenyamanan yang
sama padamu.
Banyak
orang berkata bahwa kedekatan kita disebabkan oleh kesamaan geografis. Kita sama-sama
orang Indonesia. Namun apakah mereka sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang
sangat luas? Mereka tak tahu bahwa antara Jogjakarta dan Bandung itu dipisahkan
oleh ratusan kilometer ruang.
Kau
juga boleh berpendapat kedekatan kita karena ketertarikan yang sama pada sebuah
dunia magis yang diciptakan secara indah oleh J.K. Rowling. Namun bukankah juga
terlampau banyak hal yang kau sukai sementara aku tak begitu menikmatinya? Sebut
saja soal kecap atau saus, keju atau mayonais, jalan kaki atau bersepeda, horor
atau thriller, taman ria atau hutan kota. Bukankah kita tak pernah benar-benar
sepakat soal itu?
Banyak
hal yang bisa dijadikan alasan, tapi aku pikir hanya satu yang benar: kita
dipertemukan karena memang seharusnya seperti itu. Kau boleh menyebutnya
takdir, kali ini sepertinya aku akan setuju.
Hal
selanjutnya yang ingin aku ucapkan adalah sebuah pengakuan. Bersamamu, semua
hal terasa begitu indah (bahkan saat kita berbeda pendapat tentang sesuatu). Kamu
terlalu berharga untuk disebut sekadar sebagai sahabat, namun aku terlalu
pengecut untuk memintamu menjadi lebih dari seorang sahabat. Kau takkan percaya
betapa banyak momen yang sengaja aku ciptakan agar aku bisa mengungkapkan
pengakuan ini, namun setiap kali itu pula aku yang menrusaknya. Aku takut
dengan jawaban yang akan terlontar dari mulutmu saat kusampaikan hal tersebut. Maka
aku memilih untuk diam dan menikmati hari-hari indah bersamamu sebagai sahabat
baik.
Sempat
aku berpikir bahwa pulang ke Bandung menjadi alasan agar aku tak perlu
terombang-ambing dalam perasaan tak mementu ini. Beberapa tahun ini aku selalu
berpura-pura bahwa yang aku tinggalkan adalah sebuah masa lalu yang tak
terlampau berharga untuk dikenang.
Aku
bodoh telah lari dari takdir.
Tak
perlu kukatakan betapa gagalnya aku mencoba melupakanmu. Jarak yang jauh tak
berarti memperlemah perasaan. Aku terlanjur mencintaimu. Dan aku terlampau
idiot untuk mengakuinya.
Bahkan
ketika kita sudah kembali ke Tanah Air. Aku masih saja terlalu pengecut untuk
menemuimu. Segala usaha yag kulakukan untuk menjalin komunikasi selalu
kulakukan dengan setengah hati. Di satu sisi aku teramat ingin bisa
menghabiskan waktu bersamamu kembali. Namun di sisi yang lain aku takut jika selubung
perasaan yang terlanjur aku ciptakan akan robek dan menguap keluar.
Mungkin
titik balik dari kisah ini adalah ketika kamu bertemu Jane dan Hyungjun. Kemudian
mereka bercerita tentang pertemuan tersebut. Aku mendengar kisah tersebut
dengan perasaan senang sekaligus kecewa. Ternyata ada laki-laki lain yang
menyukaimu. Chakra sangat beruntung.
Aku
yang selalu berpikir bahwa perasaan yang ada ini hanya diriku yang mengalaminya
akhirnya menyadari bahwa ternyata kamu pun merasakan hal yang sama. Aku
menganggapmu lebih dari sekedar sahabat, dan kamu juga berpikir hal yang sama
tentangku. Andai saja kita mengungkapkan perasaan ini sejak lama tentunya
takkan terasa serumit ini.
Hal
yang paling menyakitkan bagiku adalah saat aku memotivasi diri untuk melakukan
hal yang seharusnya sejak dulu kulakukan harus menerima kenyataan pahit:
semuanya telah terlambat. Jalan hidup kita telah bersimpangan terlalu jauh. Masing-masing
telah menemukan kehidupan lain yang selayaknya dijalankan. Sudah habis waktunya
untuk sebuah romantisme picisan.
Namun
jujur harus kukatakan, bahwa bahkan hingga sekarang pun aku masih tak rela jika
semua harus berakhir speerti ini. Aku mencintaimu, dan aku tahu kau pun
(pernah) mencintaiku.
Melalui
surat ini aku punya satu buah permintaan kepadamu, “Bisakah kita mulai
segalanya dari awal lagi? Awal yang baru sehingga kita bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahan di masa lalu dan bisa lebih jujur dalam menata hidup.”
Salam kenal,
Kanata
Aku membaca sekali lagi isi email yang
kutulis untuk memastikan bahwa apa yang tertera disana sesuai dengan maksud
yang kuharapkan.
Berkali-kali aku mengehala napas. Tanganku
masih ragu untuk menekan tombol kirim. Menit-demi menit berlalu dengan diriku yang
menatap kosong pada layar monitor.
Tanda pesan masuk berbunyi dari
ponselku. Diane yang mengirim pesan
Sayang,
sudah dimana? Aku 10 menit lagi nyampe.
Cepat aku menjawab : OTW
Aku melakukan hal pertama yang terlintas
dalam kepala.
Menghapus draft email yang sudah bersusah
payah kutulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar