Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Kamis, 30 Agustus 2012

TSMJ #8 (By Kanata)


Dia Yang Lain

“Woi! Mau tidur sampe kapan!?” Suara Vanya mengganggu ketenangan telingaku.
“Kapan aja boleh.” Balasku sambil membalikan badan memunggunginya. “Just leave me alone!” Tambahku sambil melambaikan tangan sebagai tanda pengusiran.
Wake up, Sleeppy Head. Ini hari besar buat kamu.” Dia masih saja gigih menggoyang-goyangkan badanku.
Perlahan aku membuka mata. Tentu saja bukan kamar asrama yang tersaji di hadapanku. Dan suara ribut tadi juga bukan Vanya.
“Gimana tidurnya?” Tanya Diane sambil nyengir.
“Tidurnya oke. Bangunnya enggak.” Ucapku ketus.
Setelah melihat sekilas jam yang tergantung di dinding kamar aku langsung bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku masih tak habis pikir dengan kekuatan mental yang dimiliki oleh Diane. Hanya butuh seminggu baginya merajuk dengan tak menghubungiku sama sekali (seminggu yang teramat damai, sebetulnya). Namun pada hari kedelapan, PLOP, dia muncul begitu saja dan bersikap tak ada kejadian apapun. Sukar dipercaya, keluhku dalam hati.
Diane benar, ini memang hari besarku. Setelah persiapan intensif selama berbulan-bulan akhirnya hari ini datang juga. Hari olimpiade sains. Sambil menikmati tiap tetesan air yang mengaliri tubuh aku berusaha mengingat-ingat kembali presentasi yang harus aku sajikan di depan dewan juri. Aku yakin akan bisa memukau mereka. Semoga.
“Bajunya sudah saya siapkan, Tuan.” Ucap Diane yang menenteng celana abu-abu dan kemeja putih, seragam sekolahku. Aku mengambilnya dari tangan Diane tanpa berkata apapun.
“Mau saya bantu pakaikan?” tambahnya sambil tersenyum mencurigakan. Aku langsung bergidik memikirkan maksudnya.
“Oh, tidak, tidak, tidak.” Jawabku sambil mendorongnya keluar kamar.
Pintu terbanting di depannya. Dan agar lebih yakin aku pasang gerendel sekalian. Aku mendengus kesal. Apa sih yang ada dipikiran anak-anak jaman sekarang? Sepertinya Diane terlalu banyak menonton film dewasa sehingga di usia segitu tingkahnya tak ubahnya seperti mbak-mbak 21 tahun keatas.
Seperti yang sudah aku duga juga Diane bersikeras mengantarku hingga lokasi kegiatan. Sepanjang jalan tak hentinya mulut Diane mengoceh. Mengajukan pendapat dan pertanyaan-pertanyaan tak penting. Aku memilih pura-pura tertidur. Ocehan Diane baru berhenti setelah accord hitam yang kami tumpangi tiba di pelataran parkir Sabuga. Buru-buru aku keluar menuju lobi tempat diriku janjian dengan teman-teman sekolahku yang lain. Diane mengekor.
Sepertinya aku yang tiba paling akhir karena bahkan Pak Rendi (yang 99% dipastikan selalu terlambat) sudah hadir. Beliau tersenyum sementara para anak didiknya bersiul saat mendapati aku datang bersama Diane.  
“Jangan nanya!” Wira menutup kembali mulutnya. Suasana hatiku lumayan buruk sejak bangun tidur tadi, dan aku tak ingin bertambah buruk dengan mendengar komentar-komentar teman-temanku soal Diane.
“Oke. Semuanya sudah kumpul. Kita pengarahan dulu sebentar.” Ucap Pak Rendi menyuruh kami membentuk lingkaran di sekitarnya.
Kemudian dia menjelaskan segala macam hal yang harus kami lakukan (dan yang tak boleh kami lakukan) selama kegiatan. Aku tak benar-benar menyimak ceramahnya karena Diane menempel erat di sebelahku, membuat aku luar biasa risih.
“Mungkin kamu belum makan.” Tanpa aku sadari Fiona sudah berada di sebelah kananku, membuat aku diapit antara Diane dan Fiona. Dia menyodorkan tupperware kecil. “Aku bikin roti isi. Mudah-mudahan kamu suka.” Dia hanya memandangku sekilas.
Kuterima pemberiannya dengan ekspresi perpaduan terkejut dan senang. Kurasakan energi negatif dari Diane sementara Fiona kembali menyelusup keluar kerumunan dengan muka merah.
“Sekian yang bisa Bapak sampaikan. Semoga keberuntungan berpihak pada kita.”
Kami membubarkan diri, menuju tempat lomba masing-masing.
#
Satu persatu para peserta mempresentasikan makalahnya. Sejujurnya hasil penelitan mereka sangat bagus. Beberapa diantara mereka bahkan membawa objek penelitiannya. Seperti seorang peserta dari Lampung yang sedang mendemonstrasikan hasil temuannya tentang nyanyian anggrek. Suara lembut mendayu-dayu mengisi ruangan.
Masih ada dua peserta lagi sebelum giliranku tampil. Aku yang menjadi urutan terakhir. Antara ingin agar giliranku masih lama dan ingin segera selesai, aku duduk dengan perasaan sedikit gelisah. Segala yang telah aku siapkan selama ini tiba-tiba saja seperti menguap seperti embun menjelang siang. Kebiasaan lama, aku kembali melamun.
Seperti kegiatan setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami mengadakan kompetisi semacam “treasure hunter”. Tiap tim akan mendapat satu petunjuk yang mengarah pada petunjuk berikutnya sebelum akhirnya menemukan “harta karun”. Tentunya tema acaranya berbeda setiap tahun. Pada tahun keduaku (yang artinya tahun pertama Vanya), dia memohon-mohon apdaku agar bersedia menjadi pasangan dirinya dalam lomba tersebut.
“Ayolah, Nata. Kita ikutan ya?! Demi negara kita.” Ujarnya dengan muka sememelas mungkin.
“Jangan hanya gara-gara temanya Asia Tenggara, bukan berarti clue-nya mudah loh.” Aku beragumen. “Kamu tahu kan kalo Nguyen, anak tingkat 9, disebut Setan dari Timur gara-gara pengetahuannya yang luar biasa tentang Asia?”
“Kamu lupa ya kalo panitia tahun ini anak-anak Vietnam? Jadi secara teknis dia tuh gak boleh ikutan lomba.”
Tentu saja aku tahu hal tersebut, “Tapi bukan berarti semuanya mudah. Pasti banyak peserta lain yang gak kalah bagus. Contohnya Diki, temen seangkatanku dari Indonesia. Terus Winda, Gregorry, Hwang, Sayuri. Kita gak mungkin bisa kalahin mereka. Inget! Kita cuman jago dalam dunia sihir! Bukan dunia nyata!” Aku terus saja berargumen.
Vanya merenggut, “kan kita bisa lakukan persiapan dulu seminggu ini. Menghapal.”
Sejujujurnya aku juga ingin mengikuti lomba yang sudah menjadi tradisi di sekolah kami ini. Tapi aku malas memikirkan apa yang akan terjadi jika sampai kalah. Hanya satu tim yang akan jadi pemenang dan mendapatkan hadiah liburan eksklusif. Sementara tim yang kalah harus menjadi sukarelawan sosial selama tiga bulan (yang artinya takkan bisa menikmati liburan sama sekali).
Aku akhirnya menyerah. Mendaftarkan diri. Menghabiskan waktu berjam-jam bersama Vanya di perpustakaan dan depan layar komputer. Ikutan lomba. Lupa semua yang telah dibaca. Nyasar kemana-mana. Dan tentu saja kalah. Semua berkat Vanya.
Sepanjang kegiatan menjadi sukarelawan di panti jompo tak hentinya Vanya mencoba melakukan semua tugasku sebagai tanda permintaan maaf. Tentu saja aku akan menolak tawaran Vanya tersebut dan melakukan tugas yang memang seharusnya aku lakukan. Lagi pula toh baik kegiatan lombanya maupun menjadi sukarelawan bersama dia kurasa cukup menyenangkan untuk dilakukan.
Lamunanku berhenti ketika pembawa acara memanggil namaku untuk tampil. Setelah mengambil napas panjang untuk mengurangi rasa gugup aku maju menuju panggung dan mulai melakukan presentasi sebaik yang aku mampu.
Para penonton bertepuk tangan (teman-temanku bertepuk tangan sedikit berlebihan). Aku membungkukkan badan pada para juri sebagai tanda penghormatan terakhir. Kelegaan mengisi paru-paruku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah pasrah terhadap penilaian juri.
Saat sedang menuju kursi penonton sekilas kutangkap sebuah bayangan yang membuat hatiku sedikit mencelos. Vanya sedang berdiri di ambang pintu! Tersenyum dan mulai berjalan mendekatiku.
“Hai, lo pasti Kanata yang sering dia ceritain.” Ucapnya dengan suara berat khas pria.
Aku menerima uluran tangannya untuk bersalaman. Bentuk alis, bentuk rahang, bentuk mata, bentuk mulut. Kulihat sebuah gambaran yang sangat familiar pada dirinya.
“Kenalin, nama gua Revo.” Ucapnya sambil tersenyum. Bahkan senyumnya mirip Vanya. “Ada waktu sebentar? Kita ngobrol-ngobrol.” Tanpa menunggu persetujuanku Revo berjalan keluar ruangan. Aku mengekor di belakangnya.
Ya, dia Revo, abangnya Vanya yang pernah aku lihat dalam salah satu foto. Aku sungguh tak mengira kemiripannya akan seperti ini.
#
“Udah lama di Indonesia?” Ucapnya setelah menyodorkan sebotol teh kemasan.
Kami berdua duduk sambil memandangi sekelompok orang bermain basket di salah satu lapangan.
“Udah hampir setahun setengah ini pulang ke Bandung.” Aku menjawab pertanyaan yang dia ajukan.“Aku gak tau kalo Kakak kuliah disini.”
“Ck... Panggil nama aja! Gua gak suka dipanggil kayak gitu. Kesannya udah tua!” Dia membuka sebungkus besar keripik.
Aku mengangguk meski masih canggung. “Vanya sering cerita tentang lo.”
“Cerita tentang apa?”
“Macem-macem. Kayaknya tiap dia cerita selalu aja setidaknya nama lo disebut minimal sepuluh kali.” Dia menyodorkan keripik. Aku mengambil segenggam hanya demi kesopanan.
“Oh gitu?” Ujarku terkejut. “mungkin itu karena kami bersahabat baik selama disana.”
“Gua juga yakin gitu.” Keping demi keping keripik masuk ke mulutnya. Ternyata cerita Vanya benar bahwa kakak tertuanya ini sangat hobi makan (namun anehnya bertubuh kurus kering).
“Tapi katanya kalian berbagi banyak hal disana, tapi tak satupun hal kalian bagi selama disini.” Tambahnya tanpa memandangku.
Perasaanku lumayan tergores mendengarnya. Dia tahu bahwa aku tak membalas satupun email Vanya. Dia tahu bahwa aku tak sekalipun menelepon Vanya, bahkan hanya untuk berbasa-basi. Dia tahu, aku yakin itu.
“Kenapa?” Ujarnya melirikku sekilas. Tanpa tuduhan, tanpa kemarahan, tanpa kekecewaan. Itu adalah murni sebuah pertanyaan.
“Aku tak tahu...” Jawabku tanpa berani melihat wajahnya. Jawaban yang tak sepenuhnya jujur, namun juga bukan sebuah kebohongan.
“Lo pasti gak bakalan percaya kalo gua bilang Vanya ngancem gua agar mau nyariin lo. Waktu itu gua ngerasa gak perlu nyari, biarlah takdir yang mengatur pertemuan kita.” Dia terkekeh senang. “Dan ternyata feeling gua tepat kan? Lo sendiri yang datang kemari.”
“Dimana Vanya sekarang?”
“Pura-pura gak tau lagi! Pasti dia cerita di salah satu emailnya! Ya kan?”
“Aku gak pernah buka lagi email yang itu. Lupa password-nya.” Satu kebenaran dan satu kebohongan kulontarkan.
Revo mengangkat sebelah alisnya. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan namun dia tak mengucapkan apapun.
Well, apapun masalah kalian sebaiknya selesaikan bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan lari dari masalah!” Revo bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk mengilangkan debu. “Sayang sekali persahabatan kalian jika harus berakhir seperti ini.”
Dia mulai berjalan menuju gedung Sabuga, melanjutkan tugasnya sebagai salah satu panitia. Dua belas langkah berjalan dia berhenti sejenak. Memandangku.
“Jika kau lebih suka menyebut kebersamaan kebersamaan kalian itu sebagai sebuah persahabatan.”
Revo melontarkan sebuah kalimat yang selama hampir dua tahun ini menghantuiku bagai Dementor yang menunggu untuk memberi kecupan.
Vanya... Apa arti dia bagiku?

Sabtu, 18 Agustus 2012

TSMJ #7 (By: Vanya)


SI PEMBUAT LUKA

“Vanya, kemarin kamu di cari sama Aka!” suara Arnest terasa menusuk di telingaku karena level suaranya sudah melebihi ambang batas normal.
            “Aduuuh! Nggak usah pake teriak kenapa sih?” gerutuku sambil menggosok-gosok telinga.
            “Hehehe sori. Aku baru inget jadi spontan teriak,”
            “Emang dia mau ngomong apaan?” tanyaku sambil menghitung jumlah buku yang ada di mejaku.
            Hari ini aku diminta oleh ketua kelas untuk mengumpulkan buku-buku ini ke meja Pak Ramlan, lagi. Sebenarnya aku bukan pengurus kelas, tetapi entah kenapa si Abi, ketua kelas sok sibuk itu selalu menyuruhku. Bicaranya sangat cepat. Bahkan aku belum sempat menolak ketika ia sudah pergi begitu saja setelah memintaku untuk mengumpulkan buku-buku ini. Jika aku mempunyai kesempatan untuk menampar wajahnya, akan kutampar ketua kelas yang cerewet dan sok sibuk itu!
            Sebenarnya aku tak keberatan untuk mengantar buku-buku ini ke kantor guru. Yang jadi masalahnya adalah, hampir setiap ada perintah untuk mengumpulkan buku dari guru, aku yang ditugaskan oleh Abi untuk mengantarkannya ke kantor guru. Ah, aku pasti sudah ada di rumah jika aku  tak harus berkutat dengan buku-buku ini.
            “Nggak tahu sih, Nya. Aku juga nggak tanya. Emang kemarin kamu ke mana?”
            “Nggak ke mana-mana sih. Cuma langsung pulang aja,” aku mulai menghitung buku-buku ini dari awal. Pembicaraanku dengan Arnest merusak konsentrasiku. “Yap! Tiga puluh satu. Si Dony nggak masuk kan hari ini?”
            “Iya. Ya udah, cepet kumpulin yuk! Aku buru-buru mau pulang nih,” kata Arnest sambil menggendong tasnya.
            “Kalo kamu mau pulang sekarang nggak pa-pa kok, Nest. Kan cuma ngumpulin buku. Udah sana pulang!”
            “Ya udah deh. Aku pulang dulu ya. Kamu ati-ati ntar pulangnya,”
            “Kamu juga,” Arnest melambaikan tangannya dan menghilang di balik pintu kelas.
            Aku mengangkat buku-buku itu dan melangkah menuju kantor guru.
            Sekolah masih ramai dengan berbagai aktivitas ekskul. Mereka kelihatan sangat antusias dengan ekskul yang mereka ikuti. Aku sendiri, sama sekali tak tertarik mengukuti ekskul apapun. Semua ekstrakulikuler di sekolah ini terdengar sangat membosankan. Kalau saja ada ekskul atau organisasi pecinta Harry Potter barulah aku mau ikut.
            Aku masih terus memperhatikan orang-orang yang sedang asik mengikuti ekskul di tengah lapangan basket itu. Sungguh sangat membosankan. Untuk apa berlatih berbaris di tengah lapangan basket yang panas? Kalau aku jadi mereka, aku akan segera berlari ke tempat yang teduh dan bukannya berbaris tak jelas seperti itu. Entahlah. Mungkin bagi mereka hal itu menarik untuk dilakukan.
            Aku baru saja hendak kembali memperhatikan langkahku ketika sesuatu yang kuat tanpa sengaja kutabrak. Buku-bukuku jatuh menimpa kakiku. Aku merasa de javu .
            “Nggak pa-pa?” tanya orang itu, yang ternyata adalah Aka.
            “Sori Ka, aku nggak liat jalan,” aku memungut buku-buku itu dan di bantu Aka.
            “Yuk aku temenin ke kantor guru,”
            “Nggak us—“
Aka menarik tanganku tanpa mau repot-repot mendengar tolakanku.
            “Jadi kamu ketua kelas atau apa?” tanyanya.
            “Bukan. Aku cuma disuruh ngumpulin ini aja,”
            “Oh gitu. Kayaknya kamu sering banget ngumpulin buku ke kantor guru.”
            “Iya. Tahu Abi?” Aka mengangguk. “Nah, dia seneng banget perintah aku buat ngumpulin buku. Belum sempet aku bilang ‘nggak’ tapi dia udah ilang aja,”
            “Lain kali, sebelum ketua kelasmu itu ngomong kamu duluin aja. Lagipula kayaknya dia nggak sibuk-sibuk amat kalo cuma buat ngumpulin buku kayak gini,”Aka selesai bicara tepat saat kami sudah sampai di depan pintu kantor guru.
            “Iya deh. Ka, tunggu di sini aja ya, aku aja yang masuk,” kataku. Aku masuk dan meletakkan tiga puluh satu buku itu di meja Pak Ramlan, lalu segera keluar.
            Thanks ya Ka udah nganterin aku. oh iya, kata Arnest kemarin kamu cariin aku. Ada apa?”
            “Oh itu. hmm… itu. Aku…” Aka terbata sambil menggaruk kepalanya. Astaga! Apakah bicara sudah menjadi hal yang paling berat dalam hidup Aka?
            “Ya?”
            “Jadi, lusa itu ulang tahun mamaku. Dan, dan aku pengen minta tolong kamu buat cari kado buat mama,”
             Ternyata. “Ya ampun, santai aja kali. Ngomong gitu aja susah banget. Nggak usah ngerasa nggak enak, lagi, Ka,” aku tersenyum lebar. “Jadi kapan mau cari kadonya? Hari ini?”
            “Hari ini?” Aka terkejut. “Kamu bisa hari ini?”
            “Bisa kok. Nggak ada kerjaan juga di rumah. Tapi aku harus telepon rumah dulu,”
            “Sip. Aku tunggu di parkiran ya,” kata Aka mengakhiri pembicaraan.
            Setelah lima menit menjelaskan semuanya kepada Uti lewat telepon, akhirnya aku diperbolehkan pergi. Awalnya, Uti kurang setuju aku pergi. Tetapi setelah tahu aku akan pergi bersama Aka, Uti langsung bilang ‘iya’. Aku rasa Uti dan Akung masih berpikir aku dan Aka pacaran. Biarlah.
            Setelah selesai menelepon Uti, aku segera berlari menuju parkiran. Di sana Aka sudah menungguku di atas motornya. “Udah?” tanyanya.
            Aku tersenyum lalu mengangguk. “Udah. Yuk!”
            “Nih helmnya,” Aka menyodokan sebuah helm berwarna putih yang sama dengan yang ia pakai.
            Aku segera naik ke motor Aka lalu mengenakan helm putih itu. “Setiap hari kamu bawa dua helm, Ka?” tanyaku.
            “Nggak juga. Jaga-jaga aja, kali aja kamu mau aku ajak jalan. Dan bener kan?” Aka sedikit terkekeh.
            Aku sendiri merasa aneh. Harus merasa senang atau…
            Motor Aka berjalan perlahan dari parkiran menuju pintu gerbang depan sekolah, lalu meluncur lebih cepat setelah melewati pintu gerbang. Teman-temanku sering bilang, kalau cowok selalu memanfaatkan situasi seperti sekarang ini. Biasanya cowok akan berpura-pura mengerem mendadak jadi cewek yang ada dibelakangnya akan menabrak punggung cowok itu dan “merasakan” dada cewek. Itu sangat menjijikan. Tapi aku rasa, Aka bukanlah cowok yang seperti itu.
            Hp-ku bergetar saat Aka masuk ke tempat parkir Galleria Mall. Aku segera membuka pesan dari Arnest.
            Ciee yang lagi jalan sama Aka! Sampe temen sendiri di usir plus ga di pamitin.
            Dari mana orang itu tahu aku pergi bersama Aka? Bukannya tadi dia bilang mau pulang?
            Tau dr mana? bukannya kamu td udah pulang?
            Setelah ku kirim pesanku, Arnest langsung membalasnya.
            Tuh kan? Sampe nggak liat aku di parkiran? Aku tadi ngobrol sebentar sama Romi. hehe
            Sebelum aku sempat membalas pesan Arnest, ia sudah mengirimiku pesan lagi.
            Vanya, kamu hutang cerita sama aku, dan aku juga. Bsk aku ceritain, oke?
            Entah apa yang sedang terjadi pada sahabatku itu. Yang jelas dia aneh dan pelupa. Besok kan hari Minggu.
            “Udah sampe,Nya.Kamu mau duduk di situ terus atau temenin aku beli kado?” Aka tertawa pelan.
            “Iya. Sebentar,” aku turun dari motor aka dan melepas helm.
            Aka menunjukkan jalan menuju lift lalu segera naik ke lantai atas. Kami menjelajahi semua tempat di mall ini. Dan pada akhirnya, aku menyarankan Aka untuk membelikan mamanya sebuah jam tangan. Tetapi Aka masih saja ragu.
            “Ini nggak terlalu berlebihan, Ka. Lagian juga bisa milih sesuai budget. Daripada beliin tas. Mahal kan? Kalo mau beli yang murah juga biasanya KW,” aku terus memojokkan Aka agar dia mau mendengar saranku.
            Dia menatapku sebentar lalu kembali melihat sebuah jam tangan berwarna keemasan yang terlihat simple tetapi elegan yang ada di etalase toko. Jam itulah yang kupilihkan untuk mamanya. Aka menggosok-gosok dagunya dengan tangan kanannya. Dia tampak sangat bingung.
            Melihat Aka dari samping, membuatku mengingat seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat orang itu, tetapi tak berhasil. Ataukah karena dari samping, sekilas Aka mirip dengan Nata? Entahlah. Yang jelas, rasanya tak asing lagi. Seperti sudah melihat Aka sangat lama.
            “Oke. Watch!” Aka menjentikkan jarinya lalu menatapku sambil tersenyum.
            “Nah, gitu dong,” kataku lega. “Yang ini kan?” kataku memastikan.
            “Oke yang itu! Mama emang nggak terlalu suka yang bling-bling,” katanya. “Mbak yang itu ya,” kata Aka lagi. Kali ini ia tujukan pada penjaga toko yang dari tadi juga ikut bingung.
            Setelah sepuluh menit menunggu jam tangan itu dikemas, akhirnya penjaga toko itu memberikan sebuah paper bag berwarna hitam kecil berisikan jam tangan yang kupilihkan tadi. Kami segera pergi setelah Aka mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Jam ini memang cukup mahal.
            “Kamu sayang banget ya sama mama kamu?” kataku kepada Aka ketika hendak masuk ke lift. Untung saja lift ini kosong.
            Aka tersenyum sesaat. “Aku kan anak yang baik,”
            “Pede!” kataku sambil tertawa.
            “Mau makan di mana nih?”
            “Nggak ah. Kita pulang aja, Ka. Minggu depan kan udah ujian semester,”
            “Terus?”
            “Terus?” kataku setengah shock. “Emangnya kamu nggak belajar?”
            “Males ah,” Aka tersenyum jahil. Membuatku tertawa dan melupakan kekagetanku akan kecuekan Aka soal ujian. Dasar Aka!
            “Udah yuk, pulang!” aku menyeret lengan Aka keluar dari lift yang sudah sampai di basement.
            “Oke, Nona Vanya Diartha Nirwana!”
            Astaga! Pikiranku melayang-layang karena kata-kata Aka barusan. Mengapa hal sekecil itu bisa membuatku mengingat orang yang sangat ingin kulupakan itu? mengapa hal kecil seperti itu membuat Nata menempel di otakku, lagi?
            Aku berjalan menuju motor Aka dengan sedikit linglung. Bayangan Nata masih sangat jelas di otakku. Untuk sedetik aku ingin menangis lagi, tetapi detik berikutnya aku mulai sadar dengan kenyataan yang berbicara saat ini. Untuk apa aku memikirkan orang yang memintaku untuk pergi? Ada Aka di sini. Ada Aka yang menganggapku ada. Bukan Nata.
            Aku segera mengenyahkan bayangan Nata itu sebisa mungkin. Saat aku mulai memasang senyum lagi, saat itulah motor Aka memasuki halaman rumah Uti. Lalu, aku segera turun dari motor Aka. Belum sempat aku berbicara sepatah kata pun, Uti sudah berdiri di ambang pintu dan menyuruh Aka untuk masuk.
            “Baik Uti!” kata Aka penuh semangat.
            Jadilah Aka mengobrol sebentar dengan Uti. Ia bercerita kepada Uti alasan aku ia ajak ke mall. Uti malah dengan penuh sumringah mendengar cerita Aka. Aku jadi semakin tak enak dengan situasi seperti ini. Aku yakin seribu persen, Uti masih menyangka aku dan Aka berpacaran.
            “Waaah, Nak Aka lagi,” Akung yang baru saja selesai bermain catur dengan Pak Min, ikutan menyambut Aka.
            “Wah, Uti, Akung, Aka mau pulang. Minggu depan kan udah ujian, ya kan, Ka?” aku menoleh ke Aka dengan memberikan tanda lewat mataku.
            “Nggak—“
            “Nggak salah, Uti,” kataku memotong kata-kata Aka.
            Sebelum Akung sempat mengajak Aka bermain catur, aku segera membawanya keluar dari rumah.
            Di luar, Aka justru terbahak-bahak. Membuatku ingin membungkam mulut Aka dengan sekantong sampah.
            “Udah ketawanya! Emang apa yang lucu?” tanyaku manyun.
            “Kamu. Mukamu barusan kocak banget! Kenapa sih aku di usir? Uti sama Akungmu aja ramah sama aku?” kata Aka setelah tawanya reda.
            “Iya, itu gara-gara kayaknya mereka masih ngira kamu ini pacarku,”
            “Memang kan?”
            “Apa?”
            “Kenapa kamu nggak pake jepit kupu-kupumu itu? bukannya itu jepit kesayanganmu?” Aka membelokkan pembicaraan.
            Aku menyentuh kepalaku sekilas. “Nggak. Aku nggak mau pake itu,” aku menggeleng pelan.
            Aka terlihat bingung, lalu bertanya kepadaku, “Kenapa?”
            “Ceritanya panjang,”
            “Panjang atau pendek aku dengerin,”
            “Udah, Ka. Pulang aja, aku mau belajar nih,”
            Alis Aka tampak menyatu. “Cerita, atau aku bakalan lebih lama di sini dan kamu nggak bisa belajar?” ancam Aka.
            Aku berpikir sejenak, apakah aku harus menceritakan semua ini, tentang Nata pada Aka. Aku rasa Aka juga harus tahu ini. Tidak ada salahnya aku bercerita. Toh aku sudah memutuskan Aka yang menjadi semangat baruku di tempat ini.
            Pertama-tama aku mengajak Aka duduk di sebuah pohon yang cukup besar di pinggir lapangan bola di dekat rumah Uti. Kemudian, semua ceritaku mengalir begitu saja sepeti air yang tak menemui batuan. Tahun pertamaku di London School of Future Education, pertemuanku dengan Nata, kepergian Nata, dan lainnya. Aka mendengarkan ceritaku tanpa ekspresi. Aku sedikit terkejut dengan sikap Aka itu, tetapi ceritaku terus berlanjut.
            “Jadi, kamu suka sama sahabatmu itu, Vanya?”
            “Dulu,” kataku, lebih untuk berdoa. Berdoa agar kataku barusan memang benar adanya. “Nggak lagi. Itu alesanku buat nggak pake jepit itu. Membuang kenangan sekecil apapun,”
            Angin malam berhembus pelan. Menciptakan kedinginan yang menusuk kulit bagai belati. Aka terdiam. Begitu juga aku. menceritakan semuanya kepada Aka membuatku semakin kuat di dera masa lalu. Aku sangat bersyukur ketika Aka bilang bahwa ia mau pulang. Dengan begitu, aku mempunyai waktu untuk kembali menyapu sisa-sisa bayangan Nata.
            Sesampainya di kamar, aku sudah tak mempunyai mood lagi untuk belajar. Aku hanya ingin berbicara dengan Arnest. Maka kutelepon sahabatku itu. Bukannya Arnest yang berbicara, justru suara operatorlah yang masuk ke dalam telingaku. Suara itu memberitahuku bahwa hp Arnest sedang tidak aktif.
            Sial!
            Akhirnya, aku memilih untuk tidur.
###
            Ternyata Arnest benar-benar serius untuk menagih cerita dariku sampai-sampai ia datang ke rumahku
            “WHAT?!” Arnest berteriak setelah mendengar ceritaku soal kemarin. Untung saja Uti dan Akung sedang tak ada di rumah. Jadi mereka tak perlu mendengar teriakan histeris Arnest yang mengerikan itu.
            “Salah ya kalau aku cerita itu ke Aka?”
            “Kamu… Astaga, Vanya!” Arnest menatapku seolah-olah aku baru saja berkata “Aku-baru-saja-menampar-mami-mu, Nest,”
            “Vanya,” Arnest memulai. “Kamu tau apa yang kamu lakuin kemarin? Kamu udah membuat garis putih buat ngebatesin kalian berdua. Aka bakalan mundur teratur setelah ndenger ceritamu kemarin!” jelas Arnest.
            Aku berpikir sejenak. Arnest tidak salah. Keputusanku untuk bercerita tentang Nata itu memang buruk. Seharusnya aku menanyakan hal ini dulu kepada Arnest. Ah, sudah terlambat!
            “Terus gimana dong, Nest? Aku nggak mau Aka jadi benci aku atau ngejauh,” tanyaku penuh harap.
            “Gini deh, kita liat reaksi Aka habis denger cerita kamu kemarin, oke?”
            Aku mengangguk penuh rasa ragu.
            Beberapa menit kemudian, Arnest kembali berteriak. Kali ini bukan soal Aka, tetapi Romi. Dari semua cerita yang keluar dari mulut Arnest, aku hanya menangkap satu inti saja: Romi mengajak Arnest pergi nonton nanti sore. Selebihnya, telingaku ditulikan oleh rasa sesal karena kejadian kemarin.
            Setelah Arnest pulang dengan kehebohan yang masih tersisa karena ajakan Romi itu, aku memutuskan untuk kembali belajar. Aku tidak ingin perasaan tak enakku pada Aka membuatku kehilangan semangat untuk belajar. Dengan semangat yang tinggi, aku mulai melahap buku demi buku yang kubutuhkan untuk ujian besok pagi.
            Baru saja aku akan beranjak menuju dapur untuk mengambil cokelat, bel rumah sudah berbunyi nyaring. Langkah kakiku yang awalnya akan menginjak lantai dapur, kini berbelok menuju pintu depan. Dan di sana, berdirilah seorang laki-laki yang kukenal. Aka.
            Aku tersenyum ramah. “Hai, Ka. Ada apa?” tanyaku.
            “Boleh aku ngomong sesuatu? Hmm… tapi nggak di sini. Bisa nggak kita ke lapangan yang waktu itu?”
            Keningku berkerut, bingung. Tetapi aku tetap mengiyakan.
            Ketika berjalan menuju lapangan bola dekat rumah Uti, Aka sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku mulai merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Firasatku jadi tak enak.
            “Jadi,” aku mulai bersuara ketika kami sudah sampai di bawah pohon yang sama dengan kemarin malam.
Entah kenapa, sore menjelang malam seperti ini lapangan ini justru sepi. Padahal biasanya sore adalah waktu untuk anak-anak kompleks ini untuk bermain bola. Mungkin anak-anak itu sudah pulang.
“Kamu mau ngomong apa, Ka?” lanjutku.
Aka menatap gawang di sebelah selatan lapangan yang berdiri sendirian. Jaring gawang itu bergoyang-goyang di hembus angin, seperti rambutku. Anginnya memang lumayan besar hari ini. Tetapi aku yakin, angin ini tak ada kaitannya dengan Aka yang sedang memandang gawang dengan mata tak fokus seperti itu.
“Vanya,” Aka mengalihkan matanya tepat ke mataku.
Entah mengapa, aku merasa jantungku berdebar-debar menunggu kalimat Aka selanjutnya. “Ya?”
“Apa kamu masih inget sama temen TK mu yang dulu pernah menarik rambutmu sampai terjatuh?”
Aku semakin bingung, tetapi aku mencoba mengingat kejadian yang baru saja Aka tanyakan. Butuh waktu lumayan lama sampai aku mengingat betul kejadian yang lebih dari satu dekade yang lalu itu. “Oh iya, aku inget. Yang narik rambutku waktu itu cowok, cuma aku lupa siapa namanya. Yang jelas waktu itu dia cowok yang suka ngejailin aku. Hah! Aku benci cowok itu! Kalau aku ketemu lagi sama itu cowok, bakalan aku jambak rambutnya!” kataku penuh emosi. Sampai-sampai aku jadi tak berpikir jernih.
Aka tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku.
“Astaga!” kataku lagi setelah selang beberapa detik. “Jangan-jangan kamu cowok itu?! Iya Ka?” mataku membulat menatap Aka.
“Haha,” Aka belum juga berhenti tertawa. “Iya, Nya. Itu aku,”
Aku shock. Ternyata orang yang berdiri di depanku ini adalah cowok yang paling nakal di TK dulu. “Jadi, kamu?! Pantes aja waktu kamu ngembaliin jepit rambutku dulu, kamu tahu namaku. Iiiiihh!” aku mulai menarik rambut Aka sampai Aka memohon-mohon untuk melepaskan rambutnya.
“Itu balesanku! Kamu liat ini?” aku menunjukkan bekas luka kecil yang ada di lututku. Luka itu kudapat saat aku terjatuh setelah rambutku ditarik oleh Aka. “Ini, gara-gara kamu tau!”
            Aka malah kembali tertawa.
Lama kelamaan tawa Aka memudar di gantikan oleh suara daun-daun yang bergesekan karena ditiup angin. Angin itu menyisakan rasa dingin yang seperti merasuki setiap pori-pori tubuhku.
“Vanya, aku punya sesuatu buat kamu,” Aka meraba kantong di jaket biru tua yang ia pakai. “Nih,” ia menyodorkan sepasang jepit rambut bunga matahari kecil yang imut. Aku hampir memekik kegirangan melihatnya.
Thanks, Ka. Aku mau pake,” Aku memasang salah satu dari jepit rambut pemberian Aka. Lalu, tersenyum cerah, secerah bunga matahari.
“Kamu lebih cantik pake jepit rambut, Nya. Anggap aja itu permintaan maafku karena udah narik rambutmu waktu kecil,” Aka tersenyum, rambutnya yang sedikit panjang bergoyang-goyang mengikuti hembusan angin.
Aku yang tak tahu harus bicara apa, hanya tersenyum sambil menggenggam erat satu jepit bunga matahari.
Setelah hening cukup lama, aku mulai angkat bicara. “Kenapa dulu kamu nakal banget, Ka? Kayaknya kamu benci banget sama aku sampe setiap hari aku kamu bikin nangis,”
“Nggak. Justru aku suka sama kamu,”
Aku menoleh ke arah Aka. Matahari yang mulai menghilang ke peraduannya, membuatnya tampak seperti bayangan hitam. Indah sekali.
“Iya,” Aka kembali melanjutkan. “Aku suka gangguin kamu biar kamu mau perhatiin aku,”Aka mulai menoleh ke arahku. Mata kami bertemu.
“Dan sampe sekarang, aku masih suka sama kamu, Nya,” kata Aka dengan mimik yang serius. Raut wajah yang berbeda dari biasanya.
“Aku juga suka kamu kok, Ka. Kamu baik sama aku, kamu udah ngasih jepit ini, walaupun dulu kamu yang bikin luka di lututku,” aku tertawa pelan. Aka melihatku dengan alis yang menyatu. “Kenapa?” tanyaku.
“Bukan itu, bukan suka seperti itu. Suka yang… you know? Love? I… I love you, Vanya,”
Sekarang aku tahu bagaimana rasanya tersetrum oleh listrik ribuan watt. Pasti seperti ini rasanya. Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku dengar. Aka menyukaiku? Suka yang, antara laki-laki dan perempuan? Kalau saja Aka tak menyentuh tanganku, mungkin aku akan menganggap ini mimpi.
“Jadi Vanya, kamu mau jadi… pacarku kan?”
Vanya, bukankah itu yang kamu inginkan? Aku mulai meyakinkan diri. Ini memang yang aku inginkan. Aku bersama Aka dan melupakan yang ada di belakangku. Aka. Ya, dia orang yang  baik. Apa lagi?
Aku tersenyum lebar. “Iya, aku mau,”
Dan angin mulai bertiup lagi. Tak hanya membuat daun-daun bergesekkan. Tetapi juga mambuat daun-daun yang sudah menguning berterbangan sampai ke tengah lapangan. Aku tahu, mulai hari ini, semua akan baik-baik saja. Ada Aka bersamaku. Ada sedikit rasa yang aneh di hatiku, tetapi menghilang begitu saja karena rasa bahagiaku yang lebih banyak. Apa aku bahagia? Iya. Aku rasa, iya.
Setelah ujian semester selesai, Arnest memberiku pesan untuk melihat mading buatannya dengan Romi. Mading itu membicarakan tentang anomali cuaca. Aku yang melihatnya, sama sekali tak tertarik untuk membacanya. Sampai akhirnya, mataku menemukan sebaris tulisan berwarna pink di sudut kanan bawah mading, yang bertuliskan: Pojok Mading. Di sana, ada beberapa huruf yang berjejer rapi. Aku tahu, itu tulisan Arnest. Aku mulai membacanya.
Cinta membuat orang tak melihat celah kegelapan. Yang bisa di lihat adalah yang seindah pelangi di langit biru.
Aku tak terlalu mengerti kata-kata itu. Tetapi aku tahu itu di tulis untukku. Dan tentu saja, untuk Arnest sendiri.