SI PEMBUAT LUKA
“Vanya, kemarin kamu di cari sama
Aka!” suara Arnest terasa menusuk di telingaku karena level suaranya sudah
melebihi ambang batas normal.
“Aduuuh!
Nggak usah pake teriak kenapa sih?” gerutuku sambil menggosok-gosok telinga.
“Hehehe
sori. Aku baru inget jadi spontan teriak,”
“Emang
dia mau ngomong apaan?” tanyaku sambil menghitung jumlah buku yang ada di
mejaku.
Hari
ini aku diminta oleh ketua kelas untuk mengumpulkan buku-buku ini ke meja Pak
Ramlan, lagi. Sebenarnya aku bukan pengurus kelas, tetapi entah kenapa si Abi,
ketua kelas sok sibuk itu selalu menyuruhku. Bicaranya sangat cepat. Bahkan aku
belum sempat menolak ketika ia sudah pergi begitu saja setelah memintaku untuk
mengumpulkan buku-buku ini. Jika aku mempunyai kesempatan untuk menampar
wajahnya, akan kutampar ketua kelas yang cerewet dan sok sibuk itu!
Sebenarnya
aku tak keberatan untuk mengantar buku-buku ini ke kantor guru. Yang jadi
masalahnya adalah, hampir setiap ada perintah untuk mengumpulkan buku dari
guru, aku yang ditugaskan oleh Abi untuk mengantarkannya ke kantor guru. Ah,
aku pasti sudah ada di rumah jika aku tak harus berkutat dengan buku-buku ini.
“Nggak
tahu sih, Nya. Aku juga nggak tanya. Emang kemarin kamu ke mana?”
“Nggak
ke mana-mana sih. Cuma langsung pulang aja,” aku mulai menghitung buku-buku ini
dari awal. Pembicaraanku dengan Arnest merusak konsentrasiku. “Yap! Tiga puluh
satu. Si Dony nggak masuk kan hari ini?”
“Iya.
Ya udah, cepet kumpulin yuk! Aku buru-buru mau pulang nih,” kata Arnest sambil
menggendong tasnya.
“Kalo
kamu mau pulang sekarang nggak pa-pa kok, Nest. Kan cuma ngumpulin buku. Udah
sana pulang!”
“Ya
udah deh. Aku pulang dulu ya. Kamu ati-ati ntar pulangnya,”
“Kamu
juga,” Arnest melambaikan tangannya dan menghilang di balik pintu kelas.
Aku
mengangkat buku-buku itu dan melangkah menuju kantor guru.
Sekolah
masih ramai dengan berbagai aktivitas ekskul. Mereka kelihatan sangat antusias
dengan ekskul yang mereka ikuti. Aku sendiri, sama sekali tak tertarik
mengukuti ekskul apapun. Semua ekstrakulikuler di sekolah ini terdengar sangat
membosankan. Kalau saja ada ekskul atau organisasi pecinta Harry Potter barulah
aku mau ikut.
Aku
masih terus memperhatikan orang-orang yang sedang asik mengikuti ekskul di
tengah lapangan basket itu. Sungguh sangat membosankan. Untuk apa berlatih
berbaris di tengah lapangan basket yang panas? Kalau aku jadi mereka, aku akan
segera berlari ke tempat yang teduh dan bukannya berbaris tak jelas seperti
itu. Entahlah. Mungkin bagi mereka hal itu menarik untuk dilakukan.
Aku
baru saja hendak kembali memperhatikan langkahku ketika sesuatu yang kuat tanpa
sengaja kutabrak. Buku-bukuku jatuh menimpa kakiku. Aku merasa de javu .
“Nggak
pa-pa?” tanya orang itu, yang ternyata adalah Aka.
“Sori
Ka, aku nggak liat jalan,” aku memungut buku-buku itu dan di bantu Aka.
“Yuk
aku temenin ke kantor guru,”
“Nggak
us—“
Aka menarik tanganku tanpa mau
repot-repot mendengar tolakanku.
“Jadi
kamu ketua kelas atau apa?” tanyanya.
“Bukan.
Aku cuma disuruh ngumpulin ini aja,”
“Oh
gitu. Kayaknya kamu sering banget ngumpulin buku ke kantor guru.”
“Iya.
Tahu Abi?” Aka mengangguk. “Nah, dia seneng banget perintah aku buat ngumpulin
buku. Belum sempet aku bilang ‘nggak’ tapi dia udah ilang aja,”
“Lain
kali, sebelum ketua kelasmu itu ngomong kamu duluin aja. Lagipula kayaknya dia
nggak sibuk-sibuk amat kalo cuma buat ngumpulin buku kayak gini,”Aka selesai
bicara tepat saat kami sudah sampai di depan pintu kantor guru.
“Iya
deh. Ka, tunggu di sini aja ya, aku aja yang masuk,” kataku. Aku masuk dan
meletakkan tiga puluh satu buku itu di meja Pak Ramlan, lalu segera keluar.
“Thanks ya Ka udah nganterin aku. oh iya,
kata Arnest kemarin kamu cariin aku. Ada apa?”
“Oh
itu. hmm… itu. Aku…” Aka terbata sambil menggaruk kepalanya. Astaga! Apakah
bicara sudah menjadi hal yang paling berat dalam hidup Aka?
“Ya?”
“Jadi,
lusa itu ulang tahun mamaku. Dan, dan aku pengen minta tolong kamu buat cari
kado buat mama,”
Ternyata. “Ya ampun, santai aja kali. Ngomong
gitu aja susah banget. Nggak usah ngerasa nggak enak, lagi, Ka,” aku tersenyum
lebar. “Jadi kapan mau cari kadonya? Hari ini?”
“Hari
ini?” Aka terkejut. “Kamu bisa hari ini?”
“Bisa
kok. Nggak ada kerjaan juga di rumah. Tapi aku harus telepon rumah dulu,”
“Sip.
Aku tunggu di parkiran ya,” kata Aka mengakhiri pembicaraan.
Setelah
lima menit menjelaskan semuanya kepada Uti lewat telepon, akhirnya aku
diperbolehkan pergi. Awalnya, Uti kurang setuju aku pergi. Tetapi setelah tahu
aku akan pergi bersama Aka, Uti langsung bilang ‘iya’. Aku rasa Uti dan Akung
masih berpikir aku dan Aka pacaran. Biarlah.
Setelah
selesai menelepon Uti, aku segera berlari menuju parkiran. Di sana Aka sudah
menungguku di atas motornya. “Udah?” tanyanya.
Aku
tersenyum lalu mengangguk. “Udah. Yuk!”
“Nih
helmnya,” Aka menyodokan sebuah helm berwarna putih yang sama dengan yang ia
pakai.
Aku
segera naik ke motor Aka lalu mengenakan helm putih itu. “Setiap hari kamu bawa
dua helm, Ka?” tanyaku.
“Nggak
juga. Jaga-jaga aja, kali aja kamu mau aku ajak jalan. Dan bener kan?” Aka
sedikit terkekeh.
Aku
sendiri merasa aneh. Harus merasa senang atau…
Motor
Aka berjalan perlahan dari parkiran menuju pintu gerbang depan sekolah, lalu
meluncur lebih cepat setelah melewati pintu gerbang. Teman-temanku sering
bilang, kalau cowok selalu memanfaatkan situasi seperti sekarang ini. Biasanya
cowok akan berpura-pura mengerem mendadak jadi cewek yang ada dibelakangnya
akan menabrak punggung cowok itu dan “merasakan” dada cewek. Itu sangat
menjijikan. Tapi aku rasa, Aka bukanlah cowok yang seperti itu.
Hp-ku
bergetar saat Aka masuk ke tempat parkir Galleria Mall. Aku segera membuka
pesan dari Arnest.
Ciee yang lagi jalan sama Aka! Sampe temen
sendiri di usir plus ga di pamitin.
Dari
mana orang itu tahu aku pergi bersama Aka? Bukannya tadi dia bilang mau pulang?
Tau dr mana? bukannya kamu td udah
pulang?
Setelah
ku kirim pesanku, Arnest langsung membalasnya.
Tuh kan? Sampe nggak liat aku di parkiran?
Aku tadi ngobrol sebentar sama Romi. hehe
Sebelum
aku sempat membalas pesan Arnest, ia sudah mengirimiku pesan lagi.
Vanya, kamu hutang cerita sama aku, dan aku
juga. Bsk aku ceritain, oke?
Entah
apa yang sedang terjadi pada sahabatku itu. Yang jelas dia aneh dan pelupa.
Besok kan hari Minggu.
“Udah
sampe,Nya.Kamu mau duduk di situ terus atau temenin aku beli kado?” Aka tertawa
pelan.
“Iya.
Sebentar,” aku turun dari motor aka dan melepas helm.
Aka
menunjukkan jalan menuju lift lalu segera naik ke lantai atas. Kami menjelajahi
semua tempat di mall ini. Dan pada akhirnya, aku menyarankan Aka untuk
membelikan mamanya sebuah jam tangan. Tetapi Aka masih saja ragu.
“Ini
nggak terlalu berlebihan, Ka. Lagian juga bisa milih sesuai budget. Daripada
beliin tas. Mahal kan? Kalo mau beli yang murah juga biasanya KW,” aku terus
memojokkan Aka agar dia mau mendengar saranku.
Dia
menatapku sebentar lalu kembali melihat sebuah jam tangan berwarna keemasan
yang terlihat simple tetapi elegan yang ada di etalase toko. Jam itulah yang
kupilihkan untuk mamanya. Aka menggosok-gosok dagunya dengan tangan kanannya.
Dia tampak sangat bingung.
Melihat
Aka dari samping, membuatku mengingat seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat
orang itu, tetapi tak berhasil. Ataukah karena dari samping, sekilas Aka mirip
dengan Nata? Entahlah. Yang jelas, rasanya tak asing lagi. Seperti sudah
melihat Aka sangat lama.
“Oke.
Watch!” Aka menjentikkan jarinya lalu
menatapku sambil tersenyum.
“Nah,
gitu dong,” kataku lega. “Yang ini kan?” kataku memastikan.
“Oke
yang itu! Mama emang nggak terlalu suka yang bling-bling,” katanya. “Mbak yang
itu ya,” kata Aka lagi. Kali ini ia tujukan pada penjaga toko yang dari tadi
juga ikut bingung.
Setelah
sepuluh menit menunggu jam tangan itu dikemas, akhirnya penjaga toko itu
memberikan sebuah paper bag berwarna
hitam kecil berisikan jam tangan yang kupilihkan tadi. Kami segera pergi
setelah Aka mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Jam ini memang
cukup mahal.
“Kamu
sayang banget ya sama mama kamu?” kataku kepada Aka ketika hendak masuk ke
lift. Untung saja lift ini kosong.
Aka
tersenyum sesaat. “Aku kan anak yang baik,”
“Pede!”
kataku sambil tertawa.
“Mau
makan di mana nih?”
“Nggak
ah. Kita pulang aja, Ka. Minggu depan kan udah ujian semester,”
“Terus?”
“Terus?”
kataku setengah shock. “Emangnya kamu nggak belajar?”
“Males
ah,” Aka tersenyum jahil. Membuatku tertawa dan melupakan kekagetanku akan
kecuekan Aka soal ujian. Dasar Aka!
“Udah
yuk, pulang!” aku menyeret lengan Aka keluar dari lift yang sudah sampai di basement.
“Oke,
Nona Vanya Diartha Nirwana!”
Astaga!
Pikiranku melayang-layang karena kata-kata Aka barusan. Mengapa hal sekecil itu
bisa membuatku mengingat orang yang sangat ingin kulupakan itu? mengapa hal
kecil seperti itu membuat Nata menempel di otakku, lagi?
Aku
berjalan menuju motor Aka dengan sedikit linglung. Bayangan Nata masih sangat
jelas di otakku. Untuk sedetik aku ingin menangis lagi, tetapi detik berikutnya
aku mulai sadar dengan kenyataan yang berbicara saat ini. Untuk apa aku
memikirkan orang yang memintaku untuk pergi? Ada Aka di sini. Ada Aka yang
menganggapku ada. Bukan Nata.
Aku
segera mengenyahkan bayangan Nata itu sebisa mungkin. Saat aku mulai memasang
senyum lagi, saat itulah motor Aka memasuki halaman rumah Uti. Lalu, aku segera
turun dari motor Aka. Belum sempat aku berbicara sepatah kata pun, Uti sudah
berdiri di ambang pintu dan menyuruh Aka untuk masuk.
“Baik
Uti!” kata Aka penuh semangat.
Jadilah
Aka mengobrol sebentar dengan Uti. Ia bercerita kepada Uti alasan aku ia ajak
ke mall. Uti malah dengan penuh sumringah mendengar cerita Aka. Aku jadi
semakin tak enak dengan situasi seperti ini. Aku yakin seribu persen, Uti masih
menyangka aku dan Aka berpacaran.
“Waaah,
Nak Aka lagi,” Akung yang baru saja selesai bermain catur dengan Pak Min, ikutan
menyambut Aka.
“Wah,
Uti, Akung, Aka mau pulang. Minggu depan kan udah ujian, ya kan, Ka?” aku
menoleh ke Aka dengan memberikan tanda lewat mataku.
“Nggak—“
“Nggak
salah, Uti,” kataku memotong kata-kata Aka.
Sebelum
Akung sempat mengajak Aka bermain catur, aku segera membawanya keluar dari
rumah.
Di
luar, Aka justru terbahak-bahak. Membuatku ingin membungkam mulut Aka dengan
sekantong sampah.
“Udah
ketawanya! Emang apa yang lucu?” tanyaku manyun.
“Kamu.
Mukamu barusan kocak banget! Kenapa sih aku di usir? Uti sama Akungmu aja ramah
sama aku?” kata Aka setelah tawanya reda.
“Iya,
itu gara-gara kayaknya mereka masih ngira kamu ini pacarku,”
“Memang
kan?”
“Apa?”
“Kenapa
kamu nggak pake jepit kupu-kupumu itu? bukannya itu jepit kesayanganmu?” Aka
membelokkan pembicaraan.
Aku
menyentuh kepalaku sekilas. “Nggak. Aku nggak mau pake itu,” aku menggeleng
pelan.
Aka
terlihat bingung, lalu bertanya kepadaku, “Kenapa?”
“Ceritanya
panjang,”
“Panjang
atau pendek aku dengerin,”
“Udah,
Ka. Pulang aja, aku mau belajar nih,”
Alis
Aka tampak menyatu. “Cerita, atau aku bakalan lebih lama di sini dan kamu nggak
bisa belajar?” ancam Aka.
Aku
berpikir sejenak, apakah aku harus menceritakan semua ini, tentang Nata pada
Aka. Aku rasa Aka juga harus tahu ini. Tidak ada salahnya aku bercerita. Toh
aku sudah memutuskan Aka yang menjadi semangat baruku di tempat ini.
Pertama-tama
aku mengajak Aka duduk di sebuah pohon yang cukup besar di pinggir lapangan
bola di dekat rumah Uti. Kemudian, semua ceritaku mengalir begitu saja sepeti
air yang tak menemui batuan. Tahun pertamaku di London School of Future Education, pertemuanku dengan Nata, kepergian Nata, dan
lainnya. Aka mendengarkan ceritaku tanpa ekspresi. Aku sedikit terkejut dengan
sikap Aka itu, tetapi ceritaku terus berlanjut.
“Jadi, kamu suka sama sahabatmu itu,
Vanya?”
“Dulu,” kataku, lebih untuk berdoa.
Berdoa agar kataku barusan memang benar adanya. “Nggak lagi. Itu alesanku buat
nggak pake jepit itu. Membuang kenangan sekecil apapun,”
Angin malam berhembus pelan.
Menciptakan kedinginan yang menusuk kulit bagai belati. Aka terdiam. Begitu
juga aku. menceritakan semuanya kepada Aka membuatku semakin kuat di dera masa
lalu. Aku sangat bersyukur ketika Aka bilang bahwa ia mau pulang. Dengan
begitu, aku mempunyai waktu untuk kembali menyapu sisa-sisa bayangan Nata.
Sesampainya di kamar, aku sudah tak
mempunyai mood lagi untuk belajar.
Aku hanya ingin berbicara dengan Arnest. Maka kutelepon sahabatku itu. Bukannya
Arnest yang berbicara, justru suara operatorlah yang masuk ke dalam telingaku.
Suara itu memberitahuku bahwa hp Arnest sedang tidak aktif.
Sial!
Akhirnya, aku memilih untuk tidur.
###
Ternyata Arnest benar-benar serius
untuk menagih cerita dariku sampai-sampai ia datang ke rumahku
“WHAT?!”
Arnest berteriak setelah mendengar ceritaku soal kemarin. Untung saja Uti dan
Akung sedang tak ada di rumah. Jadi mereka tak perlu mendengar teriakan
histeris Arnest yang mengerikan itu.
“Salah ya kalau aku cerita itu ke
Aka?”
“Kamu… Astaga, Vanya!” Arnest
menatapku seolah-olah aku baru saja berkata “Aku-baru-saja-menampar-mami-mu,
Nest,”
“Vanya,” Arnest memulai. “Kamu tau
apa yang kamu lakuin kemarin? Kamu udah membuat garis putih buat ngebatesin
kalian berdua. Aka bakalan mundur teratur setelah ndenger ceritamu kemarin!”
jelas Arnest.
Aku berpikir sejenak. Arnest tidak
salah. Keputusanku untuk bercerita tentang Nata itu memang buruk. Seharusnya aku
menanyakan hal ini dulu kepada Arnest. Ah, sudah terlambat!
“Terus gimana dong, Nest? Aku nggak
mau Aka jadi benci aku atau ngejauh,” tanyaku penuh harap.
“Gini deh, kita liat reaksi Aka
habis denger cerita kamu kemarin, oke?”
Aku mengangguk penuh rasa ragu.
Beberapa menit kemudian, Arnest
kembali berteriak. Kali ini bukan soal Aka, tetapi Romi. Dari semua cerita yang
keluar dari mulut Arnest, aku hanya menangkap satu inti saja: Romi mengajak
Arnest pergi nonton nanti sore. Selebihnya, telingaku ditulikan oleh rasa sesal
karena kejadian kemarin.
Setelah Arnest pulang dengan
kehebohan yang masih tersisa karena ajakan Romi itu, aku memutuskan untuk
kembali belajar. Aku tidak ingin perasaan tak enakku pada Aka membuatku
kehilangan semangat untuk belajar. Dengan semangat yang tinggi, aku mulai
melahap buku demi buku yang kubutuhkan untuk ujian besok pagi.
Baru saja aku akan beranjak menuju
dapur untuk mengambil cokelat, bel rumah sudah berbunyi nyaring. Langkah kakiku
yang awalnya akan menginjak lantai dapur, kini berbelok menuju pintu depan. Dan
di sana, berdirilah seorang laki-laki yang kukenal. Aka.
Aku tersenyum ramah. “Hai, Ka. Ada
apa?” tanyaku.
“Boleh aku ngomong sesuatu? Hmm…
tapi nggak di sini. Bisa nggak kita ke lapangan yang waktu itu?”
Keningku berkerut, bingung. Tetapi
aku tetap mengiyakan.
Ketika berjalan menuju lapangan bola
dekat rumah Uti, Aka sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku mulai
merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Firasatku jadi tak enak.
“Jadi,” aku mulai bersuara ketika
kami sudah sampai di bawah pohon yang sama dengan kemarin malam.
Entah kenapa, sore menjelang malam seperti ini lapangan
ini justru sepi. Padahal biasanya sore adalah waktu untuk anak-anak kompleks
ini untuk bermain bola. Mungkin anak-anak itu sudah pulang.
“Kamu mau ngomong apa, Ka?” lanjutku.
Aka menatap gawang di sebelah selatan lapangan yang
berdiri sendirian. Jaring gawang itu bergoyang-goyang di hembus angin, seperti
rambutku. Anginnya memang lumayan besar hari ini. Tetapi aku yakin, angin ini
tak ada kaitannya dengan Aka yang sedang memandang gawang dengan mata tak fokus
seperti itu.
“Vanya,” Aka mengalihkan matanya tepat ke mataku.
Entah mengapa, aku merasa jantungku berdebar-debar
menunggu kalimat Aka selanjutnya. “Ya?”
“Apa kamu masih inget sama temen TK mu yang dulu pernah
menarik rambutmu sampai terjatuh?”
Aku semakin bingung, tetapi aku mencoba mengingat
kejadian yang baru saja Aka tanyakan. Butuh waktu lumayan lama sampai aku
mengingat betul kejadian yang lebih dari satu dekade yang lalu itu. “Oh iya,
aku inget. Yang narik rambutku waktu itu cowok, cuma aku lupa siapa namanya.
Yang jelas waktu itu dia cowok yang suka ngejailin aku. Hah! Aku benci cowok
itu! Kalau aku ketemu lagi sama itu cowok, bakalan aku jambak rambutnya!”
kataku penuh emosi. Sampai-sampai aku jadi tak berpikir jernih.
Aka tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku.
“Astaga!” kataku lagi setelah selang beberapa detik. “Jangan-jangan
kamu cowok itu?! Iya Ka?” mataku membulat menatap Aka.
“Haha,” Aka belum juga berhenti tertawa. “Iya, Nya. Itu
aku,”
Aku shock.
Ternyata orang yang berdiri di depanku ini adalah cowok yang paling nakal di TK
dulu. “Jadi, kamu?! Pantes aja waktu kamu ngembaliin jepit rambutku dulu, kamu
tahu namaku. Iiiiihh!” aku mulai menarik rambut Aka sampai Aka memohon-mohon
untuk melepaskan rambutnya.
“Itu balesanku! Kamu liat ini?” aku menunjukkan bekas
luka kecil yang ada di lututku. Luka itu kudapat saat aku terjatuh setelah
rambutku ditarik oleh Aka. “Ini, gara-gara kamu tau!”
Aka
malah kembali tertawa.
Lama kelamaan tawa Aka memudar di
gantikan oleh suara daun-daun yang bergesekan karena ditiup angin. Angin itu
menyisakan rasa dingin yang seperti merasuki setiap pori-pori tubuhku.
“Vanya, aku punya sesuatu buat kamu,”
Aka meraba kantong di jaket biru tua yang ia pakai. “Nih,” ia menyodorkan
sepasang jepit rambut bunga matahari kecil yang imut. Aku hampir memekik
kegirangan melihatnya.
“Thanks,
Ka. Aku mau pake,” Aku memasang salah satu dari jepit rambut pemberian Aka.
Lalu, tersenyum cerah, secerah bunga matahari.
“Kamu lebih cantik pake jepit rambut,
Nya. Anggap aja itu permintaan maafku karena udah narik rambutmu waktu kecil,”
Aka tersenyum, rambutnya yang sedikit panjang bergoyang-goyang mengikuti
hembusan angin.
Aku yang tak tahu harus bicara apa,
hanya tersenyum sambil menggenggam erat satu jepit bunga matahari.
Setelah hening cukup lama, aku mulai
angkat bicara. “Kenapa dulu kamu nakal banget, Ka? Kayaknya kamu benci banget
sama aku sampe setiap hari aku kamu bikin nangis,”
“Nggak. Justru aku suka sama kamu,”
Aku menoleh ke arah Aka. Matahari yang
mulai menghilang ke peraduannya, membuatnya tampak seperti bayangan hitam.
Indah sekali.
“Iya,” Aka kembali melanjutkan. “Aku
suka gangguin kamu biar kamu mau perhatiin aku,”Aka mulai menoleh ke arahku.
Mata kami bertemu.
“Dan sampe sekarang, aku masih suka
sama kamu, Nya,” kata Aka dengan mimik yang serius. Raut wajah yang berbeda
dari biasanya.
“Aku juga suka kamu kok, Ka. Kamu baik
sama aku, kamu udah ngasih jepit ini, walaupun dulu kamu yang bikin luka di
lututku,” aku tertawa pelan. Aka melihatku dengan alis yang menyatu. “Kenapa?”
tanyaku.
“Bukan itu, bukan suka seperti itu. Suka
yang… you know? Love? I… I love you,
Vanya,”
Sekarang aku tahu bagaimana rasanya
tersetrum oleh listrik ribuan watt. Pasti seperti ini rasanya. Aku hampir tak
percaya dengan apa yang aku dengar. Aka menyukaiku? Suka yang, antara laki-laki
dan perempuan? Kalau saja Aka tak menyentuh tanganku, mungkin aku akan
menganggap ini mimpi.
“Jadi Vanya, kamu mau jadi… pacarku
kan?”
Vanya, bukankah
itu yang kamu inginkan? Aku mulai meyakinkan
diri. Ini memang yang aku inginkan. Aku bersama Aka dan melupakan yang ada di
belakangku. Aka. Ya, dia orang yang
baik. Apa lagi?
Aku tersenyum lebar. “Iya, aku mau,”
Dan angin mulai bertiup lagi. Tak
hanya membuat daun-daun bergesekkan. Tetapi juga mambuat daun-daun yang sudah
menguning berterbangan sampai ke tengah lapangan. Aku tahu, mulai hari ini,
semua akan baik-baik saja. Ada Aka bersamaku. Ada sedikit rasa yang aneh di
hatiku, tetapi menghilang begitu saja karena rasa bahagiaku yang lebih banyak.
Apa aku bahagia? Iya. Aku rasa, iya.
Setelah ujian semester selesai, Arnest
memberiku pesan untuk melihat mading buatannya dengan Romi. Mading itu
membicarakan tentang anomali cuaca. Aku yang melihatnya, sama sekali tak
tertarik untuk membacanya. Sampai akhirnya, mataku menemukan sebaris tulisan
berwarna pink di sudut kanan bawah mading, yang bertuliskan: Pojok Mading. Di
sana, ada beberapa huruf yang berjejer rapi. Aku tahu, itu tulisan Arnest. Aku
mulai membacanya.
Cinta membuat orang tak melihat celah
kegelapan. Yang bisa di lihat adalah yang seindah pelangi di langit biru.
Aku tak terlalu mengerti kata-kata
itu. Tetapi aku tahu itu di tulis untukku. Dan tentu saja, untuk Arnest
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar