Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Kamis, 30 Agustus 2012

TSMJ #8 (By Kanata)


Dia Yang Lain

“Woi! Mau tidur sampe kapan!?” Suara Vanya mengganggu ketenangan telingaku.
“Kapan aja boleh.” Balasku sambil membalikan badan memunggunginya. “Just leave me alone!” Tambahku sambil melambaikan tangan sebagai tanda pengusiran.
Wake up, Sleeppy Head. Ini hari besar buat kamu.” Dia masih saja gigih menggoyang-goyangkan badanku.
Perlahan aku membuka mata. Tentu saja bukan kamar asrama yang tersaji di hadapanku. Dan suara ribut tadi juga bukan Vanya.
“Gimana tidurnya?” Tanya Diane sambil nyengir.
“Tidurnya oke. Bangunnya enggak.” Ucapku ketus.
Setelah melihat sekilas jam yang tergantung di dinding kamar aku langsung bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku masih tak habis pikir dengan kekuatan mental yang dimiliki oleh Diane. Hanya butuh seminggu baginya merajuk dengan tak menghubungiku sama sekali (seminggu yang teramat damai, sebetulnya). Namun pada hari kedelapan, PLOP, dia muncul begitu saja dan bersikap tak ada kejadian apapun. Sukar dipercaya, keluhku dalam hati.
Diane benar, ini memang hari besarku. Setelah persiapan intensif selama berbulan-bulan akhirnya hari ini datang juga. Hari olimpiade sains. Sambil menikmati tiap tetesan air yang mengaliri tubuh aku berusaha mengingat-ingat kembali presentasi yang harus aku sajikan di depan dewan juri. Aku yakin akan bisa memukau mereka. Semoga.
“Bajunya sudah saya siapkan, Tuan.” Ucap Diane yang menenteng celana abu-abu dan kemeja putih, seragam sekolahku. Aku mengambilnya dari tangan Diane tanpa berkata apapun.
“Mau saya bantu pakaikan?” tambahnya sambil tersenyum mencurigakan. Aku langsung bergidik memikirkan maksudnya.
“Oh, tidak, tidak, tidak.” Jawabku sambil mendorongnya keluar kamar.
Pintu terbanting di depannya. Dan agar lebih yakin aku pasang gerendel sekalian. Aku mendengus kesal. Apa sih yang ada dipikiran anak-anak jaman sekarang? Sepertinya Diane terlalu banyak menonton film dewasa sehingga di usia segitu tingkahnya tak ubahnya seperti mbak-mbak 21 tahun keatas.
Seperti yang sudah aku duga juga Diane bersikeras mengantarku hingga lokasi kegiatan. Sepanjang jalan tak hentinya mulut Diane mengoceh. Mengajukan pendapat dan pertanyaan-pertanyaan tak penting. Aku memilih pura-pura tertidur. Ocehan Diane baru berhenti setelah accord hitam yang kami tumpangi tiba di pelataran parkir Sabuga. Buru-buru aku keluar menuju lobi tempat diriku janjian dengan teman-teman sekolahku yang lain. Diane mengekor.
Sepertinya aku yang tiba paling akhir karena bahkan Pak Rendi (yang 99% dipastikan selalu terlambat) sudah hadir. Beliau tersenyum sementara para anak didiknya bersiul saat mendapati aku datang bersama Diane.  
“Jangan nanya!” Wira menutup kembali mulutnya. Suasana hatiku lumayan buruk sejak bangun tidur tadi, dan aku tak ingin bertambah buruk dengan mendengar komentar-komentar teman-temanku soal Diane.
“Oke. Semuanya sudah kumpul. Kita pengarahan dulu sebentar.” Ucap Pak Rendi menyuruh kami membentuk lingkaran di sekitarnya.
Kemudian dia menjelaskan segala macam hal yang harus kami lakukan (dan yang tak boleh kami lakukan) selama kegiatan. Aku tak benar-benar menyimak ceramahnya karena Diane menempel erat di sebelahku, membuat aku luar biasa risih.
“Mungkin kamu belum makan.” Tanpa aku sadari Fiona sudah berada di sebelah kananku, membuat aku diapit antara Diane dan Fiona. Dia menyodorkan tupperware kecil. “Aku bikin roti isi. Mudah-mudahan kamu suka.” Dia hanya memandangku sekilas.
Kuterima pemberiannya dengan ekspresi perpaduan terkejut dan senang. Kurasakan energi negatif dari Diane sementara Fiona kembali menyelusup keluar kerumunan dengan muka merah.
“Sekian yang bisa Bapak sampaikan. Semoga keberuntungan berpihak pada kita.”
Kami membubarkan diri, menuju tempat lomba masing-masing.
#
Satu persatu para peserta mempresentasikan makalahnya. Sejujurnya hasil penelitan mereka sangat bagus. Beberapa diantara mereka bahkan membawa objek penelitiannya. Seperti seorang peserta dari Lampung yang sedang mendemonstrasikan hasil temuannya tentang nyanyian anggrek. Suara lembut mendayu-dayu mengisi ruangan.
Masih ada dua peserta lagi sebelum giliranku tampil. Aku yang menjadi urutan terakhir. Antara ingin agar giliranku masih lama dan ingin segera selesai, aku duduk dengan perasaan sedikit gelisah. Segala yang telah aku siapkan selama ini tiba-tiba saja seperti menguap seperti embun menjelang siang. Kebiasaan lama, aku kembali melamun.
Seperti kegiatan setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami mengadakan kompetisi semacam “treasure hunter”. Tiap tim akan mendapat satu petunjuk yang mengarah pada petunjuk berikutnya sebelum akhirnya menemukan “harta karun”. Tentunya tema acaranya berbeda setiap tahun. Pada tahun keduaku (yang artinya tahun pertama Vanya), dia memohon-mohon apdaku agar bersedia menjadi pasangan dirinya dalam lomba tersebut.
“Ayolah, Nata. Kita ikutan ya?! Demi negara kita.” Ujarnya dengan muka sememelas mungkin.
“Jangan hanya gara-gara temanya Asia Tenggara, bukan berarti clue-nya mudah loh.” Aku beragumen. “Kamu tahu kan kalo Nguyen, anak tingkat 9, disebut Setan dari Timur gara-gara pengetahuannya yang luar biasa tentang Asia?”
“Kamu lupa ya kalo panitia tahun ini anak-anak Vietnam? Jadi secara teknis dia tuh gak boleh ikutan lomba.”
Tentu saja aku tahu hal tersebut, “Tapi bukan berarti semuanya mudah. Pasti banyak peserta lain yang gak kalah bagus. Contohnya Diki, temen seangkatanku dari Indonesia. Terus Winda, Gregorry, Hwang, Sayuri. Kita gak mungkin bisa kalahin mereka. Inget! Kita cuman jago dalam dunia sihir! Bukan dunia nyata!” Aku terus saja berargumen.
Vanya merenggut, “kan kita bisa lakukan persiapan dulu seminggu ini. Menghapal.”
Sejujujurnya aku juga ingin mengikuti lomba yang sudah menjadi tradisi di sekolah kami ini. Tapi aku malas memikirkan apa yang akan terjadi jika sampai kalah. Hanya satu tim yang akan jadi pemenang dan mendapatkan hadiah liburan eksklusif. Sementara tim yang kalah harus menjadi sukarelawan sosial selama tiga bulan (yang artinya takkan bisa menikmati liburan sama sekali).
Aku akhirnya menyerah. Mendaftarkan diri. Menghabiskan waktu berjam-jam bersama Vanya di perpustakaan dan depan layar komputer. Ikutan lomba. Lupa semua yang telah dibaca. Nyasar kemana-mana. Dan tentu saja kalah. Semua berkat Vanya.
Sepanjang kegiatan menjadi sukarelawan di panti jompo tak hentinya Vanya mencoba melakukan semua tugasku sebagai tanda permintaan maaf. Tentu saja aku akan menolak tawaran Vanya tersebut dan melakukan tugas yang memang seharusnya aku lakukan. Lagi pula toh baik kegiatan lombanya maupun menjadi sukarelawan bersama dia kurasa cukup menyenangkan untuk dilakukan.
Lamunanku berhenti ketika pembawa acara memanggil namaku untuk tampil. Setelah mengambil napas panjang untuk mengurangi rasa gugup aku maju menuju panggung dan mulai melakukan presentasi sebaik yang aku mampu.
Para penonton bertepuk tangan (teman-temanku bertepuk tangan sedikit berlebihan). Aku membungkukkan badan pada para juri sebagai tanda penghormatan terakhir. Kelegaan mengisi paru-paruku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah pasrah terhadap penilaian juri.
Saat sedang menuju kursi penonton sekilas kutangkap sebuah bayangan yang membuat hatiku sedikit mencelos. Vanya sedang berdiri di ambang pintu! Tersenyum dan mulai berjalan mendekatiku.
“Hai, lo pasti Kanata yang sering dia ceritain.” Ucapnya dengan suara berat khas pria.
Aku menerima uluran tangannya untuk bersalaman. Bentuk alis, bentuk rahang, bentuk mata, bentuk mulut. Kulihat sebuah gambaran yang sangat familiar pada dirinya.
“Kenalin, nama gua Revo.” Ucapnya sambil tersenyum. Bahkan senyumnya mirip Vanya. “Ada waktu sebentar? Kita ngobrol-ngobrol.” Tanpa menunggu persetujuanku Revo berjalan keluar ruangan. Aku mengekor di belakangnya.
Ya, dia Revo, abangnya Vanya yang pernah aku lihat dalam salah satu foto. Aku sungguh tak mengira kemiripannya akan seperti ini.
#
“Udah lama di Indonesia?” Ucapnya setelah menyodorkan sebotol teh kemasan.
Kami berdua duduk sambil memandangi sekelompok orang bermain basket di salah satu lapangan.
“Udah hampir setahun setengah ini pulang ke Bandung.” Aku menjawab pertanyaan yang dia ajukan.“Aku gak tau kalo Kakak kuliah disini.”
“Ck... Panggil nama aja! Gua gak suka dipanggil kayak gitu. Kesannya udah tua!” Dia membuka sebungkus besar keripik.
Aku mengangguk meski masih canggung. “Vanya sering cerita tentang lo.”
“Cerita tentang apa?”
“Macem-macem. Kayaknya tiap dia cerita selalu aja setidaknya nama lo disebut minimal sepuluh kali.” Dia menyodorkan keripik. Aku mengambil segenggam hanya demi kesopanan.
“Oh gitu?” Ujarku terkejut. “mungkin itu karena kami bersahabat baik selama disana.”
“Gua juga yakin gitu.” Keping demi keping keripik masuk ke mulutnya. Ternyata cerita Vanya benar bahwa kakak tertuanya ini sangat hobi makan (namun anehnya bertubuh kurus kering).
“Tapi katanya kalian berbagi banyak hal disana, tapi tak satupun hal kalian bagi selama disini.” Tambahnya tanpa memandangku.
Perasaanku lumayan tergores mendengarnya. Dia tahu bahwa aku tak membalas satupun email Vanya. Dia tahu bahwa aku tak sekalipun menelepon Vanya, bahkan hanya untuk berbasa-basi. Dia tahu, aku yakin itu.
“Kenapa?” Ujarnya melirikku sekilas. Tanpa tuduhan, tanpa kemarahan, tanpa kekecewaan. Itu adalah murni sebuah pertanyaan.
“Aku tak tahu...” Jawabku tanpa berani melihat wajahnya. Jawaban yang tak sepenuhnya jujur, namun juga bukan sebuah kebohongan.
“Lo pasti gak bakalan percaya kalo gua bilang Vanya ngancem gua agar mau nyariin lo. Waktu itu gua ngerasa gak perlu nyari, biarlah takdir yang mengatur pertemuan kita.” Dia terkekeh senang. “Dan ternyata feeling gua tepat kan? Lo sendiri yang datang kemari.”
“Dimana Vanya sekarang?”
“Pura-pura gak tau lagi! Pasti dia cerita di salah satu emailnya! Ya kan?”
“Aku gak pernah buka lagi email yang itu. Lupa password-nya.” Satu kebenaran dan satu kebohongan kulontarkan.
Revo mengangkat sebelah alisnya. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan namun dia tak mengucapkan apapun.
Well, apapun masalah kalian sebaiknya selesaikan bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan lari dari masalah!” Revo bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk mengilangkan debu. “Sayang sekali persahabatan kalian jika harus berakhir seperti ini.”
Dia mulai berjalan menuju gedung Sabuga, melanjutkan tugasnya sebagai salah satu panitia. Dua belas langkah berjalan dia berhenti sejenak. Memandangku.
“Jika kau lebih suka menyebut kebersamaan kebersamaan kalian itu sebagai sebuah persahabatan.”
Revo melontarkan sebuah kalimat yang selama hampir dua tahun ini menghantuiku bagai Dementor yang menunggu untuk memberi kecupan.
Vanya... Apa arti dia bagiku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar