Dia Yang Lain
“Woi! Mau tidur
sampe kapan!?” Suara Vanya mengganggu ketenangan telingaku.
“Kapan aja
boleh.” Balasku sambil membalikan badan memunggunginya. “Just leave me alone!” Tambahku sambil melambaikan tangan sebagai
tanda pengusiran.
“Wake up, Sleeppy Head. Ini hari besar
buat kamu.” Dia masih saja gigih menggoyang-goyangkan badanku.
Perlahan aku
membuka mata. Tentu saja bukan kamar asrama yang tersaji di hadapanku. Dan
suara ribut tadi juga bukan Vanya.
“Gimana
tidurnya?” Tanya Diane sambil nyengir.
“Tidurnya oke.
Bangunnya enggak.” Ucapku ketus.
Setelah melihat
sekilas jam yang tergantung di dinding kamar aku langsung bangkit dari tempat
tidur menuju kamar mandi. Aku masih tak habis pikir dengan kekuatan mental yang
dimiliki oleh Diane. Hanya butuh seminggu baginya merajuk dengan tak
menghubungiku sama sekali (seminggu yang teramat damai, sebetulnya). Namun pada
hari kedelapan, PLOP, dia muncul begitu saja dan bersikap tak ada kejadian
apapun. Sukar dipercaya, keluhku dalam hati.
Diane benar, ini
memang hari besarku. Setelah persiapan intensif selama berbulan-bulan akhirnya
hari ini datang juga. Hari olimpiade sains. Sambil menikmati tiap tetesan air
yang mengaliri tubuh aku berusaha mengingat-ingat kembali presentasi yang harus
aku sajikan di depan dewan juri. Aku yakin akan bisa memukau mereka. Semoga.
“Bajunya sudah
saya siapkan, Tuan.” Ucap Diane yang menenteng celana abu-abu dan kemeja putih,
seragam sekolahku. Aku mengambilnya dari tangan Diane tanpa berkata apapun.
“Mau saya bantu
pakaikan?” tambahnya sambil tersenyum mencurigakan. Aku langsung bergidik
memikirkan maksudnya.
“Oh, tidak,
tidak, tidak.” Jawabku sambil mendorongnya keluar kamar.
Pintu terbanting
di depannya. Dan agar lebih yakin aku pasang gerendel sekalian. Aku mendengus
kesal. Apa sih yang ada dipikiran anak-anak jaman sekarang? Sepertinya Diane
terlalu banyak menonton film dewasa sehingga di usia segitu tingkahnya tak
ubahnya seperti mbak-mbak 21 tahun keatas.
Seperti yang
sudah aku duga juga Diane bersikeras mengantarku hingga lokasi kegiatan.
Sepanjang jalan tak hentinya mulut Diane mengoceh. Mengajukan pendapat dan
pertanyaan-pertanyaan tak penting. Aku memilih pura-pura tertidur. Ocehan Diane
baru berhenti setelah accord hitam yang kami tumpangi tiba di pelataran parkir
Sabuga. Buru-buru aku keluar menuju lobi tempat diriku janjian dengan
teman-teman sekolahku yang lain. Diane mengekor.
Sepertinya aku
yang tiba paling akhir karena bahkan Pak Rendi (yang 99% dipastikan selalu
terlambat) sudah hadir. Beliau tersenyum sementara para anak didiknya bersiul
saat mendapati aku datang bersama Diane.
“Jangan nanya!”
Wira menutup kembali mulutnya. Suasana hatiku lumayan buruk sejak bangun tidur
tadi, dan aku tak ingin bertambah buruk dengan mendengar komentar-komentar
teman-temanku soal Diane.
“Oke. Semuanya
sudah kumpul. Kita pengarahan dulu sebentar.” Ucap Pak Rendi menyuruh kami
membentuk lingkaran di sekitarnya.
Kemudian dia
menjelaskan segala macam hal yang harus kami lakukan (dan yang tak boleh kami
lakukan) selama kegiatan. Aku tak benar-benar menyimak ceramahnya karena Diane
menempel erat di sebelahku, membuat aku luar biasa risih.
“Mungkin kamu
belum makan.” Tanpa aku sadari Fiona sudah berada di sebelah kananku, membuat
aku diapit antara Diane dan Fiona. Dia menyodorkan tupperware kecil. “Aku bikin
roti isi. Mudah-mudahan kamu suka.” Dia hanya memandangku sekilas.
Kuterima
pemberiannya dengan ekspresi perpaduan terkejut dan senang. Kurasakan energi
negatif dari Diane sementara Fiona kembali menyelusup keluar kerumunan dengan
muka merah.
“Sekian yang
bisa Bapak sampaikan. Semoga keberuntungan berpihak pada kita.”
Kami membubarkan
diri, menuju tempat lomba masing-masing.
#
Satu persatu
para peserta mempresentasikan makalahnya. Sejujurnya hasil penelitan mereka
sangat bagus. Beberapa diantara mereka bahkan membawa objek penelitiannya.
Seperti seorang peserta dari Lampung yang sedang mendemonstrasikan hasil
temuannya tentang nyanyian anggrek. Suara lembut mendayu-dayu mengisi ruangan.
Masih ada dua
peserta lagi sebelum giliranku tampil. Aku yang menjadi urutan terakhir. Antara
ingin agar giliranku masih lama dan ingin segera selesai, aku duduk dengan
perasaan sedikit gelisah. Segala yang telah aku siapkan selama ini tiba-tiba
saja seperti menguap seperti embun menjelang siang. Kebiasaan lama, aku kembali
melamun.
Seperti kegiatan
setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami mengadakan kompetisi semacam “treasure
hunter”. Tiap tim akan mendapat satu petunjuk yang mengarah pada petunjuk
berikutnya sebelum akhirnya menemukan “harta karun”. Tentunya tema acaranya
berbeda setiap tahun. Pada tahun keduaku (yang artinya tahun pertama Vanya),
dia memohon-mohon apdaku agar bersedia menjadi pasangan dirinya dalam lomba
tersebut.
“Ayolah, Nata.
Kita ikutan ya?! Demi negara kita.” Ujarnya dengan muka sememelas mungkin.
“Jangan hanya
gara-gara temanya Asia Tenggara, bukan berarti clue-nya mudah loh.” Aku beragumen. “Kamu tahu kan kalo Nguyen,
anak tingkat 9, disebut Setan dari Timur gara-gara pengetahuannya yang luar
biasa tentang Asia?”
“Kamu lupa ya
kalo panitia tahun ini anak-anak Vietnam? Jadi secara teknis dia tuh gak boleh
ikutan lomba.”
Tentu saja aku
tahu hal tersebut, “Tapi bukan berarti semuanya mudah. Pasti banyak peserta
lain yang gak kalah bagus. Contohnya Diki, temen seangkatanku dari Indonesia.
Terus Winda, Gregorry, Hwang, Sayuri. Kita gak mungkin bisa kalahin mereka.
Inget! Kita cuman jago dalam dunia sihir! Bukan dunia nyata!” Aku terus saja
berargumen.
Vanya merenggut,
“kan kita bisa lakukan persiapan dulu seminggu ini. Menghapal.”
Sejujujurnya aku
juga ingin mengikuti lomba yang sudah menjadi tradisi di sekolah kami ini. Tapi
aku malas memikirkan apa yang akan terjadi jika sampai kalah. Hanya satu tim
yang akan jadi pemenang dan mendapatkan hadiah liburan eksklusif. Sementara tim
yang kalah harus menjadi sukarelawan sosial selama tiga bulan (yang artinya
takkan bisa menikmati liburan sama sekali).
Aku akhirnya
menyerah. Mendaftarkan diri. Menghabiskan waktu berjam-jam bersama Vanya di
perpustakaan dan depan layar komputer. Ikutan lomba. Lupa semua yang telah dibaca.
Nyasar kemana-mana. Dan tentu saja kalah. Semua berkat Vanya.
Sepanjang
kegiatan menjadi sukarelawan di panti jompo tak hentinya Vanya mencoba
melakukan semua tugasku sebagai tanda permintaan maaf. Tentu saja aku akan
menolak tawaran Vanya tersebut dan melakukan tugas yang memang seharusnya aku
lakukan. Lagi pula toh baik kegiatan lombanya maupun menjadi sukarelawan
bersama dia kurasa cukup menyenangkan untuk dilakukan.
Lamunanku
berhenti ketika pembawa acara memanggil namaku untuk tampil. Setelah mengambil
napas panjang untuk mengurangi rasa gugup aku maju menuju panggung dan mulai
melakukan presentasi sebaik yang aku mampu.
Para penonton
bertepuk tangan (teman-temanku bertepuk tangan sedikit berlebihan). Aku
membungkukkan badan pada para juri sebagai tanda penghormatan terakhir.
Kelegaan mengisi paru-paruku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah pasrah
terhadap penilaian juri.
Saat sedang
menuju kursi penonton sekilas kutangkap sebuah bayangan yang membuat hatiku
sedikit mencelos. Vanya sedang berdiri di ambang pintu! Tersenyum dan mulai
berjalan mendekatiku.
“Hai, lo pasti
Kanata yang sering dia ceritain.” Ucapnya dengan suara berat khas pria.
Aku menerima
uluran tangannya untuk bersalaman. Bentuk alis, bentuk rahang, bentuk mata,
bentuk mulut. Kulihat sebuah gambaran yang sangat familiar pada dirinya.
“Kenalin, nama
gua Revo.” Ucapnya sambil tersenyum. Bahkan senyumnya mirip Vanya. “Ada waktu
sebentar? Kita ngobrol-ngobrol.” Tanpa menunggu persetujuanku Revo berjalan keluar
ruangan. Aku mengekor di belakangnya.
Ya, dia Revo, abangnya
Vanya yang pernah aku lihat dalam salah satu foto. Aku sungguh tak mengira
kemiripannya akan seperti ini.
#
“Udah lama di
Indonesia?” Ucapnya setelah menyodorkan sebotol teh kemasan.
Kami berdua
duduk sambil memandangi sekelompok orang bermain basket di salah satu lapangan.
“Udah hampir
setahun setengah ini pulang ke Bandung.” Aku menjawab pertanyaan yang dia
ajukan.“Aku gak tau kalo Kakak kuliah disini.”
“Ck... Panggil
nama aja! Gua gak suka dipanggil kayak gitu. Kesannya udah tua!” Dia membuka
sebungkus besar keripik.
Aku mengangguk
meski masih canggung. “Vanya sering cerita tentang lo.”
“Cerita tentang
apa?”
“Macem-macem.
Kayaknya tiap dia cerita selalu aja setidaknya nama lo disebut minimal sepuluh
kali.” Dia menyodorkan keripik. Aku mengambil segenggam hanya demi kesopanan.
“Oh gitu?”
Ujarku terkejut. “mungkin itu karena kami bersahabat baik selama disana.”
“Gua juga yakin
gitu.” Keping demi keping keripik masuk ke mulutnya. Ternyata cerita Vanya
benar bahwa kakak tertuanya ini sangat hobi makan (namun anehnya bertubuh kurus
kering).
“Tapi katanya
kalian berbagi banyak hal disana, tapi tak satupun hal kalian bagi selama
disini.” Tambahnya tanpa memandangku.
Perasaanku
lumayan tergores mendengarnya. Dia tahu bahwa aku tak membalas satupun email
Vanya. Dia tahu bahwa aku tak sekalipun menelepon Vanya, bahkan hanya untuk
berbasa-basi. Dia tahu, aku yakin itu.
“Kenapa?”
Ujarnya melirikku sekilas. Tanpa tuduhan, tanpa kemarahan, tanpa kekecewaan.
Itu adalah murni sebuah pertanyaan.
“Aku tak
tahu...” Jawabku tanpa berani melihat wajahnya. Jawaban yang tak sepenuhnya
jujur, namun juga bukan sebuah kebohongan.
“Lo pasti gak
bakalan percaya kalo gua bilang Vanya ngancem gua agar mau nyariin lo. Waktu
itu gua ngerasa gak perlu nyari, biarlah takdir yang mengatur pertemuan kita.”
Dia terkekeh senang. “Dan ternyata feeling
gua tepat kan? Lo sendiri yang datang kemari.”
“Dimana Vanya
sekarang?”
“Pura-pura gak
tau lagi! Pasti dia cerita di salah satu emailnya! Ya kan?”
“Aku gak pernah
buka lagi email yang itu. Lupa password-nya.”
Satu kebenaran dan satu kebohongan kulontarkan.
Revo mengangkat
sebelah alisnya. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan namun dia tak
mengucapkan apapun.
“Well, apapun masalah kalian sebaiknya
selesaikan bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan lari dari masalah!”
Revo bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk
mengilangkan debu. “Sayang sekali persahabatan kalian jika harus berakhir
seperti ini.”
Dia mulai
berjalan menuju gedung Sabuga, melanjutkan tugasnya sebagai salah satu panitia.
Dua belas langkah berjalan dia berhenti sejenak. Memandangku.
“Jika kau lebih
suka menyebut kebersamaan kebersamaan kalian itu sebagai sebuah persahabatan.”
Revo melontarkan
sebuah kalimat yang selama hampir dua tahun ini menghantuiku bagai Dementor
yang menunggu untuk memberi kecupan.
Vanya... Apa
arti dia bagiku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar