BUKAN MIMPI
“Jadi kamu
datang ke pensi nggak, Nest?” tanyaku pada Arnest ketika kami melewati lapangan
bola.
“Ganteng banget, Nya! Sumpah ganteng banget!” seru
Arnest seraya menatap langit mendung dengan tatapan tak focus. Mungkin kata
“ganteng” itu sudah seribu kali keluar dari mulutnya dua minggu ini. Membuat
telingaku memanas.
“Aku tanya kamu
datang ke pensi atau nggak, bukan minta pendapat soal Kak Revo ganteng atau nggak,” kataku sedikit emosi.
“Tapi asli!
Ganteng!”
“Inget sama Romy!” balasku sedikit kesal.
“Oh Gosh! Kamu
bener, Nya! Lagi pula Kak Revo itu kan udah terlalu tua!” Arnest segera
membuyarkan khayalannya itu dan menggeleng-gelengkan kepala cepat-cepat.
Ya. Alasan Arnest menjadi sedikit gila itu adalah Kak
Revo yang dua minggu lalu kukenalkan padanya.
“Lagian aku ga
bakalan merestui kamu sama kakakku!” kataku bercanda.
“Yeee! Apaan
sih?!” Arnest menyikut lenganku pelan. “Tapi kok kamu nggak pernah cerita punya
kakak cowok sih?”
“Masa sih nggak
pernah?” Arnest mengangguk penuh semangat. “Yah sori deh! Haha!”
“Dia juga di
Jakarta kayak Kak Vio ya?” Arnest memulai wawancaranya.
“Nggak. Di
Bandung.”
“WHAT?!”
Ekspresi yang sudah kutunggu. Kalau aku jadi Arnest aku akan bereaksi sama
seperti itu. “Terus, kenapa kamu nggak—“
“Mama nggak
ngebolehin,”jawabku sebelum pertanyaan Arnest terselesaikan.
“Terus seminggu
kemarin ngobrol apa aja sama kakakmu yang guanteng itu?”
Aku berpikir
sejenak. Banyak yang telah aku ceritakan kepada Kak Revo. Bahkan lebih banyak
daripada kepada Kak Vio. Bisa dibilang, Kak Revo tahu secara lengkap semua yang
terjadi padaku akhir-akhir ini. Ada beberapa pembicaraan yang menurutku bahkan
sedikit gila. Aku tak yakin ingin menceritakan ini semua pada Arnest.
“Nest, udah
ditunggu di perpus. Yuk!” kata sebuah suara yang ternyata milik Romi yang
tiba-tiba muncul di samping kami. Romi datang tepat pada waktunya. Dengan
begitu, aku tak perlu menjawab pertanyaan Arnest itu.
***
2 minggu yang lalu…
Hari ini,
seperti hari Minggu yang lainnya, aku bangun agak siang. Jendela kamarku
sengaja tak aku sibak karena aku sedang tak peduli dengan apapun termasuk cuaca
hari ini. Segera saja kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mandi. Barulah
setelah itu aku menuju dapur dan menemukan Uti sedang membuat teh di sana.
“Uti, Vanya mau
sarapan,” ucapku sembari membantu Uti mengaduk secangkir teh.
“Lha itu,
sarapannya ada di meja. Uti sama Akung sudah sarapan tadi,” Uti tersenyum ramah
dengan satu tangan yang sibuk mengaduk teh yang satu lagi. “Sarapan dulu sana,
Uti mau nganterin teh ini buat Akungmu itu,” lanjut Uti. Lalu dibawanya dua
cangkir teh itu keluar dari dapur.
Aku segera
mengambil piring kosong. Baru saja aku akan mengambil nasi di meja, aku
mendengar bel rumah berdenting pertanda ada seseorang di luar sana. Entah
mengapa aku terpanggil untuk membukakan pintu. Kuputuskan untuk bangkit dari
tempat dudukku dan berlari-lari kecil untuk membukakan pintu itu.
Ketika aku
membuka pintu, kakak pertamaku sedang berdiri di depan pintu dengan sebuah tas
ransel hitam di punggungnya. Hal pertama yang aku lakukan adalah memeluk orang
itu. Kak Revo mengacak rambutku penuh sayang.
“Kak Revo kok
bisa ke sini?” tanyaku setelah puas memeluknya.
“Pengen ketemu
sama adik gua yang katanya lagi bermasalah ini,” Kak Revo sedikit terkekeh lalu
melangkah masuk.
“Siapa tamunya,
Nduk?” Uti tiba-tiba muncul dari
halaman belakang.
Sebelum sempat
aku menjawab, Uti sudah memekik kegirangan melihat cucu laki-lakinya sedang
berdiri di depannya. “Ya ampuun! Revo! Walah,
sudah lama nggak pernah ke sini. Uti sama Akung kangen ini,” Uti memeluk dan
mencium Kak Revo dengan penuh rasa rindu.
“Iya, maaf Uti.
Revo jarang ke sini,” kata Kak Revo tulus.
“Ya sudah, ayo
ayo istirahat dulu. Uti mau kasih tau Akung dulu,” Uti kembali ke halaman
belakang dengan langkah semangat.
“Sarapan dulu
aja Kak,”kataku setelah Uti pergi.
“Udah sarapan.
Gua mau tidur aja dulu,” Kak Revo langsung melangkah menuju kamarku. Setelah
berbicara sebentar dengan Uti dan Akung, Kak Revo pun benar-benar tertidur
pulas. Sementara aku melanjutkkan sarapanku dengan tenang.
Begitu sore datang,
aku menemukan Kak Revo sedang sibuk menelepon seseorang. Dari raut wajah Kak
Revo, aku tahu, yang Kak revo sedang bicarakan itu adalah sesuatu yang sangat
penting. Setelah telepon itu berakhir, aku mendekati Kak Revo yang bediri di
bawah pohon kamboja.
“Ngomongin apa
sih Kak? Kok serius banget?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Persiapan buat
Olimpiade,” jawab Kak Revo singkat lalu kembali sibuk dengan Blackberry-nya. Entah olimpiade apa yang
Kak Revo maksud, aku tak ingin tahu lagi.
“Gimana, Nya?”
tanya Kak Revo setelah berhenti mengutak-atik Blackberry-nya itu.
Aku menatap Kak
Revo. “Gimana apanya?”
“Sekolah lo
yang baru. Lo nggak nyesel kan?”
“Nggak kok, Kak.
Vanya udah mulai nyaman di sini,”
“Kakak udah
denger ceritanya. Tapi, kakak belum begitu percaya kalo nggak lo sendiri yang
cerita,” kata Kak Revo sambil merangkul pundakku. “Tapi kakak nggak maksa kalo
lo nggak mau cerita. Tujuan kakak ke sini cuma pengen tahu keadaan lo,” bibir
Kak Revo melengkung tersenyum. Membuatku ikut menarik bibirku, juga tersenyum.
Tanpa pikir
panjang, aku menceritakan semuanya kepada Kak Revo. Kuceritakan semuanya dari
nol. Mulai dari aku ke London dan akhirnya aku pulang dari London dengan
perasaan yang campur aduk. Seperti biasanya ketika aku bercerita sesuatu pada
Kak Revo, Kak Revo hanya mendengarkanku dan sesekali membenarkan ucapanku dan
kadang mengerutkan keningnya. Setelah aku selesai bercerita, barulah Kak Revo
angkat bicara.
“Cerita versi
Vio dan versimu sedikit berbeda,” katanya. “but
it’s ok. Biarin apa yang harus terjadi itu terjadi. Tuhan punya rencana
lain, Nya. Lupain masa lalu yang bakalan menghambat masa depan,” sekali lagi
Kak Revo tersenyum hangat.
“Tapi Vanya
kangen, Kak. Vanya pengen ketemu Nata. Kakak mau kan cariin Nata buat Vanya?
Toh Kak Revo kuliah di Bandung dan Nata juga di Bandung,”
“Bandung itu
nggak kecil, Vanya. Biarkan semuanya terjadi . Kalau memang cerita kalian belum
selesai, pasti kalian bertemu lagi. Percaya sama kakak,”Kak Revo menguatkanku.
Sekarang aku
mengerti betapa berbedanya kedua kakakku ini.
Kak Revo yang lebih banyak mendengar dan Kak Vio yang lebih banyak untuk
di dengar. Semua terlihat sangat jelas sekarang. Dan aku juga berusaha percaya
dengan setiap kata-kata Kak Revo. Dia
benar, jika kisah ini belum menyentuh kata selesai, aku pasti bisa bertemu
dengan Nata lagi.
***
“Vanya?!” suara
Aka membuyarkan pikiranku yang untuk beberapa saat melayang-layang tak menentu.
“Oh, iya?
Kenapa, Ka?” tanyaku setelah berhasil mengembalikkan pikiranku.
Aka yang entah
sejak kapan ada di sampingku itu mengerutkan kening, lalu bertanya. “Kamu yang
kenapa?”
“Aku nggak
pa-pa lagi. Aku cuma—aaaaaaarrghhh!!!” sesuatu yang keras menampar wajahku,
membuatku terhuyung jatuh. Segera saja kututupi wajahku dengan kedua tanganku.
Rasanya sesuatu yang panas mulai menyerubungi wajah sebelah kananku. Lalu aku
mulai mendengar suara-suara khawatir yang terus menanyai keadaanku. Beberapa,
aku mengenal suara dari orang-orang itu, dan sisanya sangat asing di telingaku.
“Kamu nggak
pa-pa Vanya?” aku berhasil menangkap suara Aka.
Aku mulai
menurunkan tanganku. “Iya, aku nggak pa-pa kok,” kataku dengan kepala yang
berdenyut-denyut.
“Kamu mimisan,”
kata Aka lagi.
Dengan gerakkan yang singkat, ia memegang lenganku dan
berniat untuk membantuku berdiri. Dengan gerakkan yang singkat pula, aku
menghempaskan tangan Aka dari lenganku dan aku berusaha berdiri sendiri.
“Aku baik-baik
aja kok,” kataku pada semua orang yang mengerubungiku.
“Sorry ya, Dek.
Aku nggak sengaja,” kata seorang kakak kelas berbadan tinggi besar.
Aku melirik
sekilas ke arah bola yang ada di tangan kakak kelas itu. sekarang aku mengerti
bahwa sesuatu yang membuat wajahku panas itu adalah bola yang melesat cepat.
Aku mulai muak dengan bola.
“Iya Mas nggak
pa-pa,”kataku pelan.
Setelah itu,
kerumunan itu mulai membubarkan diri. Tinggallah aku dan Aka di tempat ini. Aka
masih menatapku dengan penuh kekhawatiran. “Kamu mimisan,” Aka mengulang kata-katanya
lagi.
“Iya aku tahu.
Cuma dikit kok,” aku mengelap sedikit darah yang keluar dari hidungku.
“Aku antar kamu
ke UKS,” Aka menggandeng tanganku. Tak selangkahpun aku bergerak. Justru yang
kulakukan adalah berusaha melepas genggaman Aka. Entah kenapa, sentuhan Aka
membuatku merasa tak nyaman. Aku merasa risih dengan keberadaan Aka. Aku merasa
seharusnya dia tak ada di sini.
Aka menatapku
dengan tatapan yang tak bisa aku pahami. Mata Aka seperti tertutup kabut tebal
yang tak bisa ditembus. Aku sedikit terkejut melihat ekspresi Aka itu.
“Oke, lebih
baik aku antar kamu pulang,” kata Aka lagi. Dengan tak enak hati, aku
mengiyakan kata-kata Aka yang satu ini. Aku tak mau Aka berpikir aku tak
menghargai perhatian yang ia berikan untukku.
Entahlah, aku
merasa sesuatu yang buruk menghantuiku di belakang punggungku seperti bayangan
yang selalu mengikuti. Aku tak menyukai perasaan seperti ini.
***
“Vanyaaaaaaaaaaaaaa!!!”
seru Arnest ketika kau baru saja memasuki halaman sekolah.
“Vanya! Katanya
kamu nggak dateng ke pensi? Kok sekarang ada di sini?” tanya Arnest penuh rasa
heran sekaligus senang.
“Nggak tahu,
berubah pikiran. Jadi pengen dateng aja,” aku tersenyum lebar lalu mengajak
Arnest mendekat ke stand minumam yang berada di paling pojok halaman sekolah.
Pensi sekolah
ini cukup ramai. Dengan panggung yang cukup besar berdiri di tengah-tengah
halaman sekolah, dan orang-orang yang dengan penuh antusias ikut
bernyanyi-nyanyi bersama di dekat panggung. Beberapa band yang mengisi acara
pun tak kalah antusias untuk menghibur. Begitu ramai.
“Oh, kamu ada
di sini,” kata sebuah suara yang begitu aku kenal.
“Aka?” aku
tersenyum.
“Pergi aaaah.
Takut ganguuu,” tanpa menunggu aku bicara sepatah kata pun, Arnest segera
melesat pergi meninggalkanku bersama Aka. Keadaan ini membuatku merasa sedikit
canggung.
“Mau beli minum
apa?” tanya Aka.
“Hah? Hmm… soda
aja deh,” jawabku sekenanya.
Setelah Aka
berhasil membuatku tak mengeluarkan uang untuk membayar soda itu, Aka
mengajakku mendekat ke panggung. Sayangnya aku tak menyukai hal-hal sepeti
meloncat-loncat sambil bernyanyi seperti yang sedang orang-orang itu lakukakan.
Lalu, Aka mengajakku duduk di kursi yang berdiri tak jauh dari tempat kami.
Seperti kejadian di lapangan bola beberapa hari yang lalu, Aka kembali menggandeng
tanganku dan kuhempaskan begitu saja. Aku merasa tak nyaman dengan sentuhan Aka
itu. Lagi-lagi Aka menatapku dengan tatapan yang tak bisa kupahami.
“Kamu nggak mau
aku gandeng?” katanya to the point.
Aku mematung.
“Aku cuma… nggak suka aja,” kataku
jujur.
“Apa kamu juga
nggak suka dengan keberadaanku?”
Kali ini aku
benar-benar terkejut. Setengah mengiyakan kata-kata Aka setengah tak ingin
mengakuinya. Akhirnya hanya diam yang kulakukan. Dan Aka pun berlalu begitu
saja.
Aku menatap
punggung Aka yang menjauh perlahan lalu tertelan puluhan punggung yang lain.
Untuk beberapa detik, aku tak bergerak sama sekali. Lalu aku memutuskan untuk
meninggalkan tempat ini. Kuhentikan sebuat taksi kosong di depan sekolah lalu
meminta sopir itu untuk mengantarku ke sebuah café ice cream di dekat sekolah.
Di sana, aku
memesan semangkuk besar ice cream. Tetapi, sebelum sempat aku menyendokkan ice
cream itu ke mulutku, seseorang menyapaku sambil tersenyum. Orang itu membuatku
hampir mati saking kagetnya. Ice cream yang baru saja akan kumakan itu,
tiba-tiba saja ingin segera kubuang.
Aku memejamkan mataku sesaat. Ya Tuhan, apakah yang kulihat ini nyata adanya? Ataukah ini hanyalah
sebuah khayalan?
Aku kembali membuka mataku dan masih mendapati orang
itu di depan mataku. Lalu aku mulai percaya, bahwa ini nyata. Ini bukan
khayalan, apalagi mimpi.
Jantungku yang semula berdenyut normal mulai menggila.
Tak kusangka, hanya dengan melihat orang itu, jantungku melonjak liar seperti
akan keluar dari rongganya. Aliran rasa senang pun mengaliri tubuhku. Mataku
mulai memproduksi cairan hangat yang kemudian menetes membasahi kedua pipiku.
Semua ini terjadi begitu saja, tanpa bisa kutahan. Tanpa bisa kucegah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar