Perjalanan (Masih) Panjang
“Kok lo gak ikut
sih?” Suara Galih bergaung dari ponsel yang sengaja aku pasang pada mode loudspeaker. “Ini Jogja loh! Jogja! Lo
belom pernah kan ke Jogja!?” Ujarnya berapi-api seakan datang ke sana merupakan
hal yang sangat penting.
“Gak ah, gua di
rumah aja.” Jawabku sambil mengelap meja belajar.
Aku sedang
memanfaatkan hari minggu dengan beres-beres kamar. Dari ocehan-ocehannya
tentang Jogja dan rasa solidaritas antar teman, sepertinya dia belum menyerah
juga untuk merayuku agar pada liburan semester bulan depan aku mau ikut
teman-teman sekelas ke Jogja. Seminggu dia mencoba mengajakku, seminggu pula
jawabanku tak berubah. Takkan berubah, tepatnya.
“Soalnya kami
berdua udah ngerencanain liburan ke Jepang.” Ucap Diane saat aku menolak untuk
bicara. “Iya kan, Honey?”
Aku tersenyum
kecut mendengar alasan sepihak yang barusan diajukan oleh Diane. Pada
kenyataannya aku baru tahu kalau Diane berencana mengajakku kesana. Galih
bersiul di ujung sana.
“Ooh, gua ngerti kenapa lo gak mau ikut. Mau bulan madu berdua toh?” Ucapnya jahil.
“Ooh, gua ngerti kenapa lo gak mau ikut. Mau bulan madu berdua toh?” Ucapnya jahil.
Diane terkikik
senang. Aku tak memberi tanggapan.
Tak perlu aku
katakan bahwa hampir semua temanku mendapat kesan bahwa Diane sungguhan
tunanganku dan kabarnya kami akan menikah tak lama setelah Diane lulus kuliah,
yang artinya sekitar 8 tahun lagi. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk tahu
siapa penghembus kabarnya.
Jogja. Terakhir
kali yang aku tahu seseorang dari masa lalu sekarang tinggal disana. Jadi
rasanya aku takkan sanggup untuk menginjakkan kaki ke sana. Aku belum siap. Itu
saja.
Namun memberi
tahu alasan sebenarnya mengenai keenggananku untuk ikut pada orang-orang juga
bukan suatu hal yang bijak. Entah politik apa yang telah dijalankan oleh Diane.
Yang jelas semua orang di sekelilingku sepertinya amat menyukai dirinya. Dan
jika aku melakukan hal-hal yang mereka anggap “aneh” tentunya aku akan menjadi
pihak yang bersalah.
“Serius, gua gak
bisa ikut. Gua mau ngelakuin persiapan olimpiade sains tiga bulan lagi.”
Ujarku. Alasan yang tak sepenuhnya jujur namun juga bukan sebuah kebohongan.
“Ya udah, kita ngobrolnya besok aja di
sekolah.” Kudengar suara keluhan Galih di ujung sana. “Sori kalo gua udah
ganggu kencan kalian!”
Senyum Diane
makin mengembang. Ponsel yang baru kugunakan dua bulan lalu ini kembali
menawarkan layar yang gelap menandakan sambungan telah berakhir. Sebuah ponsel
yang mewah keluaran terbaru yang terlihat sangat kontras dengan kamarku yang
sangat sederhana.
“Maaf ya?!
Ponsel kamu gak sengaja jatoh ke kolam waktu aku kepleset.” Ujar Diane waktu
itu sambil menyodorkan ponselku dalam keadaan amat kuyup.
“Gak apa-apa.
Bisa aku keringin kok.” Jawabku sambil berniat mengambilnya dari tangan Diane.
Diane malah
menarik tangannya. “Gak perlu. Nanti aku ganti aja sama yang baru. Sekalian nomernya
yang baru juga.”
Menyadari mukaku
yang kebingungan, Diane menambahkan, “Gak ada nomer penting kan? Cuman
nomer-nomer temen sekolah sama keluarga kan? Bisa minta lagi ke mereka kan?”
Nada bicaranya sih biasa saja. Namun entah kenapa sepertinya Diane sedang menyembunyikan sesuatu.
Nada bicaranya sih biasa saja. Namun entah kenapa sepertinya Diane sedang menyembunyikan sesuatu.
Pikiranku
gamang. Diane menatapku lekat. Meminta jawaban. “Iya. Gampang tinggal minta
lagi.” Ucapku akhirnya.
Di sana ada
nomor ponsel Vanya. Aku tak yakin akan bisa mendapatkannya kembali. Bagaimana
lagi cara Vanya bisa menghubungiku sementara tak satu pun emailnya yang aku
balas?
Biarlah, memang seharusnya pertemanan kami hanya sebatas itu, hiburku. Semoga.
Biarlah, memang seharusnya pertemanan kami hanya sebatas itu, hiburku. Semoga.
“Oy!
Ngelamun!” Seru Diane membuyarkan pikiranku.
“Kardus
ini mau dibuang aja?” Tambahnya sambil menunjuk sebuah kardus setinggi setengah
meter yang aku letakan di sebelah meja belajar.
“Oh.
Jangan! Simpen aja disitu.”
Alisnya
berkerut. “Perasaan, kamu gak pernah buka kardus yang ini deh.
“Isinya
barang2 aku sewaktu di London.”
“Kalo
emang isinya sayang buat dibuang, kita simpen aja di gudang belakang. Lumayan
kan bisa sedikit memperluas ruangan.”
“Gak
usah. Di situ aja.” Jawabku keras kepala.
‘Isinya
apa sih? Penasaran. Aku buka ya?!” Tanpa menunggu persetujuanku dia merobek
lakban yang menyegel kardus tersebut.
Satu
persatu Diane mengeluarkan isinya. Kaus tim Muggle-Quidditch,
beberapa poster, sepatu, jaket almamater, kaleng berisi koin–koin kuno,
setumpuk buku, jam dinding, dan amsih banyak lagi barang-barang yang muncul
dari dalam kardus.
Sebelum
akhirnya hatiku dibuat mencelos saat Diane mengeluarkan barang yang benar-benar
aku lupa ada disana. sebuah album foto bersampul biru dengan logo asrama
Ravenclaw di bagian depannya.
Aku
ingat pernah membelikan Vanya album warna merah yang serupa namun dengan logo
Gryffindor, asrama kesukaannya di cerita Harry Potter. Aku membelinya di sebuah
toko di London sebagai hadiah ulang tahun. Yang tak kukatahui adalah ternyata
Vanya membelikan aku album pasangannya di toko yang sama.
Menyadari
ekspresi mukaku. Diane menghentikan kegiatannya mengeluarkan barang dan mulai
membuka-buka album tersebut. Dia membalik lembar demi lembarnya. Semakin banyak
yang dia buka, semakin suram pula auranya.
“Aku
mau pulang.” Ujarnya sebelum seluruh isi album tersebut dia lihat.
Tanpa
berkata apapun lagi dia melengos pergi keluar kamar. Kulihat dari jendela kamar
Diane masuk ke dalam mobil diikuti oleh Pak Hamzah, sopir keluarganya. Accord
berwarna hitam metalik tersebut mundur keluar halaman sebelum melaju pulang.
Sebuah
foto ukuran kartu pos tersaji di hadapanku. Sebuah syal besar melingkari pundak
kami. Hamparan salju tersaji menjadi latar belakang kami. Kami tertawa. Tangan
kananku dan tangan kiri Vanya memegang sebuah karton merah. Sebuah kalimat
pendek dari tinta emas tercetak di atasnya: CUZ
WEE LOVE YE
Saat
itu musim dingin. Kami mengantri sejak tengah malam demi mendapatkan cetakan
pertama buku favorit kami. Karton tersebut merupakan ungkapan kecintaan kami
pada sang pengarang.
Namun tentu saja
Diane tak mengetahuinya. Aku akan sangat mengerti jika Diane salah menangkap
maknanya. Entah kenapa aku senang dengan kesalahpahaman ini.
Aku tersenyum
seiring dengan makin banyak foto yang kulihat. Kenangan-kenangan manis
berkelebat.
Aku dan Vanya.
Dua orang asing yang terdampar di sebuah negeri yang terlampau jauh. Kami
teramat dekat karena merasa memiliki ketertarikan pada bidang yang sama. Kami
menjadi terikat oleh kenyataan bahwa banyak hal yang bisa kami bagi bersama.
Aku dan Vanya.
Sepasang sahabat baik.
Dulu.....
*
“Kok lo tiga
hari ini ke sekolah naek sepeda lagi?” Tanya Galih sebelum sepedaku benar-benar
berhenti. “Kereta kencana lo mana?”
Yang dia maksud
dengan kereta kencana adalah Accord hitam milik keluarga Diane. “Gak tau. Bubuk
sihirnya lagi di isi ulang kali.” Jawabku asal sambil melengos pergi dari
parkiran menuju kelas. Secara otomatis Galih mengekor di belakang.
“Pertengkaran
asmara, ya?!”
“Bukan urusan
lo!” jawabku ketus.
“Justru ini
bakalan jadi urusan gua.” Ujar Galih makin bersemangat.
“Maksudnya lo mau jadiin ini bahan buat mading
lo? Gitu?” Aku menaiki tangga menuju lantai dua tanpa menoleh padanya.
Mendengar
gerutuanku dia malah terkekeh. “Ya enggak lah. Mading gua itu musti steril dari
berita gosip murahan kayak gini. Informasi itu suci. Musti bisa mencerahkan
peradaban umat manusia. Jadi kalo cuman mau baca gosip sih mendingan lo baca
tabloid. Jangan mading gua.” Penjelasan Galih yang panjang lebar cukup untuk
mengantarkan kami hingga kelas.
“Bagus!” ujarku
sembari menghempaskan pantat ke kursi.
“Maksud gua. Itu
artinya lo bisa ikut kita liburan ke Jogja.” Ucapnya yang duduk di kursi
belakang. “Lo gak jadi kan pergi bareng Diane-nya?”
Aku memutar
badan hingga menghadap padanya. Galih nyengir seakan dirinya telah memenangkan
pertempuran yang sangat hebat.
“Begini, ya,
Tuan Galih... ini bukan tentang gua yang mau liburan bareng Diane ato bukan.
Tapi kalo kalian liburannya ke Jogja. Itu artinya gua gak bakalan ikut. Gak
peduli lo mau nyogok gua berapa pun, jawaban gua tetep sama, ‘Enggak’!”
Selama beberapa detik
pandangan kami bertemu. Alis Galih bertaut menandakan dirinya sedang
mempertanyakan sesuatu.
“Kok gua nangkap
kesan lo lagi ngehindarin sesuatu sih?” Ujarnya sambil menyandar ke punggung
kursi.
Deg... kalimat
Galih barusan terasa terlalu tepat sasaran. Aku memilih untuk tak menjawab.
Kembali aku membalikkan badan. Memunggungi Galih.
“Siapa?”
Tanyanya dekat telingaku.
Mulutku diam,
namun hatiku menjawab, “Masa Lalu.”
*
“Angga, tunggu!”
Suara seorang gadis terdengar dari lorong belakang. Aku menghentikan langkah
dan menoleh.
Fiona
menghentikan larinya segera setelah menyadari aku sedang memandang ke arahnya.
Dia berjalan ke arahku sambil menunduk. Hanya bando merah jambu yang dapat
kulihat jelas dari kepalanya.
“Aku disuruh Pak
Rendi buat ngasih tau kamu kalo besok ada pertemuan klub sains di lab kimia
sepulang sekolah.” Pada jarak 6 meter dia menghentikan langkah. Kepalanya tetap
menunduk. Entah penglihatanku yang menipu atau bagaimana, tapi sepertinya
kulihat segurat warna merah pada pipinya.
“Oh, oke.”
Jawabku. “Makasih ya?!”
Fiona mengangkat
kepalanya sebentar. Mata kami bertatapan. Aku berusaha tersenyum setulus
mungkin. Dia menanggapi keramahanku dengan segera menundukkan kepala kembali.
“Aku balik lagi
ke kelas ya?! Lupa tadi belum beres-beres.” Ucapnya tanpa memandangku.
“Sip.”
Fiona
membalikkan badan hendak kembali ke kelasnya. Lima langkah dia berjalan
tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Fio!” Aku
memanggilnya. “Tunggu.”
Fiona
menghentikan kegiatannya. Aku berjalan ke arahnya.
“Katanya kamu
lagi nyari-nyari buku ini.” Ucapku sambil menyodorkan sebuah buku. “Kebetulan
aku punya dua. Jadi yang satu ini buat kamu.”
Mata Fiona
berbinar-binar seakan sedang menemukan sebuah harta karun.
“’Keajaiban-keajaiban Ilmu Kimia’... seriusan ini buat aku?”
Aku mengangguk
sambil tak lupa tersenyum. Muka Fiona sontak memerah. Dia langsung menunduk
seperti kebiasaannya.
“Kalo gitu, ampe
ketemu besok. Bye” Ucapku.
“Bye.” Balas
Fiona.
Aku melihat
sosok Fiona yang berjalan memunggungiku.
Fiona Sagita.
Sejujurnya dia sama sekali tak memiliki bakat dalam bidang sains. Berkali-kali
kulihat dia cukup kesulitan untuk memahami serta mengikuti kegiatan ekskul ini.
Aku tak yakin dia juga menikmatinya. Malah menurut kabar yang kudengar,
satu-satunya alasan dirinya masuk klub sains adalah agar bisa dekat dengan
seorang anggota pria. Siapa sang lelaki beruntung tersebut, aku tak tahu.
Beruntungnya
gadis yang tergolong cantik ini adalah tipe orang yang sangat pandai
bersosialisasi. Meskipun kemampuannya dibawah rata-rata (untuk sains, karena
jika menyangkut seni Fiona sangat luar biasa), tak satu pun anggota klub yang
menganggap Fiona sebagai pengganggu. Kami cenderung suka membantu dia secara
sukarela jika dirinya mengalami kesulitan memahami kegiatan yang sedang
dilakukan.
Sedikit banyak
Fiona mengingatkanku pada Vanya. Selama dua tahun kami saling mengenal, Vanya
yang tak pernah bisa bangun pagi selalu saja memaksakan diri menemaniku
berenang setiap minggu dini hari. Walau masih merasa sangat mengantuk, Vanya
akan menyemangatiku dari pinggir kolam agar berenang lebih cepat atau lebih
jauh.
Lebih sering
kutemukan dirinya tertidur di bangku. Hatiku selalu terasa hangat setiap
mendengar dengkuran halus dirinya yang bergelung sambil memakai jaket tiga
lapis dengan berbantalkan tas.
Kurasa itulah
gunanya sahabat...
Vanya memberi
arti jauh lebih banyak bagiku daripada yang disadarinya...
Namun tetap saja
aku tak mungkin bisa menemuinya lagi. Tidak setelah kejadian itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar