Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Selasa, 31 Juli 2012

TSMJ #6 (By: Kanata)

Perjalanan (Masih) Panjang

“Kok lo gak ikut sih?” Suara Galih bergaung dari ponsel yang sengaja aku pasang pada mode loudspeaker. “Ini Jogja loh! Jogja! Lo belom pernah kan ke Jogja!?” Ujarnya berapi-api seakan datang ke sana merupakan hal yang sangat penting.
“Gak ah, gua di rumah aja.” Jawabku sambil mengelap meja belajar.
Aku sedang memanfaatkan hari minggu dengan beres-beres kamar. Dari ocehan-ocehannya tentang Jogja dan rasa solidaritas antar teman, sepertinya dia belum menyerah juga untuk merayuku agar pada liburan semester bulan depan aku mau ikut teman-teman sekelas ke Jogja. Seminggu dia mencoba mengajakku, seminggu pula jawabanku tak berubah. Takkan berubah, tepatnya.
“Soalnya kami berdua udah ngerencanain liburan ke Jepang.” Ucap Diane saat aku menolak untuk bicara. “Iya kan, Honey?”
Aku tersenyum kecut mendengar alasan sepihak yang barusan diajukan oleh Diane. Pada kenyataannya aku baru tahu kalau Diane berencana mengajakku kesana. Galih bersiul di ujung sana.
            “Ooh, gua ngerti kenapa lo gak mau ikut. Mau bulan madu berdua toh?” Ucapnya jahil.
Diane terkikik senang. Aku tak memberi tanggapan.
Tak perlu aku katakan bahwa hampir semua temanku mendapat kesan bahwa Diane sungguhan tunanganku dan kabarnya kami akan menikah tak lama setelah Diane lulus kuliah, yang artinya sekitar 8 tahun lagi. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk tahu siapa penghembus kabarnya.
Jogja. Terakhir kali yang aku tahu seseorang dari masa lalu sekarang tinggal disana. Jadi rasanya aku takkan sanggup untuk menginjakkan kaki ke sana. Aku belum siap. Itu saja.
Namun memberi tahu alasan sebenarnya mengenai keenggananku untuk ikut pada orang-orang juga bukan suatu hal yang bijak. Entah politik apa yang telah dijalankan oleh Diane. Yang jelas semua orang di sekelilingku sepertinya amat menyukai dirinya. Dan jika aku melakukan hal-hal yang mereka anggap “aneh” tentunya aku akan menjadi pihak yang bersalah.
“Serius, gua gak bisa ikut. Gua mau ngelakuin persiapan olimpiade sains tiga bulan lagi.” Ujarku. Alasan yang tak sepenuhnya jujur namun juga bukan sebuah kebohongan.
 “Ya udah, kita ngobrolnya besok aja di sekolah.” Kudengar suara keluhan Galih di ujung sana. “Sori kalo gua udah ganggu kencan kalian!”
Senyum Diane makin mengembang. Ponsel yang baru kugunakan dua bulan lalu ini kembali menawarkan layar yang gelap menandakan sambungan telah berakhir. Sebuah ponsel yang mewah keluaran terbaru yang terlihat sangat kontras dengan kamarku yang sangat sederhana.
“Maaf ya?! Ponsel kamu gak sengaja jatoh ke kolam waktu aku kepleset.” Ujar Diane waktu itu sambil menyodorkan ponselku dalam keadaan amat kuyup.
“Gak apa-apa. Bisa aku keringin kok.” Jawabku sambil berniat mengambilnya dari tangan Diane.
Diane malah menarik tangannya. “Gak perlu. Nanti aku ganti aja sama yang baru. Sekalian nomernya yang baru juga.”
Menyadari mukaku yang kebingungan, Diane menambahkan, “Gak ada nomer penting kan? Cuman nomer-nomer temen sekolah sama keluarga kan? Bisa minta lagi ke mereka kan?”
            Nada bicaranya sih biasa saja. Namun entah kenapa sepertinya Diane sedang menyembunyikan sesuatu.
Pikiranku gamang. Diane menatapku lekat. Meminta jawaban. “Iya. Gampang tinggal minta lagi.” Ucapku akhirnya.
Di sana ada nomor ponsel Vanya. Aku tak yakin akan bisa mendapatkannya kembali. Bagaimana lagi cara Vanya bisa menghubungiku sementara tak satu pun emailnya yang aku balas?
            Biarlah, memang seharusnya pertemanan kami hanya sebatas itu, hiburku. Semoga.
            “Oy! Ngelamun!” Seru Diane membuyarkan pikiranku.
            “Kardus ini mau dibuang aja?” Tambahnya sambil menunjuk sebuah kardus setinggi setengah meter yang aku letakan di sebelah meja belajar.
            “Oh. Jangan! Simpen aja disitu.”
            Alisnya berkerut. “Perasaan, kamu gak pernah buka kardus yang ini deh.
            “Isinya barang2 aku sewaktu di London.”
            “Kalo emang isinya sayang buat dibuang, kita simpen aja di gudang belakang. Lumayan kan bisa sedikit memperluas ruangan.”
            “Gak usah. Di situ aja.” Jawabku keras kepala.
            ‘Isinya apa sih? Penasaran. Aku buka ya?!” Tanpa menunggu persetujuanku dia merobek lakban yang menyegel kardus tersebut.
            Satu persatu Diane mengeluarkan isinya. Kaus tim Muggle-Quidditch, beberapa poster, sepatu, jaket almamater, kaleng berisi koin–koin kuno, setumpuk buku, jam dinding, dan amsih banyak lagi barang-barang yang muncul dari dalam kardus.
            Sebelum akhirnya hatiku dibuat mencelos saat Diane mengeluarkan barang yang benar-benar aku lupa ada disana. sebuah album foto bersampul biru dengan logo asrama Ravenclaw di bagian depannya.
            Aku ingat pernah membelikan Vanya album warna merah yang serupa namun dengan logo Gryffindor, asrama kesukaannya di cerita Harry Potter. Aku membelinya di sebuah toko di London sebagai hadiah ulang tahun. Yang tak kukatahui adalah ternyata Vanya membelikan aku album pasangannya di toko yang sama.
            Menyadari ekspresi mukaku. Diane menghentikan kegiatannya mengeluarkan barang dan mulai membuka-buka album tersebut. Dia membalik lembar demi lembarnya. Semakin banyak yang dia buka, semakin suram pula auranya.
            “Aku mau pulang.” Ujarnya sebelum seluruh isi album tersebut dia lihat.
            Tanpa berkata apapun lagi dia melengos pergi keluar kamar. Kulihat dari jendela kamar Diane masuk ke dalam mobil diikuti oleh Pak Hamzah, sopir keluarganya. Accord berwarna hitam metalik tersebut mundur keluar halaman sebelum melaju pulang.
            Sebuah foto ukuran kartu pos tersaji di hadapanku. Sebuah syal besar melingkari pundak kami. Hamparan salju tersaji menjadi latar belakang kami. Kami tertawa. Tangan kananku dan tangan kiri Vanya memegang sebuah karton merah. Sebuah kalimat pendek dari tinta emas tercetak di atasnya: CUZ WEE LOVE YE
            Saat itu musim dingin. Kami mengantri sejak tengah malam demi mendapatkan cetakan pertama buku favorit kami. Karton tersebut merupakan ungkapan kecintaan kami pada sang pengarang.
Namun tentu saja Diane tak mengetahuinya. Aku akan sangat mengerti jika Diane salah menangkap maknanya. Entah kenapa aku senang dengan kesalahpahaman ini.
Aku tersenyum seiring dengan makin banyak foto yang kulihat. Kenangan-kenangan manis berkelebat.
Aku dan Vanya. Dua orang asing yang terdampar di sebuah negeri yang terlampau jauh. Kami teramat dekat karena merasa memiliki ketertarikan pada bidang yang sama. Kami menjadi terikat oleh kenyataan bahwa banyak hal yang bisa kami bagi bersama.
Aku dan Vanya. Sepasang sahabat baik.
Dulu.....
*
“Kok lo tiga hari ini ke sekolah naek sepeda lagi?” Tanya Galih sebelum sepedaku benar-benar berhenti. “Kereta kencana lo mana?”
Yang dia maksud dengan kereta kencana adalah Accord hitam milik keluarga Diane. “Gak tau. Bubuk sihirnya lagi di isi ulang kali.” Jawabku asal sambil melengos pergi dari parkiran menuju kelas. Secara otomatis Galih mengekor di belakang.
“Pertengkaran asmara, ya?!”
“Bukan urusan lo!” jawabku ketus.
“Justru ini bakalan jadi urusan gua.” Ujar Galih makin bersemangat.
 “Maksudnya lo mau jadiin ini bahan buat mading lo? Gitu?” Aku menaiki tangga menuju lantai dua tanpa menoleh padanya.
Mendengar gerutuanku dia malah terkekeh. “Ya enggak lah. Mading gua itu musti steril dari berita gosip murahan kayak gini. Informasi itu suci. Musti bisa mencerahkan peradaban umat manusia. Jadi kalo cuman mau baca gosip sih mendingan lo baca tabloid. Jangan mading gua.” Penjelasan Galih yang panjang lebar cukup untuk mengantarkan kami hingga kelas.
“Bagus!” ujarku sembari menghempaskan pantat ke kursi.
“Maksud gua. Itu artinya lo bisa ikut kita liburan ke Jogja.” Ucapnya yang duduk di kursi belakang. “Lo gak jadi kan pergi bareng Diane-nya?”
Aku memutar badan hingga menghadap padanya. Galih nyengir seakan dirinya telah memenangkan pertempuran yang sangat hebat.
“Begini, ya, Tuan Galih... ini bukan tentang gua yang mau liburan bareng Diane ato bukan. Tapi kalo kalian liburannya ke Jogja. Itu artinya gua gak bakalan ikut. Gak peduli lo mau nyogok gua berapa pun, jawaban gua tetep sama, ‘Enggak’!”
Selama beberapa detik pandangan kami bertemu. Alis Galih bertaut menandakan dirinya sedang mempertanyakan sesuatu.
“Kok gua nangkap kesan lo lagi ngehindarin sesuatu sih?” Ujarnya sambil menyandar ke punggung kursi.
Deg... kalimat Galih barusan terasa terlalu tepat sasaran. Aku memilih untuk tak menjawab. Kembali aku membalikkan badan. Memunggungi Galih.
“Siapa?” Tanyanya dekat telingaku.
Mulutku diam, namun hatiku menjawab, “Masa Lalu.”
*
“Angga, tunggu!” Suara seorang gadis terdengar dari lorong belakang. Aku menghentikan langkah dan menoleh.
Fiona menghentikan larinya segera setelah menyadari aku sedang memandang ke arahnya. Dia berjalan ke arahku sambil menunduk. Hanya bando merah jambu yang dapat kulihat jelas dari kepalanya.
“Aku disuruh Pak Rendi buat ngasih tau kamu kalo besok ada pertemuan klub sains di lab kimia sepulang sekolah.” Pada jarak 6 meter dia menghentikan langkah. Kepalanya tetap menunduk. Entah penglihatanku yang menipu atau bagaimana, tapi sepertinya kulihat segurat warna merah pada pipinya.
“Oh, oke.” Jawabku. “Makasih ya?!”
Fiona mengangkat kepalanya sebentar. Mata kami bertatapan. Aku berusaha tersenyum setulus mungkin. Dia menanggapi keramahanku dengan segera menundukkan kepala kembali.
“Aku balik lagi ke kelas ya?! Lupa tadi belum beres-beres.” Ucapnya tanpa memandangku.
“Sip.”
Fiona membalikkan badan hendak kembali ke kelasnya. Lima langkah dia berjalan tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Fio!” Aku memanggilnya. “Tunggu.”
Fiona menghentikan kegiatannya. Aku berjalan ke arahnya.
“Katanya kamu lagi nyari-nyari buku ini.” Ucapku sambil menyodorkan sebuah buku. “Kebetulan aku punya dua. Jadi yang satu ini buat kamu.”
Mata Fiona berbinar-binar seakan sedang menemukan sebuah harta karun. “’Keajaiban-keajaiban Ilmu Kimia’... seriusan ini buat aku?”
Aku mengangguk sambil tak lupa tersenyum. Muka Fiona sontak memerah. Dia langsung menunduk seperti kebiasaannya.
“Kalo gitu, ampe ketemu besok. Bye” Ucapku.
“Bye.” Balas Fiona.
Aku melihat sosok Fiona yang berjalan memunggungiku.
Fiona Sagita. Sejujurnya dia sama sekali tak memiliki bakat dalam bidang sains. Berkali-kali kulihat dia cukup kesulitan untuk memahami serta mengikuti kegiatan ekskul ini. Aku tak yakin dia juga menikmatinya. Malah menurut kabar yang kudengar, satu-satunya alasan dirinya masuk klub sains adalah agar bisa dekat dengan seorang anggota pria. Siapa sang lelaki beruntung tersebut, aku tak tahu.
Beruntungnya gadis yang tergolong cantik ini adalah tipe orang yang sangat pandai bersosialisasi. Meskipun kemampuannya dibawah rata-rata (untuk sains, karena jika menyangkut seni Fiona sangat luar biasa), tak satu pun anggota klub yang menganggap Fiona sebagai pengganggu. Kami cenderung suka membantu dia secara sukarela jika dirinya mengalami kesulitan memahami kegiatan yang sedang dilakukan.
Sedikit banyak Fiona mengingatkanku pada Vanya. Selama dua tahun kami saling mengenal, Vanya yang tak pernah bisa bangun pagi selalu saja memaksakan diri menemaniku berenang setiap minggu dini hari. Walau masih merasa sangat mengantuk, Vanya akan menyemangatiku dari pinggir kolam agar berenang lebih cepat atau lebih jauh.
Lebih sering kutemukan dirinya tertidur di bangku. Hatiku selalu terasa hangat setiap mendengar dengkuran halus dirinya yang bergelung sambil memakai jaket tiga lapis dengan berbantalkan tas.
Kurasa itulah gunanya sahabat...
Vanya memberi arti jauh lebih banyak bagiku daripada yang disadarinya...
Namun tetap saja aku tak mungkin bisa menemuinya lagi. Tidak setelah kejadian itu...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar