Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Minggu, 01 Juli 2012

TSMJ #4 (By Kanata)


(Hanya) Teman

            Kupindah-pindahkan saluran televisi asal saja saking bosannya. Saluran demi saluran datang silih berganti tanpa benar-benar kuperhatikan. Ruangan putih ini berhasil membuatku jenuh setengah mati. Tak ada buku, tak ada lagu, game, atau hal-hal lain yang bisa menjadi perintang waktu. Satu-satunya hiburanku hanya televisi yang menggantung di salah satu dinding, dan seorang penjaga yang sebenarnya justru menambah perasaan tak nyaman bagiku.
            “Hai, lagi ngapain? Kok cemberut? Gak ada temen ngobrol ya?” Sesosok tubuh gadis berumur 13 tahun memakai bando bunga matahari di atas rambut hitam legam sepanjang pundak muncul dari satu-satunya pintu yang tersedia.
            “Udah makannya?” Aku tak membalas senyuman yang disebarkan olehnya.
            “Udah. Nih, aku bawain sesuatu. Biar kamu cepet sembuh.” Dia meletakan kantong plastik putih di atas meja sebelah ranjangku.
            “Makasih.” Jawabku demi kesopanan.
            Senyum Diane tambah merekah. Pasti dia terlalu menganggap serius perkataanku. Aku memilih melanjutkan nonton televisi.
          “Kata dokter kamu baru bisa keluar rumah sakit lusa. Masih ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan.”
            “Mau meriksa apa lagi sih? Aku udah sehat kok?!” Ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
            “Gak tau.” Jawabnya sambil duduk di sofa. “Kalo menurut aku sih mendingan kita percaya aja sama dokter. Lagian demam berdarah bukan penyakit yang bisa dianggap enteng loh!?”
            “Tapi jangan kuatir, perawatan rumah sakit ini kelas dunia kok. Lagian kamu termasuk dalam kategori pasien VVIP disini. Hanya perawatan terbaik yang akan kau dapatkan.”
            Aku menghela napas dan menghembuskannya secepat mungkin. Perawatan terbaik di tempat terbaik bukan berarti bisa membuatku merasa betah disini. Sudah lebih dari seminggu aku terbaring tanpa diperbolehkan melakukan kegiatan apapun yang berarti.
            “Kamu mau pulang kapan? Bukannya besok musti sekolah?”
            “Tenang aja. Aku dah minta ijin ke wali kelas buat nemenin kamu sampe keluar rumah sakit kok.” Cengirannya bertambah lebar. “Kamu seneng kan?”
            “Sempurna!” ucapku getir. “Dan jangan bilang Teh Mia gak jadi gantiin kamu jaga malam ini!?”
            “Kamu pinter!” Serunya sambil menjawil pipiku seperti kebiasaannya jika sedang merasa gemas.
            Diane Anastasia Adiyaksa adalah seorang putri yang akan mendapatkan apapun yang diinginkannya. Sebagai putri tunggal dari pengusaha paling cemerlang abad ini, Wahyu Gani Adiyaksa, Diane benar-benar akan mendapatkan APAPUN yang diinginkannya. Termasuk jika menginginkan aku, seperti yang sedang dilakukannya saat ini.
            Segala perlakuannya padaku berhasil membuat perasaanku sangat jengah. Sering aku merasa diperlakukan Diane tak lebih dari sebuah boneka. Misi Diane padaku hanya satu: membahagiakanku sebisa mungkin. Dan misiku padanya juga satu: menghindarinya sebisa mungkin. Hasilnya: kami berdua gagal. Dia gagal membuatku merasa senang (karena aku sama sekali tak senang), aku juga gagal menghindarinya (karena entah bagaimana Diane selalu berhasil membuat beragam alasan hebat untuk tetap bersamaku).
            Sebagai tunanganku (menurut pengakuannya) dia merasa berhak untuk terus berdekatan denganku. Karena dia anak Pak Wahyu, yang notabene merupakan bos dari Almarhum Apa, ayahku, aku tak mungkin memperlakukannya dengan kasar mengingat betapa besar jasa Pak Wahyu pada keluarga kami.
3 dari 5 kakak-kakakku menjadi karyawannya. Belum lagi para sepupu, sejumlah paman, dan masih banyak lagi kerabat menjadi karyawan dari beragam perusahaan yang dimiliki oleh Pak Wahyu dan keluarganya. Pesan Emak, ibuku, adalah memperlakukan Diane sebaik mungkin. Dia mengerti jika aku tak mau menjadi tunangan Diane. “Perlakukan saja dia sebagai adik Aan. Gak sulit kan?”
Yang Emak tidak ketahui adalah Diane benar-benar menjiwai pertunangan sepihak ini.
“Aaa... buka lebar-lebar mulutnya...” Diane menyodorkan garpu berisi kupasan buah mangga.
Aku menggeleng sambil pura-pura menonton salah satu saluran yang ditawarkan televisi berlangganan. “Kamu aja yang makan!”
“Ih, kamu aneh! Siapa yang sakit, siapa pula yang musti makan buahnya!”
“Aku gak sakit kok!” Ucapku keras kepala.
“Iya deh, gak sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
DEG....!!!
Dejavu.
Rangkaian barusan membukan sebuah memori usang yang tersimpan dalam ruang tak berbentuk. Buah yang berbeda, lokasi yang berbeda, waktu yang berbeda, para tokoh yang berbeda pula namun maknanya tetap sama.
#
“Ayo dong makan.... Enak banget loh!” Aku menyodorkan sesendok kecil buah kiwi.
Vanya menggeleng kuat-kuat. “Kalo kamu yakin itu enak, kenapa bukannya kamu aja yang makan?”
“Nih, aku makan ya?!” Pada akhirnya sang buah masuk dalam mulutku. “Sekarang giliran kamu!” Aku menyodorkan sendokan yang baru.
“Abisin aja!”
“Kok aku yang ngabisin sih? Kan Nona Artha yang sakitnya juga!”
“Jangan panggil aku dengan nama itu!” Ancamnya.
“Loh? Emang kenapa? Kamu juga seenaknya aja manggil aku Nata.” Aku mengajukan protes. “Cuman kamu yang panggil aku Nata. Yang laen cukup tau diri dengan memanggilku Kanata, atau Angga seperti teman-temanku di kampung.”
“Suka-suka aku dong!”
“Berarti suka-suka aku juga dong! Ayo dong cepet makan, biar gak tambah sakit.”
“Aku gak sakit! Dan jangan-pernah-manggil-aku-Artha-lagi!”
“Iya deh, gak sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
“ENGGAK MAU!!” Teriak Vanya.
“Berarti kamu gak ikut ke acara pembacaan novel Harry Potter di Kinokuniya lusa kan? Aku gak mau ah nuntun orang sakit! Kamu ini yang rugi kalo gak bisa denger Miss Rowling bacain novel favorit kita.”
Vanya cemberut. Matanya mendelik padaku. “Siniin! Aku bisa makan sendiri!” Ucapnya kasar. “Kamu balik aja ke kamar! Lagi banyak tugas kan?!”
Aku keluar kamar Vanya dengan ekspresi kemenangan.
Keesokan harinya Vanya masuk bangsal rumah sakit karena usus buntunya makin parah. Aku menemani dirinya terbaring 3 hari di bangsal sambil memperdengarkan rekaman suara Sang Pengarang yang kuambil secara sembunyi-sembunyi.
#
            “Kok ngelamun sih, Ay?” Diane membuyarkan khayalanku.
            Kenapa sih cewek hobi amat manggil orang lain seenaknya? Diane memanggilku Ayang tanpa meminta persetujuan.
            Dulu Vanya......
            4 bulan berlalu sejak terakhir kali aku mambalas SMS-nya di atas bis.
Dimana sekarang dirinya?
Perlukah aku mengirim email atau semacamnya pada Vanya sekarang? Tapi untuk apa?
#
“Kita teman, kan?” Ucap Vanya saat kami duduk di atap gedung asrama Putra pada satu sore.
“Kenapa bukan teman?” Jawabku sambil makan keripik.
“Gak ada yang namanya mantan teman, kan?”
“Kenapa pula harus ada?”
“Jadi kita ini teman? Selamanya?”
“Teman, selamanya....” Janjiku.
Angin berhembus cukup kencang, mengakibatkan kalimat Vanya selanjutnya tak mampu kutangkap maknanya. “Sorry, apaan tadi? Aku gak dengar.”
Vanya malah tersenyum. Dia berdiri. Membersihkan debu dari belakang roknya. “Bukan sesuatu yang penting! Saat ini cukuplah kita berteman dulu.”
Keningku berkerut. Agak penasaran dengan kalimat yang sesungguhnya diucapkan Vanya sebelumnya.
Bersambung


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar