(Hanya) Teman
Kupindah-pindahkan
saluran televisi asal saja saking bosannya. Saluran demi saluran datang silih
berganti tanpa benar-benar kuperhatikan. Ruangan putih ini berhasil membuatku
jenuh setengah mati. Tak ada buku, tak ada lagu, game, atau hal-hal lain yang
bisa menjadi perintang waktu. Satu-satunya hiburanku hanya televisi yang
menggantung di salah satu dinding, dan seorang penjaga yang sebenarnya justru
menambah perasaan tak nyaman bagiku.
“Hai,
lagi ngapain? Kok cemberut? Gak ada temen ngobrol ya?” Sesosok tubuh gadis berumur
13 tahun memakai bando bunga matahari di atas rambut hitam legam sepanjang
pundak muncul dari satu-satunya pintu yang tersedia.
“Udah
makannya?” Aku tak membalas senyuman yang disebarkan olehnya.
“Udah.
Nih, aku bawain sesuatu. Biar kamu cepet sembuh.” Dia meletakan kantong plastik
putih di atas meja sebelah ranjangku.
“Makasih.”
Jawabku demi kesopanan.
Senyum
Diane tambah merekah. Pasti dia terlalu menganggap serius perkataanku. Aku memilih
melanjutkan nonton televisi.
“Kata
dokter kamu baru bisa keluar rumah sakit lusa. Masih ada beberapa pemeriksaan
yang perlu dilakukan.”
“Mau
meriksa apa lagi sih? Aku udah sehat kok?!” Ucapku tanpa mengalihkan pandangan
dari layar.
“Gak
tau.” Jawabnya sambil duduk di sofa. “Kalo menurut aku sih mendingan kita
percaya aja sama dokter. Lagian demam berdarah bukan penyakit yang bisa
dianggap enteng loh!?”
“Tapi
jangan kuatir, perawatan rumah sakit ini kelas dunia kok. Lagian kamu termasuk
dalam kategori pasien VVIP disini. Hanya perawatan terbaik yang akan kau
dapatkan.”
Aku
menghela napas dan menghembuskannya secepat mungkin. Perawatan terbaik di
tempat terbaik bukan berarti bisa membuatku merasa betah disini. Sudah lebih
dari seminggu aku terbaring tanpa diperbolehkan melakukan kegiatan apapun yang
berarti.
“Kamu
mau pulang kapan? Bukannya besok musti sekolah?”
“Tenang
aja. Aku dah minta ijin ke wali kelas buat nemenin kamu sampe keluar rumah
sakit kok.” Cengirannya bertambah lebar. “Kamu seneng kan?”
“Sempurna!”
ucapku getir. “Dan jangan bilang Teh Mia gak jadi gantiin kamu jaga malam ini!?”
“Kamu
pinter!” Serunya sambil menjawil pipiku seperti kebiasaannya jika sedang merasa
gemas.
Diane
Anastasia Adiyaksa adalah seorang putri yang akan mendapatkan apapun yang
diinginkannya. Sebagai putri tunggal dari pengusaha paling cemerlang abad ini,
Wahyu Gani Adiyaksa, Diane benar-benar akan mendapatkan APAPUN yang
diinginkannya. Termasuk jika menginginkan aku, seperti yang sedang dilakukannya
saat ini.
Segala
perlakuannya padaku berhasil membuat perasaanku sangat jengah. Sering aku
merasa diperlakukan Diane tak lebih dari sebuah boneka. Misi Diane padaku hanya
satu: membahagiakanku sebisa mungkin. Dan misiku padanya juga satu: menghindarinya
sebisa mungkin. Hasilnya: kami berdua gagal. Dia gagal membuatku merasa senang
(karena aku sama sekali tak senang), aku juga gagal menghindarinya (karena
entah bagaimana Diane selalu berhasil membuat beragam alasan hebat untuk tetap
bersamaku).
Sebagai
tunanganku (menurut pengakuannya) dia merasa berhak untuk terus berdekatan
denganku. Karena dia anak Pak Wahyu, yang notabene merupakan bos dari Almarhum Apa,
ayahku, aku tak mungkin memperlakukannya dengan kasar mengingat betapa besar jasa
Pak Wahyu pada keluarga kami.
3 dari 5
kakak-kakakku menjadi karyawannya. Belum lagi para sepupu, sejumlah paman, dan
masih banyak lagi kerabat menjadi karyawan dari beragam perusahaan yang
dimiliki oleh Pak Wahyu dan keluarganya. Pesan Emak, ibuku, adalah
memperlakukan Diane sebaik mungkin. Dia mengerti jika aku tak mau menjadi
tunangan Diane. “Perlakukan saja dia sebagai adik Aan. Gak sulit kan?”
Yang Emak tidak
ketahui adalah Diane benar-benar menjiwai pertunangan sepihak ini.
“Aaa... buka
lebar-lebar mulutnya...” Diane menyodorkan garpu berisi kupasan buah mangga.
Aku menggeleng
sambil pura-pura menonton salah satu saluran yang ditawarkan televisi
berlangganan. “Kamu aja yang makan!”
“Ih, kamu aneh! Siapa
yang sakit, siapa pula yang musti makan buahnya!”
“Aku gak sakit
kok!” Ucapku keras kepala.
“Iya deh, gak
sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
DEG....!!!
Dejavu.
Rangkaian barusan
membukan sebuah memori usang yang tersimpan dalam ruang tak berbentuk. Buah yang
berbeda, lokasi yang berbeda, waktu yang berbeda, para tokoh yang berbeda pula
namun maknanya tetap sama.
#
“Ayo dong
makan.... Enak banget loh!” Aku menyodorkan sesendok kecil buah kiwi.
Vanya menggeleng
kuat-kuat. “Kalo kamu yakin itu enak, kenapa bukannya kamu aja yang makan?”
“Nih, aku makan
ya?!” Pada akhirnya sang buah masuk dalam mulutku. “Sekarang giliran kamu!” Aku
menyodorkan sendokan yang baru.
“Abisin aja!”
“Kok aku yang
ngabisin sih? Kan Nona Artha yang sakitnya juga!”
“Jangan panggil
aku dengan nama itu!” Ancamnya.
“Loh? Emang
kenapa? Kamu juga seenaknya aja manggil aku Nata.” Aku mengajukan protes. “Cuman
kamu yang panggil aku Nata. Yang laen cukup tau diri dengan memanggilku Kanata,
atau Angga seperti teman-temanku di kampung.”
“Suka-suka aku
dong!”
“Berarti
suka-suka aku juga dong! Ayo dong cepet makan, biar gak tambah sakit.”
“Aku gak sakit! Dan
jangan-pernah-manggil-aku-Artha-lagi!”
“Iya deh, gak
sakit. Tapi makan dulu buahnya ya!?”
“ENGGAK MAU!!”
Teriak Vanya.
“Berarti kamu
gak ikut ke acara pembacaan novel Harry Potter di Kinokuniya lusa kan? Aku gak
mau ah nuntun orang sakit! Kamu ini yang rugi kalo gak bisa denger Miss Rowling bacain novel favorit kita.”
Vanya cemberut. Matanya
mendelik padaku. “Siniin! Aku bisa makan sendiri!” Ucapnya kasar. “Kamu balik
aja ke kamar! Lagi banyak tugas kan?!”
Aku keluar kamar
Vanya dengan ekspresi kemenangan.
Keesokan harinya
Vanya masuk bangsal rumah sakit karena usus buntunya makin parah. Aku menemani
dirinya terbaring 3 hari di bangsal sambil memperdengarkan rekaman suara Sang Pengarang
yang kuambil secara sembunyi-sembunyi.
#
“Kok
ngelamun sih, Ay?” Diane membuyarkan khayalanku.
Kenapa
sih cewek hobi amat manggil orang lain seenaknya? Diane memanggilku Ayang tanpa
meminta persetujuan.
Dulu
Vanya......
4
bulan berlalu sejak terakhir kali aku mambalas SMS-nya di atas bis.
Dimana sekarang
dirinya?
Perlukah aku
mengirim email atau semacamnya pada Vanya sekarang? Tapi untuk apa?
#
“Kita teman,
kan?” Ucap Vanya saat kami duduk di atap gedung asrama Putra pada satu sore.
“Kenapa bukan
teman?” Jawabku sambil makan keripik.
“Gak ada yang
namanya mantan teman, kan?”
“Kenapa pula
harus ada?”
“Jadi kita ini
teman? Selamanya?”
“Teman,
selamanya....” Janjiku.
Angin berhembus
cukup kencang, mengakibatkan kalimat Vanya selanjutnya tak mampu kutangkap
maknanya. “Sorry, apaan tadi? Aku gak
dengar.”
Vanya malah tersenyum.
Dia berdiri. Membersihkan debu dari belakang roknya. “Bukan sesuatu yang
penting! Saat ini cukuplah kita berteman dulu.”
Keningku berkerut.
Agak penasaran dengan kalimat yang sesungguhnya diucapkan Vanya sebelumnya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar