PENGORBANAN BODOH
“Ayolah
Dessy! Temani aku jalan-jalan akhir pekan ini, ya?” aku memohon pada salah
seorang temanku yang juga berasal dari Indonesia.
“Vanya,
kamu nyadar nggak sih kalau kamu udah menanyaiku tujuh kali hari ini? Sudah
kubilang aku nggak mau. Lagipula kita belum kenal jalan di London,”
“Aku
punya peta London kok!”
“Oke
aku temenin tapi minggu depan,”
“Yaah,
minggu ini dong!”
“Nggak.
Akhir pekan ini aku mau istirahat. Kita kan masih punya waktu banyak. Ini masih
minggu pertama kita, Vanya. Dan ngiing nguung ngiing…”
Kata-kata
Dessy seperti dengungan lebah di telingaku. Kedatangan Nata melumpuhkan fungsi
anggota tubuhku yang bernama telinga. Mataku hanya tertuju pada satu titik:
Nata. Cowok itu berjalan melewati aku dan Dessy begitu saja. Ia berjalan tegap
tanpa menoleh sedikitpun. Seolah aku dan Dessy hanyalah patung yang menghiasi
koridor ini. Sikap Nata yang dingin itu justru membuatku selalu penasaran pada
cowok itu. Dan saat itulah, kedua kakiku melangkah membuntuti Nata tanpa
persetujuan otakku.
“Hi
Nata!” aku berlari-lari kecil untuk menyeimbangkan langkah Nata yang lebar. Ia
selalu berjalan dengan cepat.
Nata
terus berjalan tanpa membalas sapaanku. Bahkan sekedar menoleh dan tersenyum
kepadaku pun tidak. Mata tajamnya terus menatap jalan di depannya. Seolah-olah
ia akan mati jika menoleh ke arahku. Aku yang berada di sampingnya, hanya bisa
menatap wajah Nata sambil tersenyum seperti orang bodoh.
Di
ujung koridor ini, Nata berbelok ke kanan melewati koridor yang menuju
perpustakaan. Barulah aku sadar Nata sedang memeluk buku yang sangat tebal yang
entah apa isinya. Melihat buku itu,
senyumku bertambah lebar.
“Jadi
kamu mau keperpustakaan?” tanyaku basa-basi.
“Bukan
urusanmu,” akhirnya Nata angkat bicara.
“Kamu
mau mengembalikan buku itu, ya?” Nata kembali membisu.”aku pernah melihat buku
itu. Cuma aku belum pernah membacanya. Kayaknya ngebosenin banget. Tapi
bukannya—“
Tiba-tiba
saja Nata menoleh ke arahku dan menatapku tajam. Membuatku tak mampu melanjutkan
kalimatku.”Bisa nggak sih kamu berhenti mengikuti aku?!” tanyanya dengan wajah
galak.
Aku
mundur selangkah karena rasa kaget bercampur takut. “Aku… aku juga mau ke
perpustakaan kok.” Kataku sedikit terbata.
Nata
berbalik dan kembali berjalan. Aku juga kembali berjalan di sampingnya. Setidaknya,
sekarang aku mempunyai alas an untuk berjalan di samping Nata. Kali ini aku
memilih diam sampai langkah kaki kami berhenti di sebuah perpustakaan yang
sangatlah besar.
Perpustakaan sekolah ini menyimpan
beribu buku di rak-rak yang ratusan jumlahnya. Semua buku tertata rapi di rak
masing-masing. Di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa meja dan kursi
sebagai tempat untuk menikmati buku-buku di sini. Perpustakaan ini sangat
nyaman. Di setiap titik dan sudutnya begitu rapi dan terawat. Keadaan yang jauh
berbeda seperti di Indonesia. Bahkan, perpustakaan kota tak sebagus ini.
Perpustakaan ini tak pernah sepi.
Seperti sekarang ini, banyak yang sedang tenggelam dalam bukunya masing-masing.
Tak terkecuali Nata yang baru saja duduk. Dalam beberapa detik ia sudah
memasuki pintu dunia buku yang tadi dibawanya itu. Aku yang masih berdiri,
segera saja menarik sebuah buku yang entah tentang apa itu dan duduk di depan
Nata. Memperhatikan cowok yang ada di hadapanku ini.
Saat aku masih menikmati pemandangan
yang di suguhkan di depan mataku ini, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dan ide
brilian terlintas di otakku.
“Nata!” bisikku.
Cowok itu tidak merespon. Kupanggila
lagi tetapi hasilnya tetap sama. Sampai kusebut namanya untuk ketiga kalinya,
ia tetap tidak merespon. Aku yakin ia hanya berpura-pura tidak mendengar
panggilanku.
“Nataaa!” panggilku dengan suara
tinggi.
Aku tak menyangka suaraku barusan cukup
mengganggu orang-orang yang ada di perpustakaan ini. Mereka menatapku dengan
tatapan yang tak menyenangkan sambil memperingatkanku untuk memelankan suara.
Aku hanya bisa meringis, tak enak hati. “Sorry,” kataku pelan.
Saat aku akan memanggil Nata lagi,
ia sudah menatapku dengan tatapan jengkel. Kemudian ia kembali membaca bukunya.
“Nata!” aku memanggilnya dengan
suara lirih.
Kali ini Nata langsung menatapku.
“Akhir pekan ini aku mau
jalan-jalan. Kamu mau kan menemaniku?” tanyaku senang.
Nata hanya terdiam.
“Mau
kan?” tanyaku lagi.
Tanpa
kuduga, Nata berdiri lalu menarik pergelangan tanganku. Aku pasrah di bawa Nata
keluar dari perpustakaan. Ini pertamakalinya aku merasakan sentuhan Nata,
walaupun sedikit kasar. Entah kenapa, jantungku berdenyut dengan cepat saat
kulit Nata menyentuh kulitku.
“Kamu
pikir perpustakaan tempat buat ngobrol?!” katanya setelah sampai di koridor.
“Jadi kamu mau kan?” tanyaku tanpa menggubris
kata-kata Nata barusan.
“Nggak,”ia melangkah pergi.
Ketika aku hendak mengikutinya lagi,
Nata segera berbalik. Membuatku hampir menabraknya.
“Jangan mengikutiku lagi!” ia
memperingatkanku lalu berbalik dan melangkah pergi.
Sebenarnya aku ingin sekali
mengikutinya dan memintanya untuk menemaniku jalan-jalan besuk Sabtu. Tetapi
aku terpaksa menuruti kata-katanya. Mungkin ia benar-benar sibuk hari ini.
Keesokkan harinya, sebelum kelas
pertama di mulai aku bertemu Nata dan Hyungjun. Hari ini aku menangkan senyum
Nata untuk pertamakalinya. Walaupun senyum itu bukan untukku. Tetapi aku yakin,
nanti atau entah kapan Nata akan tersenyum untukku. Bahkan tertawa bersamaku.
Tinggal menunggu waktu saja.
“Hi Nata! Hi Hyungjun!” sapaku pada
mereka yang sedang asyik membicarakan sesuatu.
“Hi vanya!” Hungjun membalas
sapaanku. Sedangkan Nata hanya diam. “What
a beautiful butterfly!” katan Hyungjun
lagi.
Awalnya aku tak mengerti apa yang ia
katakan. Tetapi, setelah Hyungjun menyentuh jepit rambutku, aku baru mengerti.
“Yeah, thanks. This
is from my sister,” ungkapku senang.
Kedua alis Hungjun tampak naik. “Is she pretty? I mean your sister?” tanyanya.
“Oh ya! She’s so so pretty! I’ll show you her picture,” kataku antusias. Kemudian aku
mengeluarkan dompetku untuk menunjukkan foto kak Vio kepada Hyungjun.
“See you at class,
Hyungjun,” kata Nata sambil melangkahkan kakinya.
Hyungjun membuatku lupa tujuanku
menemui Nata. “Nata! Wait.
Wait. Nata!’ aku segera memanggil Nata.
“No, see you at class,
Nata!” kata Hyungjun sambil tergelak. “Bye” hyungjun melambaikan tangannya untukku.
“Jadi kamu mau kan?”
“Aku sudah menjawab pertanyaanmu,”
“Kemarin, sudah. Tapi hari ini
belum,”
“Hari ini juga nggak,”
“Ayolah Nata! Sebentar saja. Aku
janji nggak sampe malem. Ok?”
“Walaupun hanya lima menit, tetap
nggak,”
Nata segera pergi meninggalkanku. Lagi-lagi
aku tak bisa menyusulnya. Jam tanganku sudah memberitahuku bahwa kelas akan di
mulai lima menit lagi, aku segera berlari menuju kelas.
Entah kenapa, pada hari Jumatnya,
aku sama sekali tak melihat Nata di manapun. Ia tidak ada di halaman sekolah,
koridor-koridor, cafeterian, dan perpustakaan. Ia tak ada di manapun.
Sepertinya ia sedang menjauihiku.
“Memangnya aku bervirus?!” gumamku
jengkel.
“Sorry?” Janet yang
ada di sebelahku rupanya mendengar gumamanku.
“Nothing, Janet,”
kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju kelas.
Hari Sabtu pun tiba. Padahal aku
belum mengantungi persetujuan dari Nata untuk menemaniku jalan-jalan.
Sebenarnya aku bisa meminta Janet atau mama untuk menemaniku. Tetapi aku justru
lebih menginginkan seoarang cowok yang baru aku kenal lima hari yang lalu untuk
menemaniku. Aku sendiri heran mengapa aku begitu menginginkan Nata untuk
menemaniku.
Pagi ini, aku sudah bertekad untuk
datang ke kamar Nata untuk memintanya menemaniku jalan-jalan, lagi. Aku akan
memaksanya. Aku yakin kali ini dia mau menemaniku. Mungkin aku akan menambah
sedikit bumbu-bumbu drama untuk membujuknya.
Tepat sepuluh menit kemudian, aku
sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Nata dan Hyungjun. Sebelum aku
mengetuk pintu itu, aku menyiapkan dialog di otakku. Dan saat itulah, pintu
bercat putih di depanku ini terbuka. Hampir saja aku menjatuhkan peta London
yang ada di tanganku ketika melihat orang yang membuka pintu itu. Nata.
Nata tampak terkejut melihatku
berdiri di depan pintu kamarnya. Aku membalas tatapan terkejut Nata dengan
senyuman yang lebar.
“Hi Nata!”
“Hari ini juga nggak,” tolaknya
mentah-mentah sebelum aku memintanya.
Aku tertawa pelan. “kamu ini.
Padahal aku belum mengatakan apa-apa. Tapi, tetep aja kamu harus mau,”
“Kenapa?”
“Aku nggak tahu jalan. Aku juga
sendirian,”
“Kamu punya peta,” Nata melirik
kertas yang ada di tangan kananku.
“Bahkan aku nggak bisa baca peta.
Navigasi cewek kan nggak begitu bagus,”
“Ajak saja temanmu yang lain.
Bukannya mereka juga pasti udah kenal jalan di London?” ia masih tak mau kalah.
“Tapi mereka nggak mau menemaniku,”
kataku setengah berbohong. Dessy memang tak mau menemaniku.
“Pergi saja sendiri. Aku sibuk!”
Ini saatnya. Aku memasang mimik
sesedih mungkin. “Baiklah,” aku menundukkan kepala lalu melangkah pergi. Baru
dua langkah kakiku berjalan, aku kembali lagi. “Nata, kalau kamu nggak ketemu
denganku besok, tolong panggil polisi untuk mencariku,” kataku. Oh DramaQueen!
Aku berjalan dengan perlahan, menunggu
panggilan dari Nata. Aku yakin kata-kataku barusan membuatnya tak enak hati dan
akhirnya memutuskan untuk menemaniku. Aku mulai tertawa dalam hati.
Bukannya panggilan dari Nata yang
kudengar, tetapi justru suara pintu ditutup. Aku menoleh.
“Nataaa!!!” aku menghentakkan
sebelah kakiku ke lantai kuat-kuat. Cowok itu benar-benar menjengkelkan. “Cowok
itu nggak gentle banget sih! Kataku uring-uringan.
Aku berjalan lesu memikirkan
kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Ini akan menjadi
jalan-jalan yang sangat membosankan. Terlebih lagi, aku belum mengenal London.
Aku juga tak yakin petaku ini akan membantu.
Aku
memandangi peta yang ada di tanganku ini dan berusaha memahaminya. Ku
putar-putar tetap saja aku tak bisa memahaminya. Di mana utara? Di mana
selatan? Ah aku tak mengerti.
“Kenapa
kamu nggak bisa aku baca sih?!” aku mulai frustasi.
“Perhaps we don’t need it,” kata seseorang yang tiba-tiba muncul di
depanku.
Aku
hampir tak memercayai mataku. “Na…ta,”
“Aku
nggak mau repot-repot memanggil polisi untuk mencarimu,” katanya lagi.
Aku
tersenyum senang. Aku tahu. Aku
menang.
“Jadi
kamu mau ke mana?”
“Ke
mana saja,” ucapku penuh semangat.
Jadilah
aku dan Nata jalan-jalan hari ini. Kunjungan pertama kami adalah ke Museum of London. Siangnya kami mengunjungi Tate Modern Art Gallery. Setelah puas berfoto dengan laba-laba
raksasa di sana, aku meminta Nata untuk menemaniku ke Stasiun King Cross yang termasyur itu.
“Stasiun
King Cross?” kata Nata setelah aku mengungkapkan
keinginanku ke stasiun itu.
“Iya.
Emangnya salah kalau aku pengen ke stasiun itu?”
“Sebaiknya
kita ke sungai Themes dan pulang,”
“NO!” teriakku spontan. “Nata, aku
ini penggemar Harry
Potter! Jadi wajar dong kalau aku pengen
ke tempat itu. Ke Stasiun King Cross.
Aku pengen lihat tempat Joanne Kathleen Rowling yang hebat itu “menemukan”
Harry Potter. Aku pengen melihat tempat lahirnya ide besar yang sekarang sudah
mendunia itu. Aku pengen lihat tempat para penyihir-penyihir menembus tembok
lalu naik ke kereta. Dan tuuut tuuut!
Kereta berjalan menuju sekolah sihir yang hebat! Dan oh ya, aku pengen lihat
platform 9 3/4,” aku begitu menggebu-gebu mengatakan
hal itu. Dadaku berdebar-debar karena tak sabar ingin ke Stasiun King Cross.
Cowok yang berdiri tepat di depanku
ini menyipitkan matanya sedikit dan menatapku lekat-lekat. Sesuatu yang di
lakukan untuk menangkap sinyal-sinyal kebohongan. Respon Nata yang tak terduga.
“Kamu nggak percaya kalau aku ini
penggemar Harry Potter? memangnya di mana salahku?” tanyaku pada Nata yang
sudah tak lagi menyipitkan matanya.
“Usaha yang bagus. Kamu berusaha
membuatku terkesan dengan berpura-pura menjadi Harry Potter Freak sepertiku. Bahkan sampai menghapalkan sejarahnya,”
“Hah? Jadi kamu juga penggemar Harry
Potter? Dan, hei! Aku nggak pura-pura! Aku emang penggemar Harry potter, ok?!”
kataku setengah senang karena Nata juga menyukai Harry potter dan setengah
tidak terima karena ia menuduhku berbohong.
“Oh ya? Dan aku nggak peduli,”
katanya dingin.
Wajah dingin Nata membuatku harus
memuji karya Tuhan itu. Wajah Nata begitu tampan jika ia sedang bersikap
dingin. Walaupun begitu, aku lebih menyukai Nata yang sedang tersenyum. Dengan
senyum di wajahnya ia tampak lebih manusiawi. Dan tanpa senyum, ia seperti
patung antagonis yang di pahat sempurna. Sangat sempurna di mataku.
Sebenarnya ada satu nilai minus dari
Nata. Rambut hitam legamnya itu selalu berantakkan. Aku tak suka melihat Nata
dengan rambut yang selalu mencuat ke mana-mana. Dan setiap kali melihat
rambutnya—seperti sekarang, aku harus menahan diri untuk tidak merapikan rambut
Nata. Aku benci menahan diri.
“Hei! Apa hobimu melamun?” kata-kata
Nata membuatku berhenti mengagumi dirinya.
“hmm… aku janji, kita pulang setelah
ke stasiun King
cross. Bagaimana?” aku mulai
bernegosiasi.
Nata diam beberapa detik untuk
mempertimbangkan kata-kataku. “Baiklah,” katanya pada akhirnya.
Kami pergi ke stasiun King Crossmenggunakan bus. Setelah bermenit-menit di dalam bus akhirnya kami
berdiri tepat di depan stasiun yang sangat besar ini. Seandainya aku orang
terbodoh di dunia, mungkin aku akan mengira bangunan yang ada di depan mataku
ini adalah sebuah kastil atau semacamnya. Sungguh bangunan yang sangat indah.
Kukeluarkan kamera yang ada di tas
kecilku, lalu mulai memotret stasiun ini. Setelah itu, barulah Nata mengajakku
masuk ke dalam. Ternyata, stasiun ini lumayang padat. Banyak orang yang berlalu
lalang ke sana ke mari menenteng kopor dan juga barang bawaan mereka. Di
beberapa sudut ada orang-orang yang saling berpelukkan melepas rindu. Sungguh
pemandangan yang menyentuh.
“Ini dindingnya,” Nata menatap
dinding yang ditempeli sebuah plakat. Apalagi kalau bukan plakat bertuliskan “Platform 93/4”.
Aku menatap plakat itu dengan penuh
kagum. Hampir saja aku meneteskan air mata saking bahagia bisa menatap plakat
yang selama ini hanya bisa kulihat di foto itu. Segera saja aku meminta tolong
Nata untuk memotretku bersama plakat bersejarah itu. Kemudian aku memotret
plakat itu lagi sampai berulang kali. Aku tahu ini sedikit berlebihan.
Tiba-tiba saja sebuah ide jahil mampir di
otakku. Kuarahkan kameraku ke arah Nata yang berdiri di sebelah kiriku lalu
kufoto. Bukannya Nata yang terkejut, justru aku yang terkejut. Di foto itu,
Nata tertangkap basah sedang melihatku. Lagi-lagi denyut jantungku menjadi tak
beraturan.
“Jangan lakukan itu lagi,” kata Nata
datar. “Dan kalau kamu sudah selesai, ayo pulang. Sudah sore,”
Aku mengangguk cepat.
Setelah hari itu keajaiban datang satu
persatu. Hari demi hari. Nata yang dingin perlahan-lahan menghangat. Nata yang
dulu selalu mengacuhkanku kini berubah menjadi Nata yang selalu tersenyum
kepadaku ketika kusapa. Aku senang ia mulai mengakui keberadaanku. Tidak
seperti dulu.
Sejak pertama kali aku melihat Nata,
entah mengapa aku ingin sekali menjadi sahabatnya. Sesuatu mendorongku untuk
terus mendekatinya. Berusaha menjadi—tak hanya teman, tetapi sahabat. Dan
itulah realitanya. Ia sudah menjadi sahabatku. Aku rasa ia juga menganggapku
begitu.
Kata sahabat juga membuatku sering pergi
bersamanya di akhir pekan walau hanya sekedar untuk melihat plakat aneh di
stasiun King Cross. Dan sekarang, Nata sudah memercayaiku
bahwa aku menyukai Harry Potter bukan karena dia. Meskipun membutuhkan beberapa
minggu untuk membuatnya percaya. Dia memang tak mudah untuk memercayai sesuatu.
Bahkan hal kecil sekalipun.
“apa kamu suka makan cokelat?” tanyaku
pada Nata di suatu siang saat musim panas. Kami baru saja sampai di Camden Market.
“Nggak terlalu. Hot chocolate, mungkin?”
jawabnya dengan senyum yang mengembang.
Senyuman itu membuat tubuhku bereaksi
aneh. Untuk ke sekian kalinya dadaku berdebar-debar. Sebenarnya aku sudah
terbisaa dengan hal itu. Hanya saja aku belum terbisaa dengan kenyataan yang di
beberkan Janet setelah aku menceritakan padanya soal jantungku.
“You love him!” kata Janet
penuh semangat.
Oh
god! Apa memang benar aku telah jatuh
cinta pada Nata? Sahabatku sendiri? Apakah begini rasanya jatuh cinta?
Ternyata mencintai seseorang itu rasanya
menyenangkan. Seolah semuanya empat kali lebih baik.
“Hot chocolate,” kataku setelah sukses
mengenyahkan pikiranku dari kata-kata Janet.”Aku juga suka Hot chocolate. Tapi aku lebih suka cokelat batang. Dan aku penggemar dark
chocolate. Dark chocolate itu beda dari cokelat lain. Dia punya rasa
pahit di balik rasa manisnya cokelat.” Aku membayangkan sebatang dark chocolate
besar saat mengatakan itu.
Nata mengerutkan kening. “Kenapa?
Bukannya rasa pahit akan merusak rasa manis di cokelat?”
“Karena saat masuk mulut, lidah nggak
melulu merasakan manis. ?Dark
chocolate itu seperti kehidupan. Hidup
nggak terus-terusan manis dan nggak terus-terusan pahit kan?” aku meniru
kata-kata mama yang sangat kuingat.
“Sejak kapan kamu pintar berfilosofi?”
ucap Nata sambil mencubit hidungku. Akhir-akhir ini Nata suka sekali mencubit
hidungku. Mungkin sudah menjadi hobi baru baginya.
“Oh my lovely nose! “
pekikku pelan. Aku menggosok hidungku pelan dan berpura-pura marah. Sejujurnya
aku menyukai cubitannya.
“Jadi anda mau beli apa, Nona? Ini sudah
yang ke lima kalinya dalam sebulan anda datang ke tempat ini,” ia berbicara
seolah aku ini puteri kerajaan.
“Masa sih?” aku tertawa.
“Dan sampai kapan anda mau ke sini?”
“Hmm… sampai kamu membayar janjimu,”
Nata mengerutkan kening. Sepertinya ia
sedang berusaha mengingat sesuatu. “Janji apa?” katanya bingung.
“Come on, Nataaa!” kataku
dengan penuh rasa jengkel. “Kamu bener-bener lupa?”
“janji apa?”
“Pink,”
“Pink? Merah jambu?”
“ya Tuhan! Kamu sudah pikun!” aku memukul
lengan Nata.
Nata tertawa renyah. “iya aku inget. Wand, right?”
“Yap. Dan pink.
Jangan lupa itu!” kataku senang.
“Bagaimana kalau hitam? Yang pink susah
di cari,”
“Aku benci hitam. Pokoknya pink
atau ungu. Ah, pink saja!”
Nata kembali tertawa. Kemudian ia
merangkul pundakku.
“Wait,”kataku sambil meloloskan diri dari
rangkulan Nata. Mataku tertuju pada rambut berantakkan khas Nata itu. “You know? I’ve been waiting so long… long
time to do this,” tanganku meraih rambut
Nata dan berusaha merapikan rambutnya. Tetapi tangan Nata segera menepis
tanganku.
Aku tertawa,”I hate your hair!”
“I never give you the wand if you do it again!” ancam Nata.
Kami tertawa bersama lalu mulai memilih
barang yang hendak aku beli. Aku tahu, aku telah mempunyai satu hari
menyenangkan bersama Kanata Anggara Wiguna, lagi. Ia memang selalu membuat
setiap hariku penuh warna. Hari-hari yang mustahil untuk kulupakan.
Sampai pada suatu pagi, aku menemukan
Nata dalam keadaan yang sama sekali tak bisa dibilang baik. Wajahnya begitu
lesu dan pucat. Lingkaran hitam samar-samar menghiasi mata tajamnya. Dan ketika
aku menatap kedua mata itu, hatiku mencelos. Kehangatan yang biasanya terpancar
di sana hilang tak berbekas. Mata itu kembali dingin. Jauh lebih dingin dari
pertamakali aku melihatnya.
“Kamu kenapa? Apakah ujiannya susah?”
tanyaku dengan nada yang ku buat seceria mungkin. Minggu ini memang sedang ada
ujian.
“Nggak,”jawabnya singkat.
“Apa kamu belajar sampai pagi?”
“Nggak,”
“Atau jangan-jangan kamu insomnia?” aku
sedikit terkekeh.
“JUST SHUT UP!” bentak Nata.
Aku kaget bukan main. Baru kali ini ia
membentakku sekejam itu. Sampai-sampai air mata menggenangi kedua mataku.
Nata meninggalkanku begitu saja. Segera
kuhapus air mata yang sempat menetes lalu menyusulnya. “You can tell me anything, Nata. Anything,” kataku masih berusaha tetap ceria.
Nata berhenti berjalan lalu menatapku. “Leave me alone,”
Aku membeku.
“I’m sorry Vanya,” kali
ini, Nata benar-benar pergi.
Hari itu adalah hari terakhir aku
melihatnya. Pada suatu malam, sehari setelah kejadian itu, Janet memberitahuku
bahwa Nata sudah pulang ke Indonesia. Awalnya aku tak percaya. Ketika aku masuk
ke kamar Nata dan tak menemukan satupun barangnya, barulah aku percaya. Nata
telah pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan. Tanpa memberiku kesempatan untuk
menahannya agar tetap tinggal. Ia telah pergi bersama janji-janji yang sudah
terlanjur terucap. Ia pergi meninggalkan kenangan indah yang justru membuat
dadaku semakin sesak.
Aku menghabiskan sisa malam itu dengan
menangis. Dadaku terus disesaki rasa sedih. Nyeri di dadaku tak kunjung hilang
sampai pagi menjelang. Mata bengkakku sarat dengan kepedihan ketika aku
memandang diriku sendiri di depan cermin. Aku benar-benar merasa kehilangan.
Aku bersyukur bisa sekamar dengan Janet
di asrama ini. Janetlah yang terus menemaniku semalam. Bahkan ia sampai tak
tidur hanya untuk menghiburku. Menghiburku yang telah kehilangan seseorang yang
sangat berharga.
Nata.
***
Suara
langkah kaki Kak Vio membuyarkan lamunan panjangku di pagi yang masih agak
gelap ini. Baru kemarin sore Kak Vio datang dari Jakarta untuk melihat
keadaanku.
Kak
Vio duduk tepat di sebelahku. Kami menikmati keheningan yang tercipta cukup
lama. “Gue tahu, sekolah di luar negeri itu salah satu cita-cita lo,”kata Kak
Vio ketika hangat sinar mentari mulai menyentuh kulit.
Aku
menatap langit timur yang berwarna jingga, “Memang,”kataku
“Jadi
kenapa kamu milih pulang hanya karena sahabatmu itu?”
“Tapi
Vanya juga seneng di sini kok,” aku tersenyum lebar.
“Iya,
tetap aja lo pulang ke sini Cuma gara-gara hal itu. Hal bodoh seperti itu,”
“Buat
kakak mungkin sepele, tapi buat Vanya nggak, kak,” aku menahan emosi agar nada
suaraku terdengar sebiasa mungkin. “Dia itu… sudah seperti kakaku sendiri,”
lanjutku.
Aku
bangkit dari dudukku. Kulangkahkan kakiku di atas rumput hijau yang sedikit
basah ini. Aku mendekati sebuah pohon kamboja yang cukup besar. Kusentuh kulit
pohon yang biasa tumbuh di kuburan itu. Tiba-tiba saja, bunga kamboja yang
berwarna merah muda jatuh tepat di atas kaki kiriku. Lalu, aku membungkuk untuk
memungutnya.
Senyumku
merekah ketika Kak Vio melihatku ketika aku sedang menyematkan bunga kamboja di
telingaku. Kakiku pun kembali melangkah ke tempat dudukku tadi.
“Cantik
kan,Kak?” aku tertawa pelan.
Pintu
yang ada di belakang kami terbuka. Dari pintu itu muncul seorang wanita dengan
kulit putih yang sudah keriput. Mata lembut wanita itu menatap kami berdua.
“Vanya, Vio, ayo sarapan!” kata wanita itu.
“Iya
Uti. Nanti kita masuk,” aku menghampiri nenekku yang kupanggil uti itu dan
memeluknya.
Sudah
hampir empat bulan aku tinggal di rumah model belanda milik orang tua mama ini.
Beberapa jam sebelum keberangkatan mama hari itu, aku sudah memutuskan untuk
tinggal bersama Uti dan Akung di sini. Di Jogja.
“Ya
sudah. Cepat masuk lho ya!” perintah Uti lagi.
“Nggih
Uti,” Utipun berjalan pelan meninggalkan aku dan Kak Vio.
“Ayo
kak!”
Kak
Vio berdiri. “Gue mau tanya lo sekali lagi. Kenapa lo pulang dan mengorbankan
mimpi lo cuma gara-gara orang itu? Apakah orang itu lebih penting dari mimpimu?”
Aku
berpura-pura tertawa. “Nggak Cuma itu alasanku pulang ke sini, Kak Vio,”
“Apa?
Alasanmu apa?”
Aku
terdiam.
“See? Lo nggak bisa jawab. Lo tahu apa
yang udah lo lakuin?” suara Kak Vio mulai meninggi. “Lo udah mengorbankan
cita-cita lo cuma demi cinta! Dan gue nggak tahu apalagi yang lebih konyol dari
itu. Pengorbanan yang sia-sia. Pengorbanan bodoh! Bahkan mungkin tak layak di
sebut pengorbanan.”
Kata-kata
Kak Vio tepat pada sasaran. Kata-kata itu seperti tamparan seratus kali bagiku.
Apakah aku memang sudah melakukan hal yang bodoh? Apakah aku memang sudah
membuang mimpiku dan memilih pulang untuk menemui Nata? Apakah ini sia-sia?
Beribu pertanyaan lain mulai mmenyesakki otakku.
Kurasakan
mataku mulai panas. Cairan bening mulai memenuhi mataku. Aku menahan air mata
itu agar tidak jatuh.
“Sorry
Vanya. Gue ngomong ini karena gue peduli sama adik gue. Gue peduli sama
mimpi-mimpi adik gue,” lanjut Kak Vio.
Aku
masih membeku di tempatku.
“Ayo
sarapan!” ajak kak Vio sebelum masuk.
Cairan
bening yang dari tadi kutahan, akhirnya meluap dan terjun ke bumi.
***
“mengorbankan
cita-cita demi cinta. Pengorbanan yang sia-sia.” Arnest mengulang kata-kataku.
Aku baru saja menceritakan kejadian kemarin kepada Arnest, teman sebangkuku
“Kamu bilang Nata itu sahabat kamu. Tapi
kenapa kakakmu pake kata “Cinta-cinta” segala?” wajah Arnest tampak
kebingungan.
Arnest
memang sudah kuceritakan tentang Nata. Awalnya aku tak mau bercerita tentang
Nata pada Arnest. Tetapi melihat ketulusan Arnest yang menawarkan diri sebagai
tempat bercerita, aku mengiyakan. Mungkin karena sering melihatku melamun,
Arnest jadi tak enak hati membiarkanku begitu saja.
Arnest
memang teman sekaligus pendengar yang baik. Walaupun terkadang sifat ingin tahu
dan sok tahunya berlebihan.
“Atau,”
ia memulai lagi. “Kamu menyukai Nata?”
“Aduuh!
Kenapa semua orang ngomong kayak gitu?” aku mulai sedikit jengkel.
“Sudah
kuduga. Di dunia ini, persahabatan antara cowok dan cewek emang nggak ada yang
normal. Ya kayak kamu deh, suka sama sahabat sendiri,” Arnest mulai sok tahu.
“Sok
tahu kamu!” aku melempar bantal bintang warna pink kesayanganku tepat ke kepala
Arnest.
Arnest
tergelak. “Iya kaaan? Kamu suka Nata kaaan?”
“hmm…
iya sih,” akhirnya aku mengaku setelah selama ini aku mengelak.
“apa
aku bilang?!” seru Arnest keras. “Jadi kalian pacaran?”
“Nggak,
Cuma sahabat,”
“Kenapa
nggak? Apa Nata nggak menyukaimu?”
Pertanyaan
Arnest menyadarkanku pada hal kecil yang tak pernah kusadari. Aku dan Nata
memang selalu bersama. Mengatasi masalah bersama. Tertawa bersama. Dan aku
pikir selama dia ada di sisiku selalu, itu sudah menjawab semuanya. Tetapi
setelah Nata pergi, aku baru menyadari hal kecil itu. apakah Nata juga
mempunyai rasa yang sama dengan seperti yang sedang aku rasakan selama ini?Mungkin
tidak. Tetapi mungkin juga iya.
“Aku
nggak tahu. Selama ini dia selalu membuatku merasa nyaman. Dia selalu memberiku
kehangatan. Dia selalu membuatku merasa bahagia jika bersamanya. Di juga
memberiku perhatian yang besar. Dan aku menyukai caranya memerlakukan aku, dan aku
pikir,” aku sedikit ragu melanjutkan kata-kataku. “Aku pikir dia juga punya
rasa yang sama sepertiku,”
Arnest
menatapku dengan tatapan iri. “Oh Vanya,
so sweeeet! Nata pasti cowok yang super baik!”
Aku
tersenyum.
“Tapi,”
Arnest melanjutkan. “Itu belum menjadi fakta kan? Itu Cuma persepsimu. Kamu
belum tahu yang sebenernya,”
Arnest
membuat bahuku merosot. Dia benar.
“Duluin
aja, Nya! Kayak iklan teh di TV itu! Lagi zamannya kok aksi jemput bola gitu,”
Pikiranku
melayang. Apakah aku harus mengakui perasaanku pada seorang cowok yang menjadi
sahabatku? Apakah dengan begitu Nata akan menemuiku? Apakah dengan begitu
sifatnya akan berubah menjadi hangat seperti yang dulu? Lagi-lagi aku menyimpan
pertanyaan yang tak terjawab.
Mungkin
iya. Mungkin dengan aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Nata, ia
akan berubah. Dan ini tidak akan menjadi pengorbanan yang sia-sia.
Mungkin
saja.
Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar