Tentang Kami

Dipertemukan secara tak sengaja pada penghujung tahun 2011. memiliki minat yang sama. ketertarikan yang sama. mimpi yang sama.sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat karya bersama. KAMI para Manusia Abadi

Rabu, 30 Mei 2012

TSMJ #2 (By Kanata)


 MASA LALU

Oke, aku nggak tau kenapa kamu marah sama aku hingga nggak mau bales satupun email dariku.
Alasan aku ngirim email ini cuman mau ngasih tau kalo tanggal 15 Mei nanti aku pulang ke Indonesia. Bisa kan kita ketemuan di bandara?

Isi pesan dari Vanya sudah kuhapal dengan baik dalam kepala. Butuh waktu dua minggu bagiku untuk mengambil keputusan. Apakah aku perlu datang memenuhi permintaanya atau tidak? Vanya Diartha Nirwana, sebuah nama dari masa yang sangat silam.
            “Hi, my name is Vanya, nice to meet you. I’m Indonesian. Just like you.
            “Aku masih ingat kok sama Bahasa Indonesia.” Jawabku pendek tanpa benar-benar memerhatikannya. Karena tak ingin ketinggalan upacara penyambutan siswa baru aku berjalan agak cepat, meninggalkan Vanya.
            Segera dia berjalan menjajariku, “is it your habbit?
            What habbit?” Aku melirik sekilas. Rambut sebahunya yang dihiasi jepit rambut kupu-kupu sedikit berkibar oleh angin yang berhembus di lorong menuju Gymnasium.
            “Dingin... like an iceberg.
            Aku menaikan sebelah alis seperti kebiasaanku jika menemukan hal yang kurasa menggelikan. Aku makin mempercepat langkah. Pasti dia salah satu dari tiga siswa pertukaran pelajar tahun ini.
            Seperti biasa upacara penyambutan ini didominasi oleh pidato panjang lebar kepala sekolah. Kali ini beliau mengangkat tema tentang inagurasi kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi kebudayaan internasional. Beliau berharap di sekolah ini setiap siswa dari seluruh penjuru dunia bisa saling mengenal, memahami, untuk kemudian menghargai teman-temannya dari negeri yang berbeda.
            Melawan keinginanku untuk sungguh-sungguh mengikuti seluruh rangkaian acara, beberapa kali kepalaku menoleh ke arah kanan tempat siswa kelas satu duduk. Entah hanya kebetulan atau tidak, setiap kali aku menoleh pasti saja Vanya sedang menatap diriku sambil tak lupa tersenyum manis. Memang, harus kuakui senyumannya manis.
            Cepat-cepat kutepis bayangan-bayangan imajiner tentang dirinya. Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan debaran jantung. “Kanata Anggara Wiguna! Tugas kamu belajar, belajar adalah tujuan kamu di sini. Lupakan hal lain. Teruslah belajar!” berkali-kali kalimat itu aku rapalkan hingga meresap.
            Ternyata mantera itu hanya tahan beberapa minggu karena tanpa kuduga bahwa Vanya merupakan tipe gadis yang sangat gigih. Semakin keras usahaku untuk menjauhinya. Semakin keras pula perjuangannya dalam mendekatiku.
            “Karena kita teman satu negara.” Ucapnya ketika kutanya alasannya ingin dekat denganku.
            Oh, ya? Kalau begitu kenapa kamu nggak milih untuk dekat dengan dua orang teman seangkatanmu yang sama-sama dari Indonesia? Aku hanya bisa mengungkan pertanyaan itu dalam hati.
            Bukannya aku keberatan menghabiskan waktuku bersamanya. Terus terang Vanya merupaka teman yang sangat menyenangkan. Dengan kepribadiannya yang ceria (meski kalau ngambek bisa mengerikan), mandiri (meski kadang manjannya melebihi anak umur 4 tahun), cerdas (soal itu harus aku akui). Dia bisa membuat kata homesick menjadi tak bermakna sama sekali.
            Kami memiliki satu tempat favorit. Hampir setiap akhir pekan kami naik bus menuju stasiun King Cross. Ada satu tembok yang ditempeli plakat bernomor aneh, Platform 9 ¾. Sebagai manusia biasa tentu saja aku dan Vanya tak bisa menembusnya. Sering kami berhayal bahwa di balik tembok tersebut benar-benar sedang berlangsung kegiatan-kegiatan seperti layaknya stasiun pada umumnya.
            Dua tahun sama-sama bersekolah di London. Puluhan bulan kebersamaan. Ratusan saat-saat menyenangkan. Ribuan memori tak terlupakan yang tercipta bersama Vanya Diartha Nirwana...
            Bus baru hendak memasuki tol menuju Bandung ketika  ponselku bergetar. Sederet nomor tertera di layar ponselku. Aku bisa menduga siapa pemiliknya. Terlalu lelah untuk menjawab, kubiarkan saja terus bergetar. Sudah cukup lama aku tak bicara dengannya. Sesungguhnya cukup konyol juga kemarin aku memutuskan untuk menemuinya di bandara.
            Namun hanya berbekal tanggal, tanpa waktu, tanpa nomor penerbangan, bahkan tanpa nomor ponsel yang bisa dihubungi, yang terjadi adalah serangkaian hal bodoh. Hampir dua hari aku berkeliaran di bandara Soekarno-Hatta. Membawa sebuah karton bertuliskan nama Vanya. Berdiri dekat pintu kedatangan penumpang setiap kali pesawat dari Inggris mendarat. Berharap bisa membuat kejutan pada Vanya.
            Pada akhirnya aku yang mendapat kejutan. Selepas pesawat tadi pagi mendarat tanpa Vanya di antara deretan penumpang kuputuskan untuk pulang. Tak ada artinya lagi aku menunggu. Memang sebaiknya aku tak bertemu lagi dengan dirinya.
            Tak berapa lama beselang, ponselku kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan masuk. Benar dugaanku, ini memang nomor miliknya.
            Hai, aku sudah pulang. Aku di Jakarta 
            Aku menghela napas. Mungkin takdir memang tak berpihak pada pertemuan. Kepalaku menyandar pada kaca jendela. Memandangi jalan tol tanpa benar-benar fokus. Aku menggenggam sebuah bungkusan kecil yang rencananya akan kuberikan pada Vanya. Biarlah Dewi, adikku, yang akan menjadi pengganti pemilik boneka sapi di dalam bungkusan ini.

            Rasanya yang sedang disampaikan oleh Teh Mia barusan hanya untuk mempermainkanku. Baru saja beberapa hari yang lalu aku bercakap-cakap dengan Apa- ayahku -,  beliau baik-baik saja. Dan kini kakakku satu-satunya itu mengabarkan bahwa Apa meninggal karena serangan jantung. Aku tak ingin memercayainya sebagai sebuah kenyataan.
            “Jadi maksudnya Aan harus pulang sekarang?” Ucapku.
            “Kayaknya nggak mungkin kamu pulang sekarang. Perjalanan Inggris-Indonesia kan nggak mungkin ditempuh dalam beberapa jam.” Jawab Teh Mia. “Lagian kan kamu masih bulan depan ujian sekolahnya.”
            “Nggak apa-apa! Kayaknya minta dispensasi juga bakalan diijinin buat ikut ujiannya nyusul ato gimana.” Aku bersikeras untuk pulang
            “Emang kamu punya duit buat tiketnya? Nggak kan? Jadi tunggu aja disana sementara Teteh mau ngobrol dulu sama Pak Wahyu soal nasib kamu.”
            Memang benar aku tak mungkin bisa seketika itu juga pulang ke Indonesia. Selama aku bersekolah di sini Pak Wahyu, bos Apa, yang menyokong segala kebutuhanku. Keluarnggaku hanya tergolong “berkecukupan.” Jelas menyekolahkan anaknya keluar negeri tidak termasuk dalam daftar. Namun atas kemurahan hati Pak Wahyu inilah aku bisa berada di sekolah hebat seperti tempatku sekarang. “Ini hanya sebagian kecil dari penghargaan saya terhadap karyawan teladan perusahaan yang saya miliki.” Ucapnya pada malam keberangkatanku ke London. Apa menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
            London School of Future Education memang memberi kesempatan pada siswa-siswi terbaik usia 12-18 tahun dari seluruh penjuru dunia untuk mengenyam pendidikan terbaik yang ditawarkan sekolah tersebut secara gratis. Namun beasiswa yang mereka tawarkan tidak termasuk biaya hidup sehari-hari. Jika bukan berkat Pak Wahyu tentunya tawaran sekolah tersebut padaku hanya akan menjadi angan-angan.
            Kini Apa sudah tak ada. Aku merasa ikatan aku dengan pak wahyu sudah tidak ada pula. Apakah aku masih sanggup untuk menerima uluran tangan pak wahyu? Aku cukup tahu diri untuk tak meminta melebihi apa yang seharusnya aku dapat.
            Tepat pada hari terakhir ujian aku mengepak barang. Aku sangat benci kata perpisahan. Maka dari itu hanya Hyungjun, teman sekamarku, yang kuberitahu perihal kepulanganku. Sebelumnya aku lama berdiri di depan pintu kamar Vanya. Bertanya apakah aku seharusnya memberi dia alasan tentang kepulanganku atau tidak.
            Namun akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan gadis yang kusebut sahabat itu tanpa kata. Entah dia menganggapku apa. Semua tak lagi penting.

            Bus yang aku tumpangi sudah memasuki wilayah Bandung saat kuputuskan untuk menjawab pesannya:  Baguslah.
            Hanya itu yang bisa kuungkapkan padanya. Beragam emosi masih berkecamuk. Belum sepuluh menit berselang SMS kedua darinya tiba. Dia hanya menanyakan kabar. Seakan aku ini memang tidak terlalu istimewa.
            Ya... bagaimanapun kami hanya “rekan senegara”, hanya sahabat, tak pernah lebih. Segera kujawab bahwa aku baik-baik saja.
            Pada saat ketiga kalinya Vanya mengirim SMS hatiku langsung tak karuan:
I hope I can meet you soon.
Keningku berkerut. Maksud dia apa? Apakah maksudnya dia hendak menyusulku ke Bandung?
Tapi untuk apa? bukankah kami hanya sahabat?










By: Tangguh Alamsyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar