MASA LALU
Oke, aku nggak tau kenapa kamu marah sama aku hingga nggak mau bales
satupun email dariku.
Alasan aku ngirim email ini cuman mau ngasih tau kalo
tanggal 15 Mei nanti aku pulang ke Indonesia. Bisa kan kita ketemuan di
bandara?
Isi pesan dari Vanya sudah kuhapal dengan baik dalam
kepala. Butuh waktu dua minggu bagiku untuk mengambil keputusan. Apakah aku
perlu datang memenuhi permintaanya atau tidak? Vanya Diartha Nirwana, sebuah
nama dari masa yang sangat silam.
“Hi, my name is Vanya, nice to meet you. I’m Indonesian. Just like you.”
“Aku masih ingat kok sama
Bahasa Indonesia.” Jawabku pendek tanpa benar-benar memerhatikannya. Karena tak
ingin ketinggalan upacara penyambutan siswa baru aku berjalan agak cepat,
meninggalkan Vanya.
Segera dia berjalan
menjajariku, “is it your habbit?”
“What habbit?” Aku melirik sekilas. Rambut sebahunya yang dihiasi
jepit rambut kupu-kupu sedikit berkibar oleh angin yang berhembus di lorong
menuju Gymnasium.
“Dingin... like an iceberg.”
Aku menaikan sebelah alis
seperti kebiasaanku jika menemukan hal yang kurasa menggelikan. Aku makin
mempercepat langkah. Pasti dia salah satu dari tiga siswa pertukaran pelajar
tahun ini.
Seperti biasa upacara
penyambutan ini didominasi oleh pidato panjang lebar kepala sekolah. Kali ini
beliau mengangkat tema tentang inagurasi kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi
kebudayaan internasional. Beliau berharap di sekolah ini setiap siswa dari
seluruh penjuru dunia bisa saling mengenal, memahami, untuk kemudian menghargai
teman-temannya dari negeri yang berbeda.
Melawan keinginanku untuk
sungguh-sungguh mengikuti seluruh rangkaian acara, beberapa kali kepalaku
menoleh ke arah kanan tempat siswa kelas satu duduk. Entah hanya kebetulan atau
tidak, setiap kali aku menoleh pasti saja Vanya sedang menatap diriku sambil
tak lupa tersenyum manis. Memang, harus kuakui senyumannya manis.
Cepat-cepat kutepis
bayangan-bayangan imajiner tentang dirinya. Aku menarik napas dalam-dalam untuk
meredakan debaran jantung. “Kanata Anggara Wiguna! Tugas kamu belajar, belajar
adalah tujuan kamu di sini. Lupakan hal lain. Teruslah belajar!” berkali-kali
kalimat itu aku rapalkan hingga meresap.
Ternyata mantera itu hanya
tahan beberapa minggu karena tanpa kuduga bahwa Vanya merupakan tipe gadis yang
sangat gigih. Semakin keras usahaku untuk menjauhinya. Semakin keras pula
perjuangannya dalam mendekatiku.
“Karena kita teman satu
negara.” Ucapnya ketika kutanya alasannya ingin dekat denganku.
Oh, ya? Kalau begitu kenapa
kamu nggak milih untuk dekat dengan dua orang teman seangkatanmu yang sama-sama dari
Indonesia? Aku hanya bisa mengungkan pertanyaan itu dalam hati.
Bukannya aku keberatan
menghabiskan waktuku bersamanya. Terus terang Vanya merupaka teman yang sangat
menyenangkan. Dengan kepribadiannya yang ceria (meski kalau ngambek bisa
mengerikan), mandiri (meski kadang manjannya melebihi anak umur 4 tahun),
cerdas (soal itu harus aku akui). Dia bisa membuat kata homesick menjadi tak bermakna sama sekali.
Kami memiliki satu tempat
favorit. Hampir setiap akhir pekan kami naik bus menuju stasiun King Cross. Ada
satu tembok yang ditempeli plakat bernomor aneh, Platform 9 ¾. Sebagai manusia
biasa tentu saja aku dan Vanya tak bisa menembusnya. Sering kami berhayal bahwa
di balik tembok tersebut benar-benar sedang berlangsung kegiatan-kegiatan
seperti layaknya stasiun pada umumnya.
Dua tahun sama-sama
bersekolah di London. Puluhan bulan kebersamaan. Ratusan saat-saat
menyenangkan. Ribuan memori tak terlupakan yang tercipta bersama Vanya Diartha
Nirwana...
Bus baru hendak memasuki
tol menuju Bandung ketika ponselku
bergetar. Sederet nomor tertera di layar ponselku. Aku bisa menduga siapa pemiliknya. Terlalu lelah untuk
menjawab, kubiarkan saja terus bergetar. Sudah cukup lama aku tak bicara dengannya.
Sesungguhnya cukup konyol juga kemarin aku memutuskan untuk menemuinya di
bandara.
Namun hanya berbekal
tanggal, tanpa waktu, tanpa nomor penerbangan, bahkan tanpa nomor ponsel yang
bisa dihubungi, yang terjadi adalah serangkaian hal bodoh. Hampir dua hari aku
berkeliaran di bandara Soekarno-Hatta. Membawa sebuah karton bertuliskan nama
Vanya. Berdiri dekat pintu kedatangan penumpang setiap kali pesawat dari
Inggris mendarat. Berharap bisa membuat kejutan pada Vanya.
Pada akhirnya aku yang
mendapat kejutan. Selepas pesawat tadi pagi mendarat tanpa Vanya di antara
deretan penumpang kuputuskan untuk pulang. Tak ada artinya lagi aku menunggu.
Memang sebaiknya aku tak bertemu lagi dengan dirinya.
Tak berapa lama beselang,
ponselku kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan masuk. Benar dugaanku, ini
memang nomor miliknya.
Hai, aku sudah pulang. Aku di Jakarta
Aku menghela napas.
Mungkin takdir memang tak berpihak pada pertemuan. Kepalaku menyandar pada kaca
jendela. Memandangi jalan tol tanpa benar-benar fokus. Aku menggenggam sebuah
bungkusan kecil yang rencananya akan kuberikan pada Vanya. Biarlah Dewi,
adikku, yang akan menjadi pengganti pemilik boneka sapi di dalam bungkusan ini.
Rasanya
yang sedang disampaikan oleh Teh Mia barusan hanya untuk mempermainkanku. Baru
saja beberapa hari yang lalu aku bercakap-cakap dengan Apa- ayahku -, beliau baik-baik saja. Dan kini kakakku
satu-satunya itu mengabarkan bahwa Apa meninggal karena serangan jantung. Aku
tak ingin memercayainya sebagai sebuah kenyataan.
“Jadi
maksudnya Aan harus pulang sekarang?” Ucapku.
“Kayaknya
nggak mungkin kamu pulang sekarang. Perjalanan Inggris-Indonesia kan nggak
mungkin ditempuh dalam beberapa jam.” Jawab Teh Mia. “Lagian kan kamu masih
bulan depan ujian sekolahnya.”
“Nggak
apa-apa! Kayaknya minta dispensasi juga bakalan diijinin buat ikut ujiannya
nyusul ato gimana.” Aku bersikeras untuk pulang
“Emang
kamu punya duit buat tiketnya? Nggak kan? Jadi tunggu aja disana sementara
Teteh mau ngobrol dulu sama Pak Wahyu soal nasib kamu.”
Memang
benar aku tak mungkin bisa seketika itu juga pulang ke Indonesia. Selama aku
bersekolah di sini Pak Wahyu, bos Apa, yang menyokong segala kebutuhanku.
Keluarnggaku hanya tergolong “berkecukupan.” Jelas menyekolahkan anaknya keluar
negeri tidak termasuk dalam daftar. Namun atas kemurahan hati Pak Wahyu inilah
aku bisa berada di sekolah hebat seperti tempatku sekarang. “Ini hanya sebagian
kecil dari penghargaan saya terhadap karyawan teladan perusahaan yang saya
miliki.” Ucapnya pada malam keberangkatanku ke London. Apa menepuk-nepuk bahuku
dengan bangga.
London School of Future Education memang
memberi kesempatan pada siswa-siswi terbaik usia 12-18 tahun dari seluruh
penjuru dunia untuk mengenyam pendidikan terbaik yang ditawarkan sekolah
tersebut secara gratis. Namun beasiswa yang mereka tawarkan tidak termasuk
biaya hidup sehari-hari. Jika bukan berkat Pak Wahyu tentunya tawaran sekolah
tersebut padaku hanya akan menjadi angan-angan.
Kini
Apa sudah tak ada. Aku merasa ikatan aku dengan
pak wahyu sudah tidak ada pula. Apakah aku
masih sanggup untuk menerima uluran tangan pak
wahyu? Aku cukup tahu diri untuk tak
meminta melebihi apa yang seharusnya aku dapat.
Tepat
pada hari terakhir ujian aku mengepak barang. Aku sangat benci kata perpisahan.
Maka dari itu hanya Hyungjun, teman sekamarku, yang kuberitahu perihal
kepulanganku. Sebelumnya aku lama berdiri di depan pintu kamar Vanya. Bertanya
apakah aku seharusnya memberi dia alasan tentang kepulanganku atau tidak.
Namun
akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan gadis yang kusebut sahabat itu tanpa
kata. Entah dia menganggapku apa. Semua tak lagi penting.
Bus
yang aku tumpangi sudah memasuki wilayah Bandung saat kuputuskan untuk menjawab
pesannya: Baguslah.
Hanya
itu yang bisa kuungkapkan padanya. Beragam emosi masih berkecamuk. Belum
sepuluh menit berselang SMS kedua darinya tiba. Dia hanya menanyakan kabar.
Seakan aku ini memang tidak terlalu istimewa.
Ya...
bagaimanapun kami hanya “rekan senegara”, hanya sahabat, tak pernah lebih.
Segera kujawab bahwa aku baik-baik saja.
Pada
saat ketiga kalinya Vanya mengirim SMS hatiku langsung tak karuan:
I hope I can meet you
soon.
Keningku berkerut.
Maksud dia apa? Apakah maksudnya dia hendak menyusulku ke Bandung?
Tapi untuk apa? bukankah
kami hanya sahabat?
By: Tangguh Alamsyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar